LEGAL SUMMARY: ASC #6 2022

Page 1

Kontroversi Pasal Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden Oleh: Laode Muhammad Fitra

Negara demokrasi adalah negara dengan bentuk dan mekanisme sistem pemerintahan yang bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Sistem pemerintahan demokrasi sendiri bertujuan untuk menciptakan sebuah konsep yang berdasarkan keadilan, kejujuran dan keterbukaan untuk kehidupan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera serta memberikan kebebasan berpendapat dankedaulatanrakyat. Prof. Dr. Franz MagnisSuseno memberikanpandangannya dalam mengidentifikasi sebuah negara dengan sistem pemerintahan yang demokratis yakni negara tersebut merupakan negara hukum, kontrol masyarakat terhadap pemerintah, pemilihan umum yang bebas, prinsip mayoritas dan jaminan terhadap hak hak dasar rakyat. Lincoln juga menyatakan bahwa demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat diberikan hak untuk mewakili dirinya sendiri dalam memilih suatu kebijakan politik atau untuk menyuarakan pendapatnya masing masing.

Indonesia merupakan negara dengan sistem pemerintahan demokrasi. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar. Contoh penerapan sistem demokrasi di Indonesia ialah proses pemilihan umum (PEMILU) dalam Presiden atau Wakil Presiden selama lima tahun sekali. Selain itu, penyelesaian suatu permasalahan dengan mengadakan musyawarah untuk mendapatkan kesepakatan bersama juga merupakan bentuk implementasi dari demokrasi itu sendiri.

Namun, dalam kenyataannya masih terdapat beberapa peraturan dan kebijakan oleh pemerintahIndonesia yang memberikanbatasankepadarakyatnya sendiri. Kebebasanbersuara dan memberikan pendapat masyarakat Indonesia seakan akan dibatasi oleh peraturan tersebut. Salah satunya ialah salah satu pasal yang termuat dalam Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yakni Pasal Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat kepada Presiden dan Wakil Presiden yang pada tahun 2016 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013 022/PUU IV/2006 Tentang PembatalanPasalPenghinaanTerhadap Presiden Isu diadakannya kembaliPasal Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat kepada Presiden dan Wakil Presiden tersebut memicu

LEGAL SUMMARY ALSA STUDY CLUB #6

kegaduhan di tengah masyarakat Indonesia. Sebab, pasal tersebut dianggap membatasi kebebasan berekspresi atau freedom of expression yang merupakan hak asasi manusia dan pemerintah seharusnya tidak bisa campur tangan atas hak hak dan kebebasan individu tersebut seperti hak untuk mengritik Presiden.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan penghinaan?;

2. Bagaimana penerapan delik penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam hukum pidana?; dan

3. Mengapa RKUHP terhadap Pasal Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat kepada Presiden dan Wakil Presiden harus dihapus?

1. Pengertian Penghinaan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hina berarti merendahkan kedudukannya (pangkatnya, martabatnya) atau suatu proses, cara, perbuatan menghina atau menistakan seseorang. Penghinaan merupakan suatu tindakan dengan menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, dimana korban penghinaan tersebut akan merasakan malu akibat perbuatan tersebut. Jika dilihat dari aspek moral dan agama, penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela karena perbuatan tersebut bermaksud untuk menyerang atau merendahkan martabat kemanusiaan yang secara teoretik dipandang sebagai rechtsdelic atau tindak pidana kejahatan. Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana, tindakan penghinaan diatur dalam Pasal 310 yang menyatakan bahwa pencemaran nama baik adalah perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang dimaksudkan agar hal tersebut diketahui secara umum. Pencemaran nama baik dapat dilaporkan baik berupa tindakan secara lisan maupun tertulis.

Dalam delik penghinaan atau pencemarannama baik, kepentinganatau nilaidasar yang ingin dilindungi ialah martabat atau derajat kemanusiaaan yang merupakan salah satu nilai universal yang dijunjung tinggi. Pencemaran nama baik dikualifikasikan sebagai pencemaran ataupenistaan (smaad) danpencemarantertulis (smaadschrifft) dalamKUHP. Penentuanruang lingkup jenis tindak pidana penghinaan dalam setiap masyarakat atau negara berbeda beda. Penentuan ruang lingkup tindak pidana juga tergantung pada kebijakan kriminal dan sosial yang terkait erat dengannilai nilai sosio filosofis, sosio politisdansosio kulturalsetiap bangsa dan negara. Setiap wilayah memiliki indikator atau standar yang berbeda beda untuk mengkualifikasikan suatu perbuatan termasuk dalam tindakan penghinaan atau tidak.

2. Penerapan Delik Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Hukum Pidana Secara umum, tindak pidana penghinaan diatur dalam Pasal 310 ayat 1 yang menyatakan bahwa barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus. Pada Pasal 134 KUHP mengatur tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang menyatakan penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

C. PEMBAHASAN

Namun, pasal tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 013 022/PUU IV/2006 Tentang Pembatalan Pasal Penghinaan Terhadap Presiden.

Dalam Revisi Kitab Undang Undang Hukum Pidana, peraturan terhadap penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden kembali diajukan. Hal ini tertuang dalam Pasal 218 RKUHP tentang Penghinaan Presiden yang menyatakan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV. Lanjut pada pasal 219 menyatakan setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Dalam Pasal Penghinaan Presiden yang diajukan di dalam RKUHP tersebut tidak memisahkan antara Presiden sebagai lembaga dengan Presiden sebagai pribadi. Penyebutan kata Presiden secara yuridis memiliki konsekuensi tersendiri, sebab jika merujuk pada Pasal 7

A UUD 1945 yang mengatur tentang pemakzulan Presiden.

Pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dianggap menghalangi pelaksanaan pemerintahan yang demokratis. Hal ini dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan, sebab pasal tersebut dapat ditafsirkan secara subjektif sesuai dengan selera penguasa. Seorang warga negara dapat dengan mudah dikualifikasikan melakukan tindakan penghinaan ketika bermaksud untuk menyampaikan kritik atau pendapat. Hal ini secara tidak langsung memberikan kenyataan bahwa DPR dan Pemerintah sedang menghidupkan kembali pasal pasal peninggalan kolonialisme yang tidak relevan dengan sistem pemerintahan Indonesia yakni demokrasi.

3. Alasan Penolakan Pasal Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam RKUHP

Terdapat beberapa alasan mengenai mengapa Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP harus ditolak. Yang pertama ialah Presiden sebagai simbol negara dan personifikasi masyarakat yang dipakai pemerintahuntuk menjustifikasi Pasal PenghinaanPresiden ke dalam RKUHP adalah keliru. Perihal simbol negara sudah jelas diatur dalam Pasal 35 dan 36 B UUD

1945 tentang lambang lambang negara, sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 24 Tahun 2009 yaitu Garuda Pancasila, bendera, bahasa, lambang negara serta lagu kebangsaan.

Alasan kedua, memasukkan Pasal Penghinaan Presiden ke dalam RKUHP tidak tepat karena Presiden adalah jabatan, dan harus dibedakan dengan individu yang mengisi jabatan tersebut. Sebagai suatu jabatan, Presiden tidak memiliki fitur moralitas untuk bisa merasa dihina. Dalam konstruksi itu, setiap komentar, sentimen, pujian bahkan cibiran publik kepada Presiden adalah bentuk penilaian atas kinerja dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

Alasan ketiga, ketika terjadi penghapusan Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, pemerintah menyatakan bahwa hal tersebut akan menciptakan budaya masyarakat yang terlalu liberal. Argumentasi tersebut pada dasarnya hanya merupakan hipotesis yang prematur. Faktanya, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan pasal tersebut inkonstitusional dan sejak ketentuan itu tidak berlaku hingga sekarang serta sulit untuk membuktikan bahwa kearifan budaya masyarakat Indonesia telah terkikis oleh nilai nilai yang dianggap liberal.

Alasan keempat, perubahan Pasal Penghinaan Presiden menjadi delik aduan tidak menghilangkan risiko kriminalisasi. Faktanya, kepolisian kerap melakukan tebang pilih dan sulit bersikap proporsional manakala pelaporan datang dari pihak yang memiliki relasi kuasa sekelas pejabat negara. Akibat faktor relasi kuasa itu, polisi sering kali bias dalam menentukan batasan mana yang merupakan opini, kritik, dan hinaan.

Dan alasan yang terakhir, kebijakan perumusan Pasal Penghinaan Presiden ke dalam RKUHP juga tidak didampingi dengan analisis biaya manfaat (cost benefit analysis) yang memadai. Padahal, setiap penambahansatu butir pasal akanpunya dampak signifikan terhadap porsi anggaran kebijakan nantinya. Dampak dampak sosial seperti meningkatnya kekecewaan dan ketidakpercayaan publik, menurunnya daya kontrol masyarakat lewat kritik terhadap Presiden, meningkatnya ketakutan untuk berpendapat dan berekspresi, hingga potensi tergerusnya indeks demokrasi Indonesia, harus dihitung sebagai ongkos sosial yang harus dikeluarkan.

Penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela, jika dilihat dari berbagai aspek antara lain moral, agama, nilai nilai dengan perbuatan curang kemasyarakatan, dan nilai nilai hak asasi manusia atau kemanusiaan, karena menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan (menyerang nilai universal), oleh karena itu, secara teoretik dipandang sebagai tindak pidana kejahatan.

Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP merupakan bentuk dari pembatasan yang diberikan oleh pemerintah terhadap hak dan kebebasan masyarakatnya. Indonesia merupakan negara demokrasi dimana kritik masyarakat sangat penting bagi pelaksanaan pemerintahan di Indonesia. Presiden itu merupakansebuah lembaga danorang yang menempatijabatan tersebut dapat berganti lima tahun sekali melalui Pemilihan Presiden, Mahkamah Konstitusi (MK) sebetulnya pernah memutus menghapusnya pada 2006. MK menilai pasal tersebut bisa menimbulkan ketidakpastian hukum lantaran tafsirnya yang amat rentan manipulasi. Aturan ini mengacu pada aturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda, maka wajar jika Mahkamah Konstitusi menghapus pasal tersebut. Pasal tersebut sudah tidak relevan dengan sistem pemerintahan Indonesia yang menganut sistem demokrasi.

D. KESIMPULAN
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.