Waspada, Minggu 17 April 2011

Page 18

Budaya

B10

WASPADA

Minggu 17 April 2011

Sanggar Getar Sumut Sambut Ramadhan

Siapkan Pagelaran Drama Syair “Maulidun Nabi”

Waspada/Dedi Riono Anak-anak Sanggar Getar meluapkan kegembiraan usai latihan drama syair “Maulidun Nabi” gubahan seniman/budayawan Sugeng Satya Dharma yang disutradarai Adi Mujabir.

Ide Cerpen, Imajinasi Tanpa Realitas Oleh: Yulhasni PERNAHKAH kita bertanya kepada para pembuat cerita pendek, darimana mereka mendapat ide untuk sebuah kisah yang menarik? Dalam buku kumpulan cerpen Parmin karya Jujur Prananto, penulis menyebutkan bahwa ide cerpennya banyak berasal dari fakta yang dilihat. Dalam buku itu misalnya, Jujur Prananto menceritakan soal lahirnya cerpen berjudul Dua Pemerkosa. Disebutkan, cerpen itu lahir dari bacaannya tentang ketidakadilan yang dialami oleh korban perkosaan. Pelaku pemerkosaan sering bebas hanya karena hukum tak mampu menyentuhnya. Makanya, menurut Jujur dalam cerpen itu, hukuman yang paling pantas bagi pemerkosa adalah diperkosa! Putu Wijaya bahkan sama sekali hanya mengandalkan insting saat membuat cerita pendek. Ia sama sekali tidak memiliki bahan apapun. Ide itu mengalir saat ia berada di depan komputer atau mesin tik. Itulah yang terekam dalam cerpennya berjudul Bom. Gola Gong yang membuat kelompok Rumah Dunia mengatakan kesulitan seorang pengarang adalah menemukan ide dan menuliskannya. Kata Gola Gong, janganlah duduk di tempat komputer dengankepalakosong, karena itu hanya akan membuang-buang waktu saja. Ketika hendak menulis, persiapkanlah dulu semuanya. Bahan-bahannya; sinopsisnya. Syukur-syukur jika sanggup secara detail; alur cerita, konflik, latar tempat, dan karakter para tokoh. Mungkin berbagai bentuk teknik dari pengarang, tentu saja menjadikan seorang pemula dalam menulis cerita pendek tinggal memilih kiat yang mana palingmemungkinkandijalankan. Dalam dua aspek pemilihan ide, saya cenderung mengatakan

bahwa ide dari fakta (baca : realitas) memungkinkan kekuatan cerita akan lebih mendalam. Mengapa? Sejak lama memang sastra Indonesiaterlibatdalamdikotomi antara realitas dan imajinasi. Realitas selalu dipandang sebagai gambaran atas apa yang selalu dipahami Aristoteles dan Plato sebagai dunia tiruan (mimesis). Pengarang menerjemahkan pengamatan untuk kemudian menuangkan dalam bentuk gagasan. Tiruan seperti ini tidak hanya sebatas gambaran simbolisasi dalam puisi, melainkan dimaknai dalam arti luas sebagai realitas masuk ke ranah sastra (baca : cerpen). Itulah sebabnya mengapa kemudian karya Seno Gumirad Adjidarma tentang Saksi Mata dipahami sebagai realitas politik Timur-Timor dalam cerita pendek. Hal serupa juga berlaku, misalnya, pada puisi-puisi Wiji Thukul yang menuangkan keprihatinan buruh dalam sajak-sajak pemberontakannya. Penyair yang nasibnya sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya akibat gerakan pembersihan ala Orde Baru itu menerjemahkan realitas tanpa simbolisasi berlebihan. Realitas bukan pula hanya dibatasi sebagai varian politik keberpihakan. Jika kemudian ini muncul dalam khazanah sastra, tentusajakonsepLekra(Lembaga Kebudayaan Rakyat) tentang sastra bisa kita pahami sebagai sesuatu yang sah. Lembaga yang berafiliasi ke PKI pada masa

demokrasi terpimpin ini dalam literatur sejarah sastra dinilai telah menciderai makna kebebasan berkarya, meskipun kemudian mereka membantahnya. Realitas harusdipahamidengankacamata keinginan menuangkan pengamatan di sekitar ke bentuk karya seperti halnya cerita pendek. Cerita pendek memang hanyalahgagasansingkatpengarang tentang berbagai hal yang ia tulis. Akan tetapi, cerita pendek yang menekankan dan menjunjung tinggi imajinasi tanpa realitas dikuatirkan melahirkan kesombongan dan kecongkakan pengarang. Konsep bahwa arti sebenarnya dalam puisi hanyalah diketahui oleh pengarangnya, tentu saja telah mendudukkan karya sastra

san singkat dalam hitungan 50007000 kata yang kemudian untuk itu dibenarkan realitas dihilangkan. Struktur yang membangun cerpen tetaplah tidak mengabaikanamanatsebagaikekuatan besar yang dipandang pembaca. Amanat itu semestinya tetap dalam kerangka menuangkan ide dari realitas. Pengarang dengan sendirinya akan ke luar dari kungkungan yang selalu menghantui, yakni tidak mampunya cerpen jadi genre sastra yang diperbincangkan. Barangkali lahirnya novel teenlit, novel bernuansa Islami serta novel bertema ajaran pendidikan seperti Laskar Pelangi nya Andrea Hirata dan lain-lain tersebut merupakan bentuk lain dari pengarang untuk mampu

Cerpen bukan sebatas gagasan singkat dalam hitungan 5000-7000 kata yang kemudian untuk itu dibenarkan realitas dihilangkan. ke jurang keterpinggiran. Cerpen yang bermaksud untuk menekankan nilai-nilai estetika dan mengabaikan realitas akhirnya akan membuat karya sastra jauh dari nilai-nilai kebenaran. Cerpen justruakanmenjadiruanghampa tanpa makna! Bukankah sastra telah begitu lama menjauh dari realitas? Pendeknya cerita, pada cerpen bukan semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan para penggemar fiksi di era modern, yang cenderung memiliki waktu membaca terbatas (5-10 menit). Meski singkat, cerpen tentu saja harus melahirkan dan memberikan pesan moral kepada pembaca. Realitas tentu saja adalah ide besar yang memberi pesan itu. Keterbatasan cerpen tidak serta merta membuatnya abai atas terpinggirnya nasib orang banyak. Cerpen bukan sebatas gaga-

menjadikan sastra sebagai ajaran moral. Rata-rata keunggulan cerpen-cerpenternamadiIndonesia karena mampu menerjemahkan realitasitukeranahsastra.Wacana yangdibangunpengarangcerpen kita adalah bangunan realitas dalam keseharian. Cerpen bertema sosial selalu mendapat tempat di hati pembaca karena mampu memberikan nilai-nilai kemanusiaan. Ketika media massa tak mampu menerjemahkan realitas secara transparan, cerita pendek akhirnya berposisi sebagai peran pengganti. Sindirandanceletukandialog dalam cerpen akan mampu membuat pembaca memahami bahwa telah terjadi ketimpangan yangluarbiasadalamkesehariannya. Cerpen Telinga karya Seno Gumira Adjidarma, tidak lain sebagai pengganti peran media yang tak jujur dan nyaris tidak

transparan dalam memberitakan Timor-Timur pada masa Orde Baru. Seno tentu saja tidak sedang bermain-main dengan fiksi, cerpen ciptaannya adalah realitas itu sendiri. Membangun realitas tentu saja tidak mudah. Pengarang cerpen seringkali membangun realitas dengan pembahasaan yang imajiner. Simbolisasi yang berlebihan membuat cerpen ke luar dari realitas itu sendiri. Saat membaca cerpen Jujur Prananto berjudulBahasaInggris,misalnya, kita menemukan fakta-fakta di keseharian yang jauh dari simbolisasi. Di sini secara diam-diam pembaca akan mengakui bahwa posisi dan jabatan yang diraih dengan cara-cara yang tidak fair dan jujur hanya menenggelamkannya kepada ketakutan. Si tokoh yang menjabat posisi penting di sebuah instansi pemerintah harus ketakutan untuk menghadiri konperensi internasional karena tidak bisa berbahasa Inggris. Meskicerpenlahirdariproses pengendapan si pengarang, pada sisi lain sebenarnya cerpen adalah hasil dari luapan imajinasi tentang realitas. Secara diamdiam pengarang merekam apa yang dia lihat lantas menulisnya. Hasil rekaman itu semestinya tidak membuat pengarang kemudian mencari bahasa-bahasa imajiner yang justru menjauhkan sastradarirealitas.Bahasaimajiner meski ia bagian dari aspek pendukung kekuatan cerpen, akan tetapibukansebagaiintikekuatan. Bahasa imajiner tetaplah sebagai pengindah cerita. Begitujauhnyarealitasitudari dunia kesusasteraan telah menyebabkan sastra semakin terpinggirkan. Pembaca tidak mendapatkan apa-apa dari cerpen yang menuhankan imajinasi dan mengabaikan realitas. Sekali lagi, ide cerpen sebaiknya bercermin pada realitas! *Penulis adalah Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU

Soeryadarma, Penyair Cilik Aceh Go Nasional HUJAN Kota ini kabut sering menutupi wajah gunung merapi, singgalang dan tandikek yang indah bukit tui penghasil kapur. Kota ini hujan sering turun tanpa diduga, membasahi jalan bahkan hati para pejalan. ITU salah satu puisi Soeryadarma Isman, Putra pertama penyair Sulaiman Juned dan Iswanti. Dia lahir di Beureunuen, Pidie, Aceh, 17 Maret 2002 silam. Selain menjuarai sejumlah lomba puisi tingkat lokal dan nasional, puisi-puisinya juga sering dimuat di koran Jakarta, terutama di ruang anak koran Kompas. Siswa Sekolah Dasar Negeri 1 Guguk Malintang, Padangpanjang Timur, yang baru berusia sembilan tahun ini memang suka mengikuti berbagai lomba baca puisi, baik ketika masih Taman Kanak-kanak maupun saat dia menduduki bangku sekolah dasar. MeskipunkelahiranAceh,dia menghabiskan masa balitanya di Solo, Jawa Tengah, kemudian mengikuti ayahnya ke Padangpanjang yang menjadi dosen seni

di sana. “Saya selalu rindu pada Aceh.Mungkintahuninisayaakan menjenguk nenek di Beureunuen,” ungkapnya kepada penulis. Darah Aceh yang mengalir di tubuhnya tak dapat memisahkan dirinya dari pengalamanpengalaman pahit perang, karenanya pula secara polos dia menuliskan baris-baris puisi yang sangat menyentuh, yang menggabarkan kepada anak-anak lain bagaimana sesungguhnya bumi Aceh itu. Puisi-puisiSoeryayangtampil bernas dan memukau ini merupakan hasil belajar di Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang, Sumatera Barat. Pada hari-hari sepulang sekolah, bila tidak mengaji ke surau, dia menulis dalam buku catatannya, untuk kemudian dia koreksi pada malamhari,selepasdiamembuat PR sekolah. Tidak sepenuhnya puisi yang dia tulis itu langsung jadi. Butuh pendapat, pemeriksaan, dan koreksi berulang-ulang sebelum kemudian buah karyanya dikirim ke penerbitan yang memuat secara khusus puisi anak-anak. Oleh karena itu namanya tidak hanya dikenal di kalangan anak sebayanya, tetapi juga orang

dewasa, dan sering mendapat undangan untuk tampil pada setiap acara kesenian di tempatnya tinggal. Soeryajugaseringtampilbaca puisi di BiTv Bukit Tinggi dalam acara Kaji Sastra, juga jadi pemusik dalam tajuk Menyama Beraya Komposer. Dia juga tampil pada acara Teaterikal Puisi “Matahari” karya Sulaiman Juned yang disutradarai Mumuik Kuflet dalam pembukaan LK II HMI di Gedung M.Syafei Padangpanjang. Menampilkan teaterikal puisi berjudul Ziarah Gempa setahun lalu pada saat lounching novel Cinta di Kota Serambi dan Ziarah Bencana di Gedung MTC Sawahlunto. Selain itu, Puisi-puisinya pernah dimuat di Korandigital.com, Postmetro, di Ruang Kita koran Kompas, dan Media Indonesia. Dalam Lomba Baca Puisi di Acara Pedati Nusantara X 2010 di Bukit Tinggi mendapat juara Favoerit. Akan terbit pula antologi puisi perdananya berjudul Negeri di atas Langit yang diterbitkan KufletPubhlising,KomunitasSeni KufletbekerjasamadenganDiknas Padangpanjang, Sumatera Barat. *Arafat Nur

Waspada/Arafat Nur Soeryadarma Isman saat menerima penghargaan di salah satu lomba baca puisi yang diikutinya di Padangpanjang, barubaru ini.

SANGGAR Getar Sumatera Utara pimpinan Adi Mujabir kini sedang mempersiapkan pagelaran kolosal drama syair “Mualidun Nabi”. Persiapan pagelaran ini merupakan rencana pementasan pertama Sanggar Seni dan Teater yang bermarkas di Perbaungan, Kabupaten Sergai, setelah selama inisanggarGetarhanyamementaskannaskah-naskah drama konvensional. Dramasyair“MaulidunNabi”merupakannaskah karya seniman Sugeng Satya Dharma yang ditulis dalam bentuk syair dan berkisah tentang riwayat kelahiran hingga wafatnya Nabi Muhammad SAW. Menurut penulisnya, drama ini sengaja ia gubah sebagaiupayamembangunpemahamanmasyarakat untuklebihmengapresiasiperjuangandakwahIslam, khususnya di masa-masa awal pengembangan agama Islam. Sugeng menyebutkan, pilihannya terhadap bentuksyairdalamnaskahtersebutsengajadilakukan untuk memudahkan pemahaman oranng yang akan menyaksikannya. “Dengan syair, Insya Allah pengertian dan pemahaman bisa lebih mudah disampaikan,” katanya. Adi Mujabir yang bertindak sebagai sutradara, mengakupenggarapandramasyair“MaullidunNabi” mengambil konsep opera dengan mengutamakan gerak tari (koreografi) dan lagu. “Tidak ada dialog dalam drama ini kecuali narasi dan lagu,” katanya. Dijelaskan, persiapan pagelaran drama syair yang sedang digarapnya ini mudah-mudahan

menjadi bentuk baru dalam khazanah pagelaran teater di Sumatera Utara, setelah bertahun-tahun aktivitas teater di daerah ini disuguhi pagelaran drama konvensional. Pagelaranitusendirinantinyaakandimainkan oleh anak-anak sanggar Getar dibantu muridmurid pengajian Maktab Al-Huda, Gang BO Tanjung Morawa. Selain itu, dalam mempersiapkan pagelaran ini, Jabir juga akan menghadirkan sejumlah ulama sebagai penasehat ahli. “Kehadiran ulama sebagai penasehat ahli dalam pagelaran ini kami anggap penting agar pagelaran kami tidak menimbulkan kontroversi,” tambah Jabir. Sugengsendiri,yangselamainidikenalsebagai penyair, sastrawan dan essays yang produktif, mengaku “Maulidun Nabi” merupakan naskah drama pertamanya yang digarap secara serius setelah sebelumnya ia hanya menulis naskahnaskah drama konvensional. “Naskah ini merupakan wujud apresiasi dan kecintaan saya pada Kanjeng Nabi Muhammad SAW.Semogarasacintayangkumilikiinibisamenular dan menjalar ke semua ummat yang nnantinya akan menyaksikan pagelaran ini,” katanya. Rencananya, drama syair “Maulidun Nabi” akan dipentaskan pada peringatan Isra’ Mikraj padaJunimendatang,danakandibawaberkeliling daerah di Sumatera Utara sebagai program safari seni dakwah Sanggar Getar selama bulan Ramadhan. **m42

Kuda Kepang, Kesenian Lokal Kian Terpinggirkan KUDA kepang merupakan satu seni tradisional yang semakin ditelan zaman. Kuda kepang dikenali dengan berbagai nama seperti jaran kepang, kuda lumping, jathilan dan ebeg. Orang Jawa memberikan makna bagi ‘jaran’ ialah kuda sedangkan ‘kepang’ merujuk kepada anyaman. Bagi masyarakat Jawa panggilan bagi kuda kepang yang popular ialah jaran kepang karena pertunjukan yang dipersembahkan ialah menggunakan anyaman kuda. Awalnya menurut sejarah, seni kuda kepang lahir sebagai simbolisasi bahwa rakyat juga memiliki kemampuan dalam menghadapi musuh ataupun melawan kekuatan elite kerajaan yang memiliki bala tentara.Disampingjugasebagaimediamenghadirkan hiburan yang murah meriah namun fenomenal kepada rakyat banyak. Kesenian ini menggunakan kuda bohongbohongan terbuat dari anyaman bambu yang diiringi oleh musik gamelan seperti gong, kenong, kendang danslompret.Penarikudakepangyangasliumumnya diperankan oleh anak putri yang berpakain lelaki bak prajurit kerajaan. Bunyi pecutan (cambuk) besar yang sengaja dikenakan para pemain, menjadi awal permainan dan masuknya kekuatan mistis yang bisa menghilangkan kesadaran si pemain. Dengan menaiki kuda dari anyaman bambu tersebut, penunggang kuda yang pergelangan kakinya diberi kerincingan berjingkrak–jingkrak, melompat–lompat hingga berguling-guling di tanah. Tak hanya itu, penari kuda kepang yang sudah kesetanan itu pun melakukan atraksi yang cukup berbahaya, seperti memakan beling (kaca) dan mengupas sabut kelapa dengan gigi taringnya. Biasanya,belingyangdigunakanadalahbolamlampu layaknya orang kelaparan, tidak meringis kesakitan dan tidak ada darah pada saat ia menyantapnya. Bunyi pecutan yang tiada henti mendominasi rangkaian atraksi yang ditampilkan. Setiap pecutan yang dilakukan oleh pawang dalam permainan mengenai kaki dan tubuh si penari dan akan

memberikan efek magis. Ada yang cukup kalem, tapi kebanyakan jadi liar. Mereka meminum banyak air, menelan daun pisang, kembang, dan gabah, layaknya kuda sungguhan.JaranKepangbiasadiiringiparapemain gamelan. Selain itu, ada pula gambuh, semacam sosok yang memiliki daya mistis yang mengambil peran sebagai dalang pertunjukkan dan bertanggung jawab terhadap kesurupan. Sebelum pertunjukkan mulai, gambuh dan pengiringnya khusyuk dalam doa serta menggelar sederet upacara. Lengkap dengan dupa (kemenyan yang dicampur minyak wangi tertentu kemudian dibakar), buceng (berisi ayam panggang jantan dan beberapa jajan pasar, satu buah kelapa dan satu sisir pisang raja), kembang boreh (berisi kembangkantil dan kembang kenanga) ulungulung (berupa seekor ayam jantan yang sehat), serta kinangan (berupa satu unit gambir, suruh, tembakau, dan kapur yang dilumatkan menjadi satu lalu diaduk dengan tembakau). Begitu gambuh memberikan isyarat tertentu, dalam sekejap semua penari kesurupan. Dialah yang akanmemberikaninstruksipadakelompokpenari dan juga penonton. Sebagai sebuah atraksi penuh mistis dan berbahaya tarian kuda kepang dilakukan di bawah pengawasan seorang pimpinan supranatural atau biasa disebut pawang. Biasanya, sang pawang adalah seorang yang memiliki ilmu gaib yang dapat mengembalikan kesadaran penari yang kesurupan dan mengusir roh halus yang merasuki sang penari. Namun, seiring perkembangan zaman, kesenian tradisional kuda kepang memang sudah mulai terpinggirkan karena kalah bersaing dengan kesenian yang lebih modern. Hanya kecintaan para senimannya yang membuat mereka bertahan dengan kesenian yang hidup dan berlangsung secara turun-temurun tersebut. * Arianda Tanjung

Catatan Budaya

Fasilitas Oleh S. Satya Dharma SUDAH banyak hasil penelitian, survey dan bahkan pernyataan yang dilontarkan tentang besarnyakesulitanyangdihadapibangsainidalam merecovery kehidupan berbangsa dan bernegara pasca reformasi 1998. Baik itu kesulitan secara sosial, kultural dan lebih-lebih ekonomi. Di atas kertas, semua memang terkesan baikbaik saja. Bahkan dari mulut presiden dan para menteri acap meluncur pernyataan bahwa secara makro perekonomian membaik, kamtibmas stabil, kehdupan berjalan demokratis, ect, ect. Tapi di lapangan, fakta menunjukkan jumlah orang miskin justru tak semakin berkurang, pengangguran bertambah, ketegangan sosial hampir terjadi setiap hari, dan ini yang utama, harga-harga kebutuhan hidup terus melonjak. Dalam kondisi yang tak bagus itu, muncullah paradoks. DPR akan membangun gedung baru serba “wah” dengan biaya mencapai satu triliun rupiah lebih. Di samping itu mereka juga sedang berjuang mengeruk uang rakyat lewat apa yang mereka sebut dana aspirasi. Sedang di lingkungan birokrasi, gaji para menteri dan pejabat eselon terus ditambah atas nama program renumerasi. Pokoknya negara ini sungguh-sungguh sedang memanjakan aparatur pemerintahannya baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Lalu di manakah tempat rakyat dalam situasi ini? Tetap saja di selokan, comberan dan kolongkolong jembatan. Apa yang sedang berlangsung di negeri ini memang bukan lagi sekadar tragedi. Tapi sudah sampai pada “kiamat kecil” hati nurani. Para pemimpin, tak di eksekutif tak di legislatif, hidup bermewah-mewahan dengan bermacam fasilitas atas nama tugas-tugas mengurus rakyat. Ironisnya, rakyat yang seharusnya diurus, justru dibiarkan keleleran dan mengurus dirinya sendiri. Itupun kalau sanggup. Kalau tidak, biarkan saja mereka bunuh diri. Itulah memang fenomena yang terjadi sejak beberapa tahun belakangan ini. Media massa bahkan tak hentihentinya mengabarkan orang-orang yang naik ke menara atau gedung tinggi, lalu lompat ke bawah dan mati. Pertanyaannya kemudian adalah; apa sesungguhnya yang sedang terjadi di Republik ini? Mengapaparapemimpinnegeriiniterusmenerus kehilangan nurani dan empati kemanusiaannya? Mengapa para elit di republik ini semakin kehilangan sense of crisisnya? Pertanyaan berikutnya adalah, persekongkolan macam apa sesungguhnya yang sedang digalang pihak eksekutifdanlegislatifdinegeriiniuntukmembuat rakyat semakin menderita? Di atas permukaan memang ada kesan pemerintah ingin meningkatkan kesejahteraan hidup rakyatnya. Tapi itu rupanya cuma sebatas

pidato-pidatopejabatpemerintahyangdilansir mediamassa.Padakenyataannya,hasrathidup berbangsa dan bernegara yang sejahtera itu justru semakin jauh dan semakin sulit diraih. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, jelas-jelas tidak berpihak pada upaya peningkatan kesejahteraan. Pemerintah pusat menaikkan harga-harga kebutuhan hidup seenaknya sendiri. Sedangkan pemerintah daerah dengan sewenangwenang melakukan penggusuran terhadap lahan penghidupan orang-orang kecil, rakyatnya. Adalahbenarbahwamembuatperubahan membutuhkan proses. Roma memang tidak dibangun dalam satu malam.Tapi tujuh tahun usia suatu rezim yang memerintah bukanlah waktu yang pendek. Jika bersekolah, untaian waktu itu sudah harus membawa kita naik kelas. Tapi setelah tujuh tahun, apa prestasi rezim pemerintahan sekarang ini dalam menyejahterakanrakyatnya?Yangterjadi,justru secara ekonomi kehidupan rakyat semakin sulit. Semakin terpuruk. Ironisnya, dalam kondisi berbangsa yang tak juga membaik ini, para pejabat negara terus menuntut fasilitas yang tinggi sedang retorika tentang kehidupan di alam demokrasi terus dikumandangkan dengan penuh bungabunga. Berbagai skenario keberhasilan pun dikampanyekan. Bahkan, agar terkesan ilmiah, seringkali pemerintah meminjam mulut para akademisi dan meminta pers jadi corongnya. Semua itu menunjukkan betapa tidak sederhananya problem yang sedang dihadapi bangsa ini. Maka, jika presiden SBY memang bersungguh-sungguh ingin menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sudah saatnya ia meniru gaya kepemimpinan Walikota Solo yang rendah hati itu. Yakni kepemimpinan yang menjadikan rakyatnya yangmanusiasebagaiseutuh-utuhnyamanusia. Itu berarti segala tuntutan akan fasilitas yang berlebihan sesungguhnya tidak penting kalau memang niatnya demi mengabdi pada bangsa dan negara. Selama tuntutan akan fasilitas itu terus dikumandangkan, maka pidato-pidatopemerintahtentangpeningkatan kesejahteraan rakyat hanyalah cek kosong tak berarti. Dan selama situasi yang seperti ini terus berlangsung, selama itu pula pemerintahan di negeri ini akan kehilangan kepercayaan dari rakyatnya. Percayalah! (*) *Penulis adalah Sekretaris Jenderal Multiculture Society Dan Koordinator Gerakan Relawan Medan Hijau (Gerilya-Mu)


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.