Movie Magz Edition XIII

Page 68

S W E VI ebenarnya sangat mudah mengulas film satu ini, ya, I, Frankenstein itu E R S buruk, sangat buruk, bahkan buat penontonnya yang sudah membentengi E I V pikirannya dengan ekpektasi paling rendah sejak jauh-jauh dari rumah, MO

S

ini akan menjadi pengalaman menonton yang sangat mengecewakan. Dari sini sebenarnya kamu sudah bisa berhenti membaca, dan jangan bilang saya tidak memperingatkanmu. Jangan salah, sebenarnya sci-fi fantasi adaptasi komik grafis Kevin Grevioux ini punya konsep menarik terutama ketika ia mencoba membawa monster horor klasik rekaan Mary Shelley populer itu ke setting modern masa kini, memoles fisik mahkluk mengerikan ciptaan Dokter Frankenstein menjadi terlihat lebih rupawan tanpa embel-embel baut besar di leher, lebih lincah dengan ukuran tubuh atletis dan lebih mematikan ketika sang monster dalam wujud Aaron Echart penuh jahitan beraksi menghantamkan dual stick bajanya ke kepala-kepala para serdadu Iblis berkostum parlente di tengah-tengah peperangan abadi Gargoyle (Miranda Otto) dan Demon (Bill Nighy). Sayang, semua kesenangan itu hanya sebatas konsep gila yang tidak bekerja. Memulai kisahnya dengan ending novelnya, I, Frankenstein terlihat seperti sekuel dari literatur lama milik Mary Shelley yang bolak balik dibuatkan filmnya itu. Tidak usah heran jika aroma gotik-modernnya terasa familiar dengan apa yang pernah dihadirkan quadrilogi Undeworld, karena keduanya memang berasal dari kepalanya Grevioux sang empunya komik yang turut membantu merebus naskahnya, dan kebetulan, juga ada Bill Nighy di dalamnya. Lalu kamu juga merasakan deja-vu dengan trilogi Blade, bukan hanya karena tokoh utamanya sama-sama seorang antihero pembasmi setan- vampire di Blade-, tetapi juga ketika setiap kali

Moviemagz Mei 2014 69


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.