Khittah dan Khidmah Nahdlatul Ulama
tetapi ia sah menurut agama Islam”. Di samping tidak praktis, retorika seperti di atas juga tidak produktif. Secara strategis, penegasan ini juga penting untuk mengatasi ketegangan inheren dan dualisme paradigma pemikiran antara nalar agama dan nalar negara, yang diam-diam terus membayangi dan menghambat pemikiran kreatif dan produktif dalam pemikiran dan praktek kehidupan berbangsa dan bernegara untuk dapat mencapai tujuan-tujuan luhurnya untuk menciptakan rasa aman, kesejahteraan dan keadilan, lahir batin, bagi seluruh rakyat Indonesia. Penegasan ini juga penting bagi para ulama dan warga NU yang terlibat dalam kehidupan politik kenegaraan untuk tidak dibayangi standar etik yang ganda antara nalar keagamaan yang cenderung normatif (a historis) dan nalar kenegaraan yang cenderung sekuler, sehingga keterlibatan mereka dalam politik kenegaraan dapat lebih total, dengan moralitas yang tinggi, karena ia menjadi bagian dari ekspresi dan tanggung jawab keislamannya sebagai hamba Allah dan warga negara. Demikian pula bagi NU sebagai jam’iyyah diniyyah, ijtima’iyyah dan tsaqafiyyah, keberadaannya di dalam percaturan kebangsaan lebih luas – dan bahkan dunia internasional-- akan menjadi semakin signifikan dengan kontribusi-kontribusi kreatifnya yang berskala peradaban. Wallahu a’lam bisshowab. Kaliopak, 2 April 2013
140