TRIBUNKALTIM - 22 APRIL 2011

Page 28

32

reen G

JUMAT 22 APRIL 2011

Life

Hadapi Pasar Karbon dengan REDD+ ! AFSN-RECOFTC Gelar Workshop Social Forestry and REDD DI Indonesia, 60 persen gas rumah kaca dihasilkan dari deforestasi dan degradasi hutan. Gas rumah kaca sendiri terdiri dari karbondioksida (CO2). Pada porsi yang cukup, gas rumah kaca tidak membahayakan manusia. Namun jika berlebihan, dapat memicu pemanasan global, mempengaruhi temperatur bumi dan perubahan iklim. Alhasil, upaya menurunkan tingkat emisi dari sektor kehutanan perlu dilakukan. Satu di antaranya dengan program social forestry (perhutanan sosial) dan REDD+. Wartawan Tribun Kaltim Margaret Sarita berkesempatan mengikuti media workshop tentang Social Forestry dan REDD+ garapan ASFN (ASEAN Social Forestry Network) dan RECOFTC- The Center for People and Forest di Bogor pada 14-15 April 2011 lalu. KEGIATAN yang diikuti 13 wartawan dari media nasional maupun lokal ini membahas beragam persoalan terkait kehutanan dan perubahan iklim. Bagaimana program REDD+ bisa menjadi solusi bagi perubahan iklim, bagaimana menghadapi masyarakat yang

Emission from Deforestation and Forest Degradation) adalah cara menurunkan tingkat emisi akibat deforestasi (kerusakan akibat manusia, dari lahan berhutan menjadi tidak berhutan) dan degradasi hutan (kehilangan hutan dalam jangka panjang karena campur tangan manusia dengan ciri berkurangnya tutupan pohon). Dengan tanda plus yang mencakup tiga aspek tambahan yakni upaya konservasi, pengelolaan hutan lestari dan peningkatan stok karbon di hutan. Program REDD+ dipercaya dapat mengubah kebiasaan masyarakat sekitar kawasan hutan, dari kebiasaan merusak kepada menjaga kelestarian hutan dan

SATU di antara puluhan proyek REDD+ di Indonesia, dikembangkan oleh The Nature Conservancy (TNC) bekerjasama dengan Pemkab Berau di wilayah Kabupaten Berau. Karbon Hutan Berau (KHB). Dengan luas wilayah 2,2 juta hektar dan masih mempertahankan 75 persen untuk tutupan hutan, Berau merupakan salah satu wilayah hutan hujan dataran rendah terbesar yang masih utuh di Indonesia. Director Forest Program TNC Indonesia, DR Dicky Simorangkir menargetkan pengelolaan lahan efektif sedikitnya 800.000 hektar hutan

produksi, hutan lindung dan area penggunaan lain di 2015. Luasan tersebut diperkirakan mampu mencegah 10 juta ton karbondioksida dalam tempo lima tahun. Selain melindungi wilayah hidrologis yang kritis, keanekaragaman hayati dan menciptakan pencapaian dan kesempatan ekonomi yang lebih baik bagi masyarakat setempat. Sehingga Berau maupun Indonesia siap berpartisipasi ketioka pasar karbon mulai berkembang di masa depan. “Program Hutan Karbon Berau, sudah dilakukan sejak tiga tahun lalu dan masih terus

dikembangkan hingga saat ini,” kata Dicky. Untuk mewujudkan semuanya, TNC membangun kelembagaan yang membantu perencanaan penggunaan lahan, perhitungan karbon dan program partisipasi masyarakat secara berkelanjutan. Kesiapan segi kelembagaan, akan dibarengi dengan penyelenggaraan kegiatan pengurangan emisi karbon pada tingkat lokasi. Misalnya, pembalakan berdampak rendah, tukar guling lahan kelapa sawit dan pengelolaan hutan lindung yang lebih baik.(*)

TRIBUN KALTIM/MARGARET SARITA

Penyerahan kenang-kenangan pada Harry Surjadi sebagai fasilitator kegiatan.

bergantung pada hutan hingga hubungan antara REDD+ dengan masyarakat adat atau lokal di tempat program REDD+ dilaksanakan. Pembicara yang dihadirkan dalam workshop kali ini pun melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintahan di kementerian kehutanan, FKKM (Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat) serta beberapa pembicara dari NGO (Organisasi Non Pemerintah), seperti TNC (The National

Waspadai ’Koboi Karbon’ DEFORESTASI merupakan kontributor utama terjadinya perubahan iklim. REDD+ menjadi inisiatif untuk memperlambat hilangnya hutan. REDD+ diajukan bertujuan untuk memperlambat perubahan iklim dengan membayar negara berkembang, agar menghentikan kegiatan penebangan hutan mereka. Nilai dari suatu tegakan hutan tidak hanya berasal dari kayu dan simpanan karbonnya. Namun juga pada perannya sebagai daerah resapan air, pengatur cuaca dan sumber makanan serta obat-obatan. Para pendukung REDD+ menyatakan, apabila fungsi-fungsi tersebut dipahami sebagai sebuah jasa atau pun komoditas, maka nilai hutan akan meningkat. Berbagai jasa tersebut dapat dipasarkan untuk memperoleh imbalan. Hal ini tentu memperbesar

Conservancy), RECOFTC dan CIFOR. Selain suguhan materi, peserta yang merupakan gabungan antara wartawan, NGO dan beberapa observer di bidang lingkungan maupun kehutanan juga diajak berdiskusi kelompok. Dengan menggali lebih dalam apa itu REDD+, penerapannya di masyarakat serta tingkat keberhasilannya kelak. DR Herry Purnomo dari CIFOR (Center for International Forestry Research) mengatakan REDD+ diusulkan untuk membuat hutan lebih berharga dan lebih baik dibanding dalam kondisi rusak. Dengan memberi kompensasi bagi pihak yang mempertahankan hutan sebagai sumber karbon dengan baik. REDD+ (Reducing

menjadikan hutan sebagai sumber karbon yang memiliki nilai finansial tersendiri. Jika REDD+ terlaksana, sebuah bisnis baru di dunia terkait konservasi karbon di hutan yang akan bernilai puluhan milyar dolar Amerika per tahun. Karena negara maju akan membayar negara berkembang untuk mempertahankan hutan mereka, sebagai komitmen mereka di bawah konvensi kerangka kerja PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC) untuk mengurangi karbon mereka. Indonesia dengan jumlah hutan tropis seluas 132,4 juta hektar (data 2009) tengah bersiap diri menghadapi pasar karbon nantinya. Salah satunya dengan pengembangan program REDD+ di berbagai daerah. Sementara Erna Rosdiana dari Derectorate of Social Forestry Development yang juga ASFN Leader Indonesia mengungkapkan saat ini ada 20 proyek REDD+ yang sedang dilakukan di beberapa daerah di Indonesia. Baik oleh LSM maupun dalam bentuk kerjasama dengan pemerintah setempat maupun pemerintah pusat. Dari jumlah tersebut, pengembangan program REDD+ banyak mengambil lokasi di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Ada beberapa di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara juga Papua.(*)

pendapatan masyarakat pengelola hutan. Berbicara soal pendapatan, dalam kegiatan Media Workshop on social forestry and REDD+, terkuak adanya “koboi karbon” (oknum yang melakukan kesepakatan dengan paksa) yang mulai melakukan pendekatan ke beberapa stakeholder negara pemilik hutan, termasuk Indonesia. Hal ini patut diwaspadai oleh pemimpin daerah, seperti Bupati atau Walikota. Cerita soal “koboi karbon” sempat terdengar di Liberia. Ketika “koboi karbon” dengan paksa menyuap pejabat kehutanan pemerintah Liberia dalam sebuah kesepakatan. Hal serupa juga sempat terdengar di Papua New Guinea. Spekulator berupaya mengambil keuntungan dari munculnya kebingungan publik tentang konsep pengelolaan hutan yang baru, seperti REDD+.(*)

TRIBUN KALTIM/MARGARET SARITA

Pembicara Media Workshop REDD+ dan Climate Change.

APA ITU REDD+ ! REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation) adalah cara menurunkan tingkat emisi akibat deforestasi (kerusakan akibat manusia, dari lahan berhutan menjadi tidak berhutan) dan degradasi hutan (kehilangan hutan dalam jangka panjang karena campur tangan manusia dengan ciri berkurangnya tutupan pohon). Dengan tanda plus yang mencakup tiga aspek tambahan yakni upaya konservasi, pengelolaan hutan lestari dan peningkatan stok karbon di hutan. ! Tujuan strategis dan sasaran program Karbon Hutan Berau pada tahapan percontohan lima tahun adalah sebagai berikut : 1. Peningkatan dan penyempurnaan perencanaan, terutama terkait dengan penataan ruang, penatagunaan lahan, dan proses perijinan pemanfaatan ruang pada tingkat kabupaten, 2. Pengurangan emisi dan peningkatan stok karbon sekitar 10 juta ton CO2 selama periode lima tahun ke depan atau berkurang sedikitnya 10% dari Business As Usual (BAU) atautanpa rencana aksi, khususnya dari sektor kehutanan dan perubahan lahan. 3. Peningkatan kesejahteraan masyarakat bagi 5.000 orang masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan. 4. Perlindungan ekosistem yang bernilai tinggi, keanekaragaman hayati dan fungsi daerah aliran sungai di sedikitnya pada 400.000 ha daerah aliran sungai Kelay dan Segah serta pada habitat orangutan Kalimantan. 5. Peningkatan kapasitas lembaga publik dan para pemangku kepentingan, terutama dalam aspek sumber daya manusia dan keberlanjutan pendanaannya. 6. Pembelajaran dan replikasi atas pelaksanaan tahap percontohan REDD+ berskala kabupaten, baik ke level nasional maupun internasional.(sar/karbonhutanberau.org)

Memanfaatkan Hutan tanpa Menebang Cegah 10 Juta Ton Karbondioksida GAMBARAN kehidupan nyata masyarakat di sekitar lokasi hutan menjadi suguhan tersendiri dalam media workshop Social Forestry dan REDD+. RECOFTC, organisasi internasional pengelolaan hutan yang memastikan masyarakat lokal terlibat di dalamnya dan mendapatkan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan yang optimal, menyuguhkan sebuah film dokumenter bertajuk Suara dari Hutan. Film ini menggambarkan kehidupan masyarakat di sekitar hutan di wilayah Maros, Sulawesi. Dimana masyarakat yang dulunya bermata pencarian sebagai perambah hutan untuk menebang kayu,

menjadi masyarakat yang mencintai hutannya dengan menggali potensi hutan tanpa melakukan penebangan besarbesaran. Dengan pola pendampingan yang melibatkan tokoh masyarakat, kepala desa dan warga setempat, keekonomian masyarakat bisa lebih maju. Dalam film tersebut, masyarakat diajak mengelola hutannya dengan menghasilkan produk-produk kehutanan yang bernilai jual tinggi. Seperti madu lebah hutan dan kopi. Penduduk juga bisa memanfaatkan hasil hutan lainnya untuk membuat aneka kerajinan.(*)


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.