Waspada, minggu 9 juni 2013

Page 13

Budaya

WASPADA Minggu 9 Juni 2013

B5

Menyoal Penilaian Dalam Sastra Oleh: Suyadi San

A

SPEK penilaian sangat penting dalam konteks untuk melihat sejauhmana seorang pembaca dapat memahami, menanggapi, dan memberi interpretasi terhadap sastra. Apabila seseorang telah sampai pada aspek ini, berarti ia sudah mencapai sesuatu tahap yang tinggi. Tidak lagi berada dalam kehidupan kesenian untuk mencari hiburan. Senibagigolonganpenghayat dan penilai ini sudah merupakan sebuah karya yang mempunyai kepribadian tersendiri. Seperti yang dipahami oleh golongan semiotik, setiap karya mempunyai tanda-tandapenilaiannyasendiri. Begitu juga para apresiator, golongan ini mulai melihat sebuah karya itu mempunyai kekuatan dan keistimewaan tersendiri. Karya sastra yang dibacanya sudah diyakini mempunyai keistimewaandanmemukaunya. Ia juga berhasrat untuk membuat suatu penilaian dan analisis mengapakaryaitumenjadiistimewa. Artinya, seseorang itu mulai mencari data, mengidentifikasi, dan membuktikannya dengan contoh dan kekuatan yang terdapat dalam karya. Pandanganpandangantidakhanyaberdasarkan kepada sifat-sifat keindahan, tetapi melihat makna dan aspirasi pengarangyangdapatditanggapi. Setidaknya, ada beberapa hal yang harus diselesaikan seorang penilai, yakni menyelidiki unsurunsur intrinsik lebih terperinci, mencari hakikat dan fungsi karya, menafsirkan apa yang terjelma dantersembunyisertamenyusun segerapikirandananalisisdengan sistematis. Tahap terakhir dalam bidang apresiasi ialah tingkat keberkesa-

nan dari penikmatan. Seseorang yang membaca karya sastra tentulah tidak sekadar bergembira atau terharu saat membacanya. Ada sesuatu yang terbawa-bawa seusai pembacaan. Jika sebuah karya itu tidak meninggalkan suatu kesan, itu tandanya kurang bermutu; malah ada teori yang menyatakan karya itu langsung tidak bermutu. Jadi, tugas seorang penilai ialah menentukan apakah aspekaspek atau unsur-unsur yang berkesan dari hasil penikmatan dan apresiasinya. Menjelaskan dengandetildanmengemukakan dengancontoh-contohmengapa suatu bagian dari karya sastra itu menusuk perasaan dan memberikansebuahlompatanpemikiran adalah menjadi tugas seorang penilai. Pada dasarnya, apresiasi adalah tahap yang lebih dasar dan awal,iasuatubentukpenikmatan, kemudian menimbulkan penghargaandanakhirnyasuatuanalisis terhadap karya yang kita nikmati itu. Dalam diri manusia, ada secara naluriah menghargai seni. Namun, ibarat sekuntum bunga, pemekarannya memerlukan siraman air dan pupuk. Begitulah daya apresiasi manusia perlu dibina, diasah dan dikembang-

kan. Apresiasi terhadap drama tidak akan tumbuh dengan sendirinya. Didikan dan bimbingan sangat diperlukan dan apresiasi itu sendiri perlu dipelihara dan ditumbuh-suburkan. Aspek penilaian yang lebih tinggi setelah apresiasi ialah kritik. Kritik sebenarnya tidak banyak berbeda dengan apresiasi. Apresiasi lebih kepada penikmatan danpenghargaanterhadapkarya. Sementara kritik ialah juga penikmatan, tetapi lebih diarahkan kepada penilaian untuk melihat kelemahan, kekuatan, dan artistiknyasebuahkarya. Apresiasi menerima karya sebagaimana adanya. Jika ia tidak menyenanginya,akanditinggalkanbegitusaja, tidak ada apresiasi bagi karya itu. Sedangkan di dalam kritik, ia akan tetap mengedepankan karya itu sampai kepada tingkat menghukum apakah karya itu bermutu atau tidak, bernilai atau berkurang. Kritik lebih cenderung kepadamelihatataumenganalisis nilai yang ada dalam karya. Seseorang itu selalu dibekali suatu sikap, kadang-kadang mempunyai berbagai pendekatan dan metodologi. Justru, adanya berbagai pendekatan dan metodologi ini menyebabkan timbulnya berbagai alirandanfalsafahkritik.Akhirnya, kita mendapatkan bahwa kritik ialahsebuahsains,yaituilmuyang dapat dialami dari sudut kebenaran. Kritik sastra mempunyai ukuran, kriteria, dan disiplin-disiplin tertentu, malah telah mengambilteoridariberbagaiilmusains sosial, seperti dari sejarah, sosiologi, psikologi, antropologi, politik, dan sebaginya untuk dijadikan dasar pendekatan kritikannya.

Dari suatu sudut, kritik dan apresiasi berhadapan objek yang sama yaitu karya seni. Namun yang membedakannya ialah bagaimana garapan dan kriteria yang digunakan, malah tujuan pun berbeda. Kritik lebih ingin melihat nilai-nilai karya, sedangkan apresiasi lebih menerima apa yang ada dalam karya. Kritik sastra haruslah didefinisikandanditerimasebagaisuatu usaha untuk menilai karya yang sedang dihadapinya dengan menggunakan sebuah atau berbagai pendekatan untuk menentukan mutu, kekurangan, dan kelemahannya. Tentu saja

dalam mengemukakan apa-apa tentang hasil penikmatannya, ia telah menjalani suatu proses penghayatan keindahan. Usaha seseorang, baik dalam melihat aspek keindahan atau estetik dan penilaian sastra, sesungguhnya banyak bergantung kepada kemampuan diri seseorang itu juga. Artinya, segala halnya terletak di tangan pribadi, dimanaseseorangitubisamenilai atau berkemampuan menilai sastra banyak bergantung kepada usaha dan dedikasinya. Pendekatan, kriteria, dan cara-caranya hanyalah semata-mata sebagai disiplin ilmu, tetapi yang mem-

praktikkannya adalah manusia. Sesungguhnya kemajuan dalam menilai sastra selalu dimenangkan oleh mereka yang bersungguh-sungguh dan berminat. Sesungguhnya,apresiasilebih kepada menghargai dan menikmati karya, sementara kritik coba memberi keputusan dan melihat keunggulan atau kegagalan serta penyebabnya. Menilai sastra memerlukan latihan, kesungguhan, di samping pengetahuan bagaimana cara-cara melakukannya. Nah! *Penulis adalah staf teknis Balai Bahasa Sumatera Utara dan dosen Bahtrasia FKIP UMSU

Dari Mahendra Sampai Sangmajadi Oleh: Hasan Al Banna LOMBA menulis cerpen termasuk dalam rangkaian “Festival dan Lomba Siswa Nasional(FLS2N)TingkatSekolah Menengah Pertama se-Sumatera Utara” di Hotel Horison Berastagi, 26-29 Mei 2013. Sebanyak 24 pelajar tingkat SMP sederajat utusan kota/kabupaten di Sumut langsung‘menuangkan’idekreatif masing-masing di hadapan dewan juri. Syahdan, sejumlah kisah penting lahir dari proses FLS2N cabang lomba menulis cerpen. Mulaidaribagaimanakebahagiaan peserta mengikuti sesi pelatihan (workshop), tekun pada sesi lomba, sampaikepadakepolosan mereka dalam sesi tanya jawab, terlebih ketika para peserta menunjukkan kedewasaan menerima hasil lomba di penghujung kegiatan. Cerita punya cerita, menjadi tugas berat untuk mendudukkan keyakinan, baik kepada peserta maupun para guru pendamping, bahwa kegiatan lomba tidak semata urusan kalah-menang. Sesungguhnya, FLS2N digelar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara,

selain memberikan ruang bagi kreativitas dan potensi siswa SMP di bidang seni dan sastra, juga mengasah kepekaan hati dan nurani yang pada akhirnya akan memperhalus budi pekerti dan tingkah lakunya. Dalam perjalanannya yang ideal, atmosfer lomba/festival bukan cuma bersinggungan dengan persaingan, tetapi juga bersentuhan dengan persoalan bagaimana itu saling mengenal, bersahabat dan berbagi. Inilah salah satu alasan mengapa sesi pelatihan dibutuhkan, paling tidak, sejauh ini, dalam kegiatan FLS2N. Sesi tersebut, selain sebagai upaya perluasan ilmu pengetahuan dan wawasan peserta, juga untuk membantu mereka menemukan sekaligus membentuk kepercayaan diri. Berkaitan dengan kepentingan lomba, sesi pelatihan menjadi tokar ukur lunak dewan juri dalammeneropongkemampuan murni para peserta dalam menulis cerpen. Oleh karena itu, penulis yang termasuk dalam deretan dewan juri (bersama M Raudah Jambak dan Intan Hs) berupaya memfaedahkan sesi

pelatihan tersebut semaksimal mungkin. Begitulah. Dalam fase pelatihan, dengan cara sedemikian rupa, para peserta tak sadar sedang memamerkan kemampuan terasli dari diri masingmasing dalam hal keberanian, keuletan, ketangkasan dan yang terpenting, mau tak mau, menunjukkan sikap terus terang. Bagaimana misalnya, seorang pesertamengakusenangmenulis cerpen, tetapi tidak pernah membaca cerpen. Bukankah pengakuan tersebut member indikasi bahwa ia sebenarnya sedang berterus terang tentang ketidaksi(g)apannya mengikuti lomba? Hampir mustahil sempurna ilmunya dalam menulis cerpen kalau sekeping cerpen pun tak perna ia baca. Atau ambil contoh lain, sejumlah peserta mengaku kalau bahasa Indonesia adalah mata pelajaran terfavorit. Pengakuan tersebut sedikit goyah ketika nilai bahasa Indonesia mereka beberapa tangga di bawah nilai mata pelajaran lain. Memang, tolak ukur yang demikian belum patut untuk dikatakan valid, tetapi layak untuk dititipi tanda tanya. Baiklah, untuk menyem-

purnakan lengkung tanda tanya di atas, sesi tanya jawab telah ‘menghadiahi’ data penting bagi kami dewan juri, bahwa betapa prosespencarian‘cerpenisremaja’ di bangku pendidikan masih kerap dilanda masalah. Hampir duapertiga peserta mengaku ditunjuk pihak sekolah mengikuti lomba karena sudah mendapat ‘stempel’ sebagai siswa pintar pengemban juara 1 di kelas. Padahal,juarakelasbukansebuah kepastian bagi seorang siswa menjadi ahli seluruh keterampilan, termasuk keterampilan berbahasa—menulis cerpen. ApayangdibeberkanMahendra Syahroni Berutu (peserta asal SMPN1Sidikalang,Dairi)tentang ‘kreativitas’gurunya,pantasditiru. Tiurmaida ST Manik SPd, guru pembimbing Mahendra, melakukanlombaminidiinternal sekolah untuk mengidentifikasi siswayangmemilikikemampuan keterampilanmenulis,khususnya cerpen. Nah, pemenang lomba mini inilah yang diusung mengikuti lomba tingkat kabupaten. Sesungguhnya, proses seperti ini paling ideal dan patut ditunaikan para pendidik di daerah lain. Rupanya Ibu Tiurmaida sudah memiliki pemahaman

masif, bahwa tidak semua keterampilan dapat dibebankan kepada juara kelas. Buktinya, Mahendra, jagoan menulis cerpen dari SMPN 1 Sidikalang sekaligus jagoan kabupaten Dairi cuma ditenggeri peringkat 14 di dalamkelas.MengapaMahendra tidakmunculmenjadipemenang di tingkat provinsi, adalah persoalan lain. Meski senasib dengan Mahendra dalam ukuran hasil di tingkat provinsi, Siska Malia Irani Panjaitan tergolong peserta yang melewatitahapanyangideal.Betul Siska tidak berangkat lomba melalui seleksi kabupaten, tetapi bagaimana coba seorang siswa yang di kelas hanya peringkat 13 ditunjuk mewakili sekolah sekaligus kabupaten? Usut punya usut, kemampuan Siska menulis cerpen diketahui melalui acara pensi yang digelar sekolahnya, SMPN 3 Pulau Rakyat, Asahan. Siska menjadi bukti lagi bahwa keterampilan seseorang tidak serta-merta dapat dihubungkan dengan hasil pemeringkatan kepintaran dalam kelas. Bukti yang paling menonojol adalah Pebri, lengkapnya Pebri Sangmajadi Sinaga. Pebri yang terpilih sebagai pemenang lomba

cerpen kemarin, tidak datang dari deretan orang nomor satu di kelas. Kalau tak silap, Pebri duduk di peringkat 15. Toh, Pebri yang sekolah di SMPN 3Tarutung dan mewakili kabupaten Tapanuli Utara berhasil menyisihkan teman-teman peserta yang lain, termasuk Fathan Aulia Rahman dari SMPS Dharma Putra P Brandan-Langkat (juara 2) dan Ade Novira Aswani dari SMPN 2 Tanjungbalai (juara 3). Sesungguhnya,hakikatlomba adu terampil lebih kepada bagaimana ia mampu menjadi jalan mulus bagi siswa-siswa yang terampil bidang-bidang tertentu, yangbelumtentukhatamolehsiswa pintar(baca:juarakelas)sekalipun. Kalaulahtahapanseleksicalon peserta lomba dilakukan dengan benar mulai sejak pangkal (sejak darikelas/sekolah),bukandengan sembarang mengarahkan telunjuk, maka hasil ideal makin dekat untuk dicapai. Bukan jatuh pada persoalan menang-kalah ya, tetapi bagaimana seluruh perangkat pendidikan memahami betapa sebuah proses jauh dari kata pantas jika dilakukan secara instan dan seenak perut. *Penulis adalah sastrawan dan staf Balai Bahasa Sumatera Utara

Di Balik Ulos Sastra Merindu Oleh: Mihar Harahap PEMBERIAN ulos kepada Abdul Latif, Damiri Mahmud, dan A.Rahim Qahhar oleh Rektor Universitas Muslim Nusantara (UMN) di Medan, baru-baru ini, barangkali bukan latah-latahan, melainkan untuk menghormati sastrawannya, Gabungan Penulis Nasional (Gapena) Malaysia dan Kordinator Sastra Sumut (Kosas) sebagai pendiri dan pelaksana Dialog Utara (DU). Dialoginisemulamerupakan pertemuan sastrawan MedanP. Pinang (sister city) yang mendialogkansastradanmenerbitkan antologipuisidancerpen.Perkembangan selanjutnya, DU (sekali 2 tahun antar negara) itu diperluas, baik pelaksana, tempat, peserta, maupunbidangyangdidialogkan. Pelaksana, bila di Malaysia tetap Gapena dengan panitia lokal, sedang di Indonesia setelah Kosasvakum,makadilaksanakan

Ali Hasjmi, LK Ara, Shafwan Hadi Umri,majeliskebudayaan,dewan kesenian dan perguruan tinggi. Tempat, Indonesia di Sumut (baru Padangsidempuan, pernah di Aceh), Thailand, sedangkan Malaysia di Utara Semenanjung (Ipoh, Kedah, Perlis, Perak). Peserta, selain sastrawan tiga negara, kebanyakan budayawan, agamawan, dosen, guru besar. Bidang dialog selain sastra, tetapi lebih dominan tentang budaya, agama dan pemuda. Dampak perluasan ini, bisa dipandang positif bisa negatif. Positifnya, DU makinramaipeminat,makinluas topik pembicaraan dan makin dinamis suasananya. Ibarat pepatah, jauh berjalan banyak dilihat (tidak Medan-P Penang saja). Negatifnya, eksistensi sastrawan mulai tergusur bahkan antologi puisi dan cerpen kedua negara tidak ada lagi.

Kini, DU sudah berusia 32 tahun(1981-2013)meskipunbaru 13 kali bertemu, seharusnya sudah 17 kali. Dari 13 kali itu, hanya 2 di Indonesia 3 di Malaysia yang dilaksanakan/diikuti Kosas dengan ketua Lazuardi Anwar. Lalu, 1 kali di Aceh walau sudah ke luar Sumut (dikira Malaysia daerah Aceh termasuk Sumut). Selebihnya (7 kali bertemu di Indonesia-Thailand-Malaysia) telah dilaksanakan Gapena dengan panitia lokalnya serta Shafwan Hadi Umri dengan Dewan Kesenian Sumatera Utara-nya. Mengapa terjadi pertukaran tangan dari Lazuardi Anwar ke Ali Hasjmi, dan Shafwan hingga sekarang ini dan tak pernah kembali ke Lazuardi sampai ia wafat? Dugaannya, Lazuardi membekot Ismail Husein yang merekom DU ke Aceh, Ismail ingin rujuk tetapi Lazuardi menjauh, ada rekom Ismail pada Shafwan, juga desakan peserta Malaysia agar DU tidak di Medan

saja, sastrawan ketiga negara mulai tergusur oleh budayawan, perguruan tinggi, dan pelancong, serta antologi puisi dan cerpen tidak terbit. Akibat, Gapena yang berhasil mainmatadenganAliHasjmidan Shafwan di satu pihak serta Kosas di pihak lain, terjadi pembekuan hubungan. Ismail (Gapena) yang berinisiatif melebur kebekuan dengan Lazuardi (Kosas) tak berhasil. Pembekuan hubungan ini juga merembet kepada orangperorang, misalnya kepada sastrawan yang masih hidup sekarang ini. Namun DU tetap berjalan di bawah komando Ismail Husein/Abdul Latif (Gapena) dan Shafwan (DKSU) hingga DU ke-13 tahun 2013. Wacanadananalisainiadalah cerita lama. Tetapi pemberian uloskepadaDamiriMahmuddan A Rahim Qahhar (pendiri Kosas yang masih hidup) kemarin adalah cerita baru. Mengapa? Hal ini berarti sedang berlangsung

pencairan kebekuan dengan tokoh sentral, Shafwan Hadi Umri. Sebenarnya, usaha pencairan ini sudah dimulai kawankawan dalam Omong-Omong Sastra (Omsas). Puncaknya di UMN, tak diduga, ketika itu tumpah air mata persahabatan karena begitu lamanya bertikai, eh membeku. Itulah sebabnya, kita melihat pemberian ulos bukan sembarangan, melainkan sebagai lambang perdamaian.Terkadang sastrawan tidak bisa membedakan yang mana sikap pribadi dan yang mana sikap sastrawan dan sastrawan yang selama ini meneriakkan perdamaian dan persahabatan, ternyata cuma dalam karya saja. Sudahlah, yang lalu biarkan lalu. Cerita baru harus dimulai. Dasarnya, kembali ke khittah DU (isi MoU yang ditandatangani Ismail Husein-Lazuardi Anwar), keinginan Gapena mempertahankan DU, DU memiliki nilai

historis dalam peta sastra Sumut, keterbukaan Shafwan (tak perlu sembunyi)terhadappelaksanaan DU, dan kelapangan hati Damiri dan Rahim. Kalau dasar cerita baru ini dapat dipahami dengan baik, maka tujuan DU ke depan dapatdiupayakansecarabersama dengan penuh tanggungjawab. Ada yang perlu kita perhatikan sehubungan dengan DU ke depan ini. Bahwa perlu ditumbuhkembangkan sastra kabupaten/kotadiSumut(sebagaimana sastrawan negeri di belahan utaratanahsemenanjungMelayu) untuk meramaikan peta sastra negara (Indonesia-Malaysia). Karena itu, biarkan sastrawan daerahyangberjumpa,berbicara, berkarya dalam wadah DU. Kalaupun turut serta sastrawan Jakarta-Kuala Lumpur, guru besar, profesi lain dalam DU, biarlah sebagai pemerhati yang baik dan bijaksana. *Penulis adalah Kritikus Sastra Sumut dan Dekan FKIP-UISU Medan

Catatan Budaya

Pancasilaku, Oh... Oleh: S Satya Dharma BELUM lama Presiden SBY mendapat World Statement Award dari Appeal of Conscience Foundation (ACF) yang berkedudukan di AS karena ia dianggap berhasil memelihara kedamaian dan kerukunan antarumat beragama. Di dalam negeri, protes pun bermunculan. Yang paling keras muncul dari Romo Frans Magnis Soeseno. Di tengah semakin terdiskriminasikannya kaum minoritas di republik ini, menurut Romo Frans, SBY sesungguhnya tak melakukan apa-apa. Polemik ini membawaku pada kenyataan betapa semakin tahun, semakin sulit menumbuhkan kesadaran akan realitas keberagaman di negeri ini. Sukar sekali meyakinkan masyarakat bahkan para elite bangsa ini bahwa Indonesia adalah bangsa yang plural, dan karenanya setiap orang dituntut untuk tidak menjadi eksklusif di tengah kehidupan berbangsa yang multicultural ini. Keadaan ini memperlihatkan betapa penghargaan yang diterima SBY itu tak berarti apa-apa bagi bangsa ini. Faktanya, sampai hari ini kita tetap saja sulit untuk mengajarkan pada warga bangsa ini untuk tidak hanya berpikir mengenai hak-hak dan kepentingan diri, kelompok, partainya sendiri, tapi juga untuk berpikir mengenai hak-hak dan kepentingan orang lain, partai lain dan kelompok masyarakat lainnya. Polemik tentang penyanyi pemuja setan, Lady Gaga yang batal pamer aurat di Indonesia, atau poelaksanaan pemilihan Miss World, adalah contohnya. Berapa banyak elite bangsa, tokoh masyarakat dan bahkan mereka yang mengaku budayawan, pendukung HAM, pecinta demokrasi, dan penggiat kebebasan bereskpresi yang“marah” atas situasi itu. Sebaliknya, berapa banyak pula dari mereka tetap ngotot agar acaraacara seperti itu tidak diselenggarakan di negeri ini. Terus terang saja, banyaknya kasus gesekan sosial, konflik antarumat beragama dan tawuran antarwarga di republik ini, telah membuktikan bahwa kerukunan hidup berbangsa di negeri ini masih berupa kerukunan semu dan verbalistik belaka. Kerukunan yang berlangsung dan dibangun atas dasar kepentingan semata.

Musyawarah mufakat sebagai budaya luhur Pancasila, tak laku lagi karena voting telah menjadi “agama” baru para elite di republik Indonesia yang anehnya tetap saja mengaku Pancasila sebagai dasar negaranya

Selama kepentingan diri dan kelompok tak terganggu, selama itu bolehlah kita hidup rukun. Tapi jika kepentingan itu terganggu, maka tak adalah lagi artinya Pancasila, Persatuan Indonesia, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, bahkan Musyawarah Mufakat. Sebab tawuran telah jadi solusi atas semua silang sengketa di negeri ini. Bahkan tak hanya di masyarakat, di DPR pun tawuran itu telah menjadi budaya baru di Republik Pancasilais ini. Setiap orang siap adu otot, adu kuat, asah pedang, golok, dan anak panah. Musyawarah mufakat sebagai budaya luhur Pancasila, tak laku lagi karena voting telah menjadi “agama” baru para elite di republik Indonesia yang anehnya tetap saja mengaku Pancasila sebagai dasar negaranya. Dalam realitas kehidupan masyarakat Indonesia yang pluralis, kerukunan seharusnya dibangun bukan hanya berdasarkan prinsip tidak saling mengganggu (peaceful coexistence) yang lebih bernuansa kepasifan. Melainkan harus mewujud pada suatu bentuk kerukunan yang aktif dalam berbagai aksi nyata berupa bekerja dan berkarya bersama sebagai sesama makhlukTuhan, dan sebagai saudara sebangsa dan senegara. Interaksi kepentingan dan hak masing-masing warga negara harus dijadikan landasan utama dalam membangun kerjasama yang memiliki dampak positif bagi kehidupan warga negara secara keseluruhan. Tapi kesadaran itu justru tak pernah bisa ditumbuhkan. Padahal di dalam masyarakat madani yang dicirikan dengan sehatnya hubungan sosial itulah para elite bangsa seperti tokoh agama, politisi, pejabat pemerintahan, akademisi, seniman, budayawan, wartawan, mengambil peran pentingnya masingmasing. Hanya saja, untuk dapat memainkan peran tersebut, ada satu prinsip yang harus dipegang teguh oleh para elite itu, yakni independensi. Para tokoh itu harus menempatkan dirinya pada posisi sebagai negarawan yang tidak boleh berpihak apalagi partisan. Menumbuhkan sikap kenegarawan ini penting sebab, sebagai bangsa yang plural, kita tidak boleh lagi mengulang kesalahan-kesalahan sebagaimana yang terjadi di masa lalu. Di mana agamawan, akademisi, seniman, budayawan dan bahkan wartawan dikooptasi oleh penguasa dan mendapat capsebagaikakitanganataucorongpenguasa.DemiPancasilaku, camkanlah ini! *Penulis adalah Penyair

O USU Pentaskan Lakon DDD TEATER O USU kembali menggelar pertunjukan bertajuk komedi. Lakon Detekfif Danga-danga (DDD) Episode Negeri Para Bandit akan digelar dalam dua hari, Jumat 21 Juni 2013 pukul 16.00 WIB dan Sabtu 22 Juni 2013 pukul 20.00 WIB di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), Jl Perintis Kemerdekan Medan. Produser acara, Yulhasni didampingi Ketua Teater O USU Joko Syahputra, mengatakan pementasan ini bertujuan sebagai penggalangan dana untuk Aquilla, bocah penderita atresia billier (kelainan hati). “Kita berharap pementasan amal ini bisa membantu meringankan beban keluarga Aquilla,” ujar Yulhasni. Teater O USU yang didirikan pada 1991 ini merupakan satu-satunya grup teater kampus yang setia mengusung naskah komedi. Sebelumnya, lakon DDD dalam episode Anak Perawan di Sarang Mucikari sukses digelar di lima kota di Sumut. ‘’Kita ingin mengulang kesuksesan itu,” kata Yulhasni. Pementasan DDD merupakan produksi ke-117 Teater O USU. Kali ini Yusrianto Nasution bertindak selaku penulis naskah dan sutradara. Selain itu, pementasan ini juga merupakan kolaborasi aktor senior Teater O USU dan sejumlah anggota baru. Agus Mulia, Tri Utari, Nur Alfisyahri akan berkolaborasi dengan Indira, Ikhsan dan sejumlah nama lainnya. “Istimewanya, dalam pementasan kali ini juga akan tampil HM Affan, Wakil Ketua DPRD Sumut yang juga aktor senior Teater O USU,” jelasnya. “Segera pesan tiket karena panitia tidak menjual tiket di lokasi pementasan,” papar Yulhasni sambil mengatakan tiket dapat diperoleh di Sekretariat Teater O USU, Jl Universitas No 19 Medan dengan menghubungi 081265221781/ 085762238647. (m42)


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.