Snt22082013

Page 6

SUARA NTB Kamis, 22 Agustus 2013

Lemah, Koordinasi Antarinstansi KOORDINASI merupakan langkah kerja yang sangat ideal untuk berbagai kegiatan di sebuah organisasi guna menciptakan hasil yang nyata. Dengan koordinasi akan memberikan sumbangan yang maksimal untuk tercapainya tujuan tertentu. Melalui koordinasi akan dicapai tujuan yang harmonis, terarah, terintegrasi dan tersinkronisasi. Demikian halnya dalam pembangunan di berbagai hal, termasuk menyangkut kepentingan masyarakat atau berkaitan dengan pelayanan publik. Jika dalam penyiapan layanan public, koordinasi diabaikan maka dampak negatifnya akan menonjol. Contoh yang paling nyata di lapangan mengenai tidak adanya koordinasi antara satu instansi dan instansi lain adalah saat ada proyek pembangunan jalan yang didalamnya juga sejumlah fasilitas lainnya. Dinas Pekerjaan Umum atau Balai Wilayah Jalan sudah membangun jalan dengan dana besar. Namun belum seminggu pengguna jalan menikmati jalan mulus, tiba-tiba ada petugas dari PDAM atau dari perusahaan lainnya yang melakukan menggalian jalan. Pengguna jalan yang semula merasa nyaman dalam berkendara kembali terganggu dengan adanya pekerjaan penggalian jalan tersebut. Meski apa yang disampaikan Direktur PDAM Giri Menang L. Ahmad Zaini apa yang dilakukannya tersebut sudah berkoordinasi dengan dinas terkait, setidaknya proses pemeriksaan pipa atau kabel di lokasi proyek jalan dilakukan sejak awal. Artinya, sebelum pihak kontraktor pembangunan jalan melakukan pengaspalan, pihak PDAM atau perusahaan lain yang memasang kabel optik di bawah tanah melakukan pengecekan mengenai kondisi fasilitasnya. Tujuannya memastikan apakah tidak ada pipa bocor atau kabel yang putus terkena pekerja yang sedang memperbaiki jalan. Cara-cara seperti ini bisa menghindari kemungkinan terjadinya pekerjaan dua kali atau yang seharusnya tidak dilakukan. Pihak PDAM tidak mesti harus berdalih, jika apa yang dilakukan tersebut sudah berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum. Termasuk mempersilahkan masyarakat menggugat atas kebijakan yang dilakukan pihaknya. Jika saja sejak awal ada koordinasi antara pemilik proyek jalan dengan instansiinstansi yang juga berkepentingan di lokasi proyek jalan itu, maka pembongkaran jalan tidak seharusnya dilakukan hingga dua kali. Artinya, ketika proyek jalan dikerjakan, pihak PDAM bisa berkomunikasi dengan Dinas Pekerjaan Umum atau perusahaan lainnya yang berkepentingan karena di lokasi yang sama juga ada proyeknya. Sehingga tidak ada pengeluaran biaya ganda. Karena dana yang dipergunakan oleh Dinas Pekerjaan Umum dalam proyeknya dan dana yang dikeluarkan PDAM untuk memerbaiki jaringan pipanya, sama-sama dana dari rakyat. Alangkah bijaknya, dalam membangun infrastruktur, koordinasi antarlintas instansi harus dimaksimalkan. Selama ini, koordinasi untuk hal seperti ini cenderung sangat lemah. Seharusnya instansi yang fokus pada pelayanan publik harus mengedepankan koordinasi. (*)

OPINI

Halaman 6

Hipokrisi Teori dan Yuridis Kurikulum 2013 EJAK diluncurkannya kurikulum 2013 pengganti KTSP, ada banyak harapan terhadap perubahan mendasar berbagai permasalahan mutu pendidikan di Indonesia. Hal ini dimungkinkan dengan adanya berbagai inovasi yang terintegrasi dalam kerangka dasar dan struktur kurikulum 2013. Optimisme ini harus dibarengi dengan kajian yang komprehensif terhadap kondisi nyata potret pendidikan secara menyeluruh agar ada jembatan antara tataran ideal pengembangan kurikulum dengan realitas ke-Indonesia-an kita saat ini. Tulisan ini menyoal hipokrasi teori dasar yang diusung kurikulum 2013 dan dasar yuridis yang menyertainya dalam PP No 32 tahun 2013 terhadap fakta empirik pendidikan di Indonesia. Dua sisi kontraproduktif dengaan hajat Kementerian Pendidikaan dan Kebudayaan untuk merekonstruksi standar mutu pendidikan kita yang karut marut. Dalam sebuah forum diskusi terbatas dengan kepala sekolah muncul permasalahan tentang beragamnya capaian akreditasi sekolah, sulitnya merubah prilaku mengajar guru, bagaimana sistem penilaian yang diterapkan, masih terbatasnya sarpras, dan kurangnya tenaga pendidik pada sebagian besar sekolah khususnya pada tingkat sekolah dasar. Menyokong kurikulum 2013 bukan hanya sebatas melatih tenaga guru yang durasinya sangat pendek jika ingin merubah mainstream guru yang telah terjebak pada pendekatan parsial yang secara ideologis telah mengakar pada sistem pendidikan kita selama ini. Guru di Indonesia telah dididik untuk memahami bahwa konten akademik adalah sebuah disiplin ilmu yang terpisah satu dengan yang lainnya. Celakanya, pemahaman ini telah mentradisi dalam kurun waktu yang cukup lama terutama pada lembaga pendidikan setingkat sekolah dasar yang mengelola manusia yang memiliki perspektif holistik. Kecelakaan akademik seperti ini menyebabkan tumbuhnya proses take and give yang berujung pada praktik transfer of knowledge dengan mengabaikan perbedaan karakteristik anak. Kurikulum 2013 menawarkan pendekatan holistic integrative dan scientific approad yang membalik fakta empirik pendekatan yang selama ini telah mengakar pada guru. Sayangnya kesungguhan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih diragukan komitmennya untuk melaksanakan secara efektif. Testimony ini bukan tanpa alasan yang kuat, karena para perancang kurikulum kita menganggap “gampang” merubah mainstream guru dari parsial ke holistik. Pengalaman implementasi pendekatan tematik untuk kelas rendah di sekolah dasar dalam kurikulum KTSP sampai dengan berakhirnya penerapan kurikulum KTSP sungguh sangat membingungkan guru dan tidak mampu diimplementasikan secara benar dalam proses pembelajaran. Alasan pembenaran yang di-

Oleh :

Junaidi, M.Pd

(Dosen FKIP Unsa, Kepala Seksi Kurikulum Dikdas Dinas Diknas Kabupaten Sumbawa) gunakan adalah bahwa para guru telah dilatih, didukung dengan adanya buku panduan guru daan siswa bagi sekolah yang melaksanakan kurikulum 2013. Bisa dibenarkan jika para guru dilatih dalam durasi waktu yang cukup lama dan dikloning untuk merubah kebiasaan parsial menjadi holistik. Mendesain pengait antarpelajaran menjadi sebuah disiplin ilmu yang saling berinteraksi memerlukan waktu yang sangat panjang diikuti dengan perubahan mendasar terhadap perbedaan filosofi yang mendasarinya. Hal ini dilakukan dengan secara bersungguh sungguh membenahi sumber daya pendidik yang ada untuk melakukan adaptasi secara total dengan perubahan yang terjadi. Mereview ke belakang dan bahkan sampai saat ini aroma parsial masih saja menjadi praktik yang dilakukan oleh para LPTK yang menghasilkan calon guru sehingga untuk memutus mata rantai seperti ini perlu ikhtiar yang dilakukan secara massif oleh para pemangku kepentingan di dunia pendidikan. Dengan kesadaran yang demikian, hajat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk merubah tatanan kemapanan parsial ke arah holistic integrative dan scientific approad dapat terlaksana secara efektif. Jika hal ini tidak dilakukan, keyakinan penulis bahwa sampai dengan paruh waktu perjalanan kurikulum 2013 para guru akan terjebak pada tataran perdebatan teknis yang belum mampu merubah tradisi yang selama ini berkembang. Tarik menarik seperti ini akan semakin diperparah dengan sistem penilaian yang hanya menguji ranah kognitif level terendah. Memunculkan pola evaluasi yang sama dengan kurikulum sebelumnya adalah mengingkari teori yang dikembangkan untuk melandasi lahirnya kurikulum 2013. Perspektif penilaian yang bersifat holistic integrative dengan memperhatikan setiap aspek perkembangan anak adalah hal niscaya yang harus dilakukan. Ketika proses pembelajaran telah mampu mengakomodir perbedaan individu anak, maka alat ukur yang digunakan juga harus berbasis pada keberagaman potensi dan karakteristik anak. Munculnya skala penilaian yang bersifat kuantitatif dan menguji secara parsial kemampuan akademik anak tidak mencerminkan roh perubahan kurikulum yang diharapkan. Pada sisi lain, implementasi kurikulum 2013 menghadapi portal tidak sebandingnya jumlah rombel dengan jumlah ruang kelas yang tersedia khususnya di daerah-daerah terpencil. Sebagai gambaran, dalam struktur kurikulum baru 2013 pada jenjang sekolah dasar dengan durasi waktu 30 jam perminggu untuk kelas satu maka siswa kelas 1 SD pulang sekolah pada pukul 12.10. Kenyataan ini jika dihadapkan dengan kekurangan ruang kelas, maka kelas 2 setingkat SD harus memulai belajar diatas pukul 12.10 karena harus meng-

gunakan ruang kelas yang sama. Begitu pula dengan jenjang SMP dan SMA yang dengan terpaksa harus menerima siswa melebihi kapasitas ruang kelas akan menghadapi permasalahan yang sama. Kenyataan seperti ini memerlukan sinergisitas antara ketersediaan sarpras dengan hajat untuk melaksanakan kurikulum 2013 secara sungguh-sungguh. Inilah yang penulis maksudkan dengan realitas ke-Indonesia-an kita saat ini, yang harus disadari oleh para perancang kurikulum agar memahami secara kontekstual adanya disparitas antardaerah khususnya dalam pemenuhan standar minimal pendidikan. Pernyataan Prof.Suyanto. Ph.D, Akademisi Universitas Negeri Jogja bahwa kunci keberhasilan implementasi kurikulum terletak pada faktor guru sangat tepat. Karena pendekatan yang digunakan dalam kurikulum bukan saja harus memperhatikan aspek keterampilan mengajar guru. Akan tetapi hal urgen yang menjadi lokus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah pemenuhan standar minimal ketersediaan tenaga pengajar pada semua jenjang pendidikan. Fakta observable yang terjadi saat ini kondisi satuan pendidikan antara kota dan desa, antara Jawa dan luar Jawa sangat berbeda. Bagi sekolah-sekolah dengan kategori akreditasi A dipastikan tidak ada masalah dalam implementasi kurikulum karena standar pendidik dan tenaga kependidikan berada pada level aman baik aspek kompetensi maupun ketersediaannya. Permasalahan yang dihadapi di berbagai daerah adalah mayoritas sekolah berada pada level akreditasi B dan C dan masih ada sekolah yang tidak terakreditasi. Dengan kondisi yang demikian sudah pasti kekurangan tenaga pengajar menjadi batu sandungan implementasi kurikulum 2013. Pilihannnya adalah apakah kurikulum 2013 akan dijalankan secara efektif ataukah hanya sekadar “jalan-jalan”? Kajian lain yang perlu dianalisa adalah apakah pp 32 tahun 2013 pengganti PP 19 tahun 2005 sudah mengakomodir aspek fundamental kajian akademik perubahan kurikulum 2013? Dalam pandangan penulis, ada “cacat yuridis” yang serius antara kajian akademik PP 32 tahun 2013 dengan teori yang mendasari lahirnya kurikulum 2013. Seharusnya dua perubahan ini bersinergi untuk merubah arah pendidikan di Indonesia dengan meletakkan roh kurikulum 2013 yang telah berpijak pada jalur yang tepat dengan support aspek legalitas yuridis sehingga saling memberi arah menuju perubahan fundamental. Sayangnya momentum strategis ini terlewati untuk membongkar akar permasalahan yang melingkupi dunia pendidikan kita selama ini. Masalah utama yang kontraproduktif dengan kurikulum 2013 adalah masih adanya kewenangan yang diberikan kepada Badan Standar

Nasional Pendidikan (BSNP) sebagai penyelenggara ujian nasional. Meletakkan BSNP pada porsi sebagai penyelenggara ujian nasional melegalkan peran eksternal untuk menjadi penentu kelulusan peserta didik khususnya pada jenjang SMP dan SMA/SMK. Semestinya peran BSNP tidak harus berimbas pada penentuan kelulusan peserta didik, akan tetapi ranah yang dijadikan bidang garapan adalah melakukan standarisasi secara kontinu terhadap standar isi, standar kompetensi lulusan, standar proses dan standar penilaian untuk mengevaluasi kinerja lembaga pendidikan secara intitusional. Jika BSNP diberi ruang yang sama dengan peran sebelum implementasi kurikulum 2013 patut dipertanyakan apa makna sesungguhnya dari perubahan kurikulum yang saat ini kita lakoni. Mencermati peran BSNP sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 67 ayat ! PP No 32 tahun 2013 yang diperkuat oleh pasal 72 ayat 1 (satu) sungguh sangat menggelitik bahwa ternyata apapun pendekatan yang digunakan dalam implementasi kurikulum 2013 pada akhirmnya bermuara pada standarisasi yang dilakukan secara massal oleh BSNP yang mengebiri peran otonomi lembaga pendidikan. Kenyataan seperti ini akan menjebak lembaga pendidikan untuk kembali memperluat basis konten akademik secara parsial untuk mengejar target kelulusan ujian nasional dengan mengabaikan sisi fundamental landasan pengembangan kurikulum 2013. Akhirnya penulis berkesimpulan bahwa akan ada hipokrisi teori dan yuridis jika kurikulum 2013 dengan PP Nomor 32 tahun 2013 berada pada ruang yang sama dengan misi berbeda apalagi tidak diletakkan pada ruang dan waktu yang jelas dimana kurikulum itu dilaksanakan.

Elpiji subsidi kian limit Antisipasi permainan spekulan

*** Banyak peserta STQ asal NTB wakili daerah lain Qori atau qoriah butuh perhatian

***

STASIUN RADIO

Penanggung Jawab: Agus Talino Redaktur Pelaksana/Wakil Penanggung Jawab : Raka Akriyani Koordinator Liputan : Fitriani Agustina, Marham, Moh. Azhar Redaktur : Fitriani Agustina, Marham, Izzul Khairi, Moh. Azhar Staf Redaksi Mataram : Moh. Azhar, Haris Mahtul, Afandi, Sumada, M. Nasir, Hari Aryanti, Akhmad Bulkaini, Karnia Septia Kusuma Ningrum. Lombok Barat: M.Haeruzzubaidi, Lombok Tengah : Munakir. LombokTimur: Rusliadi. KLU : Johari. Sumbawa Barat : Heri Andi. Sumbawa : Arnan Jurami. Dompu : Nasrullah. Bima : M.Yusrin. Tim Grafis : A.Aziz (koordinator), Mandri Wijaya, Didik Maryadi, Jamaluddin, Wahyu W. Kantor Redaksi : Jalan Bangau No. 15 Cakranegara Telp. (0370) 639543, Facsimile: (0370) 628257. Tarif Iklan : Iklan Baris : Rp 8.000/baris Min 2 baris max 10 baris (1 baris 30 character). Display B/W (2 kolom/lebih): Rp 8.000/mmk. Display F/C : Rp 15.000/mmk. Iklan Keluarga : Rp 5.000./mmk. Iklan 1 kolom (max 100 mmk): Rp 4.000/mmk. Iklan Advertorial : Rp 3.000/mmk. Iklan NTB Emas (1 X 50 mmk): Rp 450.000/bulan (30 X muat). Iklan Peristiwa : Rp 150.000/kavling. Iklan Paket (ukuran max 600 mmk), - 5 kali muat Rp 500/mmk, - 10 kali muat Rp 450/mmk, - 15 kali muat Rp 400/mmk. Pembayaran di muka. Alamat Bagian Langganan/Pengaduan Langganan: Jalan Bangau No. 15 Cakranegara Telp. (0370) 639543, Facsimile: (0370) 628257. Harga Langganan: Rp 50.000 sebulan (Pulau Lombok) Rp 55.000 sebulan (Pulau Sumbawa), Pembayaran di muka. Harga eceran Rp 3.000. Terbit 6 kali se-minggu. Penerbit: PT Bali Post.

SUARA NTB

Wartawan SUARA NTB selalu membawa tanda pengenal, dan tidak diperkenankan menerima/meminta apa pun dari nara sumber.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.