Pembangunan yang Meminggirkan Desa
pemerintahan lokal (local-self government) sekarang mempunyai perangkat pemerintah desa (eksekutif) dan Badan Perwakilan Desa (BPD sebagai perangkat legislatif) yang mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan desa sendiri. Di masa Orde Baru di bawah UU No. 5/1979, kewenangan devolutif dalam hal pembuatan Perdes ini tidak dimiliki oleh desa. Ada sejumlah kewenangan desa yang bisa dikategorikan sebagai kewenangan devolutif:
222
Penetapan bentuk dan susunan organisasi pemerintahan desa; Pencalonan, pemilihan dan penetapan Kepala Desa; Pencalonan, pemilihan, pengangkatan dan penetapan perangkat desa; Pembentukan dan penetapan lembaga masyarakat; Penetapan dan pembentukan BPD; Pencalonan, pemilihan dan penetapan angota BPD; Penyusunan dan penetapan APBDes; Penetapan peraturan desa; Penetapan kerja sama antar desa; Penetapan dan pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES);
Penetapan kewenangan devolutif sebenarnya sudah merupakan kemajuan yang cukup signifikan, meskipun dalam praktiknya masih banyak masalah yang muncul. Contohnya adalah penetapan jumlah BPD, rekrutmen perangkat, dan SOT desa. Sekian jumlah kewenangan itu bila dilaksanakan dengan baik oleh desa, tentu, akan secara bertahap menempa kemampuan dan kemandirian desa. Ke depan ada pula gagasan kewenangan devolutif yang perlu dilembagakan di desa, yakni membuat desa sebagai entitas pembangunan yang otonom, sehingga desa secara otonom bisa membuat perencanaan dan pembiayaan pembangunan berdasarkan preferensi lokal. Inilah yang kami sebut sebagai local-self planning, sebagai alternatif
Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa
atas bottom-up planning yang selama ini diterapkan di daerah, tetapi penuh dengan masalah dan distorsi. Ketiga, kewenangan distributif, yakni kewenangan mengelola urusan (bidang) pemerintahan yang dibagi (bukan sekadar delegasi) oleh pemerintah kepada desa. Jika mengikuti UU No. 22/1999, kewenangan distributif ini disebut sebagai “kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah”, yang dalam pratiknya sering dikritik sebagai “kewenangan kering” karena tidak jelas atau “kewenangan sisa” karena desa hanya menerima kewenangan sisa (karena semuanya sudah diambil kabupaten/kota) yang tidak jelas dari supradesa. Keempat, kewenangan dalam pelaksanaan tugas pembantuan. Ini sebenarnya bukan termasuk kategori kewenangan desa karena tugas pembantuan hanya sekadar melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Titik kewenangannya justru bersifat “negatif”, yaitu kewenangan desa menolak tugas pembantuan bila tidak disertai pendukungnya. Demokratisasi Desa Sejak paradigma pembangunan desa yang berbasis pada rakyat, demokrasi merupakan elemen sangat penting, sebagai bagian dari proses pembangunan, sekaligus sebagai alat dan tujuan pembangunan desa. Rakyat dalam konteks ini menempati posisi sentral (subyek) dalam pembangunan, mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi pembangunan. Mengapa demokrasi penting dalam pembangunan desa? Pertama, pembangunan desa tentu bukan sekadar masalah teknis dan ekonomis, tetapi juga terkait dengan masalah politik. Berbagai agenda dalam pembangunan desa (prioritas program, pelibatan stakeholders, alokasi anggaran dan lain-lain), merupakan pilihan
223