Waspada, Jumat 9 April 2010

Page 29

Mimbar Jumat

C10

Politik Ulama Antara Kontraktual Dan Transaksional S

etiap kali festival pemilihan berlangsung, apakah pemilihan Presiden, Gubernur, anggota legislative bahkan walikota dan Bupati, peran ulama, tidak dapat diabaikan. Ulama tidak saja ditempatkan sebagai symbol yang mewartakan bahwa calon pemimpin religius, dekat dengan ulama tetapi lebih dari itu mereka juga dapat dimanfaatkan untuk mendulang suara bagi kemenangan sang calon. Tidaklah berlebihan jika dikatakan setiap kali pemilihan berlangsung tanpa disadari terjadi hubungan timbal balik antara ulama dengan calon pemimpin. Ulama memberikan jasanya untuk memobilisasi jama’ahnya agar memilih calon tertentu. Pada saat yang sama sang pemimpinpun tak segan-segan menggelontorkan dananya atas nama kepentingan umat kepada sang ulama. Pertukaran uang dan jasa inilah sesungguhnya yang saya maksudkan dengan politik transaksional. Politik transaksional ini, perlahan namun pasti, mengakibatkan terjadinya polarisasi dikalangan ulama. Biasanya polarisasi itu sangat tergantung pada jumlah balon yang maju pada pentas festival pemilihan. Yang jelas, setiap calon biasanya didukung barisan para ulama. Tentu saja, menurut persepsinya masingmasing, para ulama akan mengkampanyekan bahwa calonnya yang paling religius, saleh, terbaik dan paling peduli dengan agama. Tidak jarang, fitnah, pembunuhan karakterpun berlangsung. Seorang ualam begitu kritis melihat keburukan calon lain namun seolah menutup mata terhadap keburukan calonnya sendiri. Disadari adalah sulit menjual seorang calon kepada public tanpa menjelekkan calon yang lain. Setidaknya mereka akan menutupi kebaikan yang dimiliki calon lain dan hanya menonjolkan kebaikan calonnya sendiri. Apakah hal itu sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, itu soal lain. Ironisnya, ada ulama yang tidak kenal dekat dengan sang calon pemimpin, namun karena kelihaiannya berbicara terkesanlah seolah-olah ia yang paling kenal. Alih-alih ulama ikut mencerdaskan umat agar memilih calon pemimpin yang terbaik, mereka malah terjebak dan ikut memecah belah umat. Umat menjadi bingun dengan sepak terjang para ulama. Sampai di sini saya harus mengatakan, tentu tidak semua ulama

C

Oleh Azhari Akmal Tarigan

terlibat dan ikut terjebak pada permainan politik peraktis seperti ini. Masih banyak sebenarnya yang masih objektif dan tetap berpihak pada kebenaran. Mereka tidak mau terlibat dalam urusan dukung-mendukung. Sayangnya, mereka tidak banyak bersuara dan membiarkan keadaan berlansung apa adanya. Problem epitemologsinya adalah apakah ulama yang ikut menceburkan dirinya dalam kancah politik masih pantas disebut ulama ? Saya tidak keberatan jika ulama ulama ikut berpolitik (politik tinggi). sebaliknya, saya malah tidak setuju kalau ulama hanya dimanfaatkan untuk kepentingan sesaat. Tegasnya, jika ulama ingin terjun dalam politik, ia harus mampu istiqamah dan teguh pendirian. Oleh sebab itu, adalah penting bagi ulama untuk membuat dirinya berwibawa dan mahal. Dengan demikian, hubungan antara ulama dengan calon pemimpin adalah hubungan kontraktual. Dukungan yang diberikan bukan didasarkan pada apa yang diberikan calon pemimpin terhadap dirinya, tetap lebih pada komitmen yang ditampakkan sang calon untuk menjalankan programnya. Tidak itu saja, ia juga teguh memegang janjinya dan siap pula dengan segala konsekuensinya jika janji tersebut tidak dipenuhi. Perubahan dari politik transaksional kepada politik kontraktual ini penting dilakukan agar ulama tak seperti pepatah, “arang habis besi binasa”. Tidak pula “habis manis sepah di buang”. Sesungguhnya suatu yang

menyakitkan manakala ulama tidak lagi mampu menjalankan perannya untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika kita jarang sekali mendengar ulama, ulama yang berteriak lantang menyerukan kebenaran dan kebaikan serta mencegah perbuatan munkar. Di mana masalahnya ? Jawabnya adalah karena politik transaksional itu. Doktrin politik Islam sesungguhnya berada dan berpihak pada politik kontraktual. Konsep ahl alhalli wa al’aqd dan bai’ah dalam politik sunni menunjukkan bahwasanya hubungan yang mengikat antara pemimpin dengan yang dipimpinnya adalah kontrak itu sendiri. Dukungan diberikan sepanjang kontrak itu dijalankan. Sebaliknya, jika kontrak tidak diikuti, maka rakyat dapat saja memakzulkan (melengserkan) sang pemimpin. Satu hal yang menarik untuk dicermati, politik kontraktual menempatkan ulama dan calon pemimpin berada pada garis yang sejajar. Bukankah ulama dan umara itu sejajar? Bukankah keduanya memiliki fungsi dan peran yang berbeda ? Posisi yang sejajar ini akan terjaga manakala ulama tidak memiliki ketergantungan dalam bentuk apapun kepada pemimpin. Implikasinya ulama tidak memiliki beban jika hendak menyampaikan kebenaran kepada pemimpin. Apakah itu dalam bentuk perorangan ataupun lembaga, semuanya dapat menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Memang harus disadari salah satu kendala tidak efektifnya lembaga-lembaga keagamaan dalam menyuarakan kebenaran dan keadilan karena ketergantungan lembaga tersebut kepada sang pemimpin (pemerintah). Lembaga-lembaga keagamaan tidak memiliki kemandirian sehingga seluruh biaya operasional dan kegiatannya seluruhnya dibiayai lewat anggaran pemerintah. Sejatinya, lembaga keagamaan harus memiliki kemandirian dalam hal pendanaan. Tentu menerima bantuan pemerintah bukanlah sesuatu yang salah. Yang menjadi masalah justru ketika lembaga keagamaan

sangat tergantung kepada pemerintah. Lebih parah dari itu adalah, ketika lembaga agama tidak berdaya mengawal pemerintahan, pribadipribadi ulama juga ikut tergerus menjadi peribadi-peribadi yang tidak lagi merdeka. Sejatinya Pemilu Kada harus dijadikan peran untuk menguatkan peran para ulama dalam kehidupan sosial-politik umat. Dengan kekuatan moral yang dimilikinya, ulama sebenarnya memiliki kekuatan untuk melakukan posisi tawar terha-dap calon-calon pemimpin. Atas nama umat, Ulama dapat berbuat untuk memastikan tidak saja Pemilu Kada ini berjalan baik tetapi juga mereka dapat ikut memproses lahirnya pemimpin yang benar-benar terbaik, kuat, jujur, bersih dan amanah. Adapun persyaratannya adalah, Pertama, Para ulama ataupun tokohtokoh agama tidak terjebak dalam persoalan dukung-mendukung calon tertentu. Ulama tetap berada pada satu barisan yang tidak memiliki kaitan dengan pasangan calon. Kedua, Sebagai tanggungjawab moralnya para ulama tidak saja bertanggungjawab kepada umatnya, namun secara teologis ia juga bertanggungjawab kepada Allah SWT. Mereka harus berani menyuarakan kebenaran bagaimana pahitnya. Tentu saja, da’wah dengan al-hikmah (bijaksana), al-mau’izhah (peringatan-peringatan yang disampaikan dengan santun) dan mujadalah (berdebat) dengan cara-cara yang ihsan. Ketiga, Ulama harus memiliki kemandirian atau sering disebut dengan bebas financial. Enterpreunership ulama sejatinya harus menjadi perhatian serius bagi kita semuanya. Ulama, baik secara pribadi ataupun golongan idealnya tidak boleh tergantung secara ekonomi kepada pemimpin. Setelah tiga persyaratan ini terpenuhi, maka para ulama dapat menggerakkan politik kontraktualnya. Dengan kekuatan yang dimiliki serta dukungan ummat, ulama dapat menggiring para calon pemimpin untuk melakukan kontrak atau perjanjian. Apakah itu kaitannya dengan komitmen untuk jujur, tidak korupsi, menjalankan pemerintah dengan bersih ataupun berhubungan dengan program-program pro rakyat. Intinya, dukungan umat bukan karena sosok, suku dan agama calon tertentu. ● Penulis adalah Tenaga Pengajar Fak. Syari’ah IAIN-SU Medan.

Sinergitas Antara Fikir Dan Zikir

ogito ergo sum aku berfikir, maka aku ada. Demikian pernyataan Rene Descartes seorang filosof masyhur yang menjadi pelopor lahirnya aliran filsafat rasionalisme dalam blantika dunia filsafat. Berfikir merupakan suatu proses mencerna dan memahami kondisi yang ada di sekitar dalam rangka menghasilkan sebuah tanda tanya maupun jawabab yang muncul dalam diri seseorang. Dalam Islam seni berfikir sangat dihargai dan bahkan menjadi anjuran dari Allah agar seorang hamba dapat mengoptimalkan daya fikir dalam mencerna seluruh obyek di alam untuk mengetahui dan memahami pencipta itu sendiri. Apabila kita membaca Al-Quran akan ditemukan sangat banyak ayat yang memerintahkan dan menuntun supaya berfikir. Di antara redaksi bahasa Al-Quran, “afala tatafakkarun”, “afala tafaqqahun”, afala yatadabbarun”, Afala tasy’urun” dan sebagainya. Kendati pun banyak redaksi yang digunakan AlQuran namun pada substansinya sama yaitu menuntut supaya ber-

Oleh Watni Marpaung, MA

fikir, memahami, merenung, dan menganalisa. Oleh sebab itu, aktivitas kegiatan berfikir menjadi suatu hal yang cukup urgens dalam Islam. Apabila kita menoleh sejarah umat Islam ke belakang, pada hakikatnya besar dan berkembangnya Islam tidak terlepas dari gerakan yang cukup besar dari aktivitas pola fikir para mujtahid dalam berbagai disiplin keilmuan Islam . Para imam

Konsultasi Al-Quran Ikatan Persaudaraan Qari-Qariah & Hafizh Hafizah’ (IPQAHKota Medan) KONSULTASI AL-QURAN adalah tanya jawab sekitar Al-Quran, yang meliputi: tajwid, fashohah, menghafal Al-Quran, Ghina (lagu) Al-Quran, Hukum dan ulumul Al-Quran. Kontak person. 08126387967 (Drs. Abdul Wahid), 081396217956 (H.Yusdarli Amar), 08126395413 (H. Ismail Hasyim, MA) 0819860172 (Mustafa Kamal Rokan).

Assalamu’alaikum Wr.Wb. Al-Ustadz yang saya hormati, saya mau tanya, bagaimana sebenarnya tata cara berwakaf yang baik ketika kita membaca ALqur’an, persoalannya terkadang nafas saya yang tidak sampai.. Mohon penjelasan. Dari H. Khairullah. Asahan. Jawab : Terimakasih atas pertanyaanya. Masalah berwakaf adalah masalah yang sangat berkaitan dengan makna. Ulama-ulama Al-qur’an telah berusaha untuk membuat tanda-tanda dalam Al-qur’an agar para pembaca Al-qur’an tidak salah dalam merberhentikan bacaan Alqur’annya. Oleh karena itu dalam Al-qur’an cetakan Indonesia banyak sekali tanda-tanda wakaf yang sudah dituliskan didalamnya. Ada tanda huruf tho kecil, huruf jim kecil, shod lam dan berbagai tanda lainnya. Semua tanda itu punya makna dan arti dalam hal wakaf. Hal semacam ini perlu memang untuk dipelajari dengan seorang guru, agar kita tidak salah dalam hal wakaf. Kami harus akui pula tanda-tanda yang sudah ada belum cukup untuk menyelesaikan masalah berwakaf ketika kita membaca Alqur’an, mungkin nafas yang tidak terlalu panjang. Menyelesasikan masalah ini memang harus belajar, terutama masalah wakaf sangat terkait dengan masalah makna, mau tidak mau ini ada urusannya dengan bahasa arab yang merupakan bahasa Al-qur’an. Artinya, jika ingin tahu dimana wakaf yang baik, maka tidak bisa tidak, harus tahu bahasa arab walaupun sedikit-sedikit. Hal yang sangat dikehendaki dalam masalah wakaf adalah kesempurnaan makna, artinya ketika kita wakaf, makna yang kita baca telah sempurna, atau sudah baik, atau paling tidak telah cukup difahami. Salah besar ketika kita berwakaf makna ayat jadi keliru atau jadi salah. Secara umum dapat kami katakan, berwakaflah pada tanda-tanda wakaf yang sudah dibuat oleh ulama, semisal huruf mim kecil, tho kecil, jim kecil, qof fa kecil, qof lam. Atau kalau nafas tidak sampai boleh berwakaf pada tanda zai kecil, shod kecil, qof kecil, shod lam, kaf kecil, walaupun tanda-tanda yang kami garis bawah tersebut sesungguhnya bermakna lebih baik diteruskan. (terbatasnya kolom akan kami lanjutkan jum’at depan). Wallhu A’lam. Al-Ustadz H. Ismail Hasyim, MA

mujtahid dalam hukum Islam misalnya, dalam merumuskan hukum Islam dalam bentuk yang spesifik dan rinci dalam berbagai masalah yang tidak ditemukan jawabannnya baik dalam Al-Quran, sunnah rasul maupun perilaku para sahabat sehingga harus berfikir secara mendalam untuk menemukan jawabanjawabannya dengan mencurahkan segala kemampuan yang mereka miliki. Kendati demikian, dalam Islam seorang mukmin tidak hanya dituntut dalam mengenal tuhan, alam dan termasuk dirinya sendiri hanya melalui dengan berfikir. Ada satu lagi cara yang tujuannya untuk mendekatkan diri dan lebih dekat kepada pencipta seluruh alam semesta dengan melalui berzikir. Dalam pengertian sempit zikir dimaknakan dengan kegiatan mengucapkan nama-nama Allah yang agung dan mulia dalam rangka memuji dan membesarkannya. Memang cukup disayangkan, kebanyakan masyarakat masih terjebak dengan pemahaman dan pengertian konvensional seperti demikian. Namun dalam pengertian yang lebih luas lagi zikir adalah seluruh aktivitas dan gerak memahami kekuasaan Allah yang tujuannya untuk lebih dekat dengan Allah. Oleh sebab itu, perintah berzikir tidak hanya pada saat shalat atau sesudahnya di mesjid, mushalla, dan sebagainya, tetapi dalam seluruh kondisi dan tempat selalu dituntut untuk tetap berzikir. Sebagaimana yang disinyalir Allah dalam Al-Quran surat al-Imran: 191” (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “ Ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa mereka. (91). Ayat di atas begitu jelas menggambarkan bahwa kegiatan berfikir tidak dibatasi oleh kondisi dan situasi apa pun tetapi harus terus dilakukan secara terus-menerus. Tetapi perlu dicatat bahwa Islam tidak memisahkan proses zikir dan fikir. Apabila dicermati lebih jauh kerangka kerja antara fikir dan zikir dalam kehidupan sehari-hari. Maka kita akan dapat membedakannya sebagai dua potensi yang menghasilkan efek berbeda. Berfikir mencoba dan menemukan apa yang belum diketahui untuk selanjutnya merumuskannya. Hasilnya pun tidak hanya sebatas untuk kepentingan pribadi tetapi dapat bermanfaat kepada umat manusia. Ibn sina, ibn Rusydi, ibn batutah, dan sebagainya menghasilkan beragam

karya yang sampai sekarang dapat dimanfaatkan seluruh umat manusia. Sedangkan zikir punya efek yang lebih kuat dan besar hanya kepada individu pelakunya sendiri. Dengan bentuk perbaikan perilaku, akhlak kebaikan, dan dekatnya kepada sang pencipta. Namun keduanya, tetap menyatu pada diri seseorang sekalipun saling punya kekuatan yang positif bagi seorang muslim. Oleh sebab itu, kedua potensi di atas harus dapat disinergikan. Pola fikir yang terlepas dari ikatan zikir akan dapat menghasilkan pola-pola fikir yang sifatnya destruktif dan negatif sampai melanggar larangan Allah. Para koruptor, pelaku maksiat mengetahui yang mereka lakukan salah tetapi mereka tidak berzikir kepada Allah. Demikian sebaliknya, berzikir tanpa mengasah olah fikir untuk menemukan keagungan Allah di alam sekitar dan sebagainya bukan merupakan suatu hal yang terpuji pula. Memadukan fikir dan zikir Pada hakikatnya seruan dan perintah berfikir dan zikir dalam AlQuran hampir sama banyaknya menunjukkan begitu penting dan urgensi kedua hal tersebut. Karena perpaduan daya fikir dan zikir yang kuat dalam diri seseorang akan menghasilkan efek yang luar biasa dalam kehidupan. Manakala tipikal sosok pemimpin seperti ini tentu akan tercipta keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya, ketika sifat ini pada orang kaya maka tentu dia akan rajin berinfak dan berlaku dermawan kepada orang lain. Titik temu yang sangat jelas dari keduanya adalah pada ayat yang telah penulis kutip di atas, menjelaskan “orang-orang berakal (ulul albab)” adalah mereka yang selalu berzikir dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring. Dengan kata lain, orang yang setiap saatnya berzikir kepada Allah sehingga sampai pada kesimpulan bahwa tidak satupun yang sia-sia diciptakan Allah di permukaan bumi. Hal ini merupakan kesimpulan dari olah fikir yang sangat mendalam dan luas, yang pada akhirnya akal mengakui kebesaran dan keagungan Allah tanpa ada yang sia-sia di alam ini. Dengan kata lain, fikir dan zikir dalam Al-Quran dimaksudkan tidak lain adalah sebagai sebuah sarana atau alat yang dapat menyampaikan seseorang hamba kepada kesimpulan tauhid yang kuat dan kokoh dengan adanya pengakuan secara sadar dan mendalam dari fenomena di alam ini akan kebesaran dan kuasanya Allah. Selanjutnya, supaya kita mengenal kedudukan dan status diri kita yang hina, lemah dan tidak ada daya upaya untuk menentang Allah. ●Penulis adalah: Dosen Fakultas Syariah IAIN SU & Tim Tafsir al-Quran al-Karim Ulama Tiga Serangkai

WASPADA Jumat 9 April 2010

Jangan Sia-siakan Waktumu Kata orang bisnis, ’’waktu adalah uang’’ sehingga setiap saat yang dipikirkan hanya uang dan uang melulu. Uang pun dijadikan ’’tuhan’’ setiap harinya. Meski uang diperlukan, tapi tidak selalu segalanya butuh uang. Apalagi dalam beramal dan berbuat baik. Sebab, tanpa uang kita bisa menolong orang dan memperoleh pahala, termasuk menyingkirkan duri, kaca, paku dari jalan raya sudah merupakan perbuatan baik dan tidak perlu mengeluarkan uang. Masih terkait dengan waktu, sangat merugilah orang-orang yang menyia-nyiakan waktunya berlalu tanpa melakukan perbuatan yang positif baginya dan bagi orang lain. Percuma merayakan ulang tahun kalau waktu setahun tidak dimanfaatkan untuk berbuat baik. Merayakan ulang tahun pada hakikatnya adalah kita sudah kehilangan waktu setahun. Sebab, waktu tidak bisa ditahan dan akan berlalu terus sampai saatnya nanti kiamat. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Ashr ayat 1-3: ’’Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan saling menasihati dalam menaati kebenaran dan nasihat menasihati dalam menetapi kesabaran.’’ Rasulullah SAW bersabda, ’’Apabila kamu berada pada waktu sore, maka jangan menunggu waktu pagi. Dan apabila kamu berada pada waktu pagi maka jangan menunggu waktu sore. Gunakan waktu sehatmu untuk menghadapi waktu sakitmu, dan gunakan waktu hidupmu untuk menghadapi matimu.’’ (HR Bukhari). (Abdullah Gymnastiar, Refleksi Manajemen Qolbu, 2003, MQ Publishing, Bandung).

Toelogi Konservasi Lingkungan Menurut Islam Oleh K.H. Amiruddin, MS

I

Isu-isu tentang lingkungan terus mengalami perhatian yang semakin luas. Kesadaran akan perlunya tindakan global untuk menyelamatkan lingkungan dari kerusakan telah menjadi agenda bersama semua bangsa. Musibah pencemaran udara dan air bukan hanya akan menimpa satu bangsa atau satu negara, tetapi juga akan menimpa negara tetangga sekitar. Hujan asam akan menyebar melampaui batas-batas negara. Kebakaran hutan di pedalaman Kalimantan nyatanya juga mengganggu jalur laut dan udara, bahkan darat, yang juga pada akhirnya mengganggu negara tetangga sekitar. Polusi udara di kota memaksa orang membangun vila di daerah dataran tinggi, yang pada gilirannya akan merusak sumber mata air di pegunungan dan kembali mengganggu banyak orang. Agama-agama besar dunia sejak Deklarasi Stockholm pada Juni 1972 juga diarahkan untuk membantu menopang kesadaran konservasi lingkungan melalui eksplorasi ajaran-ajarannya. Ajaran-ajaran agama dianggap mampu memperkuat kesadaran umat manusia untuk mengimplementasikan tugas-tugas konservasi lingkungan. Hal itu juga mampu untuk memperkaya nilainilai keislaman tentang pentingnya kesinambungan ekologi. Menyelamatkan bumi hanya mungkin dilakukan jika tatapan-tatapan moral agama dikedepankan dan bukannya filsafat sekuler yang hedonistis. Tanggung Jawab Moral Dunia kita hari ini disergap oleh sebuah krisis global. Krisis global yang sedang dihadapi dunia diakibatkan oleh cara pandang manusia dan keserakahannya terhadap alam. Dalam arti yang sesungguhnya, karena hal tersebut menyangkut hajat hidup seluruh penghuni bumi tanpa kecuali, yang lintas batas negara, etnis, ideologi, budaya, dan agama. Krisis itu adalah krisis lingkungan (environmental crisis), yang dalam pembahasan lebih ilmiah-filosofis disebut juga krisis ekologis (ecological crisis). Setiap individu di seluruh pelosok bumi memiliki kepentingan yang sama untuk menghirup udara bersih, air jernih yang tak tercemar, dan lingkungan yang sehat sebagai prasyarat dasar merengkuh kehidupan berkualitas sehingga berkesempatan mengaktualisasikan potensipotensi kemanusia-annya. Seperti yang dinyatakan dalam Piagam Bumi (The Earth Chapter) pada awal deklarasi bahwa kita sekarang berdiri pada saat kritis dalam sejarah bumi, yang amat menentukan masa depan umat manusia beserta komunitas kehidupan lain. Kita harus mem-bentuk kemitraan global dan melakukan segala upa-ya yang mungkin untuk menyelamatkan bumi dan seluruh umat manusia dari risiko penghancuran diri dan keanekaragaman kehidupan. Dengan kesadaran dan komitmen yang tergambar di muka, maka menjadi sebuah keniscayaan epistemologis dan moral bagi kita semua untuk membuka diri terhadap segenap potensi dan peluang yang relevan dan berguna dalam perjuangan serius menghadapi krisis ekologis dan problem lingkungan. Krisis ekologis tidak saja suatu problem global dalam makna yang sesungguhnya, tetapi juga sebuah keadaan kritis yang kompleks, multidimensional, interdisipliner, dan kesalingterhubungan antar pel-bagai aspek kehidupan. Persis sebagaimana kehadiran udara, air dan tanah yang melingkupi kita di manapun kita berpijak dan kapanpun kita bernapas. Problema lingkungan terpaut erat dengan cara hidup kita, mulai dari wawasan saintifik, keadaban publik, tingkat kesadaran ekologis, budaya, sistem nilai, pandangan dunia, ideologi hingga sistem keyakinan kita. Solusi Islam Untuk bersahabat dengan lingkungan, manusia tidak harus bersusah payah merumuskan konsep-konsep tertentu. Islam menawarkan hal itu. Terkait dengan ini, Seyyed Hossein Nasr menulis, “The Divine Law is explicit in extending the religious duties of man to the natural order and the environment (Sesungguhnya ajaran agama memberikan panduan yang cukup kepada manusia untuk bersahabat dengan alam).” Ungkapan Nasr itu menyadarkan kita, bahwa betapapun ilmu manusia mencapai kemajuan yang mengagumkan, manusia amat membutuhkan tuntunan suci (agama) terutama dalam bersahabat dengan lingkungannya. Jika kita membaca kitab suci al-Qur’an dengan teliti, kita akan menjumpai pandangan dasar yang sangat mencolok bahwa ternyata al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang hal-hal yang bersifat metafisiseskatologis, al-Qur’an juga berbicara panjang lebar ten-

tang lingkungan semesta yang dihuni oleh manusia serta makhlukmakhluk lainnya sekarang ini. AlQur’an memproklamasikan dirinya sebagai hudan li al-naas (petunjuk bagi manusia) (QS. Ali-Imran/ 3: 4), bukan hudan li Allah (petunjuk bagi Allah). Sudah tentu, bukan hanya petunjuk dalam arti metafisis-eskato-logis, melainkan juga menyangkut masalah-masalah praktis kehidupan manusia di alam dunia ini, termasuk di dalamnya patokan dasar tentang bagaimana manusia menyantuni alam semesta dan lingkungannya. Al-Qur’an secara eksplisit memberikan porsi yang lebih baik dari cukup pada persoalan-persoalan alam semesta, yang oleh para pakar sekarang disebut dengan lingkungan hidup. Kekuatan al-Qur’an sebenarnya tidak terletak pada aspek i’jaz-nya, tetapi terletak pada aspek kandungan makna ajaran yang mengacu kepada masa depan (future). Dapat dibayangkan ketika al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad, 14 abad yang lalu, dia sudah berbicara tentang daur ulang lingkungan hidup yang sehat lewat angin, gumpalan awan, air, hewan, tumbuh-tumbuhan, proses penyerbukan bunga, buahbuahan yang saling terkait dalam satu kesatuan ekosistem (QS. Al-Mu’minun/ 23: 18). Menurut ilmu ekologi, memang tidak ada makhluk yang sia-sia diciptakan oleh Allah. Kehidupan makhluk di muka bumi, baik tumbuh-tumbuhan, binatang maupun manusia, saling terkait dalam satu keutuhan lingkungan hidup. Apabila terjadi gangguan terhadap salah satu jenis makhluk, akan terjadilah gangguan terhadap lingkungan hidup itu secara keseluruhan. Hutan yang jauh di hulu sungai, apabila dibabat habis secara sewenang-wenang, akan menimbulkan akibat berupa hilangnya kesuburan tanah di gunung itu, dan mengakibatkan pula banjir bandang di musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau, yang selanjutnya mengganggu kehidupan padi di sawah-sawah dan akhirnya menimbulkan musim paceklik bagi manusia dan binatang yang hidup di dalam aliran sungai itu. Dengan demikian, semua makhluk yang hidup di situ mempunyai ikatan kehidupan. Al-Qur’an menyebutkan, Tuhan mencipta segala sesuatu tidak sia-sia (QS. Ali-Imran/3: 192); dan melarang manusia untuk berbuat kerusakan di bumi, mengandung makna keseimbangan. Keseimbangan yang diciptakan Allah dalam suatu lingkungan hidup akan terus berlangsung, dan baru akan terganggu apabila terjadi keadaan luar biasa. Keadaan luar biasa itu terjadi dalam bentuk bencana alam. Bencana alam itu ada yang di luar penguasaan manusia, seperti gempa tektonik, gempa yang disebabkan terjadinya pergeseran kerak bumi. Akan tetapi menurut al-Qur’an, kebanyakan bencana di planet ini disebabkan oleh manusia yang tidak bertanggung jawab (QS. Ar-Ruum/ 30: 41). Islam memandang bahwa Tuhan merupakan lingkungan tertinggi dan paling agung yang mengelilingi dan meliputi manusia. Sangatlah penting untuk diingat bahwa al-Qur’an sendiri menyebut Tuhan sebagai Yang Maha Meliputi (Al-Muhith) (QS. QS. An-Nisaa’/ 4: 126). Al-Muhith juga berarti lingkungan. Dalam kenyataannya, manusia memang terbenam dalam lingkungan Tuhan, hanya saja ia tidak menyadarinya lantaran kelalaian dan kealpaannya. Inilah yang menyebabkan kotornya jiwa manusia, dan membersihkannya adalah dengan cara berzikir kepada Tuhan. Mengingat Tuhan adalah melihatnya dimana saja dan mengalami realitas-Nya sebagai Al-Muhith. Karena itu, memelihara alam sebagai tanda-tanda Tuhan merupakan kewajiban mutlak yang mesti dilakukan manusia. Manusia harus bertanggung jawab atas penjagaan dan perawatan keseimbangan alam. Di pundaknyalah terletak masa depan dan masa suram lingkungan. Manusia yang memahami hakikat dirinya sebagai ‘abd Allah (hamba Tuhan) merupakan manusia yang sanggup memposisikan lingkungan sebagai sosok sahabat sejati yang tidak boleh disakiti. Antara manusia dan lingkungan terjalin sebuah persahabatan sejati dalam sebuah equilibrium yang saling mengisi. Ketika manusia bergeser dari pusat eksistensi dirinya sebagai ‘abd Allah maka ia akan memposisikan lingkungan sebagai sebuah benda mati yang dapat diperlakukan semena-mena dan sekehendak hati manusia itu. Manusia melihat lingkungan seperti sederetan angka-angka yang dapat menghilangkan dahaga kesenangan sesaat. Bagaimana nasib dan masa depan lingkungan tidak pernah mendapat perhatian dari manusia dengan status demikian. Wa Allahu a’lam. ● Penulis adalah: Dosen Fak. Tarbiyah IAIN Sumut.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.