Waspada, Minggu 6 Juni 2010

Page 17

Kesehatan

WASPADA Minggu 6 Juni 2010

Perlunya Pendidikan Spesialisasi Kedokteran Adanya tanggapan bahwa pendidikan spesialisasi merusak ilmu kedokteran agaknya perlu sedikit diluruskan dengan melihat aspek-aspek yang ada di dalam ilmu kedokteran itu sendiri. Seperti yang ditampilkan dalam kolom opini pada salah satu edisi sebelumnya, bahwa pendapat ini datang dari seorang guru besar di sebuah universitas di Amerika Serikat, dimana tudingan bahwa spesialisasi akan membuat masyarakat kehilangan sosok dokter yang sesungguhnya, yang bisa mengatasi kondisi kesehatan pasien secara keseluruhan karena dokter spesialis cenderung hanya memahami kondisi pasien secara spesifik dari satu sudut pandang saja, agaknya kita harus kembali pada latarbelakang sistem tubuh manusia yang bekerja secara multifungsi dalam membangun kesehatannya secara keseluruhan. Rasanya terlalu sempit jika kita hanya memandang dari satu sistem saja sementara keluhan-keluhan adanya kesalahan diagnosis dan kurangnya informasi yang diterima pasien terhadap penyakit yang dideritanya sebenarnya menjadi bagian dari suatu kesalahan sistem yang sudah berjalan sejak lama, serta banyak sisi lain yang melatarbelakanginya lagi. Proses Pendidikan Dokter Setinggi-tingginya pendidikan dokter dalam mendalami spesialisasi bidangnya, proses tersebut tetap dimulai dari pemahaman sistem tubuh tadi secara keseluruhan termasuk pencernaan, peredaran darah, pernafasan, getah bening hingga proses pembuangannya. Dalam pendidikan yang dikenal sebagai pendidikan dasar untuk mendapatkan gelar dokter tadi, seluruh peserta pendidikannya

wajib memahami keseluruhan sistem ini tanpa sebuah spesialisasi khusus pada satu diantaranya. Kondisi sakit dan penyebabnya pun seringkali bukan hanya terletak di satu titik permasalahan saja, namun seperti sistem kerja tubuh yang multifungsi itu, ada juga multikausal dalam menimbulkan gangguan yang terjadi. Dalam memahami sistem itu, seorang dokter sebenarnya dituntut untuk bisa menelusuri semua keluhan pasien dan pemeriksaan bertahap yang diperlukan untuk mencari solusi penyembuhannya, dan ini juga menjadi bagian dari seni ilmu kedokteran sendiri, jadi bukan secara simpel hanya mengenal gejala dan memberi obat-obatan yang sudah tersedia untuk masing-masing gangguan gejala itu. Penelusuran terapi yang dilakukan jauh lebih kompleks daripada sekedar meng-hilangkan gejala atau secara simptomatis, namun sebenarnya lebih pada usaha untuk mengeliminasi akar penyebab penyakit itu sendiri. Dan atas penyebab multikausal tadi, ilmu kedokteran juga sekaligus membutuhkan adanya koordinasi dan kerjasama dari keahlian yang dimiliki masing-masing dokter, berdasarkan pengalaman di luar teori yang diperolehnya. Di luar beberapa survei yang digambarkan dalam opini tersebut, kurangnya pemahaman serta sistem informasi justru menjadi penyebab paling seringnya terjadi kesalahan demi kesalahan diagnosis akibat penelusuran yang akhirnya menjadi tak lagi signifikan. Mungkin masih terlalu jauh untuk membandingkannya dengan pendidikan kedokteran di beberapa negara maju yang sudah jauh lebih memiliki sarana dan prasarana sebagai persyaratan leng-

kapnya. Seringkali, di masyarakat kita, kesalahan pemahaman itu diakari dari sistem pendidikan yang masih serba kekurangan itu, misalnya saja, dalam kepemilikan rumahsakit pendidikan resmi pada beberapa universitas di luar universitas negeri, dimana peserta pendidikan kepaniteraan klinik (co-ass) akhirnya hanya menjadi pemirsa di poliklinik ketimbang langsung berperan sebagai lini utama penerimaan pasien. Hal ini sedikit banyak akan berimbas pada kurangnya pengalaman untuk ketrampilan dalam penelusuran bertahap keluhan dan gejala untuk menentukan suatu lini terapinya. Kemudian, kurangnya kerjasama entah karena malu bertanya, berdiskusi atau sistem update keilmuan serta kesadaran yang belum lagi bisa terbangun dengan sempurna masih berdiri di sisi lain penyebabnya, sementara pendidikan panjang selama kurang lebih enam tahun dengan kurikulum yang ada tersebut juga masih saja terasa kurang maksimal untuk membentuk suatu sosok dokter yang dikatakan sempurna dan bisa menangani setiap jenis penyakit yang ada, apalagi dengan perkembangan pola penyakit yang terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi. Keterbatasan-keterbatasan itulah yang akhirnya mendorong perlunya pendidikan spesialisasi dimana gelar dokter yang sudah diperoleh itu bisa lebih diperdalam lagi, karena apapun bidang spesialisasinya, teori-teori mendasar yang melatarbelakangi keseluruhan sistem tubuh tadi akan tetap muncul bersamaan dengan spesifikasinya masing-masing. Kesalahan-Kesalahan Yang Sering Ditemukan Kekurangan demi keku-

rangan itu akhirnya mengarah pada suatu solusi dimana seorang yang sudah memperoleh gelar dokter harus terus lagi mendalami bidang keilmuannya secara lebih spesifik, ketimbang begitu saja puas dan terjun untuk mengobati pasiennya dengan prosedur mati pemberian obat-obatan yang sudah tertentu fungsinya sekedar menghilangkan gejala. Sebuah penyakit pun bisa memiliki gambaran beragam yang memerlukan inovasi pemilihan terapi berdasarkan keluhan dan gejala yang dialami pasien. Yang justru sering terjadi, kebanyakan dokter umum kita, baik yang bertugas di puskesmas, rumahsakit atau berpraktik pribadi sering berperan sekedar seorang mantri atau bidan dalam pengobatan umum yang memiliki dasar pendidikan teoritis lebih terbatas, tanpa lagi memikirkan pemberian terapi atau peresepan medikasi secara rasional. Seakan sudah terpola, pasien juga sering mengeluh selalu mendapatkan obat yang itu ke itu saja, padahal dalam bentuk keluhan dan gejala yang dirasakan mereka berbeda. Lebih parah lagi, pem-berian obat-obatan ini sudah meluas pula pada pilihan obat-obat bebas atau pihak apotik yang menganjurkan obat tanpa pemeriksaan dokter, sementara pola penyakit dan interaksi obat-obatan serta riset-riset baru yang sudah tak lagi menganjurkan penggunaan terapi konvensional sudah berubah tanpa mereka ketahui, bahkan efek samping yang bisa berbahaya pada sebagian kasus seperti kebanyakan pelaku medis yang masih membabi-buta memberikan obat-obatan yang harus diberikan di bawah pengawasan seperti obat-obat steroid, tanpa ada pula edukasi bagi pasien yang bisa saja

mengulang terus-menerus penggunaan obat-obatan tadi tanpa konsultasi berikutnya. Sebagian riset terpisah dari yang dijabarkan pada opiniopini tadi justru menemukan bahwa dokter spesialis sering menerima kasus kesalahan diagnosis dan pemberian obat-obatan oleh dokter umum, secara disadari atau tidak. Keterbatasan pengetahuan dalam penelusuran itu sayangnya tidak ditengahi oleh kesadaran untuk me-re-fer pasien pada spesialisasi yang sudah ada, sementara di sisi lain opini tadi mungkin memang muncul karena sebagian pelaku spesialisasi tadi enggan untuk memperluas penelusurannya akan suatu penyakit, padahal mereka pada dasarnya sudah memiliki pengetahuan dasar untuk itu. Jadi agaknya problem yang ada adalah suatu kesinambungan sistem dalam menentukan terapi dan memberikan penatalaksanaan itu sendiri, yang akhirnya mengkotakkotakkan opini terhadap satu akan merusak yang lain. Seperti juga dokter umum, suatu bidang spesialisasi juga memiliki segudang keterbatasan berdasarkan sistem yang selama ini sudah berjalan berpuluh bahkan ratusan tahun. Untuk itulah terkadang diperlukan suatu kerjasama dalam proses penyembuhan pasien, dimana kesadaran dari pelaku medisnya sendiri mutlak diperlukan dalam sebuah tindak profesional yang semestinya. Mengubah sistem yang ada, termasuk regulasi, kurikulum, patokan kompetensi yang selama ini terus berubah mungkin akan memerlukan suatu proses panjang, namun para pelakunya bisa memulai dari diri mereka sendiri untuk memberikan pelayanan terbaik dan rasional dalam profesinya. (dr. Daniel Irawan)

Masalah Nyeri Yang Lama Pada Lansia Nyeri merupakan keluhan yang tertua yang dialami manusia karena telah ada sejak permulaan kehidupan manusia di dunia ini. Di satu sisi, perasaan nyeri merupakan upaya tubuh untuk dapat menghindar dari bahaya sekecil apapun, agar dapat bertahan hidup sampai akhirnya meninggal dunia. Akan tetapi, di sisi lain bahwa perasaan nyeri yang terus menerus dapat disebabkan berbagai penyakit misalnya kanker, luka berat dan lain-lain, dan manusia itu sendiri berusaha untuk menghilangkan rasa nyeri tersebut tetapi tidask semuanya berhasil dan timbul perasaan nyeri terus-menerus yang semakin lama semakin berat dan akhirnya meninggal. Pada lanjut usia (lansia) dalam Perjalan hidupnya tentu pernah merasakan nyeri baik seringan papaun sampai tingkatan yang berat. Perasaan nyeri ini, dari segi kualitas maupun kuantitas berbeda dari seorang lansi ke lansia lainnya, dan tergantung pada lokasi nyeri, waktu terjadinya nyeri, penyebabnya dan lainlain. Pada lansia, rasa nyeri ini sudah mulai kurang dirasakan karena kepekaan sarafnya juga telah mulai berkurang terhadap rasa nyeri, sehingga sering menyulitkan para dokter untuk menentukan penyakit dan terlambat memberikan penanangan pada lansia. Untuk itulah ras nyeri seringan apapun perlu diwaspadai pada lansia. Sejarah Nyeri Istilah nyeri atau pain berasal dari Bahasa Latin Poena yang berarti hukuman, karena pada Zaman primitif (sebelum Masehi) rasa nyeri diderita seorang dianggap sebagai hukuman dari Tuhan, sehingga pemujaan Tuhan merupakan pengobatan nyeri. Setelah itu, dengan perkembangan zaman, di daratan China dikenal istilah yin dan yang sebagai 2 kekuatan yang saling bertentangan yang berada dalam keadaan tidak seimbang yang menyebabkan rasa nyeri sehingga untuk berada dalam keadaan tidak seimbang yang menyebabkan rasa nyeri sehingga untuk mengatasi nyeri tersebut perlu diperolah keseimba-

ngan antara yin dan yang. Pada tahun 1959, Bucker seorang dokter bedah menemukan bahwa faktor emosional (kejiwaan) berperan di dalam menyebabkan nyeri. Mulai saat itu, intensitas dan kualitas nyeri tidak hanya ditentukan oleh besarnya rangasangan yang menimbulkan rasa nyeri, tetapi juga diperngaruhi oleh faktor emosional dan lingkungan. Pada tahun 1986 International Association for Study of Pain (IASP) menyepakati bahwa nyeri adalah perasaan yang tidak menyenangkan dan berhubungan dengan pengalaman emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan. Sampai pertengahan abad ke 20 , nyeri dianggap sebagai pertahanan tubuh atau gejala suatu penyakit, yang merupakan suatu tanda bahwa di dalam tubuh terdapat sesuatu yang salah,. Nyeri tersebut dapat disebut sebagai nyeri akut atau nyeri nosiseptif (nyeri akibat kerusakan jaringan ). Pada saat ini, nyeri bukan lagi dianggap sebagai pertahanan tubuh atau gejala penyakit, tetapi merupakan penyakit tersendiri. Hal ini semakin jelas dengan semakin meningkatnya pengetahuan tentang nyeri akibat saraf perasa (sensorik) dapat berubah sifatnya menjadi lebih sensitif lagi terhadap rangsangan nyeri atau terjadi ketidakseimbangan antara rangsang nyeri dengan reaksi tubuh terhadap rasa nyeri. Sebagai akibatnya, dalam keadaan yang tidak normal dapat terjadi rangsangan yang lemah seperti perabaan atau pijatan yang seharusnya tidak menimbulkan nyeri tetapi menimbulkan nyeri (Allodinia) dan ada pula rangsangan yang biasanya menimbulkan nyeri tetapi seseorang merasa sangat nyeri (hiperalgesia).

(nyeri yang berlangsung lama), yang dapat timbul karena kelainan fisik, jiwa maupun gabungan keduanya. Mengenai berapa lama diderita sehingga disebut nyeri kronik sampai saat ini belum ada kesepakatan diantara para ahli, karena sebahagian ahli menyatakan 3 bulan atau lebih, sedangkan yang lain memberi batasan 6 bulan atau lebih. Berdasarkan sifat nyerinya maka nyeri dapat berupa nyeri tajam (sharp pin) yang berupa perasaan menyengat, lokasinya jelas, rangsangan sangat cepat dijalarkan dan tidak terus menerus, biasanya terdapat di kulit, sedangkan nyeri tumpul (dull pain) biasanya didahului dengan nyeri tajam, lokasinya tidak jelas, penjalarannya lambat dan nyerinya bersifat terus menerus, dirasakan di kulit sampai jaringan yang lebih dalam.

Beberapa Jenis Nyeri Nyeri dapat berupa nyeri fisilogis (normal) akibat adanya kerusakan jaringan yang cenderung sembuh dan berlangsung selama kerusakan jaringan masih ada, sedangkan nyeri patologis (abnormal) tidak ditemukan kerusakan jaringan, dapat timbul dengan kelainan fisik yang ditemukan, yang disebut juga nyeri kronik

Masalah Khusus Pada Lansia Sekitar 25-50 % dari jumlah lansi yang tinggal di masyarakat menderita nyeri kronik, sedangkan yang tinggal di panti jompo sekitar 45-80%. Kejadian nyeri pada lansi sebesar 250 orang per 1000 penduduk, sedangkan pada usia di bawah 60 tahun hanya sebesar 125 per 1000 penduduk. Seba-

Penyebab Nyeri Sebahagian masyarakat bahkan tenaga kesehatan sering menganggap bahwa setiap nyeri yang dialami pasien selalu dapat diatasi dengan obat penghilang nyeri (analgesik), walaupun pada kenyataannya anggapan ini tidak selamanya benar, karena tergantung pada bagaimna terjadinya (patofisiologi) nyeri. Berdasarkan patofisiologis nyeri maka nyeri dapat berupa nyeri nosiseptif akibat kerusakan jaringan, nyeri neuropatik akibat gangguan saraf, nyeri campuran berupa gabungan dari beberapa penyebab nyeri atau nyeri yang penyebabnya tak dapat ditentukan serta nyeri psikologik/psikogenik yang disebabkan kelainan jiwa. Nyeri yang dapat diatasi dengan analgesik adalah nyeri nosiseptif, sedangkan untuk jenis nyeri lainnya tidak cukup hanya dengan pemberinan analgesik saja.

B7 TIPS SEHAT:

Pria IQ Rendah Rentan Bunuh Diri Penelitan terbaru mengungkapkan, rendahnya tingkat intelegensia (IQ) dikalangan pria muda terkait dengan kesehatan mental dan lebih beresiko melakukan tindak bunuh diri, dibanding rekan mereka yang lebih cerdas. Temuan tersebut dibuat berdasarkan analisa terhadap 1,1 juta pria Swedia. Meski tidak disebutkan kecerdasan rendah menyebabkan bunuh diri namun pada dasarnya berkaitan. Dalam penelitian tersebut Finn Rasmussen, dan timnya meneliti data pria yang lahir antara tahun 1950-1976. Para responden tersebut menjalani pemeriksaan fisik dan mental. Kemudian riwayat kesehatan mereka dipantau hingga 24 tahun kemudian. Diketahui 1,6 persen (sekitar 17.736 pria) mengaku mereka pernah dirawat di rumah sakit karena upaya bunuh diri. Setelah membandingkan dengan data status ekonomi para responden diketahui mereka yang IQ-nya rendah memiliki risiko 9 kali lebih tinggi untuk mengakhiri hidupnya sendiri, tim peneliti mengungkapkan hal ini di situs online BMJ. Sayangnya tidak disebutkan bagaimana pengaruh kecerdasan terhadap keinginan bunuh dari. Berbagai literatur menyebutkan olahraga yang dilakukan secara teratur efektif untuk mengatasi depresi. Depresi yang tidak tertangani bisa menimbulkan keinginan bunuh diri. (healthday/rzl)

Ngemil di Malam Hari Bisa Merusak Gigi

Hati-hati bagi Anda yang doyan ngemil di malam hari. Bukan saja bisa membuat tubuh melar tapi juga bisa merusak gigi. Berdasarkan penelitian mengosumsi makanan kecil di malam hari bisa berisiko merusak gigi lebih cepat. Penelitian baru menunjukkan bahwa orang yang makan di waktu malam adalah beresiko tinggi kehilangan gigi dari pada mereka yang tidak. Survei, yang meneliti catatan kesehatan mulut dari 2.217 masyarakat Denmark, dilakukan oleh peneliti di University of Copenhagen. 173 (delapan persen) dari mereka yang berpartisipasi digolongkan sebagai pemakan malam. Ini berarti mereka mengkonsumsi seperempat atau lebih dari kalori harian mereka setelah makan malam mereka atau akan bangun di malam hari hanya untuk ngemil setidaknya dua malam seminggu.

Setelah mempelajari karakter dari masing-masing peserta untuk jangka waktu enam tahun, para peneliti menemukan bahwa ngemil di malam hari bisa menyebabkan gigi mudah rusak akibat aktivitas mulut yang tak ada hentinya. Demikian seperti dikutip dari laman Femalefirst, Minggu 5 Juni 2010. Faktor-faktor lain yang dipertimbangkan untuk mengontrol penelitian adalah, diagnosis penyebab seperti diabetes, status merokok, kebiasaan pesta makan, umur, pendidikan, asupan karbohidrat dan masa tubuh semua dipertimbangkan. Meskipun dari varian ini ada beberapa hal penyebab kerusakan gigi, namun penelitian masih menunjukkan bahwa makan malam secara signifikan berbahaya bagi gigi. Chief Executive British Dental Health Foundation, Dr

Nigel Carter berkata: “Semakin banyak orang yang menyadari masalah makan malam dapat membahayakan gigi, penelitian ini juga akan mendorong orang untuk mengubah kebiasaan makan. Tidak makan pada malam hari, adalah cara yang cukup sederhana dan mudah untuk meningkatkan kesehatan mulut banyak orang,� ucapnya. Para peneliti dari penelitian ini menekankan bahwa mengunyah tengah malam adalah buruk untuk gigi karena ada sedikit air liur di dalam mulut pada malam hari. Dengan sedikit air liur asam dibentuk oleh bakteri dalam plak bersentuhan dengan makanan yang mengandung gula tetap berada dalam mulut dalam waktu yang lama dan karena itu menyebabkan kerusakan lebih. (Vnew)

Impotensi Perlu Pengobatan Tuntas

nyak 45 % lansia yang minum analgesik secara teratur telah mengunjungi lebih dari 3 dokter dalam 5 tahun terakhir dan 70 % dari dokter tersebut adalah dokter umum. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam penatalaksanaan nyeri pada lansia adalah berkurangnya rasa nyeri pada lansia sehingga penyakit-penyakit tertentu yang biasanya disertai nyeri pada orang dewasa ternyata pada lansia didapati nyeri yang ringan bahkan tanpa nyeri misalnya sebahagian lansia yang mengalami serangan jantung koroner dapat menderita nyeri dada atau tanpa nyeri sehingga menyulitkan bagi dokter untuk mengetahui penyakitnya dan oleh karena itu terlambat menanganinya. Selain

daripada itu, berbagai kelainan jiwa dan saraf sering menyertai nyeri pada lansia, sehingga dapat menyulitkan dokter di dalam menilai nyeri, juga efek samping obat analgesik sering terjadi pada lansia. Nyeri sangat dipengaruhi oleh emosi pasien yang bukan saja akibat dari perasaan nyeri tetapi merupakan komponen dari nyeri. Dengan demikian, pengenalan komponen nyeri sangat penting di dalam penanganan nyeri. Selain daripada itu, perlu pula mengetahui jenis nyerinya . (dr Pirma Siburian Sp PD, K Ger, spesialis penyakit dalam dan penyakit lansia, dokter pada klinik lansia Klinik Spesialis Bunda dan RS Permata Bunda Medan )

Penyakit impotensi dalam istilah umumnya lemah syahwat merupakan salah satu bagian dari disfungsi ereksi. Penyakit ini benar-benar merupakan keadaan yang amat menyedihkan bagi pria yang mengalaminya. Apalagi di waktu umur muda. Sebab dengan menderita penyakit ini, seorang pria otomatis tidak akan bisa melakukan aktivitas seksnya secara wajar. Sedangkan ciri dari penyakit ini di antaranya tidak memiliki daya tahan yang cukup kuat saat kritis atau terkadang penisnya tidak dapat mengeras saat berhubungan intim dengan istri. Faktor inilah yang kadang dianggap sepele bagi kaum pria. Maka imbasnya tidak sedikit istri atau wanita yang uring-uringan dan menuntut perceraian atau mencari kepuasan dan jika ini terjadi maka rumah tangga yang dibina berdasarkan cinta bakal berantakan. Maka untuk menghindari itu terjadi, disarankan anda cepat berobat karena masalah impotensi adalah masalah besar dan perlu pengobatan tuntas. Pengobatan tradisional M Suherdi yang berada di Jalan Sisingamangaraja (masuk Jalan Utama No 18 Medan) HP 081263887999. Pilihan yang tepat bagi anda yang ingin menuntaskan agar tidak bingung menuntas-

kan masalah impotensi anda. Saat ini ada satu pengobatan yang sudah berpengalaman puluhan tahun dijalani M Suherdi menuntaskan penyakit lemah syahwat anda. Pengobatan ini ditangani secara khusus oleh M Suherdi dengan memberikan ramuan dari Banten kemudian dikusuk serta membawa pulang ramuannya. Untuk masalah penyembuhan tergantung tingkat keluhannya.

Suherdi menuturkan, pengobatan yang dilakukan hanya menggunakan ramuan tradisional yang berasal dari bahan alami dan diracik secara khusus agar pasien dapat merasakan setelah meminum obat yang disuguhkan. Pengobatan di bidang gangguan seksualitas khusus pria ini tidak hanya menangani penderita impotensi, tetapi juga bagi pria yang sehat guna lebih meningkatkan keperkasaan. (rel)


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.