Waspada, Senin 24 Mei 2010

Page 17

Opini

WASPADA Senin 24 Maret 2010

Sabam Siagian Bercerita Oleh Rosihan Anwar

T

ANGGAL 10 Mei 2010 wartawan senior Rosihan Anwar genap berusia 88 tahun alias sebelas windhu. Peristiwa itu di-pesta-in oleh teman-temannya dari dunia jurnalistik bertempat di Hotel Santika Jakarta. Pada kesempatan itu wartawan Kompas Jakob Oetama membuka pertemuan dengan menjelaskan kedudukan Rosihan Anwar dalam sejarah kewartawanan Indonesia. Sabam Siagian Redaktur Senior & Direktur harian The Jakarta Post atas permintaan hadirin memberikan sambutan pula. Pada awal tahun 1950an, demikian kata Sabam, setiap pagi sekitar jam 9 sebuah station wagon harian Pedoman lewat rumah keluarga Pendeta Siagian di daerah Kwitang. Rupanya menjemput salah seorang staf redaksi. Di sebelah supir duduk Rosihan Anwar, pemimpin redaksi Pedoman. Raut mukanya dan pantulan wajahnya cenderung menggambarkan arogansi (kesombongan) seorang intelektual yang tidak menghiraukan lingkungan sekelilingnya. Sore hari mobil Pedoman itu lewat rumah kami mengantar seorang staf redaksi dan tokoh di depan sebelah supir nampak letih, tenggelam dalam dunia pemikirannya. Esok paginya kita bacalah tajuk rencana di harian Pedoman dengan logika yang tersusun rapi, gaya penulisan yang lancar, dibumbui sarkasme. Dan konklusi tajam bagaikan panah yang telak kena sasaran. Emil Salim pada tahun-tahun itu Ketua Dewan Mahasiswa UI sering mencek temanteman dekatnya. “Bung sudah baca tajuk Pedoman tadi pagi. Apa pendapat Bung ?”. Malulah awak kalau belum membacanya. Sosok seorang pemimpin redaksi yang berpandangan luas, agak alof bersikap independen, menulis yang kena sasaran, sosok demikian agaknya direkam radar ingatan saya. Dan ditanam benih cita-cita ingin jadi Pemred. Meskipun baru kemudian melalui jalan berliku dan faktor situasi saya masuki profesi jurnalistik, kata Sabam Siagian. Memang sudah merupakan label (merek, cap) yang melekat pada diri Bung Rosihan sebagai seorang tokoh jurnalistik yang tidak begitu sabar melihat rekan yang setengah jadi bobot intelektualismenya, dan cenderung arogan. Lain sekali, umpamanya, siapa yang pernah mengenal almarhum Mochtar Lubis. Itu saya alami ketika diikutsertakan dalam kelompok redaktur yang meliput kunjungan Jenderal Sumitro, panglima komando pemulihan keamanan dan ketertiban, dan Jaksa Agung Ali Said ke Pulau Buru, kamp tahanan politik (tapol) pada bulan Oktober 1973. Ada Rosihan Anwar dari Pedoman, Mochtar Lubis dari Indonesia Raya, Jakob Oetama dari Kompas, Tengku Hafas dari Nusantara, saya paling junior, baru beberapa bulan di Sinar Harapan. Bung Rosihan sekali-sekali tegur saya meskipun tidak begitu akrab. Nasib saya masih lumayan. Ada rekan dari harian Merdeka yang seperti dicuekin. Mungkin karena dia tahu almarhum Soedjatmoko, teman akrab Bung Rosihan, mengenal saya sejak di Amerika Serikat. Mochtar Lubis yang pernah berkunjung ke New York, setelah koran Indonesia Raya terbit kembali tahun 1967 dan mengajak saya ke restoran, sikapnya segera merangkul. “Back slapping” kata orang Amerika “Bung sudah dapat ampelop ?”. Kalau belum, pakai punya saya” ujar Bung Muchtar sepontan. “Ampelop?”. Sebagai orang masih hijau di dunia kewartawanan Orde Baru, saya terheran-heran. Pada suatu pagi ketika kami sedang duduk-duduk di depan losmen penginapan di pulau Buru kebetulan lewat seorang pria agak kurus, selalu dengan senyum kecil. “Ah, itu orangnya. Kasir Kejaksaan Agung. Minta dari dia” kata Bung Rosihan. Sebagai yang yunior, maka saya uberlah si juru bayar itu. Tidak terbayang bahwa seorang wapemred menguber seorang juru bayar termasuk cakupan kegiatan. Tapi ini Indonesia. Kembali ke Jenderal Sumitro, Januari 1974. Perdana Menteri Tanak dari Jepang datang. Pecahlah huru hara. Peristiwa Malari. Sejumlah koran dibreidel. And Pedoman is no more. Tapi Bung Rosihan tetap menulis.Terus menulis. Ia tetap memantau peristiwa. Memilihmana yang perlu dikomentari. Dan lahirlah tulisannya. Kita dapat bagadang semalam suntuh di sini, bercerita tentang berbagai episode dalam hidup Rosihan Anwar, seperti para nelayan yang suka cerita pengalaman mereka di laut terbuka, sering dilebih-lebihkan. Tapi pertanyaan utama tetap mengiang: Rosihan Anwar, apa sebenarnya inti kepribadiannya? Apa DNA karakternya, meminjam istilah dari biokimia kedokteran ? Sepintas lalu dia dianggap aloof (sikap menyendiri, menjauhkan diri), arogan (congkak), sarkastis (mulut tajam). Terhadap semua label (etiket, nama) itu, yang bersangkutan sendiri seperti tidak keberatan. Mungkin dia berlindung di balik label itu. Menyembunyikan DNAnya. Saya sendiri agaknya baru sadar akan watak sebenarnya Rosihan Anwar akhir-akhir ini, setelah begitu lama mengklaim mengenalnya. Ceritanya begini. Pada hari Idul Fitri tahun lalu saya berkunjung ke Jalan Surabaya 13 untuk ber-lebaran ke keluarga Rosihan Anwar. “Ini Bung tulisan saya tentang Sjahrir. Baru selesai, sudah saya kirim ke redakturnya di Negeri Belanda” kata tuan rumah, demikian Sabam Siagian. (+++)

Dedi Sahputra

Foliopini

dedisahputra@yahoo.com

Isratine Muammar Al-Gadhafi adalah sebuah anti klimaks. Mungkin ia merasa letih. Isratine, katanya singkat dalam judul buku putihnya. Ini sebuah ide “perdamaian” Palestina-Israel dengan cara menggabungkan kedua bangsa dalam satu negara menjadi Isratine (Israel-Palestine). Tak terdengar lagi sorak garangnya. Serang, hancurkan, usir Israel, sang penjajah di abad moderen. ’’Bawa saja mereka (Israel) ke Alaska...Mereka bisa hidup damai di tempat yang terisolasi seperti itu,” ujar Khadafi lantang suatu waktu melalui video conference yang disampaikannya kepada pelajar Georgetown University awal 2009 lalu. Tapi semangat dan seruan perang itu sudah terdengar lamat-lamat. Kini bahkan jadi sumir. Karena bunyinya sudah berubah menjadi seruan ”berdamai” dengan Yahudi. Kalau Gadhafi itu orang Medan, kira-kira bahasanya begini; ’’Ya uda-la, kalau berantem terus gak siap-siap, jadikan satu negara aja. Kok payah kali.’’ Tidak seperti biasanya, gagasan patriotik mengusir Israel dari tanah jajahan itu selalu sampai melalui pesan komunikasi massa. Tapi kali ini lebih masif. Pake seminar segala, dengan pembicara internasional lagi. Anda bisa memaknainya apa saja, bisa merupakan sosialisasi, sebagai upaya mendapatkan dukungan atas usulan itu, sebuah upaya sistimatis untuk merasionalkan kemenangan Israel atau apa saja. Rasional..? Tentu saja, coba lihat sekarang, betapa jauhnya tanah Palestina itu dijajah, betapa terisolasinya warga Palestina itu dan betapa lemahnya ”lautan” warga Arab di kelilingnya, juga umat Islam pada umumnya. Betapa canggihnya Israel itu. Mereka-lah satu-satunya negara di kawasan Arab yang anteng-anteng aja meski punya cadangan senjata berhulu ledak nuklir. Maka sangat rasional-lah ide menggabungkan kedua negara itu. Yang penting damai, karena cara kekerasan hampir mustahil untuk mengusir Israel. *** Lelaki tua itu menangis sedih. Tatap matanya menerawang jauh juga basah air mata. Di hadapannya jasad seorang remaja yang masih hangat; baru saja tewas dibunuh tentara Israel. Dua anaknya yang lain sudah lebih dulu syahid di tangan bangsa Yahudi itu. Kini semua anaknya sudah tewas. Tapi bukan itu yang disedihkannya. Dengan tubuh yang tua renta, dia tidak sanggup lagi berjihad mengangkat senjata mengusir pasukan zionis. Dan kini, dia tidak lagi

punya anak yang bisa dikirim ke medan jihad menjemput syahidnya. Sungguh ini suatu kepiluan mendalam.. Bagi orang tua ini, penjajahan oleh Bani Israil itu adalah medan jihad. Seperti buah ranum bagi orang shaleh untuk memetik syahid. Bukan tujuan akhir perjuangan yang menjadi bebannya, tapi proses yang dijalaninya itulah yang menjadi tugasnya. Begitulah cara orang beriman melihat berbagai peristiwa di bumi ini. Semuanya bermuara kepada Allah SWT. Ujiannya adalah tsiqoh kepada Allah. Standar berhasil-gagalnya sebuah perjuangan bukan diukur dari tercapai tidaknya sebuah rencana. Tetapi adalah bagaimana untuk tetap istiqomah dalam perjuangan di jalan-Nya. Karena orang beriman tidak disibukkan oleh hasil. Dia menyadari dengan seluruh keyakinannya bahwa hasil usaha bukanlah ranahnya, tetapi domain-nya Tuhan Sang Maha Penentu. Tapi tidak jarang orang lelah dalam perjuangannya, sehingga melupakan kewajiban berusaha yang melekat dalam dirinya. *** Begitulah hidup. Selalu berganti ulasan, wacana dan berbagi duka serta kegembiraan. Kalau ingat Masjidil Haram, hati senang, rindu ingin ke sana. Tapi kalau ingat Masjidil Aqsa yang “digerogoti” terus oleh Israel, hati jadi miris. Subhanallazi asra bi’abdihi laylan minal-masjidil-harami ilal-masjidil-aqsha (Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa) (Q.S.17:1). Jadi hidup itu bolak-balik, Masjidil HaramMasjidil Aqsa, senang-sedih, menang-kalah, muda-tua, cantik-jelek dan seterusnya. Semua terjadi dalam kegelapan (di malam hari). Artinya kita tidak tahu apa yang bakal terjadi, semuanya serba gelap. Satu-satunya ukuran yang mungkin adalah, suatu hasil selalu berkorelasi dengan derajat upaya. Jadi kalau Anda giat berusaha Anda bakalan kaya, kalau rajin belajar bakalan pintar dan seterusnya. Anda pasti dibilang tukang ngayal kalau pinginnya jadi bos banyak uang tapi malas berupaya. Pak Belalang. Namun tetap saja, Anda tidak bakal tahu berapa banyak dagangan laku hari ini, berapa sisa uang setelah setoran Angkot lunas, atau siapa yang bakal nelpon ngasih job hari ini. Karena kegelapan itu tanpa batas. Tapi Allah kasih kuncinya, Fa-inna ma’al-’usri yusran, kesulitan itu selalu beriringan dengan kemudahan (Q.S.94:56). Jadi saya rasa cukup jelas bahwa tidak ada alasan untuk merasa letih melawan Israel.

B5

Aceh Kaya Energi, Miskin Listrik ? Oleh Drs Muhammad Syukri M.Pd Di Aceh sumber daya air berlimpah dan pemanfaatan energi air bukanlah teknologi yang sangat rumit

D

i era moderen saat ini, energi listrik telah menjadi sebuah kebutuhan primer, di samping sembilan bahan pokok lainnya. Kebutuhan energi listrik bukan hanya monopoli masyarakat perkotaan, tetapi kebutuhan hari-hari seluruh masyarakat, termasuk di perdesaan. Sayang, stabilitas arus listrik untuk para konsumen di tanah air belum memuaskan. Di samping voltasenya yang tidak stabil, listrik sering padam. Bagi mereka yang menggantungkan usahanya dari listrik, pemadaman sangat merugikan produktivitas usaha termasuk meluluhlantakkan peralatan elektronik masyarakat. Belum lama ini, sebuah LSM internasional menghimbau masyarakat dunia untuk mematikan lampu selama satu jam pada 27 Maret 2010 sejak pukul 20.30 sampai 21.30. Bagi beberapa kota besar di tanah air, gerakan ini mendapat respon cukup baik, karena kontinuitas energi listriknya sangat optimal alias hampir tidak pernah terjadinya pemadaman. Sebaliknya, gerakan ini terasa kurang relevan dengan kondisi kelistrikan Aceh yang masuk kelas byar-pet. Tanpa kenal waktu, tanpa kenal hari, tiba-tiba lampu bisa padam untuk jangka waktu yang relatif lama. Sebelum gerakan Earth Hour dicanangkan, jutaan masyarakat di Aceh hampir setiap hari ”dimatikan” lampunya oleh sebuah Badan Usaha Milik Negara yang bernama PLN. Inilah sebuah ironi yang dialami negeri kaya energi tetapi miskin listrik. Pada gilirannya, gerakan mematikan lampu selama satu jam (Earth Hour) bukan lagi sebuah kesadaran, melainkan sebuah ketidakberdayaan konsumen energi listrik di Aceh. Kaya sumber energi Saat kita mulai menyadari Aceh termasuk sebuah wilayah kaya sumberdaya energi. Maka ironis manakala rakyatnya tidak memperoleh energi listrik dengan sempurna. Siapapun, bahkan masyarakat dunia mengetahui jika di wilayah Aceh Utara maupun Aceh Timur tersedia cadangan sumber energi berupa gas alam cair dan minyak bumi yang cukup besar. Bahan bakar yang digunakan menggerakkan pembangkit listrik tenaga diesel, sehingga sangat tidak beralasan jika Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) milik PLN akan kekurangan daya menyuplai energi listrik. Konon lagi, PT. Arun NGL memiliki delapan unit Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), namun yang digunakan untuk operasional BUMN ini hanya enam unit. Dengan demikian, terdapat dua unit PLTG dalam keadaan menganggur. PLTG yang menganggur ini, kata Zulkifli Manajer PT. PLN Aceh, memiliki kapasitas 2 x 20 MW (Serambi Indonesia, 23 Desember 2009). Selain sumberdaya energi yang berasal dari hidrokarbon, di Aceh terdapat sumber energi berupa aliran air yang mengalir melalui beberapa sungai besar. Hulu sungaisungai besar ini umumnya berada di kawasan pedalaman Aceh, seperti Geum-

pang dan Tangse-Pidie, Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara. Sungai-sungai besar itu antara lain: Sungai Woyla,Teunom,Tripa, Meureudu, Peusangan, Kluet, Pase, Jambu Aye, Lawe Alas, Peureulak, Simpang Kiri dan Sungai Simpang Kanan. Selain sungai-sungai besar itu, masih terdapat sungai kecil, alur (alue), dan parit-parit berair deras yang cukup potensial membangkitkan energi listrik skala kecil, antara 1 sampai 2,5 KW. Air yang mengalir melalui sungai-sungai tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan untuk sumber energi, paling-paling hanya digunakan untuk pengairan atau sumber air baku. Sebagian besar anugerah AllahYang Maha Pemurah ini mengalir begitu saja ke lautan lepas, menyatu dengan air asin di Samudera Hindia maupun Selat Malaka. Kalau dihitung-hitung sangat banyak s u m b e r e n e rg i yang terbuang percuma dari triliunan liter air yang mengalir ke laut setiap detiknya, karena tidak termanfaatkan. Mencermati fakta ini, sepertinya kita belum mampu melihat air sebagai rahmat yang bisa diolah menjadi nikmat yang berupa sumber energi listrik. Mungkin, dan boleh jadi, karena wilayah Aceh ini terlalu berlimpah rahmat sehingga membuat semua orang bingung untuk mengolah rahmat itu menjadi nikmat. Seperti sebuah kalimat orang bijak: Si Kaya yang tidak mengetahui dirinya kaya. Fakta ini berbeda dengan beberapa negara yang hidup dalam kesulitan, atau daerah lain yang sangat terbatas sumberdayanya. Mereka berupaya memanfaatkan semua potensi sumberdaya dengan sangat maksimal. Misalnya Negara Mesir (Egypt) yang memanfaatkan potensi Sungai Nil dengan maksimal, sehingga denyut perekonomian negeri kinaah ini dapat dikatakan mengalir seiring derasnya air Sungai Nil. Melalui satusatunya sungai yang membelah padang pasir di negara itu, mereka membangun sebuah PLTA di Bendungan Aswan yang berhasil memproduksi listrik dalam kapasitas sangat besar. Dengan energi listrik itu, mereka memasok air minum ke seluruh permukiman melalui pipa-pipa besar yang melintasi padang pasir. Bukan mustahil, jika padang pasir yang gersang itu, kini pelan-pelan telah berubah menjadi permukiman hijau yang asri, seperti Rehab City sekitar 20 KM dari Kairo. Konon, mereka juga telah berhasil mengekspor tenaga listrik ke beberapa negara tetangga yang akhirnya menjadi salah satu sumber devisa. Di sisi lain, melalui energi listrik, pemerintah Mesir berhasil menarik investor membangun

industri di tengah padang gersang. Para investor juga membangun resort di gunung karang Port Sukhna, lalu air bersih dari Sungai Nil dengan energi listrik berhasil disalurkan ke kawasan industri dan resort tersebut. Luar biasanya, pemerintah Mesir mampu memenuhi kebutuhan listrik rakyat selama 24 jam tanpa pernah padam. Ramah lingkungan Mengapa di Aceh, bumi para pahlawan, dan salah satu negeri paling lengkap di dunia, terkesan tidak mampu berbuat apapun untuk memanfaatkan air sebagai sumber energi? Begitu banyak sungai maupun alue dimiliki, baik yang berada di celah bukit dan pegunungan, maupun yang melintasi permukiman penduduk. Terkadang sumberdaya air itu menjadi sebuah ironi, karena dijadikan untuk tempat membuang sampah dan sumber galian golongan C. Begitu besar debit air yang mengalir, sayang hanya dijadikan sebagai lokasi WC cemplung,WC rakit, dan tempat mandi dan cuci. Sangat jelas, jika sumberdaya air itu belum dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin atau dinamo yang bisa menghasilkan energi listrik. Air tersebut dibiarkan mengalir menyelusuri badan sungai menuju laut lepas seperti syair lagu Bengawan Solo.....air mengalir sampai jauh, akhirnya ke laut..... Padahal, pemanfaatan energi air sudah dirintis nenek moyang atau endatu kita, antara lain untuk alat penumbuk padi, dan memindahkan air ke areal persawahan. Konon, pada abad ke-2 sebelum Masehi, di Jerman telah dibangun kincir air pertama dengan kapasitas 0,5 tenaga kuda (HP) yang digunakan mengolah hasil pertanian. Contoh-contoh ini memperlihatkan bahwa pemanfaatan energi air bukanlah teknologi yang sangat rumit, dan tidak perlu harus menunggu ahli dari negara lain. Universitas Syiah Kuala sudah memiliki Fakultas Teknik Elektro, di lembaga ini tersedia sumberdaya manusia yang berlebih. Kemudian, di pasar lokal sudah tersedia dinamo, kabel, bahan logam dan alat las yang bisa digunakan untuk membuat kincir air yang lebih tahan lama. Lalu, mengapa potensi-potensi itu belum dimanfaatkan? Sangatlah wajar apabila Prof. Otto Soemarwoto (1991:318) juga mempertanyakannya, ”Perkembangan pemanfaatan energi di Eropa yang telah dimulai sangat awal, menimbulkan pertanyaan mengapa di Indonesia tidak terjadi perkembangan serupa. Curah hujan di Indonesia sangat tinggi dan topografinya bergunung, sehingga potensi energi air sangatlah besar.” Memang, semua sangat menyadari bahwa pemanfaatan energi air melalui sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) memerlukan biaya sangat besar, serta memerlukan pakar di bidangnya.

Syukur alhamdulillah, JBIC telah bersedia mendanai pembangunan PLTA Peusangan 1 dan 2 di Kabupaten Aceh Tengah yang diperkirakan akan operasional tahun 2014 dengan kapasitas 86 MW. Energi yang dihasilkan PLTA ini, menurut Zulkifli Manajer PT PLN Aceh, akan mampu menyuplai listrik ke seluruh Aceh. Sementara Gubernur Irwandi Yusuf (Kantor Berita Antara, 29/3/2010) menyatakan bahwa dua generator PLTG Arun akan beroperasi dalam tahun ini. Walupun pembangkit listrik itu menjanjikan harapan masa depan kelistrikan Aceh, mengapa tidak, pemerintah Aceh bersama konsorsium kabupaten/kota juga perlu mengambil peran mendirikan Perusahaan Listrik Aceh (PLA). Sebuah perusahaan daerah yang berperan membangun dan mengoperasionalkan PLTA, atau Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di seluruh wilayah Aceh. PLA yang dibantu lulusan Fakultas Teknik Elektro Unsyiah, dengan teknologi biasa dan biaya yang lebih murah, dapat membangun kincir-kincir sederhana untuk masyarakat atau kebutuhan budidaya pertanian, perkebunan, dan reboisasi. Di samping itu, energi listrik dari PLTA danPLTMHtersebutdapatdijualkepadaPLN, sehingga menjadi sebuah sumber pendapatan daerah yang berkelanjutan, baik untuk pendapatan pemerintah Aceh maupun kabupaten/kota sesuai besaran saham yang dimiliki.Soalnya,investasimembangunPLTA atauPLTMHmemilikiprospekdankeuntungan yang lebih realistis daripada investasi di sektor lain. Selain itu, pembangkit listrik yang menggunakan tenaga air ini sangat ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu sisa pembakaran bahan bakar fosil, juga tidak mengubah ekosistim secara total sehingga sejalan dengan visi Aceh Green. Bukankah akhirnya akan menjadi sebuah terobosan pemerintah Aceh di bidang energi? Dalam QS 94:5-6 Allah SWT telah mengingatkan kita: ...karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan; sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.... Dalam surat ke-94 (Surat Alam Nasyrah) ini, Allah SWT mengulang dua kali kalimat ”sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” Bukankah menandakan kalimat ini begitu penting bagi kita untuk mencapai kemudahan dan keluar dari kesulitan? Dan, dengan sebuah logika sederhana, bahwa kemudahan akan tercapai jika kita mau belajar dari kesulitan. Kemudahan tidak akan datang begitu saja tanpa menemukan sumber kesulitan, dan merumuskan solusinya. Berdasarkan uraian di atas, paling kurang ditemukan salah satu sumber kesulitan yaitu terbatasnya energi listrik yang mampu dipasok oleh PLN. Ilmu pengetahuan menyatakan bahwa energi listrik antara lain dapat diperoleh dengan memanfaatkan aliran air. Solusinya: di kawasan pedalaman Aceh sangat banyak sumberdaya air yang dapat digunakan membangkitkan energi listrik. Kesimpulannya: Aceh sangat kaya akan potensi sumberdaya energi, hanya saja rahmat tersebut belum diubah menjadi nikmat! Penulis adalah Staf Ahli Ekonomi dan Keuangan Pemkab Aceh Tengah, tulisan ini merupakan makalah yang disampaikan pada Seminar Energi Rakorwil Forum Ukhuwah Lembaga Dakwah Teknik (FULDT) di Unsyiah Darussalam, 29 April 2010

SBI,Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan Oleh M.Yusuf Hasibuan

iri pendidikan berkualitas adalah akses informasi elektronik yang mudah diperoleh serta perpustakaan yang lengkap untuk mendukung proses pembelajaran. Dengan ini guru dapat menyajikan informasi dari berbagai sumber pembelajaran untuk kemudian ditransfer kepada murid. Proses pembelajaran lebih banyak menggunakan perangkat teknologi sehingga murid lebih cepat mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan. Guru dalam hal ini bukan sebagai satu-satunya penyedia informasi namun hanya bertindak sebagai fasilitator. Buku yang dimiliki siswa pada setiap bidang studi lebih dari satu. Ini memungkinkan para guru maupun murid untuk memilih bahan pembelajaran yang paling tepat. (Stephen P.Heyneman, dikutip dari “Internartional Journal Economics of Education Review”, 2004) Bila ditilik keadaan pendidikan di Indonesia maka kategori pendidikan bermutu seperti yang disebutkan di atas masih jauh dari yang diharapkan. Pendidikan kita masih berada dalam kategori yang sangat memprihatinkan. Padahal harapannya sumber daya manusia Indonesia memiliki kemampuan yang setara dengan negara maju. Sekarang masih banyak sekolah di pedalaman yang memiliki buku-buku keluaran dua puluh tahun lalu. Guru masih sering menyalin buku di papan tulis untuk dihafal siswa.

Hasilnya timbul siswa penghafal tanpa mengetahui makna dari pengetahuan yang diajarkan. Sedangkan di beberapa kota besar justru pendidikan telah berada pada tahap berkualitas. Banyak siswa yang telah mengecam pendidikan dengan menggunakan berbagai metode pembelajaran. Termasuk di dalamnya kemudahan akses terhadap informasi. Buku pembelajaran selalu up to date dan guru memiliki banyak sumber informasi mengenai mata pelajaran yang diasuh. Selanjutnya pengajaran telah menggunakan bahasa asing semenjak pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan ketimpangan yang besar dalam pendidikan kita. Satu sisi berada dalam keadaan terbaik sedangkan pada sisi lainnya masih dalam kondisi memperihatinkan. SBI sebuah solusi Pemerintah kabupaten/kota menyelenggarakan paling sedikit satu SD, SMP, SMA, SMK bertaraf internasional dan/ atau memfasilitasi penyelenggaraan paling sedikit satu SD,SMP, SMA, SMK bertaraf internasional yang diselenggarakan masyarakat (Peraturan Pemerintah No.17 Tahun 2010 pasal 143 dan 146). PP No.17 tahun 2010 mendorong setiap kabupaten/kota yang ada di Indonesia untuk menyiapkan sekolah bertaraf internasional (SBI). Niatan baik dari pemerintah harus direspon dengan baik

oleh daerah bila ingin menjadikan pendidikan sebagai prioritas. Sebagaimana diketahui SBI memerlukan pendanaan yang sangat besar untuk menghasilkan mutu pendidikan berkualitas. Maka dari itu anggaran pendidikan sebanyak 20 persen dari APBN yang telah disahkan dapat dipergunakan untuk peningkatan mutu pendidikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Heyneman (2001) dalam jurnalnya berjudul The growing for international market for education good and service yang menyatakan bahwa untuk mencapai pendidikan berkualitas D (paling tinggi) diperlukan dana pendidikan 300 kali lipat dibandingkan negara miskin. Pendidikan berkualitas C harus mengeluarkan dana 30 kali lipat dibandingkan dengan negara miskin. Pendidikan berkualitas B harus mengeluarkan dana 3 kali lipat dibandingkan negara miskin. Sedangkan pendidikan berkualitas A ada pada negara miskin. Sayangnya sebagian besar siswa di dunia berada pada level A (paling rendah) dan B. sedangkan level D (Paling tinggi) hanya 6 persen dari total siswa di dunia di mana 2 persennya terdiri dari siswa yang domisilinya di Amerika Serikat. Agar Indonesia dapat mengejar ketinggalannya dalam bidang pendidikan maka perlu pembenahan dalam dunia pendidikan terkait kualitas dan pendanaan. Pemerintah pusat dengan adanya PP No.17 tahun 2010 telah siap untuk memberikan pendanaan pembentukan SBI. Pemerintah juga telah mengeluarkan standar nasional pendidikan (SNP) bagi sekolah yang melakukan aktifitasnya di Indonesia. Ada delapan standar yang harus dipenuhi agar diperoleh pendidikan

Mewaspadai...

membutuhkan lahan yang baru untuk perluasan pengembangan kemudian hari. Periodesasi gempa bagi penataan ruang gempa yaitu terdiri unit-unit dari kesatuan peta-peta kerentanan geologis tinggi yang wajib dimiliki setiap kota di Indonesia sebagai landasan yuridis dalam membangun penataan ruang kota yang baru. Sedangkan dalam penataan ruang lingkungan geologi yang wajib dimasukan

adalah membangun karakter bangunan dan infrastruktur kawasan tahan gempa untuk penempatan alat sistim peringatan dini dan kawasan non bangunan berwawasan ekologi yang berkelanjutan dengan memperhitungkan luas cakupan 30 persen dari luasan suatu kawasan hijau terbuka tiap kecamatan. Penataan kawasan lingkungan geologi tersebut ditetapkan sebagai daerah sempadan daerah aliran sungai

Sebagian besar siswa di dunia berada pada level A (paling rendah) dan B

C

(Lanjutan dari hal C6) geologinya saat ini adalah periodesasi gempa dan kemampuan daya dukung lingkungan untuk pengembangan strategis baru bagi kawasan kota yang telah mengalami penghancuran. Karena kota yang pernah mengalami penghancuran gempa tsunami masih

bermutu. Standar tersebut meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian. Untuk SBI ada tambahan standar pendidikan internasional yang dikeluarkan oleh negara-negara anggota OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) atau negara maju lain. Dengan mengacu pada standar pendidikan internasional harapannya pendidikan di Indonesia akan dapat setara dengan negara maju di masa mendatang.

dibuat kawasan RTBL, kawasan hijau untuk publik,kawasanevakuasibencanasertahutan konservasi atau reservoir air bersih, daerah green belt ataupun sebagai daerah hijau terbatas diwajibkan sebagai kawasan abadi dan zona hijau lahan pertanian abadi untuk sumber-sumber pangan berkelanjutan.

Peran perguruan tinggi Banyak masalah yang terjadi dalam pelaksanaan SBI di Indonesia. Saat ini pengawasan terhadap SBI masih sangat minim sekali. Maka dari itu perlu dilakukan pengawasan yang lebih ekstra supaya pendidikan sesuai dengan standar SNP dan OECD. Minimnya pengajar yang dapat berbahasa inggris masih menjadi kendala padahal salah satu ciri SBI adalah bahasa pengantarnya menggunakan bilingual. Universitas Negeri Medan (Unimed) sebagai tempat memproduksi pengajar di Sumut telah melakukan terobosan untuk mendukungpeningkatanmutuSBI.Berbagai terobosan dilakukan yang goal targetnya adalah untuk meningkatkan mutu pengajar termasuk salah satunya meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris mahasiswa. Selain itu Unimed juga telah membuka kelas internasional di Fakultas MIPA. Lulusan dari programinisalahsatunyaadalahmenyiapkan pendidik pada sekolah bertaraf internasional. Penulis adalah Dosen dan Staf Ahli Lembaga Penelitian Unimed

Penulis adalah Geolog, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.