Waspada, Jumat 14 Oktober 2011

Page 30

Mimbar Jumat

C12

WASPADA Jumat 14 Oktober 2011

Kejayaan Kerajaan Islam

Ottoman Turki

Masjid Sulaymaniye dibangun oleh Sultan Sulayman, masjid ini melambangkan kebesaran dan kejayaan Islam di Turki

Dinasti ini dipengaruhi monarki Persia dan suku-suku di Asia Tengah. Ide-ide pemerintahan diambil dari kekaisaran Byzantium. Kekaisaran Otoman berasal dari nama salah satu khulafaurrasyidin, Usman bin Affan ra yang sekaligus merupakah khalifah ketiga setelah Abu Bakar ra dan Umar bin Khatab ra. Dalam ejaan Turki dan Eropa Uthman menjadi Osmanli yang kemudian diterjemahkan menjadi Ottoman. Dimulai dengan pemerintahan Uthman, 36 sultan memerintah Turki sejak tahun 1300 sampai 1922. Namun kesultanan itu mencapai puncak kejayaannya pada abad ke 16 di bawah pemerintahan Sultan Sulayman Yang Agung. Pada masa ini pencapaian kemajuan di berbagai bidang mengalami puncaknya termasuk politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, seni, budaya dan arsitektur. Pada masa pemerintahan Sultan Sulayman, ekspansi besar-

besaran ke berbagai negara juga dilakukan. Penaklukan ke Afrika Utara meliputi keseluruhan negaranegara di kawasan itu kecuali Maroko. Keberhasilan ekspansi itu menjadikan kesultanan itu berkuasa dari Budapest ke Yaman dan dari Baghdad ke Aljazair. Pada tahun 1526, Sulayman ingin menaklukan Vienna, namun gagal karena mendapat perlawanan dari Eropa. Ketika Konstantinopel ditaklukan tahun 1453 oleh Mehmet sang penakluk, kota itu dinamai Istanbul yang artinya kota Islam. Nama konstantinopel berasal dari Constantine, raja Roma yang menjadikan Konstantinopel sebagai ibukota kekaisaran Roma. Sinan seorang arsitek terkenal di kerajaan Ottoman membangun masjid Sulaimaniye yang melebihi ketinggian bangunan Hagiya Shopia seperti yang diinginkan Sultan

Sulayman. Masjid Sulaimaniye dibangun dengan mengkombinasikan kejayaan dan kebesaran Islam. Masjid ini merefleksikan kejeniusan pemerintahan Sultan Sulayman dan bangunan ini menonjolkan arsitektur asli Turki. Kubah utama masjid ini sangat besar dan dikelilingi banyak kubah kecil pada dasarnya. Empat menaranya kecil dan langsing. Seiring dengan perjalanan waktu, masjid ini kini memiliki enam menara. Masjid Su-laymaniye sangat indah dan bernilai arsitektur tinggi. Mehmet sang penakluk baru berusia 21 tahun ketika menaklukan Konstantinopel. Jatuhnya Konstantinopel sekaligus menandai berakhirnya kekaisaran Byzantium di Konstantinopel dan disebut-sebut peristiwa ini sebagai kemenangan besar dalam sejarah khususnya keseimbangan kekuasaan antara Islam dan

Kristen atau Asia dan Eropa. Konsekuensi jatuhnya Konstantinopel membuat kaum Muslim menggantikan kedudukan, kebesaran dan kemegahan kekaisaran Byzantium. Sistim filsafah mengambil yang baik dari berbagai sumber menjadi karakter kekaisaran Ottoman. Sebab itulah istana-istana Ottoman terlihat seperti bangunanbangunan yang ada di Paris dan Vienna. Sementara bilik, ruang makan, jendela, sofa, rancangan, warna dan pola bergaya Eropa. Terletak di Istanbul, Sultan Mehmet II yang berkuasa dari tahun 1451 sampai 1481 memilih posisi yang strategis untuk membangun istana Topkapi yang dijadikan pusat kerajaan dan pemerintahan dinasti Ottoman. Istana megah itu dibangun pada Seraglio Point dimana Golden Horn bertemu selat Bhosporus yang

sangat indah. Memantulkan kemewahan, kemegahan dan kebesaran dinasti Ottoman, istana Topkapi dibangun pada lahan seluas 30 hektar yang menghadap pada tiga samudra. Sebahagian besar konstruksi istana Topkapi yang memiliki nilai arsitektur tinggi itu dibangun pada abad ke 16 dan 17. Sinan, arsitek termasyhur yang membangun istana itu sangat bangga dengan hasil karyanya . Istana Topkapi disebutnya sebagai mahakarya ‘The Architect of the Abode Felicity’. Kekaisaran Ottoman begitu luas dan bervariasi. Dinasti ini juga dipengaruhi monarki Persia dan sukusuku di Asia Tengah. Ide-ide pemerintahan diambil dari kekaisaran Byzantium serta naskah-naskah, ilmu pengetahuan dan agama Islam dari Arab menjadi karakternya. Namun pengaruh paling signifikan

kekaisaran Ottoman datang dari Islam. Elit pemerintahan membentuk hirarki sosial melalui madrasah negara atau sekolah-sekolah istana. Murid-murid yang belajar di sekolah-sekolah itu mendapat kesempatan bekerja di pemerintahan dan banyak yang menjadi ilmuan di berbagai bidang. Pemerintahan Ottoman merangkul berbagai bangsa termasuk dari Turki, Arab, Slav dan Armenia. Setelah tidak berhasil menaklukan Vienna untuk kedua kalinya pada tahun 1683, kekaisaran Ottoman mulai melemah dan mengalami kemunduran. Proses kemunduran kekaisaran Ottoman yang panjang sejalan dengan kemajuan yang diraih negara-negara Eropa tetangganya di berbagai bidang termasuk pertumbuhan ekonomi, industri dan intelektual di sebahagian

besar negara Eropa. Karena kemajuan yang diraihnya, orang-orang Eropa menjuluki Ottoman Turki sebagai pesakitan. Sementara di negara-negara taklukan dinasti Ottoman berkembang semangat nasionalisme lokal yang ingin lepas dari kekuasaan Turki ditambah kolonialisme Eropa yan makin merambah berbagai belahan dunia makin memperlemah kerajaan Ottoman. Penulis-penulis Eropa tidak jarang menggambarkan kerajaan Ottoman dengan kesan negatif. Orang orang Eropa menggambarkan dinasti Ottoman suka berpesta pora, tidak dapat dipercaya, malas dan dungu. Akhirnya kerajaan Ottoman Turki runtuh setelah Mustafa Kemal Attaturk menerapkan sistim sekuler di Turki tahun 1924. Nurhayati Baheramsyah/Islam Today

Berlomba Menjadi Dhuyufurrahman Dekonstruksi Peran Da’i Oleh Watni Marpaung

Oleh Ziaulhaq

Penulis Tim Tafsir Alquran Al-Karim Ulama Tiga Serangkai dan Ketua Divisi Litbang Forum Kajian Islam Dan Masyarakat (FKIM)

Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Dakwah IAIN-SU dan Fakultas Agama Islam UISU

T

ingkat keinginan umat Islam untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima semakin tahun semakin meningkat. Padahal secara ekonomi, sebahagian besar masyarakat sangat terpukul dengan keadaan ekonomi yang tidak menentu. Tetapi semua itu terlihat seperti tidak menjadi penghalang untuk lebih dekat dengan pemilik alam ini sekaligus dapat bertamu di rumah-Nya. Bagaimana animo masyarakat yang begitu tinggi untuk berangkat ke tanah suci dapat kita lihat dari para pendaftar untuk jadi calon haji pada tahun yang akan datang. Bahkan terkadang sudah ada yang mendaftar diri atau keluarganya untuk dua, atau tiga tahun yang akan datang dan sampai pembatasan diri. Hal itu mengindikasikan adanya sikap saling berlomba untuk melakukan kebaikan sekalipun dengan biaya yang lumayan mahal. Agaknya inilah yang dimaksud oleh Allah dalam surat alBaqarah ayat 148, yang artinya: “ Berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan”. Ayat di atas mengisyaratkan bahwa berkompetisi dalam kebaikan dan kebenaran merupakan sikap yang baik dan harus dikembangkan. Sama halnya saudara-saudara kita yang pergi haji sangatlah wajar kita berharap agar kiranya dapat pula menyusul mereka menjalankan ibadah ke tanah suci. Bukan malah sebaliknya, berlomba-lomba dalam melakukan aksi kejahatan dan maksiat, sebagaimana yang banyak kita lihat saat sekarang ini. Memotivasi diri untuk haji Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa boleh iri kepada dua hal: pertama, mereka yang mempunyai ilmu pengetahuan kemudian menggunakan ilmu tersebut untuk beribadah dan lebih mendekatkan diri kepada Allah. Kedua, orang mempunyai harta kemudian dia membelanjakan hartanya di jalan Allah. Dalam petikan makna hadis di atas kita dapat memetik satu di antara kebolehan iri hati kepada mereka yang memang Allah mengharuskan kita iri hati kepada mereka. Adalah orang-orang yang membelanjakan atau menghabiskan hartanya di jalan Allah dengan berbagai cara, mungkin dengan berinfak kepada pembangunan mesjid, sekolah, membantu anak yatim, dan lain sebagainya. Namun apabila kita kelompokkan para calon haji yang akan berangkat ke tanah suci pun dapat dikagorikan kepada mereka yang membelanjakan hartanya di jalan Allah, sebab telah menghabiskan ongkos yang mencapai jutaan rupiah disamping uang belanja yang ditinggalkan untuk keluarga dan bekal dalam perjalanan. Oleh karena itu, kita semua yang belum menunaikan ibadah haji ke Baitullah harus merasa iri hati kepada mereka karena lebih dahulu membelanjakan hartanya di jalan Allah. Adanya perasaan konstruktif itu akan memberikan motivasi yang kuat kepada kita untuk dapat pula dikemudian hari menjadi dhuyuf al-rahman berikutnya. Bahkan terkadang tidak sedikit pula dari saudara kita yang mempunyai harta kekayaan yang melimpah dan kewajiban untuk melaksanakan haji itu sampai pada dirinya. Namun karena cinta dengan dunia, serakah, lebih tepatnya lagi merasa rugi karena akan mengurangi harta kekayaan yang dimilikinya. Sehingga dia lupa bahwa harta yang dimilikinya hanyalah titipan Allah yang harus dialokasikan kepada jalan yang diridhoi-Nya. Harta yang telah dibelanjakan di jalan Allah maka itulah harta yang mendapatkan keberkahan dan akan ditambah lagi oleh-Nya. Keikhlasan Niat

Kita semua yang belum menunaikan ibadah haji ke Baitullah harus merasa iri hati kepada mereka karena lebih dahulu membelanjakan hartanya di jalan Allah. Adanya perasaan konstruktif itu akan memberikan motivasi yang kuat kepada kita un-tuk dapat pula dikemudian hari menjadi dhuyuf al-rahman berikutnya Dalam beribadah kepada Allah harus seluruhnya didasari dengan penuh keikhlasan yang sebenar-benarnya. Tidak terkecuali dalam melaksanakan ibadah haji ke Baitullah haruslah dimulai dengan keikhlasan semata-mata untuk mendapatkan ridho-Nya. Begitu pentingnya ikhlas dalam mengabdi kepada Allah secara tegas dinyatakan Allah daalm surat al-Bayyinah ayat 5, yang artinya: “ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus dan supaya mereka mnedirikan shalat dan menunaika zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus”. Ayat di atas merupakan penegasan Allah yang tidak bisa ditawar-tawar lagi dalam menjalankann ibadah kepada-Nya. Keikhlasan yang mantap dalam hati ketika beribadah merupakan suatu tanda ibadah yang kita kerjakan bukan karena faktor yang lain selain dari diri-Nya. Sebab Allah menginginkan kemurnian secara totalitas ber-ibadah dan mengabdi kepada-Nya tanpa karena iming-iming kehidupan dunia. Demikian juga halnya dengan pelaksanaan ibadah haji ke tanah suci adalah ibadah yang wajib untuk dikerjakan bagi mereka yang mempunyai kemampuan mengadakan perjalanan, berupa bekal keberangkatan dan untuk yang ditinggalkan disamping keamanan. Namun demikian ibadah haji yang begitu banyak menyita waktu dan energi akan dapat menjadi sia-sia dan nihil sama sekali manakala dikotori oleh motivasi dan tujuan-tujuan yang bukan karena Allah, supaya disebut orang kaya, atau untuk mendapat gelar Pak Haji, atau agar menjadi beda dengan orang-orang yang belum haji misalnya. Motivasi-motivasi seperti merupakan diantara faktor-faktor yang dapat merusak ibadah para jama’ah haji dalam beribadah kepada-Nya. Sekalipun agama memerintahkan kita untuk selalu berlomba-lomba dalam kebaikan termasuklah diantaranya menunaikan ibadah haji ke Mekah, namun paling tidak harus pula dijaga diri kita dari hal-hal yang dapat merusak nilai-nilai ibadah yang kita lakukan sebagai sebuah introspeksi diri supaya tetap berada di jalan-Nya. Penutup Menjadi tamu Allah adalah sebuah sebutan yang sangat mulia dan terhormat dibanding dengan menjadi tamu pejabat negara atau pemerintah, sebab yang menerima kita adalah penguasa alam dan pengusa diri kita sendiri. Sudah sewajarnya kita semua berharap menjadi tamu yang mulia itu. Tetapi akan sangat cukup disayangkan jika motivasi atau niat menunaikan ibadah haji tersebut dikotori dengan hal-hal yang dapat merusak nilai ibadah itu sendiri.

H

iroko Horikoshi, antropolog asal Tokyo, dalam disertasinya yang berjudul “A Traditional Leader in a Time of Change: The Kijaji and Ulama in West Java”. Disertasi ini memang bukanlah suatu kajian yang baru dalam kajian antropologi, tetapi menarik untuk dikemukakan di sini. Sebab, salah satu temuannya adalah menegaskan bahwa peran da’i (baca: kiyai) tidak hanya sekadar sebagai makelar budaya (cultural broker), tetapi juga sebagai kekuatan perantara (intermediary forces), yang sekaligus berperan sebagai agen yang mampu menyeleksi dan mengarahkan nilai-nilai budaya yang akan memberdayakan masyarakat. Temuan Horikoshi ini jelas menunjukkan da’i memiliki peran signifikan dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Sebab, da’i bukan hanya sebagai —sekedar—pembimbing agama, tetapi juga merupakan makelar budaya atau lebih dari pada itu juga berperan sebagai kekuatan perantara untuk melakukan pemberdayaan ma-syarakat. Artinya, da’i tidak hanya siap dalam wilayah keagamaan, tetapi juga mampu memberikan pendampingan bagi upaya mewu-judkan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat. Dalam konteks inilah tulisan ini dimaksudkan untuk menegaskan pentingnya dekontruksi peran da’i. Sebab, sebagaimana diketahui bahwa ada kesan peran da’i hanya berhenti pada ranah keagamaan semata, padahal sebenarnya peran da’i mencakup segala aspek kehidupan ini. Jika demikian, tentu upaya dekon-truksi peran da’i yang lebih luas merupakan sesuatu yang pen-ting dalam mewujudkan peranan yang benar-benar aplikatif dalam kehidupan. Karena tanpa adanya upaya dekontruksi maka tentunya peran da’i bisa dipastikan tidak akan berhasil sebagaimana mestinya. Agenda Dekonstruksi Peran Da’i Tidak dapat dipungkiri da’i memiliki peran signifikan dalam upaya perluasan dakwah. Sebab, da’i—dalam makna yang luas— merupakan “agen” risalah kenabian dengan misi kemanusian. Misi kemanusiaan ini tidak hanya berkaitan dengan persoalaan keagamaan semata, tetapi juga berperan aktif dalam upaya mengebangkan potensi kemanusiaan, sehingga benar-benar mampu mewujudkan tugas utama manusia sebagai khalifah untuk menjaga dan

melestarikan bumi ini. Da’i harus mampu tampil sebagai pendamping bagi kepentingan masyarakat, terutama bagi masyarakat yang menghadapi pelbagai problematika kehidupan, baik itu ekonomi, politik ataupun sosial, juga mampu memberikan advokasi kepada masyarakat. Penegasan peran da’i ini penting untuk dikemukan. Sebab, ada kesan selama ini bahwa peran da’i hanya berhenti pada ranah keagamaan semata dan cenderung mengabaikan misi kemanusiaan—yang juga tidak kalah pentingnya dari tugas keagamaan— menjadi sebagai partner bagi kepentingan masyarakat. Karena memang da’i harus mampu berperan ganda sebagai pembim-

nya sebagai pendamping kepentingan masyarakat tidak akan pernah berjalan—sebagaimana mestinya—karena masih dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi para da’i terhadap masyarakat. Mewujudkan peran da’i sebagai pemberdaya masyarakat ini tentunya menjadi peran utama para da’i disamping sebagai pembimbing keagamaan. Karena memang sebagaimana yang disebut peran para da’i idealnya mencakup dua hal ini sekaligus supaya kedua kepentingan ini dapat berjalan secara seimbang. Tampaknya, tidak terpenuhinya kedua peran inilah yang menjadi penyebabkan mengapa peran da’i hanya berhenti pada ranah pembimbing keagamaan semata dan cenderung abai persoalan

Sebab, ada kesan selama ini bahwa peran da’i hanya berhenti pada ranah keagamaan semata dan cenderung mengabaikan misi kemanusiaan bing jalan menuju agama dan sekaligus pembimbing menuju jalan ke-baikan kehidupan masyarakat, dengan menjadi pendamping yang mampu mengoptimalkan potensi masyarakat menjadi manusia produktif berdaya guna bagi kehidupan. Di sinilah menariknya menegaskan pentingnya dekonstruksi peran da’i supaya da’i mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi kepentingan masyarakat, terutama dalam mewujudkan pemberdayaan potensi masyarakat dalam segala aspek kehidupan. Jika demikian, tentu syarat utamanya adalah para da’i harus orang yang mandiri dari sisi ekonomi dan terampil dalam wawasan. Sebab, apabila da’i tidak memiliki kemampuan ini, maka tentu saja bukan hanya peran dalam wilayah keagamaan saja yang stagnan dijalankan, tetapi lebih dari pada itu peran pendampingannya juga tidak akan pernah terapresiasi. Mewujudkan peran da’i yang dimaksud tentu saja diperlukan upaya yang maksimal menuju ke arah tersebut. Sebab, tanpa adanya upaya yang maksimal dari para da’i peran yang dimaksud tidak akan pernah tercapai. Sebagaimana yang disebut bahwa upaya menuju ke arah ini, terutama kemandirian harus dimulai dari merubah paradigma para da’i yang hidup dan ketergantungan ekonomi dari masyarakat. Tanpa merubah paradigma ini peran-

sosial kemasyarakatan, itu juga disebabkan para da’i yang tidak memiliki sense of responsibility terhadap apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tidak terlalu berlebihan juga kalau dikatakan ini juga yang menjadi penyebab terjadi komersialisasi peran da’i juga berkaitan khusus dengan kenyataan hal ini, sehingga peran da’i dijadikan sebagai objek untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, yang seharusnya tidak perlu terjadi. Kenyataan ini juga justeru menunjukkan bahwa peran da’i bukan hanya persoalan keagamaan saja. Sebab, tidak adanya tanggung jawab sosial para da’i dalam menjalankan tugasnya inilah menjadi faktor utama menguatnya kecenderungan komersialisasi peran tersebut. Selain itu, penting juga ditegaskan keberhasilan dari peran satu dari kedua ini sepenuhnya sangat tergantung antara satu dengan lainnya. Sebab, saling mendukung dalam mewujudkan peran da’i sebagai pembimbing sekaligus advokasi bagi kepentingan masyarakat. Jika demikian, dekonstruksi peran da’i maksudkan sebagai penegasan peran utama da’i yang memang seharusnya mampu menjadi agen-agen yang membawa perbaikan dalam tatanan kehidupan harus terwujud. Sebab, tanpa dekontruksi peran ini maka tentunya peran da’i tidak lebih hanya sebagai bagian dari aksesoris sosial. Menyadari hal inilah, dapat

dikatakan peran da’i selama ini stagnan disebabkan peran utama ini tidak benar-benar dapat teraplikasi secara maksimal. Karena memang peran yang disebut ini merupakan peran utama yang tidak boleh diabaikan para da’i. Untuk itu, setidaknya para da’i harus mereorientasi perannya, supaya perannya sebagai agen perbaikan dapat teraplikasi secara baik dalam kehidupan ini, tanpa upaya ini dapat disebut para da’i tidak akan pernah benar-benar sesuai sebagaimana yang dimaksudkan. Demikian dalam konteks teknis misalnya para da’i juga harus mampu menyiapkan konten dakwah yang berkaitan tentang kebutuhan kekinian. Misalnya, para da’i harus mampu mengaitkan materi dakwah dengan pentingnya pemerhatian ling-kungan, hak asasi manusia, kemajuan teknologi dan lainnya. Sebab, kecenderungan materi dakwah yang kita lihat selama ini hanya berkaitan dengan persoalan teologis dan ibadah yang—terkadang—cenderung jauh dari kenyataan kehidupan yang sebenarnya dihadapi masyarakat. Pemilihan materi dakwah ini dimaksudkan bahwa setidaknya masyarakat dapat tercerahkan dengan infomasi-infomasi yang memang seharusnya mereka ketahui. Dalam hal ini tentunya, para da’i dituntut untuk lebih serius lagi dalam up date informasi yang berkembang. Sebab, tanpa upaya ini para da’i tidak akan mampu memberikan informasiinformasi yang benar-benar mencerahkan bagi kehidupan masyarakat. Apabila hal ini dapat diwujudkan tentu saja peran da’i sebagai agen perbaikan dapat benarbenar menunjukkan perannya sebagai pembimbing dan advokasi sekaligus bagi kepentingan masyarakat. Dengan demikian, dekonstruksi peran da’i dimaksudkan untuk mewujukan peran da’i yang benar-benar tepat sasaran, dengan mengedepankan mana sebenarnya peran utama yang memang tidak boleh diabaikan. Karena sebagaimana yang dikemukan peran da’i bukan hanya sebagai pembimbing keagamaan, tetapi lebih dari pada itu juga sebagai advokasi bagi kepentingan masyarakat. Jika upaya ini dapat dilakukan para da’i maka tentunya diharapkan perbaikan dalam kehidupan akan benar-benar terwujud sebagaimana mestinya, dan itu semua sepenuhnya tanggung jawab para da’i yang memiliki tugas sebagai agen perbaikan dalam kehidupan ini


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.