Waspada, Minggu 17 Juli 2011

Page 6

Budaya

A6

Sejarahwan Utama Anumerta

WASPADA

Minggu 17 Juli 2011

Catatan Budaya

OOS

Penghargaan Untuk T Luckman Sinar

Oleh S. Satya Dharma

Oleh: Tengku Mira Sinar PENGAKUAN Masyarakat Sejarahwan Indonesia (MSI) atas dedikasi Marhom Sultan Serdang VIII YM Tuanku Luckman Sinar Basarshah II SH, dalam bidang sejarah telah dibuktikan dengan pemberian penghargaan “Sejarahwan Utama” pada acara Kongres Masyarakat Sejarahwan Indonesia sekaligus Konferensi Nasional Sejarah IX di Hotel Bidakara Jakarta, 5-7 Juli lalu. Penghargaan itu diserahkan langsung kepada YM Tengku Daratul Qamar gelarTengku Suri Serdang disaksikan putri bungsu dan cucu almarhum beserta ratusan anggota MSI dari berbagai provinsi se-Indonesia dan Malaysia. Suasana haru terasa ketika Ketua Umum MSI Dr Mukhlis PaEni menceritakan sekilas mengenai prestasi Alm Tengku Luckman Sinar di bidang sejarah, seni, dan budaya. Linangan air mata dari keluarga dan sahabat almarhum sesama sejarahwan mengiringi penyerahan piagam dan plakat “Sejarahwan Utama Anumerta”. Kepedulian MSI atas jasa almarhum sebagai salah satu sejarahwan Indonesia dipuji dan keputusanDewanPenasehatMSI memberikan gelar “Sejarahwan Utama” sangat kami dihargai. Sumbangsih dan dedikasi almarhum dalam bidang sejarah yang digeluti tiada henti semasa hidupnya menambah makna anugerah kehormatan seperti ini. Kilas Balik Seminar Sejarah Nasional yang pertama dilaksanakan pada 1957 di kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Masalah pokok utama saat itu ialah bagaimanakah bangsa yang telah mencapai kemerdekaannya ini “mendapatkan sejarah bangsa yang otentik, terbebas dari sudut pandang kolonial, dan tidak terjerumus region-sentrisme”. Masa itu, Tengku Luckman Sinarbelumterlibat,tetapiseminar tersebut telah menginspirasinya untuk meneliti sejarah leluhur Kesultanan Serdang. Sekilas mengenang beliau ketika membaca tema Konferensi Nasional SejarahIXlalu,“MenggaliKearifan SejarahSebagaiUpayaPeneguhan Karakter Bangsa”, keinginan almarhum terkabul menggali sejarah leluhur “Serdang” sebagai titik awal memulai karier dan jatidirinya sebagai sejarahwan, terbukti menancapkan tonggak sejarah ketika dinobatkan sebagai Sejarahwan Utama. Tengku Luckman Sinar mengawali menulis sejarah“Tuanku Seri Paduka Gocah Pahlawan” yang diterbitkan pada 1959. Karya perdana ini menoreh sejarah baru bagi puak Melayu terutama keturunan Gocah Pahlawan. Sebagaimanadiketahuiberdirinya Kesultanan Deli dan Serdang berasal dari keturunan Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan, seorangPanglimaSultanIskandar Muda Aceh. Tuanku Sri Paduka Gocah PahlawanmenikahdenganPuteri NangBaluanberuSurbaktiUrung Sunggal X Kuta. Dari keturunannyalah,lahirSultanDelidanSultan Serdang (baca Kronik Mahkota Kesultanan Serdang karangan

Waspada/ist

PENGHARGAAN Sejarahwan Utama Anumerta untuk T Luckman Sinar diterima YM Tengku Daratul Qamar gelar Tengku Suri Serdang (kanan).

T. Luckman Sinar, 2003). Perjalanan hidup seorang manusia adalah sejarah bagi diri danbangsanya.TengkuLuckman Sinar berprinsip “adalah kewajiban kita untuk mengetahui, menggali, mempelajari asal usul diri kita sendiri”, “bagaimana kita dapat menjadi pimpinan jika kita tidak dapat memimpin diri kita sendiri”. Kedua prinsip di atas menunjukkan karakterTengku Luckman yang teguh pada pendiriannya bahwa ia terlahir sebagai putra Melayu, mengisi perjalanan hidupnya untuk membesarkan Melayu, hingga akhir hayat mangkat (meninggal) sebagai Sultan/Kepala Adat Melayu. Pada usia 27 tahun, beliau menulis sejarah sebuah kesultananyangwilayahnyasangatluas dan butuh penelitian panjang. Tulisan itu sudah dicetak berupa diktat dan brosur pada 1960 kemudian disempurnakan menjadi buku bertajuk “Sari Sedjarah Serdang” yang dicetak awal 1971 sebelum diambil alih cetak oleh Departemen P dan K Jakarta pada 1986. Buku ini banyak mendapat pujian, terutama dari Alm HM Said, pendiri Waspada. Sejenak kita perhatikan cuplikan kalimat pada kata pengantar di dalam buku tersebut. “Saya mengakui bahwa apa jang ditjoba disusun dalam buku sederhana ini djauh daripada sempurna, bagi penggemar2 sedjarah untuk menggali dan menjempurnakan sedjarah daerah kita sendiri dalam penjusunan Sedjarah Nasional Indonesia jang lebih lengkap dimasa2 jang akan datang”. BagiTengku Luckman Sinar, buku “Sari Sedjarah Serdang” dianggap sederhana. Beberapa buku tentang sejarah lain banyak tersebar dan mudah didapat, di antaranya Perang Sunggal, SejarahMedanTempoeDoloe,Kronik Mahkota Kesultanan Serdang, BangundanRuntuhnyaKerajaan Melayu di Sumatera Timur, “The Coming of the Chinese Immigrants to East Sumatra in the 19th Century”, “The Indians in North Sumatra”, dan banyak lagi. Begitu juga karya ilmiah hasil

penelitiannya yang berjumlah ratusan diktat, sangat bermanfaat bagi pemerhati sejarah, antara lain mengenai “DELI (East Sumatra) in the Daghregister of the V.O.C. in the 17th Century”, Kerajaan Haru dan Aceh, Sejarah Kereta Api DSM di SumateraTimur, Barus (Pansur-Pansur) Pusat Islam tertua di Asia TenggaraPasifik,PerangSabbilOrangMoro di Philipina Selatan, Sejarah Bajak Laut di Selat Malaka, Orang Jawa di Sumatera Timur, Orang Perancis di Sumatera Utara, dan sebagainya. Mengenang setiap pemikiran Tengku Luckman selalu menginspirasi penulis, terutama pendapatnya yang mengatakan bahwa “hidup manusia tak lepas

untukpembuktiansejarahbahwa penemuan mereka memang benar adanya. Selama 40 tahun usia persahabatan antaraTengku Luckman Sinar dan McKinnon membuahkan hasil penelitian gemilang. Tulisan-tulisan mereka tentang Kerajaan Haru telah tersiar melampaui belahan benua, bahkan menjadi penulis jurnal “National Geographic” Amerika yang sangat bergengsipun sudah mereka capai. Saya terkenang ketika menemani ayahnda Tengku Luckman Sinar memenuhi undangan Edwards McKinnon meninjau penemuan situs Haru di Kota Rantang pada 2008 lalu. Saat itu, kondisikesehatanayahndasudah

Ia terlahir sebagai putra Melayu, mengisi perjalanan hidupnya untuk membesarkan Melayu, hingga akhir hayat (meninggal) sebagai Sultan/Kepala Adat Melayu.

dari masa lalu, menata hidup dengan etika (budaya), perjuangan dalam kehidupan (politik), dan hidup di dunia harus mempunyai aturan (hukum) baik adat maupun negara”. Beliau juga kerap melontarkan kritik terhadap pejabat daerah yang lebih banyak memusnahkan bangunan lama untuk mendirikan bangunan baru tanpa melihat akibat kerugian hilangnya bukti-bukti sejarah. Menurut pendapatnya, pemerintah tidak menangkap esensi budaya yang juga berarti tidak menghargai fakta sejarah. Banyak kelalaian yang dilakukan pemerintah dalam memelihara aset budaya, seperti museum-museum daerah yang nasibnya semakin suram. Bandingkan dengan fasilitas mewah yang disediakanuntukpetingginegara, gedung yang masih layak dipakai lima tahun ke depan malah dipoles berulang-ulang. BagiTengku Luckman Sinar, proses penggalian sejarah tidak akan pernah selesai. Bersama seorang arkeolog asal Inggris, Edwards McKinnon, beliau memulai penelitian Kerajaan Haru yang disebut sebagai kerajaan Melayu tertua di pulau Sumatera bagian utara. Tujuan mereka

parah dengan terjadi penyumbatanpembuluhdarahditengkuk dan kakinya. Entah mengapa ayahnda begitu semangat ingin bertemu sahabat karibnya itu. Saya mengikuti saja walau hati ini was-was. Rombongan yang berangkat berjumlah6orangmenggunakan kendaraan pribadi Tengku Luckman Sinar. Perjalanan menuju Kota Rantang sebenarnya sudah cukup melelahkan, tetapi ayahnda tetap gembira bercerita dan bercanda.Sayaterusmemperhatikan kondisinya dan menyarankan untuk istirahat sejenak berdasarkan pesan dokter. Sesampainya di Kota Rantang, kami sudah ditunggu dua guide atas arahan McKinnon. Kami melewati perkebunan karet dan sawit, menyusuri pematang sawah dengan berjalan kaki. Konjen AS dan Perancis, Mr Sean dan Mr Oliver, sudah paham kondisi kesehatan ayahnda sehingga merekaberjalanperlahanmenyesuaikan keadaan ayahnda yang beberapa kali berhenti istirahat. Akhirnya sampai juga kami di lokasi situs penemuan McKinnon, pelukan hangat dua sahabat antara ayahnda dan McKinnon menjadi pemandangan yang

mengharukan, rasanya lega hati saya melihat raut bahagia ayahanda. Ternyata inilah pengalaman terakhir almarhum Tengku Luckman Sinar berkaitan dengan penemuan situs baru atas penelitian mereka tentang Kerajaan Haru. Lalu, bagaimana kita menanggapi sumbangsih waktu, tenaga dan materi yang mereka berikan, yang seakan tidak berarti ketika peninggalan sejarah nenek moyang tidak menjadi perhatian utama pemerintah? Apalah daya kumpulan kecil masyarakat pecinta sejarah melawan kuasa aparat negara. Penghancuran situs-situs sejarah oleh penguasa negeri dan pengusaha berkantong tebal selalu menggoreskan luka di hati pecinta warisan leluhur. Kini, “Sang Penajam” Cagar Budaya itu telah pergi menghadap sang Khalik, meninggalkan sahabatsahabatnya pecinta sejarah, membawa luka yang tak pernah sembuh seakan tak ingin melihat monster buldoser yang sudah menunggu “perintah” menghancurkan situs-situs sejarah yang diperjuangkannya. Pengabdian dan jasaTengku Luckman Sinar sebagai sejarahwan dan budayawan bagi pemerintahsetempatibaratkatakiasan; “yang jauh diingat, yang dekat seakan tak nampak”. Padahal almarhum adalah penyusun dan penulis sejarah Sumatera Utara, Kota Medan, Langkat, Binjai, Deliserdang, Kesultanan Deli, Langkat, Asahan, Serdang, dan banyak lagi. Bahkan, seminggu sebelum wafat, beliau masih sempat memberi dokumentasi sejarah koleksi pribadinya kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan dan Sumatera Utara, agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kepariwisataan di tanah kelahirannya tercinta ini. Kami bersyukur Universitas Sumatera Utara melalui Fakultas Sastra telah memberikan apresiasinya dengan mengadakan Seminar Internasional Pemikiran Tengku Luckman Sinar Tentang Kemelayuan Dan Keindonesiaan pada 23 Februari 2011 lalu. Kemudian Masyarakat Sejarah Indonesia juga telah mengakui Tengku Luckman Sinar sebagai “Sejarahwan Utama”. ***

Mengelola Portal Sastra Secara Profesional Oleh: Yulhasni SUATU ketika, di Sumatera Utara pernah ada website (portal) sastra bertajuk sastramedan.com. Situs sastra yang dikelola oleh sejumlah sastrawan di Sumatera Utara ini sempat eksis beberapa lama namun akhirnya tutup tanpa alasan yang jelas. Mungkin sebagai salah seorang pengelola portal tersebut, problem terbesar untuk pengelolaan portal sastra terletak pada waktu dan pendanaan. Sehingga keinginan sastrawan untuk menjadikan sastramedan.com bisa eksis dan menjadi ikon baru dalam khazanah sastracyber menjadi buyar. Sastra cyber adalah sebuah revolusi di dunia kesusteraan Indonesia. Boleh jadi kemunculan cybersastra merupakan satu langkah dari genre baru sastra Indonesia setelah munculnya sastra majalah, sastra koran, dan sebagainya. Kehadiran genre baru ini tentu saja akan melahirkan berbagai reaksi, baik positif maupun negatif. Namun harus diakui bahwa revolusi ini kemudian melahirkan sejumlah nama yang memulai berkarya lewat dunia cyber (baca : blog), di

antaranya Raditya Dika yang terkenal lewat novel Kambing Jantan. Memang, pengelolaan portal sastra harus berlandaskan sebuah komitmen yang betul-betul ingin meningkatkan kualitas sastra di dunia maya. Tujuannya sederhana saja agar sastra bisa berkembang pesat setelah media cetak dinilai belum maksimal memberi ruang ekspresi bagi pencipta sastra. Makanya kehadiran portal sastra bisa jadi oase di tengah kerinduan akan eksistensi penciptaan sastra itu sendiri. Akan tetapi seringkali kegagalan pengelolaan portal sastra hanya karena dinilai tidak memiliki kualitas ukuran sastra yang konvensional. Saat sastracyber dengan sifatnya yang bebas itu muncul, banyak pihak kemudian menuding sebagai ajang untuk bermain-main. Para tuantuan guru sastra pun seperti enggan masuk ke wilayah ini karena merasa kredebilitasnya sebagai ‘ahli’ sastra akan turun. Kondisi ini telah berlangsung cukup lama sehingga dalam peta kesusasteraan pun,

cybersastra tidak masuk dalam wilayah yang perlu diperbincangkan. Sastracyber selalu kalah bersaing dengan sastra media cetak yang dianggap sebagai representasi kualitas penciptaan karya sastra itu sendiri. Anggapan orang bahwa sastracyber eksklusif agaknya perlu diluruskan. Justru kehadirannya sangat inklusif, bebas berinteraksi dan melahirkan sejumlah kepercayaan bagi para pemula di bidang penciptaan sastra. Di Sumatera Utara, beberapa sastrawan membuat portal sendiri. Saya sempat membaca di antaranya M Raudah Jambak yang mengelola www.mraudahjambak.blogspot.com, dan www.komunitashomepoetry. Portal ini berisi berbagai aktivitas kegiatan sastra yang diikuti oleh Raudah Jambak. Sebagai sebuah portal pribadi, Raudah boleh kita katakan berhasil. Namun yang diharapkan tidak sekadar itu saja melainkan sebuah gerakan massif untuk menggerakkan sastra di dunia maya. Saya kemudian mencoba berselancar di

dunia maya dan menemukan sebuah portal sastra baru di Sumatera Utara bertajuk www.latterater.com. Meski belum diluncurkan tetapi portal ini telah dikunjungi lebih dari 378 member dan mereka semua berpartisipasi untuk mempublikasikan karyakaryanya. Daftar pengunjung itu terlihat sejak portal ini sebulan yang lalu dipublisikasikan lewat dunia maya. Tercatat telah 861 tulisan dimuat di portal ini. Portal ini telah menembus angka 5,939,752 dalam peringkat website secara global sejak didirikan pada 13 Juli 2011. Kehadiran www.lettarater.com mungkin bisa salah satu alternatif pengelolaan portal sastra yang bermuara kepada peningkatan kualitas. Tentu saja ini berkait dengan keinginan agar situs sastra mampu bertahan di tengah sulitnya mencari pendanaan. Dalam catatan www. alexa.com, salah satu website yang selalu jadi referensi pemasang iklan di Indonesia, portal www.lettarater.com telah

menembus angka 98,491 dan pernah masuk peringkat 60 ribuan dalam peringkat website di Indonesia. Jika sebuah portal telah mampu meraih iklan, sama seperti media cetak, maka diyakini kualitasnya pun akan semakin baik. Pengelolaan portal yang berkualitas membuat pengunjung yakin untuk mengirimkan karya yang berkualitas pula. Muara dari semua itu adalah proses seleksi pemuatan yang seideal diharapkan banyak orang. Karya-karya yang dihasilkan pun mampu bersaing dengan karya sastra yang terbit di media cetak, baik majalah maupun koran yang menyediakan ruang sastra. Bisa jadi, pengelolaan yang serius membuat portal sastra tidak hanya sekadar sebuah revolusi dalam sastra, melainkan terobosan dalam genre sastra di dunia maya. Revolusi itu harusnya lahir dari daerah ini setelah sekian lama tak mampu berkompetisi dalam ranah sastra yang lebih besar di wilayah sastra Indonesia. * Penulis adalah Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU

KAMIS, pekan lalu, saya mendapat kehormatan untuk hadir dalam acara Omong Omong Sastra (OOS) yang digagas sejumlah sastrawan Medan di rumah kediaman aktivis lingkunganhidupsekaligussastrawan,JayaArjuna. Di tengah sejumlah seniman, sastrawan dan penggiat kesenian itu, selain mendengarkan, Alhamdulillah, saya memperoleh kesempatan juga untuk bicara. Di rumah bang Jaya Arjuna yang tetap energik itu, hadir pula sastrawan Damiri Mahmud, Sulaiman Sambas, D. Rivai Harahap, Raudah Jambak, Teja Purnama, Nasib Ts, serta kritikus sastra Mihar Harahap dan sejumlah penyair dan pemerhati sastra dari kalangan kampus. Sedangkan penyair Suyadi San dan adinda Sakinah tampil sebagai pembicara. Adabanyaktopikmenarikyangmunculdalam OOS di rumah bang Jaya itu. Antara lain terkait kegelisahan Suyadi San terhadap tidak adanya juru bicara sastra Sumut di tingkat nasional, tidak adanya kritikus sastra yang konsisten dan masih belum “cairnya” hubungan sastra dan politik sebagaimana yang disampaikan adinda Sakinah. Terhadap kegelisahan Suyadi itu, sejumlah sastrawan menanggapinya dengan beragam pendapat. Pertanyaan besarnya adalah, apakah sastra perlu jurubicara? Sebab, sejatinya setiap karya sastra adalah jurubicara bagi dirinya sendiri. Tak perlulah ada jurubicara khusus, apalagi itu sekadar demi memperkenalkan dinamika kreatif sastrawan Sumut di level nasional (baca: Jakarta). Mihar Harahap, dengan mengutip pendapat Prof. Mursal Esten, bahkan mencontohkan bagaimana sastrawan Sumatera Barat berhasil memposisikan dirinya sebagai salah satu kiblat sastraIndonesialewatapayangdisebutnyasebagai “sastra jalur kedua”. Sebagai kerja kreatif, saya sendiri berpendapat sastra memang tidak membutuhkan jurubicara. Namun, bagaimana agar karya para sastrawan Sumatera Utara bisa lebih dikenal khalayak, lebih tersosialisasi, lebih membumi, di sinilah sesungguhnya diperlukan kerja keras dari para sastrawan itu sendiri. Saya menyebut kerja keras itu dengan membangun semangat enterpreneurship. Apa yang dibutuhkan oleh sastra Sumatera Utara agar karya-karya para sastrawannya bisa dikenal secara nasional bahkan internasional, adalah mendorong lahirnya sastrawan-sastrawan enterpreneurshipitu.Yaknisastrawanyangmampu memanfaatkan semua ruang publik untuk memperkenalkankarya-karyayangdihasilkannya. Sudah bukan masanya lagi sastrawan di Sumut mengeluh atas rendahnya apresiasi,

kurangnya perhatian dan tidak adanya dukungan dari pemerintah. Sastrawan, sebagaimana profesi kreatif lainnya, harus mampu memperkenalkan diri dan karyanya kepada khalayak, apapun cara yang ditempuhnya. Profesi menjadi sastrawan tidaklah lebih rendah dari profesi dokter, bintang film atau penyanyi. Kinilah saatnya sastrawan Sumut harus tampil lebih berani, lebih tegas dan lebih percaya diri. Bukan semata-mata demi popularitas, sebab popularitas sesungguhnya sangat gampang diraih jika kita punya sedikit saja nyali, tapi lebih untuk membangun citra positif atas karya-karya yang dihasilkan para sastrawan itu sendiri. OOS adalah forum silaturrahmi yang baik bagi sastrawan dan umumnya Seniman di Sumut.Tapi hendaklah forum itu tak berhenti hanya sebatas silaturrahim belaka. Harus ada “goal” yang dituju. Harus ada dampak dari acara seperti ini. Sayapun mengusulkan pada para sastrawan, penggiat sastra dan para seniman yang hadir pada hari itu untuk melakukan aksi lebih nyata demi membangun citra positif itu. Salah satunya adalah dengan mempertanyakan kepada Pemko Medan, khususnya padaWali Kota Medan, Rahudman Harahap, berapa besar sesungguhnya alokasi anggaran dari APBD Medan untuk kegiatan kesenian di kota ini. Pertanyaan ini penting, terutama karena pada peringatan HUT Kota Medan ke-421 yang lalu misalnya, tidak ada satupun sastrawan/seniman Medan yang dilibatkan dalam berbagai acara yang diselenggarakan Pemko Medan. Padahal anggaran yang dihabiskan untuk semua kegiatan HUT itu, yang bahkan sampaisampai merasa perlu mengundang artis dari Jakarta, bisa-bisa menghabiskan dana ratusan juta atau bahkan miliaran rupiah. Maka, dengan landasan semangat enterpreneurship dan aksi nyata seperti inilah kegiatan OOS kita harapkan bisa terus berkelanjutan. Dengan semangat itu pulalah aktivitas sastra di kota ini, Sumatera Utara pada umumnya, kita yakini akan terus hidup, bergerak dan membangun dirinya tanpa perlu menunggu lahirnya seorang jurubicara atau bahkan pengakuan dari orang-orang di Jakarta sana. Semoga! (*) *Penulis adalah Sekjen Multiculture Society dan Koordinator Gerakan Relawan Medan Hijau (Gerilya-Mu)

Bengkel Sastra Di Bireuen (Bagian Pertama)

Betapa Subur Ladang Ide Oleh: Hasan Al Banna KOTA Bireuen (Aceh) menjadi lokasi Bengkel Sastra: Proses Menulis Kreatif Sastra bagi Siswa SMA Sederajat se-Kabupaten Bireuen, 11-13 Juli 2011 lalu. Kegiatan ini digelar Balai Bahasa Aceh dan Kementerian Pendidikan Nasional. Sejumlah 32 siswa dari sejumlah SMA di Kabupaten Bireuen mengikuti acara ini, yang berlokasi di SMKN 1 Bireuen. Saya beruntung dipilih panitia sebagai pemateri untuk ‘melecut’ siswa gemar bersastra. Namun, untuk apa sebenarnya Bengkel Sastra digelar? Sesungguhnya, tidak arif lagi menggunjingkan bagaimana‘kefakiran’ proses pembelajaran sastra yang berlangsung di sekolah. Sesaat, paling tidak dalam tulisan ini, izinkan saya memberi tanda baca titik untuk itu. Apa sebab? ‘Gunjingan’ ini sudah terlalu lama meletihkan telinga. Sesekali, telinga perlu disegarkan, untuk menangkap banyak hal yang kelak memaslahatkan sastra di tengah-tengah generasi muda. Salah satunya, ya, dengan mengefektifkan Bengkel Sastra. Memang, sejak tahun 1994, Pusat Bahasa, DepartemenPendidikanNasional(sekarangBadan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional) mencoba menciptakan terobosan dengan kegiatan yang diberi nama Bengkel Sastra. Melalui kegiatan Bengkel Sastra, Pusat Bahasa mengajak siswa, khususnya SMP dan SMA mencintai; mengenal, mempelajari dan memahami sastra. Mengapa “Bengkel”? Nah, sekarang, beri saya kesempatan menjulurkan pertanyaan yang menggelitik, mengapa istilah bengkel yang dipakai? Apakah istilah itu yang ‘memerintahkan’ panitia lokal di Bireuen menyiapkan SMKN 1 sebagai lokasi kegiatan, bahkan menyediakan ruangan yang seyogianya untuk praktik mesin para siswa SMK tersebut. Namun itu tidak soal. Sastra itu dekat dengan ranah kreatif. Sebuah peristiwa kreativitas tidak akan mendewakan tempat dan waktu. Benar, ketika mendengar istilah Bengkel, tentu jarum kompas pemikiran orang banyak akan menuding kepada kegiatan berbagai jenis kendaraan. Namun, pada konteks ini kita tidak membicarakan bengkel tempat memperbaiki mobil atau motor, tetapi kita membicarakan suatu ruang atau tempat siswa SMP dan SMA mengenali denyut jantung sastra. Wadah atau tempat para siswa SMP dan SMA bersastra, ya, dinamakan Bengkel Sastra. Di tempat inilah para siswa SMP dan SMA berkumpul untuk mengenal, merembukkan dan mendebatkan bagaimana karya sastra itu dibuat, dibaca, dipahami, diapresiasi, bahkan dipentaskan di bawah bimbingan sastrawan atau praktisi yang unggul. Sebenarnya, kegiatan ini juga yang berlangsung di kelas formal, tetapi prinsip belajar yang menyenangkan pada bengkel yang menjadi pembeda. Bengkel Sastra Menulis Fiksi Oleh karena itu, di berbagai bengkel kerap mengajak peserta untuk bermain-main dalam mengenal sastra, termasuk ketika di Bireuen. Menurut saya, bukankah serius dalam ranah mainmain lebih efekti ketimbang main-main dalam keseriusan? Alhamdulillah, seluruh peserta bengkel di Bireuen menunaikannya dengan cerdas. Bermula dari pertanyaan: bagaimana cara menaklukkan ide cerita? Hal itulah yang menjadi fokus utama saya ketika berhadapan dengan 32

siswa peserta bengkel.Tahapan ini menjadi penting karena kesulitan mendasar dalam memulai menciptakan karya adalah persoalan menemukan bahan baku (baca: ide). Urusan bagaimana mengelola ide memang penting, tetapi apa yang hendak dikelola kalau kiat menemukan ide cerita tidak dimiliki? Begitulah,parasiswapundigiringmemproduksi hasilpikiranterkaitbenda-bendayangsayasodorkan. Lantas, ruangan bengkel pun penuh gula-gula ide. Ambil misal, ketika peserta wajib melontarkan cipta pikir mereka terkait dinding dalam sewujud kata, maka berhamburlah hasil semisal: jam, papan tulis, jendela, cicak, bata, batu, lukisan, pintu, gorden, bingkai, cat, dan lain-lain. Bahkan, ada seorang peserta melontarkan kata: kencing.Apalandasannya,tanyasaya.Siswatersebut menjawab: Banyak orang sering kencing di dinding, Pak! Menjadi Kulkas Permainan memantulkan hasil pikiran terkait sewujudbendamerupakanlatihansederhanauntuk mengait ide. Pada hilirnya, para peserta makin kreatif melontarkan hasil perenungan mereka soal benda (baca: objek). Dari satu kata menjadi dua kata, kemudian dari satu kalimat menuju berderet kalimat, menuju paragraf, seterusnya menuju pada suatu jalinan cerita yang utuh, bisa jadi. Ya, hal itu dapat dibuktikan! Begini caranya, setiapsiswasayamintamenuliskansatunamabenda di potongan kertas yang kemudian diaduk di sebuah wadah. Selanjutnya, tiap-tiap peserta mengambil potongan kertas tersebut. Dengan cara demikian, setiap peserta memiliki peluang memperoleh potongan kertas yang bukan miliknya. Bagaimana kelanjutannya? Setiap peserta harus memosisikan diri sebagai benda itu, lantas menuangkan hasil pikiran masing-masing sesuka hati. Coba simak apa yang dihasilkan peserta bernama FannyWulandari (SMA 1 Bireuen) terkait kata yang diperolehnya, yaitu: kulkas. “Tahukahkamu,saatinisejujurnyakakikusedang kesemutan. Namun demi kau yang selalu ingin menggali kabar dariku, kugagahi gumpalan es yang memasung diri di kotak beku atas kepalaku. Kuseokseokkan nafasku agar dapat sedikit menuai madu dalam cawan tahumu… Kalau boleh aku berkicau, sumpah, kuproklamirkan bahwa aku muak menjadi kulkas. Bagaimana tidak, puan bayangkan saja, saban hari kepalaku sesak dijejali ikan amis yang dimasukkan sekenanya. Bahkan untuk menyimpan bandana pun aku tak punya wadah. Perutku, sudahlah… usah ditanya lagi. Sayur, buah, botol minuman, berestafet bertahta di sana…” Nah, bukankah buah pikiran Fanny begitu segar ketika bercerita soal dirinya yang menjadi kulkas? Begitu juga dengan Mutia (SMA 1 Peusangan) yang mendapat kata: televisi. “…Aku lelah dengan semua, tetapi apa yang hendak kukata. Pernah aku berpikir mengapa aku tidak jadi burung saja yang bisa terbang ke manamana ataupun menjadi superhero yang bisa dikagumi.Andaijugaakubisabertangandanberkaki pasti senang hati ini. Jika dihitung-hitung aku sudah membuat ratusan bahkan jutaan orang terkenal, tetapi kenapa aku tidak terkenal-terkenal, ya? Padahal aku sangat ingin digosipkan seperti artis yang lain, menghadiri jumpa fans dan melambaikan tangan kepada penggemar, bisa difoto dengan pose-pose yang indah…” Bersambung... Penulis adalah sastrawan, staf Balai Bahasa Medan, dan dosen luar biasa di FBS Universitas Negeri Medan (Unimed).


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.