Gerilya Urban

Page 1

RR KKTTUU SSIITTEE NN AARR NNGGAA NNCCAA PPEERRAA DDIIOO SSTTUU

N A B R U A Y L I R E G

RREERR MPPOO TTEEM KKOONN

22001100

JURUSAN ARSITEKTUR - FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS TARUMANAGARA



G

A Y L ERI

N A B UR



STU

DIO PERA NCA

G

A Y L ERI

N A B UR NGA N AR SITE KTU R KO NTEM POR ER 2 010

JURUSAN ARSITEKTUR - FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS TARUMANAGARA


GERILYA URBAN: Studio Perancangan Arsitektur Kontemporer 2010 Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Tarumanagara

DOSEN TAMU Ardi Yunanto & Farid Rakun DOSEN Veronica Gandha, Iswanto Hartono, Mohammad Nanda Widyarta PENGULAS TAMU Agustinus Sutanto, Ade Darmawan, Paramita Atmodiwirjo, Yandi Andri Yatmo

Semester genap, Februari - juni 2010

redaktur & perancang grafis Ardi Yunanto Farid Rakun penulis Iswanto Hartono Mohammad Nanda Widyarta Veronica Gandha Ardi Yunanto Farid Rakun FOTO ISI koleksi mahasiswa Studio Perancangan Arsitektur Kontemporer 2010 FOTO SAMPUL Kelompok 5 (Archangela E. Natalia, Livia Louis, Yoana Linda)

MAHASISWA Aditya Setiawan Amelia Andayani PW Andy Wijaya Antoni Winata Antonius Wiradigdaya Kosasih Archangela E. Natalia Bernadette Adinadia Chin Ronal Purnama Chandra Denny Soedjito Edwin Budiman Fransiskus Ansis Gabriela Velda Gabriella Stella Ingrid Anita Stacia Dharmawan Irene Syona Jacson Andika Santoso Jose Mayson Mulia Juanto Putratama Kristanto Hadinata Kurniadi Lim Livia Louis Meidy Himawan Melita Felicia Mickhael Florence Phelia Felim Ricky Goreta Stacia Bernadette Suci Sandra Dewi Tania Permata Sari Tony Sunardi Wilie D. Atmaja Willyanto Hinardi Xena Levina Caesarea Yoana Linda Yotanaga Satria Yulianti Chandra

Ardi Yunanto & Farid Rakun (ed), Gerilya Urban: Studio Perancangan Arsitektur Kontemporer 2010 (Jakarta: Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara, 2010) Diterbitkan pertamakali pada Oktober 2010. Dicetak 500 eksemplar. ISBN 978-979-98615-4-2




Post-mortem: Studio Pilihan Arsitektur Kontemporer / Gerilya Urban Iswanto Hartono

“Guerrilla warfare is used by the side which is supported by a majority but which possesses a much smaller numbers of arms for use in defense against oppression.” — Ernesto ‘Che’ Guevara, “Guerrilla Warfare”, 1960

1 Studio Pilihan – Arsitektur Kontemporer di Jurusan Arsitektur Universitas Tarumanagara dirintis oleh Agustinus Sutanto pada 2000, saat dia kembali bergabung di Jurusan Arsitektur setelah menyelesaikan studi S2-nya di London, Inggris. Saya sempat membantunya menjadi pengajar studio, sebelum dia kembali berangkat melanjutkan studi S3-nya. Mata kuliah yang memang dirancang sedemikian rupa sebagai wadah bagi mahasiswa untuk mengeksplorasi arsitektur ‘tanpa batas’ itu, sempat vakum sejenak setelah ditinggalkan oleh Agustinus Sutanto. Pada 2004, saya ditawari untuk meneruskan mata kuliah ini. Ada beberapa perubahan signifikan yang saya terapkan bersama dengan mahasiswa saat memulai mata kuliah ini, terutama dalam pola pikir, metode, dan strategi berasitektur. Perubahan pertama saya terapkan berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya mendapat pendidikan di almamater yang sama, di mana mahasiswa tidak pernah


mendapat kesempatan untuk ‘membuat’ karya arsitektur yang ‘sebenarnya’. Semua studi selama ini dibuat dalam model berskala. Sehingga mahasiswa tidak pernah membuat karya arsitektur dalam skala sebenarnya; di mana seorang mahasiswa juga harus melalui sebuah proses berpikir dan bertindak secara ‘konstruktif’, layaknya seorang tukang. Maka pada kuliah ini, setiap mahasiswa ditantang untuk membuat karya dalam skala sebenarnya. Kedua, bagi saya, pendidikan arsitektur di Indonesia secara umum masih terlalu ‘hedonis-romantis’, dimana arsitektur bagai uber alles; di atas segalanya, yang mungkin juga bisa dibaca sebagai jargon arsitektur nusantara yang agung. Bukankah arsitektur seharusnya menjadi jembatan untuk melihat, meneliti, dan membuka peluang dalam menjawab persoalan dan tantangan sosial terkini di sekitarnya? Pendekatan sosial itu kemudian saya terapkan dalam Penilaian hasil karya mata kuliah pilihan kuliah ini. Sehingga isu-isu penelitian Arsitektur Kontemporer di studio ini diawali dari hal-hal “Rumah Portabel” (2009). pragmatis urban di sekitar kita, yang Bekerjasama dengan sangat umum namun esensial dan Habitat for Humanity krusial, seperti materi Rumah Sangat dengan juri Eko Prawoto Sederhana Murah Sekali (2004), kaki dan Romo Sandyawan Sumardi. lima (2005), dan rumah portabel (2007 – 2009). Kedua hal itu yang kemudian menjadi roh mata kuliah ini. Saya pun melibatkan kalangan yang lebih luas dalam proses penelitian dan kritik studio, dari para aktivis sosial, kurator,



10

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), arsitek, desainer, peneliti, sampai penulis. Untuk menyebut sejumlah nama, mereka adalah Romo Sandyawan Sumardi, Rifky Effendy, Habitat for Humanity, Eko Prawoto, Suryono Herlambang; mereka semua pernah terlibat aktif dalam proses studio ini. Namun perjalanan mata kuliah ini tidaklah semulus yang saya duga. Tidak mudah rupanya mengubah paradigma pendidikan di Indonesia yang selalu mengacu pada kurikulum nasional yang menekankan pada proses pembelajaran satu arah. Sementara saya membayangkan studio ini layaknya proses artists in residence bagi mahasiswa, Karya-karya Arsitektur Kontemporer dengan menyisakan proses “Rumah Portabel� (2009) dalam kolaborasi evaluasi sebagai satu-satunya dengan ArtLab, program proyek seni proses formal yang masih saya ruangrupa, Jakarta, yang bertemakan jalankan karena saya memang Lonely Market pada 15 - 17 Agustus 2009. dituntut untuk memberikan penilaian kumulatif bagi proses pembelajaran mahasiswa. Selebihnya, tidak ada proses kuliah satu arah, yang ada adalah proses lokakarya semata dengan studio tutor selama proses studio dan pembelajaran mandiri, yang dilakukan langsung dari proses penelitian dan pengetahuan lapangan. Metode ini kemudian makin diperkental dengan kehadiran kawan Veronica Gandha dan Mohammad Nanda Widyarta yang saja ajak bergabung, sekembalinya mereka ke Jakarta setelah menyelesaikan studi S2 di Cranbrook Academy of Art dan Architectural Association. Sejak saat itu, saya mulai


menyerahkan tongkat estafet kepada Veronica Gandha untuk meneruskan studio ini. Begitulah kilas balik singkat tentang mata kuliah ini. 2 Gerilya Urban, subyek penelitian dengan judul yang cukup heroik ini, saya mulai saat berdiskusi dengan Ardi Yunanto dan Farid Rakun, kawan-kawan penulis dan peneliti perkotaan yang mengelola Karbonjournal.org terbitan ruangrupa. Saya kemudian mengajak mereka untuk ikut terlibat dalam proses studio dengan membawa wacana baru. Sesuatu yang memang tidak lazim karena biasanya seluruh program studio maupun mata kuliah dibuat dan disusun oleh dosen tetap Jurusan Arsitektur, dan saya pikir hampir semua kampus arsitektur di Indonesia menjalankan kebijakan ini. Saya mengusulkan kepada Veronica Gandha untuk memberikan peluang kepada kolaborator dari luar Jurusan Arsitektur untuk menyusun program di mata kuliah ini. Maka bergulirlah materi Gerilya Urban ini dengan dimotori oleh Veronica Gandha, serta Ardi Yunanto dan Farid Rakun sebagai dosen tamu. Catatan menarik untuk disikapi di sini adalah, bahwa di tengah karut-marut dan kemandekan dunia pendidikan arsitektur, ada secuil keterbukaan yang memberi ruang gerilya bagi upaya untuk menanggapi permasalahan dan tantangan sosial yang ada. Dan hasilnya, menurut saya lebih dari sekadar gerilya, namun sebuah revolusi!

Jakarta, 23 Agustus 2010

11


DAFTAR ISI 7

Post-mortem: Studio Pilihan Arsitektur Kontemporer / Gerilya Urban Iswanto Hartono

15

Pendidikan Arsitektur, Klasifikasi, dan Keseharian Mohammad Nanda Widyarta

21

Menilik kembali peran tubuh, aktivitas, dan budaya dalam Arsitektur Veronica Gandha

29

37

Sebuah Seruan Ardi Yunanto & Farid Rakun

117 Suasana Penilaian Akhir 126 Para Mahasiswa 127 Tentang Pengajar

Karya Mahasiswa Rompi-tas Koran Seragam Biru Joki Asongan Dorong Tas Belajar Anak Balok Warna Naungan Bermain Jembatan Pelayangan Paviliun Kampung Bel Bus Zona Merokok In.For.Wait.On Peta Jalan Pintas




Pendidikan Arsitektur, Klasifikasi, dan Keseharian Mohammad Nanda Widyarta

Ini hanyalah sebuah catatan kecil mengenai pendidikan arsitektur di Indonesia. Pendidikan arsitektur di Indonesia, sebagaimana yang kita ketahui, berawal di akhir Perang Dunia I, sekalipun saat itu yang ada adalah kuliah-kuliah tentang arsitektur di bawah Jurusan Jalan dan Bangunan Air (de afdeeling der Weg en Waterbouw) di Technische Hoogeschool te Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung). Perlu diperhatikan bahwa saat itu pemerintah kolonial merasa butuh untuk mencetak ahli teknik di Indonesia; mereka ingin agar kepentingan kolonialisme dapat berjalan secara lebih efisien dan efektif, serta nampak lebih “manusiawi.� Kemudian, setelah 1950 barulah jurusan arsitektur pertama di Indonesia didirikan pada institusi yang sama. Kemudian, muncullah jurusan-jurusan arsitektur lainnya di institusi-institusi lainnya. Perlu juga diperhatikan bahwa sistem pendidikan arsitektur di Indonesia muncul bukan saja dalam konteks kolonial (dan kemudian berada dalam konteks pasca-kolonial). Ada juga konteks lainnya. Sistem pendidikan (formal) arsitektur yang kita kenal sekarang dibentuk oleh sebuah paradigma yang ada di abad ke-18 dan ke-19. Seingat saya, inilah masa yang disebut oleh Foucault sebagai masa ketika klasifikasi menjadi penting dalam pendefinisian tentang


16

sesuatu. Mungkin kita ingat bahwa di masa itu, Linnaeus mengklasifikasikan tanaman berdasarkan genus dan spesies. Klasifikasi ini adalah sebuah metode untuk membedakan sesuatu dari lainnya, sehingga kita dapat mengetahui sesuatu itu secara lebih, katakanlah, obyektif. Adalah pada masa itu di bidang arsitektur muncul ide tentang tipologi (oleh Quatremère de Quincy), yang mana bangunan diklasifikasikan berdasarkan “spesiesâ€?-nya masing-masing. Bahkan, di abad ke-19, disiplin arsitektur sendiri diklasifikasikan juga agar berbeda dari disiplin lainnya; ini terjadi ketika Gottfried Semper mengemukakan teori Bekleidung, yang membuat pembicaraan arsitektur menjadi pembicaraan tentang ruang. Pada perkembangannya di kemudian hari, konteks tersebut berkelindan dengan konteks lain. Kali ini saya akan memfokuskan pada kasus Indonesia. Di masa awal pendidikan arsitektur di Indonesia, ketika kuliah-kuliah arsitektur diberikan pada Jurusan Jalan dan Bangunan Air di masa kolonial, kebutuhan yang ada adalah kebutuhan untuk mengelola kepulauan jajahan secara lebih efisien dan efektif. Setelah kolonialisme berakhir di Indonesia, kebutuhan yang ada adalah kebutuhan untuk membangun. Maka, terkait dengan peran pendidikan arsitektur, yang dibutuhkan saat itu bukanlah ahli sejarah arsitektur, kritikus arsitektur, maupun arsitek avant garde. Yang dibutuhkan adalah teknisi. Pendidikan arsitektur diberikan secara pragmatis. Pragmatisme tersebut agaknya cocok dengan konteks epistemologis berdasarkan klasifikasi yang disebut di atas, karena memang ada sifat pragmatis pada sistem klasifikasi itu sendiri. Kemudian, datanglah masa rezim Soeharto yang punya keterkaitan erat dengan kepentingan Blok Barat di masa Perang Dingin. Kapital asing mulai masuk ke Indonesia. Pengusaha-pengusaha lokal juga makin banyak. Kapitalisme


menjadi aturan main dalam ekonomi Indonesia, sekalipun saat itu nama Pancasila yang didengungkan secara publik. Keadaan ini masih tetap ada di Indonesia. Setelah 1998, terutama saat tulisan ini dibuat (Juli 2010), Indonesia masuk di dalam sistem neo-liberalisme (demikian istilah yang sekarang kerap dipakai). Di satu sisi, ada kepentingan kapital, dan arsitektur seakan-akan “bertugas” untuk melayani kepentingan tersebut. Di sisi lain, masyarakat Indonesia saat ini pada umumnya bersifat mirip sekali dengan masyarakat tontonan (La Société du Spectacle)nya Guy Debord. Arsitektur pun juga seakan-akan “bertugas” untuk melayani kebutuhan masyarakat tontonan itu. Kondisi ini pun mensyaratkan sebuah pragmatisme terhadap arsitektur. Arsitek yang baik bukanlah arsitek yang dapat memadukan tekstur dengan cahaya. Arsitek yang baik bukanlah arsitek yang memenuhi kebutuhan praktek keruangan yang dituntut atau dimunculkan oleh keseharian manusia (bahkan yang seperti ini dianggap bukan urusannya arsitek, tetapi urusannya pedagang kaki lima yang kadang mengubah ruang sisa kota menjadi apa yang disebut oleh Richard Sennet sebagai ruang berpori, porous space). Arsitek yang baik adalah arsitek yang dapat memaksimalkan penggunaan setiap sentimeter persegi—syukur-syukur setiap millimeter persegi—ruang. Karena, setiap ukuran luas punya nilai jual. Versi lain dari arsitek yang baik adalah arsitek yang dapat menampilkan tontonan dengan efek “wah!” kepada masyarakat. Agar arsitektur dapat lebih efisien dan efektif untuk melayani kepentingan-kepentingan seperti itu, maka klasifikasi seperti disebutkan di atas juga dibutuhkan. Arsitektur “terklasifikasikan” sebagai sebuah disiplin yang berurusan dengan “bangunan gedung,” kebutuhan pengembang, efisiensi ekonomis ruang, kegiatan untuk

17


18

memperindah tampak luar, industri konstruksi, industri citra, dan sebangsanya. Klasifikasi telah mendefinisikan arsitektur sebagai sebuah disiplin. Selain itu, kepentingan hegemoni juga ikut menjadi subyek pembentuk definisi-definisi tersebut. Akibatnya, arsitektur dipandang, dengan kacamata kuda. Begitu pula pendidikan arsitektur; ia pun dipandang dan disikapi melalui kacamata kuda. * Pernah, di awal 1950-an, seorang filsuf Jerman yang baru saja dituduh telah bekerjasama dengan kaum Nazi, menyampaikan sebuah karya tulisnya di depan para arsitek. Filsuf itu adalah Martin Heidegger. Karya tulisnya berjudul—bila diterjemahkan dalam bahasa Inggris—Building, Dwelling, Thinking, sebuah teks yang sudah terlalu sering dikutip dan dibahas oleh kalangan pendidikan tinggi dan praktisi arsitektur selama puluhan tahun terakhir. Heidegger menyebutkan bahwa makna keberadaan seorang manusia amat terkait dengan batas-batas (pera, demikian istilah Yunani yang ia gunakan pada karya tulis tersebut). Batas-batas itu membatasi secuil dari ruang. Secuil ruang yang dibatasi tersebut ia sebut sebagai tempat, locus. Di tempat tersebut, yang ada bukan hanya si manusia dan tempat itu sendiri, tetapi juga ada hal-hal lain. Misalnya langit yang meliputi tempat tersebut, manusia-manusia lain di tempat itu, kepercayaan maupun pandangan-pandangan manusia di tempat itu, aspek topografis tempat itu, dan sebagainya. Semua itulah yang memberikan makna pada keberadaan si manusia. Heidegger meminta kepada para arsitek untuk memandang arsitektur dalam konteks tersebut. Pemikiran Heidegger ini kemudian ikut mempengaruhi pemikiran seorang pemikir Marxis Prancis, Henri Lefebvre.


Pemikiran Lefebvre kemudian mempengaruhi orang-orang lain, misalnya Michel de Certeau dan Iain Borden. Saya akan coba merangkum pemikiran mereka. Kita perlu membedakan antara ruang yang diproduksi oleh para arsitek dan perencana kota dengan ruang yang diproduksi oleh keseharian masyarakat. Ruang yang diproduksi oleh arsitek maupun perencana kota merupakan ruang yang ditentukan oleh abstraksi (dalam bentuk, misalnya, gambar-gambar denah, potongan, dsb.). Abstraksi tersebut ditentukan oleh kepentingan tertentu. Misalnya, sebuah denah digambar sedemikian rupa setelah arsitek dan perencana berdiskusi dengan pihak pengembang. Pertanyaannya, kepentingan siapakah yang membentuk abstraksi tersebut? Bila saya boleh berkomentar, nampaknya pertanyaan ini kerap diabaikan dalam pendidikan arsitektur kita. Di sisi lain, ada ruang yang dibentuk bukan oleh abstraksi tersebut, namun oleh kegiatan-kegiatan sehari-hari para manusia di tempat tertentu. Di gang-gang kampung (yang merupakan ruang sirkulasi, menurut abstraksi para arsitek dan perencana), kita kerap menemui orang-orang memakai gang tersebut bukan hanya sebagai ruang sirkulasi. Gang tersebut juga menjadi tempat berjualan, bermain, berpacaran, bergosip, kencing, berkelahi, menjemur pakaian, dsb. Pertanyaannya, bagaimana sistem pendidikan arsitektur dapat mengakomodir aspek ini? Nampaknya, pertanyaan terakhir inilah yang dicoba untuk disikapi dalam Studio Eksperimental yang hasilnya termaktub dalam buku ini. Sedangkan, pertanyaan kedua dari terakhir (“kepentingan siapakah yang membentuk abstraksi tersebut?�) masih perlu disikapi oleh pendidikan arsitektur di Indonesia.

Jakarta, 12 Juli 2010

19


20


Menilik kembali peran tubuh, aktivitas, dan budaya dalam Arsitektur Veronica Gandha

Penciptaan sebuah karya arsitektur bermula ketika satu tubuh manusia menempati ruang (Christopher K. Egan). Ada sebuah hubungan langsung antara tubuh dan ruang-ruangan yang membatasinya. ‘Tarian’ anggota tubuh akibat aktivitas yang dilakukan dan penempatannya memberikan citra terhadap sebuah ruang. Proses ini harus sudah berlangsung sebelum perancang memberi efek material, sebelum proses penggambaran dimulai, dan bahkan sebelum kita membentuk dan merangkainya dengan kebutuhan tubuh yang lain. Setiap tubuh yang berada dalam suatu tempat dan mempunyai ruang, dia akan membentuk dirinya dalam ruang sekaligus membentuk ruang itu (Lefebvre). Hal di atas pula yang membedakan arsitektur dengan seni visual. Dapat dikatakan hubungan kita terhadap arsitekur merupakan keterbalikan dari hubungan kita dengan seni visual: sebagai perancang arsitektur, pengguna dan penikmat hendaknya tidak memandang sebuah karya dari luar, namun secara fisik masuk ke dalam karya tersebut, menyentuh bagian terdalam dan mengisi kekosongan yang ada. Sebaliknya hubungan kita dengan seni visual adalah dengan cara memandang dan berinteraksi dengan karyanya dari luar. Untuk mencapai keberhasilan dalam merancang, melatih kepekaan terhadap lingkungan sekitar merupakan suatu kebutuhan. Peka melalui hati dan indra yang dimiliki tubuh kita sebagai manusia. Kulit merupakan permukaan pertama


22

yang membatasi, melapisi tubuh. Ia dapat berfungsi sebagai pintu yang membuka kepekaan terhadap sekitar. Mata kita merupakan jendela ke dunia luar. Tulang kita merupakan struktur rangka yang menopang dan membentuk lingkungan. Pikiran kita merupakan sarana transportasi memori guna memberi makna dan identitas suatu tempat. Banyak pandangan yang berpendapat bahwa hasil akhir yang diciptakan seorang arsitek haruslah sebuah bangunan indah. Pandangan itu tidaklah salah, karena sejak menempati bangku kuliah arsitektur seringkali kita—sebagai calon arsitek, lulusan arsitek ataupun pengamat arsitektur— terjebak untuk menghasilkan dan menilai sebuah karya dari bungkus terluarnya. Mungkin hal ini dipengaruhi oleh unsur kapitalisme yang melihat suatu karya dari segi nilai ekonominya dalam mencapai daya jual yang tinggi. Kita terlena dengan keindahan yang dipancarkannya, namun lupa bahwa karya tersebut mempunyai makna yang lebih dalam yaitu sebagai naungan berbagai aktivitas manusia, baik di dalam, maupun sebagai penyala kehidupan bagi kegiatan sekitar. Nilai terindah dari sebuah rancangan adalah ketika ia mampu menjangkau dan menjembatani interaksi antara personal dan komunitas, dalam konteks sosial dan budaya. Sudah sewajarnya jika kita berarsitektur dengan berbahasa manusiawi, dengan nurani dan tanggung jawab, dan jika mampu dengan puisi (YB Mangunwijaya). Sepotong pakaian (sandang) dapat mengajarkan bagaimana sebuah karya dapat menciptakan perilaku melalui kapasitasnya dalam mewujudkan suatu identitas sosial. Ketika sebuah potongan kain itu sudah dikenakan, seperti halnya sebuah karya arsitektur, ia diharapkan untuk dapat membuat manusia yang ‘menghuninya’ merasa nyaman, sekaligus dapat menjadi sarana pengekspresian diri, komunikasi, dalam cerminan sosial budaya. Melalui karya seorang seniman


Perancis Lucy Orta, misalnya, kita dapat melihat peleburan dari citra pakaian, arsitektur dan aktivitas sosial. Orta mengembangkan pakaian sebagai alat untuk menggerakan tubuh sebagai hasil dari suatu ekspresi budaya, sosial, dan politik. Ekspresi terhadap suatu budaya juga tak lepas dari pengaruh unsur kapitalisme. Budaya kita mempunyai kecenderungan untuk cepat menjadi suatu komoditas utama. Pakaian, musik, film, televisi, maupun tubuh yang berjalan sudah menjadi suatu bentuk komoditas. Jika sebuah budaya sudah menjadi buah komoditas, yang dapat dilakukan adalah mengembangkan suatu metode untuk membalik dan mengkonfrontasi arus ini. Ruang publik kini tidak lagi menjadi tempat untuk kepentingan bersama. Ia telah menjadi bagian dari komoditas ekonomi yang dapat dimiliki dan dibeli. Ruang publik dengan fungsi awal sebagai tempat di mana setiap pengguna (penghuni) bisa berperan secara demokratis dan bebas semakin hilang. Sebagai bentuk tanggapan dari tekanan tersebut banyak perancang arsitektur mulai aktif mambawa karya mereka lebih lanjut sebagai pelayanan publik, dengan tujuan untuk memperbaiki hidup keseharian. Mereka mengembangkan ide konseptual dan fungsional karya, sebagai buah dari kepekaan terhadap estetika sosial-budaya. Jika perlu, karya tersebut dapat menghapuskan batas-batas teritori, meloncat dari satu batas teritori ke batas yang lain. ‘Bergerak’ bukan lagi suatu kebutuhan melainkan sudah menjadi suatu keharusan, dimana penyusunan taktik dan strategi sangat diperlukan untuk mengambil langkah awal. Hal ini pula yang dicoba ditangkap dan diolah oleh para mahasiswa perancang Studio Kontemporer dalam buku ini.

Jakarta 21 Agustus 2010

23


24


25


26


27


“Karena antara kita dan kota jang kita tinggali Karena antara rumah dan kita sendiri, tiada lagi hubungan.” — Ajip Rosidi, cukilan puisi “Djembatan Dukuh”, 1956


Sebuah seruan Ardi Yunanto & Farid Rakun

Publik, khalayak, maupun umum, merujuk pada suatu keadaan di mana kebersamaan dibangun melalui kesadaran atas keberagaman dan kebutuhan untuk hidup, menghidupi, dan dihidupi dalam ruang yang sama. Keberadaan publik dan ruangnya niscaya adalah kebutuhan penting dalam sebuah kota. Namun justru ruang publiklah yang paling tergerus keberadaannya di Jakarta. Kurangnya ruang publik membuat ruang yang tersisa kemudian menjadi arena pertarungan antara warga, pemerintah, dan korporasi, dan belakangan juga para milisi sipil atas nama agama; yang membentuk trinitas baru bersama pemerintah dan korporasi, seraya makin menyisihkan keberadaan warga kota. Keberagaman, sebagai penaung perbedaan–yang merupakan hak asasi manusia—kini menjadi semakin langka. Maka hidup di ruang publik Jakarta sungguh penuh dengan taktik dan strategi. Peraturan demi peraturan yang dibuat di ruang publik, sudah menjadi rahasia umum, hanya menguntungkan sejumlah pihak. Banyak peraturan dibuat tanpa sosialisasi memadai dan fasilitas pendukung. Tak sedikit yang percaya bahwa peraturan itu sengaja dibuat untuk dilanggar warga, karena melalui pelanggaranlah pungutan liar aparat dapat ditunaikan. Solusi untuk menjadikan ruang publik yang manusiawi juga seringkali hanya laksana sumbu pendek,


30

kalau bukan jauh panggang dari api, dan kemudian membakar masalah baru. Adalah ironis ketika solusi dari masalah baru itu kebanyakan justru datang dari warga. Solusi mereka pun, seperti penyebab masalahnya, adalah solusi sementara. Namun aksi bertahan hidup mereka yang sekaligus menambal “gali lubang tutup lubang” dari sebuah sistem, adalah inovasi tersendiri. Sebutlah beberapa di antaranya: pedagang asongan, kaki lima, ojek, timer, penukar uang robek, penjual kopi instan bersepeda, maupun odong-odong. Merekalah wirausahawan sejati yang tahu betul bahwa harapan urban ibukota hanyalah omong-kosong belaka. Jenis pekerjaan baru yang mereka ciptakan atas dasar kebutuhan masyarakat banyak, yang mencakup diri mereka sendiri di dalamnya, adalah keniscayaan yang genting, tanpa perlu diembel-embeli predikat industri kreatif yang kebanyakan hanyalah usaha penyelamatan diri sejumlah warga kelas menengah. Merekalah para warga sejati yang tak hanya meminta dengan tangan di bawah, namun melawannya dengan kepalan tangan. Kepalan yang, seperti halnya anarki, sudah ditabukan maknanya menjadi kekerasan semata. Sekalipun mereka tidak main hakim sendiri atas nama keyakinan yang menolak keberagaman. Sekalipun kepalan mereka mengakar pada kebutuhan publik, yang dengan sendirinya menjadi sebuah kepalan yang lembut, sejuk dan mewangi. Tanpa mereka yang “informal”, Jakarta tak akan bangkit setelah krisis ekonomi 1998. Namun yang “formal” terus-menerus menggundahkan ketika dunia perancangan sampai saat ini masih mendambakan kota yang tertib, rapi, modern, dan mewah. Ketika kota mudah sekali diterjemahkan menjadi mal, pusat perkantoran, hotel, maupun apartemen. Ketika istilah industri kreatif digemborkan oleh kelas menengahnya yang


baru kemarin sore mendesain untuk kelas mereka sendiri. Ketika jalanan masihlah ditakuti sebagai sesuatu yang asing dan berbahaya, seperti bagaimana kita diajarkan oleh Orde Baru melalui buku-buku sekolah. Sejumlah kesadaran yang seringkali melupakan di mana sampah dari modernitas semu itu dibuang. Dan hanya yang informallah, yang publik, yang sehari-hari, yang realistis, yang banal, yang suram, yang kocak, juga populis, yang setiap hari harus terus berjibaku dalam arena pertarungan yang nyata. Maka jangan tanyakan dimana sebagian besar perancang kini berpijak. Mungkin hanya dalam sebuah koper yang siap dibawa terbang menuju kota berfasilitas publik lebih baik agar hidup bisa lebih indah tanpa perlu merasa bertanggungjawab atas peran sosial yang memang semakin hari semakin membebani setiap orang. Dalam dunia arsitektur, yang tersisa adalah pilihan fungsi bangunan, tapak imajiner, dan permasalahan standar kemacetan. Permasalahan hidup manusia seakan lenyap dari presentasi, dibayangkan sudah diselesaikan perizinan lahan yang kita tahu sehari-harinya menggusur sekasar apa. Pendekatan sosial-masyarakat, sebagai hal mendasar dimana sejatinya arsitektur dan ilmu rancangan lain berpijak, menjadi demikian statistik. Maka bagaimana jika mereka, para calon perancang itu, diberikan kebebasan untuk berlarian di jalanan, mengamati permasalahan yang mereka pikir akan sanggup mereka tanggapi? Membuat mereka bergabung dalam proses inovasi warga yang telah hidup sekian lama ketimbang terkungkung dalam dunia pendidikan perancangan yang kita tahu sangat jauh dari kenyataan itu? Apa yang terjadi dan kemudian terekam dalam buku ini adalah usaha-usaha untuk kembali bereksperimen, yang seringkali diartikan utopis, tak berguna, tak berdasar, dan niscaya akan dibunuh oleh yang adiluhung. Eksperimentasi

31


32

kali ini justru mencoba menemukan akar dari kehidupan sehari-hari yang realistis. Sebagai usaha tandingan pada dunia mutakhir yang ingin serba lebih, lebih cepat, lebih kuat, dan lebih baik. Suatu usaha untuk menemukan kembali arti, bentuk, dan ruang publik itu sendiri. Bahwa arsitektur tak selamanya melulu profesi. Namun juga ilmu, yang di sini mendapat porsi lebih besar, yang mampu membebaskan eksperimentasi melampaui bentuk fisik bangunan yang dipercaya sebagai selalu arsitektur. Hal itu pula yang menjadikan ulasan dalam lembar halaman setelah ini tak semata berupa pujian, namun juga memperhatikan konteks sosial yang luas, sekaligus berupa kritik singkat yang tegas. Bahwa suatu kegagalan perlu dimaknai sebagai modal keberhasilan kelak. Pendekatan sehari-hari yang dilakukan ini sesungguhnya sederhana. Memercikkan kenyataan sosial sebagai permasalahan yang nyata yang seharusnya perlu disikapi lebih mendalam oleh para calon perancang muda sejak dini. Para perancang yang bisa berasal dari bidang ilmu apa saja. Apa yang terjadi di sini, adalah contoh kecil dari penghadiran kembali konteks sosial-kota yang tersingkirkan oleh megahnya utopia arsitektur dalam dunia pendidikan kini. Bagaimana kita melihat kembali jalanan yang ternyata tidak semenakutkan itu seiring terjalinnya perkenalan. Bahwa impian kota masa depan itu tetap harus berpijak pada apa yang telanjur ada dan hadir sebagai penyelamatpenyelamat kecil atas masalah yang disebabkan oleh sistem yang tak manjur. Dari titik ini, kiranya terhampar medan luas persemaian pengetahuan yang sesungguhnya. Jika seruan ini adalah penabuh genderang, maka buku ini adalah penyingsing lengan baju. Kami undang Anda untuk bergabung. Jakarta, 3 September 2010


33


34


35


36


37

karya-karya mahasiswa



ROMPI-tas KORAN Archangela E. Natalia Livia Louis Yoana Linda

Pedagang kaki lima dan pedagang asongan beserta semua alat transaksinya terus berevolusi secara alami di ruang publik Jakarta. Bila kita memperhitungkan alat-alat itu sebagai artefak kebudayaan kontemporer kota, jelas tak banyak perhatian yang diberikan pada kebudayaan ini—baik dari para akademisi, apalagi pemerintah—sekalipun kehadirannya sangat penting dalam menopang kehidupan ekonomi dan sosial kota. Adalah suatu keberanian tersendiri ketika Archangela E. Natalia, Livia Louis, dan Yoana Linda justru tertarik pada isu ini. Hasilnya adalah kejelian membaca, bahwa dari berbagai jenis barang jualan pedagang asongan, setidaknya ada satu dagangan yang belum memiliki alat penjualan, yaitu koran. Selama ini, para pedagang koran selalu mengandalkan kedua tangan mereka untuk berjualan. Satu lengan mendekap koran, tangan lain untuk menyerahkan koran, menerima uang, dan memberi kembalian. Yang kemudian ditawarkan kelompok ini adalah rompi sekaligus tas untuk berdagang koran. Dengan rompi-tas ini, koran-koran itu dapat dipajang dengan jelas dalam tiga rak transparan di dada. Total koran yang tertampung sama dengan rata-rata jumlah koran jualan pedagang, yaitu 80 eksemplar. Namun dengan koran sebanyak itu, dalam kondisi tersimpan dalam rak rompi, kecepatan melayani pembeli tak sampai berkurang. Sebuah koran bisa diberikan dalam 2 - 3 detik. Beban koran yang kini ditopang di bahu dengan nyaman juga membebaskan tangan mereka yang semula harus membawa koran.



Rompi-tas ini bisa dipakai dari samping lalu ditutup dengan resleting. Sisi kanannya dilengkapi kantong penyimpan uang. Punggung rompi juga berfungsi sebagai tempat memajang koran, sehingga calon pembeli dari belakang bisa tahu koran apa saja yang dijual oleh mereka. Koran dan pedagangnya pun aman dari hujan. Tersedia tutup transparan untuk koran dan tudung kepala untuk pedagang. Hal menarik terjadi ketika tiba waktunya kelompok ini melakukan simulasi. Pak Yadi, seorang pedagang koran yang selama penelitian sangat ramah menemani mereka—yang mungkin karena kebiasaan—masih menggunakan kedua tangannya untuk berjualan koran. Ia belum terbiasa dengan rompi-tas itu. Sekalipun, tentu saja, sebagai produk baru, rompi-tas ini memang sudah menerima tantangan untuk mengubah kebiasaan lama. Juga menyadari ragam kemungkinan perlakuan baru atas produk tersebut. Satu kekurangan rompi-tas ini adalah rendahnya posisi koran di dada untuk bisa dilihat dari dekat oleh pengendara mobii—karena semula, koran di tangan pedagang bisa bebas diacungkan ke jendela pengemudi mobil. Sekalipun dari jarak jauh, pajangan koran di dada rompi ini jauh lebih rapi dan jelas dilihat ketimbang di tangan. Boleh jadi, jika rompi-tas koran ini akhirnya dapat beredar luas di pasaran, pedagang koran lain lambat-laun bisa terbiasa untuk membiarkan tangannya leluasa dan sepenuhnya menyerahkan tugas memajang koran pada dada dan punggung mereka. Setidaknya, jika para pedagang koran tetap berjualan dengan tangan, dengan rompi-tas ini, mereka bisa menjual koran lebih banyak lagi dengan kenyamanan baru. Rompi-tas koran ini bisa menjadi dasar bagi pengembangan alat lain demi semakin memaksimalkan penjualan, kenyamanan penjual dan pembeli koran di jalanan Jakarta.

41


42

Dari atas ke bawah: Ukuran tipikal koran, sketsa rencana awal rompi-tas. Halaman sebelah: Pak Yadi sedang mengenakan rompi-tas koran.

SAAT DIBENTANGKAN

28,75 cm

57,5 cm

SAAT DILIPAT Jumlah halaman: sekitar 22 halaman Ketebalan koran terlipat: 0,5 cm - 1 cm

17.5 cm

35 cm

TAMPAK BELAKANG

50 cm

50 cm

40 cm

40 cm

TAMPAK SAMPING 10 cm 10 cm 10 cm

12,5 cm

TAMPAK DEPAN

47,5 cm

35 cm

25 cm

35 cm

Kantong Serba Guna Resleting pembuka rompi

Tempat Memajang Koran Penutup Koran saat Hujan Kantong resleting

Tempat Memajang Koran Penutup Kepala




SERAGAM BIRU JOKI Bernadette Aninadia Gabriella Stella Stacia Bernadette

Peraturan 3 in 1 diterapkan untuk mengurangi kemacetan dengan melarang mobil berisi kurang dari tiga orang melintasi jalan utama kota Jakarta pada pagi dan sore hari. Peraturan ini tidak didukung oleh pembenahan moda transportasi umum dan kebijakan menekan jumlah kepemilikan kendaraan pribadi. Hasilnya adalah memindahkan kemacetan ke area lain karena banyak kendaraan berpenumpang kurang dari tiga yang menghindari 3 in 1. Kehadiran joki di area 3 in 1 kemudian menjadi solusi bagi pengendara yang harus melalui area tersebut. Para joki berdiri di mulut area 3 in 1, menawarkan jasanya untuk disewa oleh pengendara mobil dengan tarif Rp10,000 – Rp20,000 untuk menambah kekurangan orang di dalam mobil. Awalnya, profesi joki dilarang. Mereka bahkan dirazia oleh aparat. Tentu saja, keberadaan joki telah menegaskan kegagalan pemerintah atas peraturan 3 in 1. Cerminan kegagalan yang dikandung profesi inilah yang menarik perhatian Bernadette Aninadia, Gabriella Stella, dan Stacia Bernadette. Setelah memperhatikan joki, menyewa dan mewawancarai mereka, ada sebuah slentingan yang mengubah pola pikir mereka terhadap profesi ini. Satgas, yang seringkali kita asumsikan bertugas ‘menertibkan’ para joki, ternyata bertugas untuk ‘menjaga’ mereka. Profesi joki adalah sesuatu yang legal dan butuh perlindungan, tutur seorang Satgas. Pendapat tersebut memang tak dapat dibuktikan dengan peraturan tertulis. Namun, lepas dari kebenarannya, profesi ini telah memiliki penjaganya sendiri. Joki tidak lagi dikejar-kejar aparat hukum, tak perlu lagi menghindari


46


apapun kecuali kejahatan dari konsumen mereka sendiri: para pengendara; karena itu mereka perlu ‘dijaga’. Fakta tersebut yang membuat para mahasiswa ini memilih untuk tidak lagi membahas pemetaan ruang informal dan proses keberadaan joki mengakali celah peraturan, namun pada hal-hal yang lebih mendasar: cuaca dan identitas. Solusi yang kemudian mereka tawarkan adalah seragam khusus bagi para joki. Mereka mempelajari berbagai kemungkinan bentuk seragam untuk mengatasi terik matahari dan basah karena hujan di jalanan. Selanjutnya, mereka ingin menegaskan identitas para joki agar dapat dibedakan dari profesi jalanan lainnya, juga dari para pengguna jalan biasa. Seperti guna segala seragam, seragam joki ini juga berfungsi untuk menggarisbawahi kesamarataan di antara pada joki. Proposal pertama mereka adalah sebuah rompi yang memiliki tas gendongan bayi untuk para joki perempuan yang menggendong anaknya. Namun mereka akhirnya mengubah rompi itu menjadi ransel karena sifat tas yang lebih demokratis. Joki perempuan tinggal memakai seragam-tas itu menghadap depan jika ingin menggendong anak, sementara bagi mereka yang ingin mengangkut barang, tas tinggal dipakai di belakang layaknya tas biasa. Penggunaan ransel sebagai seragam juga mempermudah penggunaan jaket tudung hujan yang disisipkan sebagai lipatan di bagian bawah ransel tersebut. Tujuan mereka untuk memvisualisasikan identitas joki cukup berhasil. Adanya seragam-tas joki ini memang baru menyentuh aspek fungsi dan estetika—belum sampai mengkritik dan memberi makna baru atas permasalahan 3 in 1 yang memicu kelahiran profesi ini—namun karya mereka yang lahir dari perhatian lebih atas profesi joki, dapat memancing begitu banyak kreasi demi menghidupi beragam solusi sementara ciptaan warga untuk mengatasi berbagai peraturan resmi pemerintah yang menyusahkan masyarakat.

47


Deretan atas: Contoh pertama, produk serupa rompi. Deretan bawah: Produk akhir rompi joki serupa tas gendong. Sebelah: Pemakaian produk dalam praktek lapangan.


49


50


ASONGAN DORONG Andayani P. W. Chin Ronal Purnama Chandra Willie D. Atmaja

Sudah sejak dulu jalanan tak pernah aman bagi pedagang asongan. Pada 1990 di Jakarta, melalui Operasi Esok Penuh Harapan dibawah komando Soedomo, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan saat itu, mereka diburu dan dihukum dengan tudingan mengganggu “ketertiban umum� dan menyebabkan kemacetan. Padahal dari kemacetan di lampu merahlah pekerjaan itu memetik inspirasi. Operasi yang tak seindah namanya itu menuai kontroversi karena tak menyelesaikan masalah sesungguhnya yang berkelindan di antara persoalan ekonomi, sosial, dan urbanisasi. Sekarang, puluhan tahun kemudian, pedagang asongan tak hanya berjualan di perempatan lampu merah. Apalagi sejak kemacetan semakin parah melimpah-ruah nyaris di setiap sudut ibukota. Mereka berjualan di mana-mana. Namun, makin hari, peran mereka dalam melayani kebutuhan masyarakat di jalanan dan menopang ekonomi negara, bersama sektor informal lainnya, justru semakin penting. Dari ribuan pedagang asongan di Jakarta, mereka yang sering berjualan di daerah pintu tol Kebon Jeruk, Jakarta Baratlah yang kemudian menjadi perhatian Andayani P. W, Chin Ronal Purnama Chandra, dan Wilie D. Atmaja. Perhatian mereka sebenarnya jatuh karena kebetulan lokasi. Semula mereka mengamati fenomena terminal bayangan di sana, bergesernya makna pagar pembatas, serta kategorisasi ruang publik. Namun, akhirnya mereka memutuskan untuk menangani sesuatu yang kecil dalam skala, namun besar dalam peran.


Halaman ini: Model studi ide penambahan terhadap produk yang sudah ada. Halaman selanjutnya: Pemakaian produk akhir dalam praktek lapangan.


Dari pengamatan atas rutinitas sehari-hari pedagang asongan, mereka menganggap alat jualan itu masih bisa dimodifikasi agar lebih maksimal fungsinya. Mereka lalu memasang roda di bagian bawahnya, yang jika ditarik akan bisa diseret layaknya kopor seret beroda. Awalnya, agenda mereka lebih dari itu. Mereka juga ingin agar keranjang rokok itu bisa berdiri dengan topangan kaki roda. Namun karena permasalahan teknis, rencana itu dibatalkan. Andai rancangan itu berhasil, kegunaan roda keranjang bisa bertambah. Di saat pedagang asongan sedang berdiri diam, mereka bisa tak perlu lagi menopang beban keranjang dengan bahu. Mereka bahkan bisa terbebas dari keranjang, untuk duduk-duduk di sebelahnya dengan posisi keranjang tetap setinggi dada. Ketinggian yang nyaman bagi pejalan kaki yang lewat untuk melihat-lihat dagangan mereka. Dalam rancangannya, kelompok ini juga mengganti tali penyangga keranjang dengan selang air. Sekalipun secara estetis kurang sedap dipandang, selang jelas lebih empuk di bahu untuk menyangga beban keranjang. Selain itu, penataan ulang barang jualan juga mereka lakukan, plus penambahan laci-laci baru di keranjang. Karya ini telah menegaskan batas yang jelas dengan berbagai inovasi canggih atas sejumlah produk elegan yang marak dirancang para desainer produk melalui sejumlah kompetisi nasional. Apa yang selama ini kita anggap sekadar sebagai keseharian dari sejumlah lapisan masyarakat dalam bertahan hidup, sungguh perlu diamati dengan jeli. Bahwa inovasi desain yang memiliki dampak sosial yang nyata selalu bersumber pada persoalan sehari-hari. Masalahnya tinggal mengubah perspektif dalam memandang keseharian itu. Satu hal yang dengan sederhana namun jitu, telah dilakukan oleh kelompok ini.

53





TAS BELAJAR ANAK Antonius Wiradigdaya Kosasih Melita Felicia Kurniadi Lim

Pendidikan bagi anak jalanan yang dikelola sejumlah sekolah alternatif, selain berpusat di rumah, juga dilakukan dengan langsung mengunjungi ruang hidup anak-anak jalanan. Salah satunya, yang kemudian menjadi perhatian Antonius Wiradigdaya Kosasih, Kurniadi Lim, dan Melita Felicia, adalah di Stasiun Juanda, Jakarta Pusat. Dari kesementaraan proses belajar-mengajar—baik para guru yang secara periodik berpindah ke lokasi mengajar lain lalu digantikan guru baru, atau sejumlah anak yang datang silih-berganti—kelompok ini lalu memutuskan untuk membuat tas belajar bagi para guru dan murid. Prinsip kedua tas ini serupa. Selain untuk membawa alat tulis, bila tas dibuka, sisi dalamnya bisa menjadi alas bagi kegiatan belajar yang selama ini berlangsung lesehan di lantai stasiun. Tas besar untuk guru sebenarnya sudah cukup untuk menjadi alas bersama guru dan murid. Adanya tas kecil untuk murid, adalah semacam bonus, yang selain bisa dipakai layaknya tas sekolah, bagian dalamnya dapat menjadi alas berbaring untuk tidur di ruang luar. Sebuah alas tulis merangkap penyimpan alat tulis yang terbuat dari papan yang tersedia di dalam tas, melengkapi paket sederhana bagi sarana belajar ini. Untuk mendesain kedua tas itu, mereka melakukan studi gerak dan dimensi dari perilaku anak-anak selama berlangsungnya pelajaran. Studi dilanjutkan dengan pemilihan warna dan bahan. Tas untuk anak dibuat sebagai tas selempang, agar lebih mudah dan sesuai dengan kebiasaan anak-anak di sana dalam menggunakan tas. Sementara


58


untuk merancang tas guru, yang berupa tas jinjing dengan ukuran lebih besar demi menjadi alas untuk guru dan murid, dilakukan studi lipatan, bahan, dan efesiensi pembuatan. Setelah tas dihamparkan menjadi alas, tali dan velcro-nya bisa ditempel pada tiang stasiun agar alas tidak bergeser selama pelajaran. Pilihan bahan dan warna tas ini, sayangnya tampak terlalu elegan dan gaya, sehingga tak begitu serasi dengan lokasi belajar-mengajar. Sekalipun pendapat umum untuk tidak memberikan sesuatu yang berlebihan kepada anak jalanan masih bisa diperdebatkan, namun melihat tampilannya, tas belajar itu cukup pantas untuk dijual di mal. Biaya produksi satuan tas ini juga terbilang cukup mahal. Kedua hal itu sebenarnya bisa diatasi jika mereka lebih mengeksplorasi bahan-bahan yang ada, meneliti bahan di sekitar lokasi atau bahan-bahan murah-meriah seperti kain perca, dan memanfaatkannya semaksimal mungkin untuk desain tas ini. Namun lepas dari itu, banyak hal yang bisa kita petik dari karya mereka. Salah satunya adalah bahwa ladang intervensi arsitektural juga dapat meliputi tubuh dan gerak dalam kegiatan. Pandangan ini memperluas kemungkinan intervensi arsitektural yang selama ini hanya mengerjakan bangunan, dapat beralih menjadi suatu produk yang bisa digunakan, dibawa, dan dialami bersama. Perhatian mereka kepada anak jalanan dan khususnya untuk menanggapi kegiatan belajar-mengajar mereka di sebuah lokasi khusus, juga suatu kejelian tersendiri, untuk kemudian diatasi dengan sebuah tas. Dari sana, karya mereka bisa mengawali kemungkinan inovasi lain bagi produk-produk yang bisa dibawa dan dipakai di mana saja, yang pada tas ini saja, bahkan sudah melampaui fungsi dasarnya sebagai kegiatan belajar anak, karena berfungsi juga sebagai alas tidur dan tas mereka sehari-hari.

59


60

Contoh modul alas duduk untuk tas guru dengan studi pola visual dan bahan.


61

Produk akhir tas guru beserta modul papan tulis/tempat pensil.


62

Halaman ini (kolom kiri): Produk akhir tas anak. Halaman ini dan sebelah: Pemakaian produk akhir dalam praktek lapangan.


63



BALOK WARNA Gabriela Velda Jose Mason Mulia Tony Sunardi

Lampu merah di Jakarta tak hanya dipenuhi oleh kendaraan yang mengantri, namun juga pedagang yang menanti kendaraan berhenti. Di sejumlah lampu merah, terkadang bisa kita jumpai pengemis-pengemis cilik. Bocah-bocah yang tak kunjung menjadi urusan negara. Mereka terpaksa meminta-minta sepanjang durasi lampu merah yang tak lama. Anak-anak itu yang kemudian menjadi perhatian Gabriela Velda, Jose Mayson Mulia, dan Tony Sunardi yang lalu banyak menghabiskan waktu bersama mereka yang sehari-harinya meminta-minta di perempatan Grogol, Jakarta Barat itu. Pertanyaan kelompok ini kemudian adalah apa yang bisa dilakukan untuk menemani jeda waktu anak-anak itu selama menunggu lampu lalu lintas kembali merah? Mereka ingin menawarkan sebuah permainan. Namun apa yang bisa dimainkan dalam durasi sesingkat itu, atau yang cukup menarik untuk bisa disambung lagi di jeda lampu berikutnya? Permainan itu pun harus mampu meladeni banyak anak sekaligus. Sehari-harinya, di sela waktu mengemis, anak-anak itu terus bermain dan bercanda di pinggir jalan selama lampu hijau. Mereka menjadikan tiang lampu maupun pagar pembatas, sebagai area permainan mereka. Aksi yang secara alami dilakukan sebagai keriangan bocah, hal yang tak dilandasi semangat senang-senang sendiri namun berdalih mengubah ruang kota menjadi arena permainan mengasyikkan seperti aktivitas komunitas skateboard. Kelompok ini batal membuat permainan yang perlu dibangun secara permanen di area lampu merah. Percuma.



Jalanan tak cukup aman untuk merawatnya. Yang akhirnya mereka tawarkan adalah suatu permainan yang menawarkan banyak kemungkinan pengalaman bermain, sederhana, dan modular dalam bentuk, serta dapat dimainkan secara cepat mengingat jeda lampu hijau itu. Permainan yang merupakan gabungan antara Lego, UNO Stacko, dan kartu yang dicocokkan ini, mereka namakan Go Block. Walau dalam lafal Indonesia terdengar aneh, namun nama itu menjelaskan balok-balok kayu yang mereka gunakan. Dengan enam sisi warna yang berbeda, balok-balok ini harus disusun dengan menempelkan sisi atas balok dengan warna yang sama dengan sisi bawah balok yang menimpanya. Siapa yang bisa menghasilkan tumpukan tertinggi, dialah yang unggul. Namun menurut seorang pemerhati psikologi anak, jenis permainan ini sesungguhnya diperuntukkan bagi anak-anak yang lebih muda dari kisaran usia 8 - 9 tahun anak-anak di sana. Kiranya, mahasiswa arsitektur memang perlu belajar melintasi wilayah wacananya, memperhatikan lebih jauh faktor psikologis yang memang memperhitungkan kegunaan mainan bagi pengembangan diri anak. Dengan kenyataan psikologis tersebut—yang sesungguhnya masih bisa diuji ini— kegembiraan anak-anak itu ketika menerima dan memainkan mainan ini, jadi mengundang pertanyaan. Apakah keriangan itu tercipta karena memang mainan itu sungguh menarik hati atau hanya karena itu mainan baru, maka niscaya menarik minat? Namun dari permainan ini, kita bisa mulai menilik sejauh mana suatu permainan dibutukan di suatu tempat, dengan kondisi tertentu, dan permainan macam apa yang cocok dengan usia tertentu. Karya ini, yang sempat menggembirakan anak-anak kecil itu, dapat mengantarkan kita lebih jauh untuk mencermati kebutuhan permainan bagi anak-anak jalanan. Permainan yang bisa menemani keseharian mereka sampai akhirnya mereka bisa kembali bersekolah.

67


Atas: Peta area lampu merah yang jadi perhatian (tak berskala). Tengah: Produk akhir dengan kotak penyimpanan. Bawah: Penjelasan cara bermain. Halaman sebelah: Produk akhir yang dimainkan dalam praktek lapangan.



70


NAUNGAN BERMAIN Aditya Setiawan Denny Soedjito Kristanto Hadinata

Jakarta memang bukan kota yang ramah terhadap anak. Mengingat pernyataan Aldo van Eyck—arsitek humanis legendaris Belanda, yang percaya jika kota tak ramah pada anak kecil, maka sia-sia ia bagi siapapun—bahkan Jakarta bukanlah kota. Ketidakramahan kota menyebabkan ketidakpedulian warga. Plang “Jangan ngebut banyak anak� seharusnya tak perlu ada karena anak-anak tak perlu sampai bermain di jalan. Namun semangat bermain tentu tak kenal usia. Selalu ada kesenangan untuk terlibat pada setiap permainan. Aditya Setiawan, Denny Soedjito, dan Kristanto Hadinata ternyata juga punya semangat bermain yang tinggi. Ketika berjalanjalan ke daerah Jembatan Tiga, Jakarta Barat, mereka terkesima dengan banyaknya fasilitas bermain di daerah yang terpinggirkan itu. Dari area papan catur, fasilitas bola sodok, pasar malam kagetan yang membawa komedi putar, sampai fenomena yang terbilang muda di kota-kota Indonesia: odong-odong, permainan usaha swadaya masyarakat demi mengantisipasi kurangnya arena bermain anak di ruang kota. Awalnya, mereka tertarik pada odong-odong. Mereka ingin menambahkan fungsi lebih pada odong-odong agar orangtua yang menunggu anak-anaknya bermain bisa duduk santai sambil mengobrol dan bahkan memainkan permainan lain. Namun ide itu mentok karena dari sejumlah bangku sampai papan catur yang mereka rencanakan, berakhir membebani odong-odong. Ide menambahkan papan catur juga kandas karena waktu bermain catur tentu lebih lama daripada durasi anak-anak bermain odong-odong. Permainan akan segera


72


berakhir karena odong-odong mesti pindah. Mobilitas odongodong tak mungkin diintervensi demi fungsi lebih yang bukan menjadi niat awal. Berbagai fasilitas tambahan itu juga tak bisa dirakit dengan mudah sebagai kesatuan konstruksi di badan odong-odong tanpa memberatkan kayuhan tukang odong-odong. Akhirnya mereka membuat sebuah konstruksi mirip halte kecil berbahan kayu triplek dan bambu dengan atapatap berlubang. Anak-anak bisa bermain di dalamnya dan melongok dari lubang itu laksana berada di terowongan kecil. Alas konstruksi dapat diangkat dan diletakkan dalam berbagai sudut, menawarkan kemungkinan untuk dijadikan perosotan bagi para balita ataupun menjadi alas papan catur bagi orang dewasa. Ruang ini juga dapat berfungsi untuk ruang jaga Siskamling di malam hari. Pertanyaan bagi karya ini jatuh pada konsistensi ide yang tak terjaga. Perhatian awal mereka terhadap odong-odong tak berbekas pada hasil karya. Sejumlah kendala teknis dan logis tak didalami dengan analisa. Mengganti ide semula secara tiba-tiba dengan arena bermain multi-fungsi ini jadi terlalu instan dan sederhana. Konstruksi ini pun bisa lebih diberi detail demi menawarkan keberagaman permainan itu sendiri. Ketertarikan awal mereka pada permainan, tampaknya membuat mereka melupakan esensi bermain itu sendiri karena terlalu asyik bermain-main. Namun lepas dari itu semua, kita bisa melihat bagaimana kompleksitas kebutuhan ruang bermain anak, yang bahkan di suatu kawasan pun, perlu disikapi dengan lebih penuh perhatian dan detail. Apa saja yang dibutuhkan oleh anak? Belum lagi jika aneka permainan itu perlu disesuaikan dengan usia mereka, sehingga sesuai dengan perkembangannya. Satu hal yang perlu diperhatikan bersama, demi membuat kota ini ramah kepada anak, sekaligus warganya, dan membuat Jakarta kembali menjadi sebuah kota.

73


74


75



JEMBATAN PELAYANGAN Fransiskus Ansis Meidy Himawan Tania Permata Sari

Kritik pedas terhadap fasilitas umum kota Jakarta bukan saja tak pernah habis kita dengar, namun seringkali kandas menjadi protes usang belaka, lalu tenggelam bersama permasalahan ruang publik yang memang tak kunjung selesai. Apalagi solusi-solusi yang ada selama ini seringkali malah menyumbang masalah baru. Jembatan penyebrangan adalah salah satu fasilitas umum yang mungkin sudah bosan dikritisi warga. Terutama jembatan penyebrangan model lama yang berbahan beton cor, berukuran besar, dan memiliki ramp di tengah tangganya. Jembatan yang janggal sejak awal dan telantar sampai akhir, namun justru menarik perhatian Fransiskus Ansis, Meidy Himawan, dan Tania Permata Sari. Bagi mereka, ramp itu sangat rawan. Jika standar kemiringan adalah 4Âş, kecuraman ramp ini 22Âş. Bonus curam 18Âş yang merancukan fungsi sebenarnya karena tak mungkin dilalui pengguna kursi roda. Bahkan jika ramp ini dilintasi pengendara motor dan sepeda, dibutuhkan keberanian dan keahlian yang luar biasa untuk melewatinya. Namun ramp juga dijadikan perosotan anak-anak jalanan. Beralaskan kardus, mereka meluncur riang. Permainan merekalah yang mengilhami kelompok ini. Sebuah kritik tentu bisa dilontarkan sambil bermain. Awalnya, mereka meniru keriangan bocah-bocah itu. Di jembatan penyebrangan di depan kampus mereka, alas kardus digelar. Sayang, fisika tak sepakat dengan beban dan ukuran tubuh dewasa mereka. Perosotan jadi seret. Selain itu, tak semua orang dewasa yang akan mau merosot seperti itu kalau


78


hanya demi memfungsikan kembali ramp yang cacat. Mereka harus ‘mengatasi’ ramp agar lebih berguna bagi lebih banyak kebutuhan dan usia warga. Mereka lalu mengadopsi jenis permainan yang kita kenal sebagai flying fox. Dengan itu, mereka tak hanya secara gamblang memprotes rancangan fasilitas publik, tapi juga mencapai kemudahan dan kecepatan turun. Menuruni tangga penyebrangan itu butuh waktu sekitar 28 detik, dengan ramp memadai seperti jembatan Transjakarta butuh sekitar 36 detik. Dengan sistem mereka, kita bisa turun dalam 13 detik. Untuk menjamin keselamatan pengguna, mereka menggunakan jasa manusia. Dalam bayangan mereka, fasilitas ini akan dilayani seorang operator dari warga sekitar. Mereka sadar bahwa inovasi mereka bisa membuka lapangan pekerjaan baru, disewakan secara murah, dan berguna bagi siapa saja. Tak hanya untuk meluncurkan orang dengan senang, namun juga menurunkan barang dengan ringan. Akhirnya, percobaan karya yang mereka lakukan menjelang subuh agar terhindar dari aparat berlangsung sesuai rencana. Pertanyaan baru nan menggelitik lalu muncul. Mungkinkah karya ini diterapkan dalam skala besar? Rasanya memang mustahil. Apalagi di kota Jakarta yang tak peduli akan kesejahteraan warganya. Solusi formal hal ini adalah menggantinya dengan jembatan yang baik. Menerapkan sistem model flying fox hanya akan mempertegas kesalahan awal pemerintah kota dalam merancang jembatan. Operatornya pun akan menjadi resmi, bukanlah warga sekitar, sesuatu yang sangat mengkhianati konsep semula. Namun bukan dalam poin itu—kemungkinan karya untuk diterapkan dalam skala besar—yang membuat karya ini bernilai. Inovasi kreatif mereka tak hanya membuka celah solusi baru bagi kebanalan fasilitas publik selama ini, namun juga menerbitkan harapan, bahwa kota Jakarta selalu bisa dihidupi dengan riang.

79



2

Halaman sebelah: Percobaan perosotan dan alat-alat yang digunakan dalam karya bersistem flying fox. Halaman ini: Potongan jembatan dengan keterangan alat dan maket studi sistem flying fox yang akan digunakan. Halaman selanjutnya: Sistem flying fox dalam praktek.

3

1

4

1

2

3

4

81





PAVILIUN KAMPUNG Suci Sandra Dewi Mickhael Florence Willyanto Hinardi

Sebuah karya arsitektur baru bernilai jika ia tak menjadi entitas tunggal, namun hidup ramah dengan lingkungannya. Apalagi jika karya itu mampu menyelesaikan masalah sosial dan mampu membentuk ruang publik baru. Namun dalam proses kuliah formal, seringkali fungsi bangunan sudah ditetapkan sesuai jenjang mata kuliah dan lokasi pilihan mahasiswa ‘bisa begitu saja cocok’ menerima fungsi tersebut. Bagaimana jika para mahasiswa diajak menentukan lokasi sendiri, mencermati permasalahan sosial di sana, sekaligus menanggapinya? Permukiman Rawa Bahagia di pinggir kali Banjir Kanal Barat, Grogol, Jakarta Barat adalah lokasi pilihan Mickhael Florence, Suci Sandra Dewi, dan Willyanto Hinardi sejak awal. Berhari-hari mereka mencatat, memotret, berbincang dengan warga di sana, sampai mereka temukan permasalahan yang mampu mereka tanggapi. Ada sebuah jalan di pinggir kali itu, yang berdiri lebih tinggi daripada kawasan sebelahnya, ‘dipagari’ oleh sederet rumah-rumah semi permanen warga setempat. Jalan yang cukup ramai terutama oleh anak-anak kecil yang bermain kala sore. Namun ada satu deret jalan, sekitar 20 meter, yang belum dibatasi rumah. Sisi jalan tak berpagar yang rawan bagi anak-anak untuk terjatuh ke bagian lain permukiman yang lebih rendah sekitar 2,4 meter. Niat awal kelompok ini adalah memagari sisi jalan itu. Namun hanya pagar tentu terlalu biasa. Tanpa rumah warga, sisi jalan itu juga menjadi sepi tanpa aktivitas. Bagaimana memagari jalan sekaligus memancing aktivitas baru di sana?


86


Jawaban mereka adalah dengan membangun paviliun mungil. Sebuah teras sederhana mirip halte dengan tempat duduk dan atap yang dirimbuni tanaman rambat. Selain berfungsi sebagai pagar, paviliun itu juga bisa menjadi tempat menunggu untuk orangtua yang menjaga anak mereka bermain, juga untuk tempat bersantai bagi siapapun. Paviliun kampung itu didirikan di tengah sisi pinggir jalan yang terjal itu. Desain dibuat sederhana, modular, mudah dibongkar-pasang, berbiaya cukup murah, dan menggunakan bahan baku yang mudah dicari di pasaran. Setelah paviliun yang dibangun bersama warga itu jadi, tempat itu ramai didatangi warga. Anak-anak kecil bermain, ikut duduk, bergantian dengan orangtua yang mengasuh adikadik mereka. Bersama keramaian baru itu, sejumlah pedagang makanan bergerobak dorong jadi turut mangkal di sekitarnya. Bahkan kemudian ada warga yang memasang plang jasa khitanan lokal di tiangnya. Paviliun mungil sederhana ini akhirnya benar-benar menjadi ruang publik baru sekaligus penanda bahaya bagi keterjalan jalan di sekitarnya. Rancangan paviliun ini juga dimaksudkan sebagai cetak biru bagi warga. Modul rancangan dan biaya diserahkan kelompok ini kepada ketua RT setempat. Sehingga kapanpun warga ingin memperbanyak modul paviliun ini di sepanjang jalan terjal itu, mereka dapat meneruskannya secara swadaya. Sekalipun dari segi desain arsitektural sangatlah biasa, paviliun ini telah menunjukkan bahwa suatu karya arsitektur yang berangkat dari permasalahan yang nyata, dengan perhatian yang hangat terhadap konteks sosialnya—sekecil apapun luasan dan sebiasa apapun desainnya—mampu menciptakan interaksi sosial yang ramah bagi warga, dan karenanya, karya ini sungguh bernilai.

87


Keadaan tapak dan lingkungan sekitar. Banyak anak kecil bermain dan terlihat sisi lahan yang lebih rendah dari jalan.


Halaman ini: Studi model digital 3 dimensi produk di tapak. Halaman selanjutnya: Proses pembuatan dan hasil akhir karya di tapak dan interaksinya dengan warga sekitar.





BEL BUS Antoni Winata Ingrid Anita Stacia Dharmawan Xena Levina Caesarea

Kenek adalah salah satu profesi unik Jakarta. Selain menagih uang sewa, ia juga menyerukan tujuan demi memancing penumpang untuk naik bus, menyuarakan informasi yang lebih jelas ketimbang papan keterangan trayek bus di jalanan. Dalam perkembangan alaminya, kenek melahirkan sosiolek tersendiri. Mereka suka berseru dengan menyingkat infomasi harga, nomor busnya, dan nama antartujuan agar lebih mudah diucapkan. Kalimat seperti “[e]nam pat nam”, “[Pasar] Minggu - Depok “, “[Slipi] Jaya – Grogol”, atau “Jauh dekat tiga ribu”, sudah akrab dimengerti calon penumpang. Suatu bahasa dan suara yang menjadi identitas pekerjaan, kegiatan, lalu meluas menjadi pembentuk jati diri Jakarta. Suara, di sisi lain, adalah salah satu elemen pembentuk utama ruang. Sisi ini sering dilupakan, namun tidak oleh Antoni Winata, Inggrid Anita Stacia Dharmawan, dan Xena Levina Caesarea yang sejak awal memang tertarik dengan isu suara dalam arsitektur. Awalnya mereka berkonsentrasi pada polusi suara di ibukota ini. Perhatian mereka lalu tertambat pada seruan kenek, yang memiliki dua tujuan, pertama untuk memberi tahu nomor dan tujuan bus kepada calon penumpang di luar, kedua demi memberitahu penumpang di dalam, akan sampai di mana bus yang mereka tumpangi itu sebentar lagi. Dari pengamatan itu, mereka ingin agar kenek tak perlu lagi berteriak untuk penumpang di luar. Suaranya bisa diganti dengan rekaman suara yang disiarkan lewat pengeras suara yang bisa diaktifkan dengan menekan tombol. Dengan itu, kenek cukup memberi tahu tujuan terdekat kepada penumpang di dalam bus.


94


Percobaan alat mereka lakukan pada sebuah bus P46 jurusan Grogol – Cawang bersama seorang kenek kenalan mereka. Hasil karya mereka kemudian adalah rekaman suara kenek yang menyuarakan kedua arah jurusan. Sampel suara itu mereka beri latar lagu tradisional Batak “Alusiau� yang mereka nyanyikan sendiri. Suara-suara itu diinstalasikan di bus, lengkap dengan pengeras suara dan tombolnya. Namun penyelesaian karya kelompok ini jadi terlalu instan bagi proses berpikir yang sudah menarik sejak awal. Semacam kegagapan yang melanda ketika teori tertumbuk kompleksnya realitas. Suara yang dihasilkan tak jernih dan mereka jadi menghilangkan sosiolek yang telah tercipta secara alami—walau bagi pendatang, ucapan kata yang lengkap bisa memperjelas informasi. Lagu tradisional Batak yang ditempelkan sebagai latar, alih-alih ingin memberi nuansa budaya lokal, justru mengeneralisir etnis supir dan kenek yang kini tak lagi didominasi etnis Batak seperti dulu. Adanya latar lagu itu jadi semakin mengaburkan suara kenek yang sudah keruh. Ide yang menarik ini, seharusnya bisa dimatangkan lagi jika setiap keputusan dibuat dengan mempertimbangkan faktor-faktor logis dari hubungan antara kejelasan informasi, estetika suara, dan hal teknis pemasangan. Simulasi yang kemudian mereka lakukan berjalan cukup lancar, sampai akhirnya bus distop polisi yang siap dengan mobil derek, sekalipun aparat itu akhirnya bisa diatasi dengan negosiasi singkat. Rekaman suara itu jadi lebih keras daripada suara kenek biasanya, sehingga memancing polisi, hal yang kiranya perlu diperhatikan agar tak menjadi polusi suara baru. Lepas dari hasilnya, sejak awal niat mereka adalah memberi warna baru bagi Jakarta lewat suara dan pendengaran. Sebuah perhatian menarik. Semoga kesadaran awal mereka tetap tak kalah lantang dalam riuh-rendahnya wacana arsitektur dewasa ini.

95


96

... ayo ... ayo ... (g)rogol (s)lipi rogolipi... . . .

a l u

. . .

s i

. . .

a u

. . .

d i


97

Atas: Visualisasi dari sepotong karya suara yang dilengkapi lirik. Kiri bawah: Pemasangan peralatan bel bus. Kanan bawah: Ekspresi orang-orang di sepanjang jalan yang dilalui trayek bus.

rogolipi... tomang ... terus ... terus ... terus ... b a h e n i

. . .

a l u

. . .

s i . . .

a u

. . .



ZONA MEROKOK Jacson Andika Santoso Juanto Putratama Yotanaga Satria

Merokok di Jakarta sangatlah kompleks. Di satu sisi, ibukota ini surga bagi perokok. Masih sering kita jumpai mereka yang membumbung asap di dalam angkutan umum tanpa terbakar protes. Namun di lain sisi, peraturan larangan merokok pemerintah kota juga tak kalah ajaib. Larangan yang tak selalu diimbangi penyediaan ruang merokok dalam gedung itu bahkan mengasap ke jalanan. Orang juga dilarang merokok di ruang terbuka, dari parkiran sampai trotoar sejumlah ‘kawasan utama’, yang jelas-jelas tak menjanjikan udara sehat kecuali asap knalpot dari kendaraan yang macet. Sekalipun jika tertangkap api, kita masih bisa memberikan “uang rokok� kepada aparat. Namun tampak sekali bahwa tak ada pembatasan yang jelas antara yang publik dan privat. Isu ini kemudian menarik hati Jacson Andika Santoso, Juanto Putratama, dan Yotanaga Satria. Ide awal mereka macam-macam. Dari membuat papan larangan merokok standar, sampai menjadikan para perokok bagai tontonan di ruang khusus dengan membuat asap-asap mereka sebagai bagian dari permainan cerobong asap. Mereka juga memperhatikan batas asap, sejauh apa asap mengganggu orang lain dalam jarak tertentu. Namun yang akhirnya mereka lakukan justru sebaliknya: memberi kuasa bagi para perokok untuk membela tindakannya. Mereka membuat sebuah keset tempat merokok. Dengan berdiri di atasnya, kita jadi sah untuk merokok. Ide untuk memberi kuasa dan mempermainkan ruang imajiner demi mengabsahkan sebuah tindakan, yang justru bagi perokok ini, sesungguhnya menarik karena dapat menjadi


100


semacam protes balik dari para perokok atas pemerintah yang senang mengambil pajak rokok tapi suka melarang orang merokok. Namun sayangnya, mereka luput melihat kepulan aspek lain. Orang tentu tak akan mudah percaya dengan tampilan keset yang kurang berwibawa untuk mengepulkan kuasa itu. Kewibawaan kesan dari keresmian tampilan itu pula yang membuat sejumlah seniman yang pernah melakukan aksi serupa, akhirnya meniru persis atau bahkan mencuri ‘papan resmi boleh merokok’ untuk menciptakan sendiri ruang khusus merokok mereka. Sehingga begitu papan resmi itu dipindahkan ke suatu tempat, tampilannya akan ‘membenarkan’ aksi merokok di ruang itu. Persis seperti niat mereka. Keset ini bisa dibawa, tinggal digelar di mana saja, dan merokok jadi sah. Sayangnya, keset ini tak terancang dengan baik. Orang lain bisa lantas berpikir bahwa ini hanyalah kenakalan mengada-ada si perokok saja. Dengan berdiri di atasnya, tulisan “Please Smoke Here” di atasnya jadi tak terlihat. Keset ini pun hanya mengundang satu orang. Belum lagi dalam soal bahan. Jika dilipat, keset ini jadi terlalu besar sehingga merepotkan untuk dibawa kemana-mana. Lagipula, satu hal yang juga luput dipikirkan adalah, di mana saja keset ini hendak digunakan? Tentu tidak di jalanan Jakarta karena para perokok di ibukota ini masih bisa bebas merokok di mana saja, tanpa bantuan alat apapun. Jika mereka cukup memahami kompleksitas masalah merokok di ruang publik, karya ini bisa mengantar mereka pada kritik tegas yang inovatif atas posisi perokok di ruang publik yang sebenarnya tak ubahnya dengan masyarakat yang tak merokok: kenyamanan ruang publik bagi keduanya samasama tak dipedulikan oleh pemerintah kota. Satu hal yang sejatinya ingin mereka sumbangkan, dan semoga menuai hasil memuaskan di kali lain.

101



IN.FOR.WAIT.ON Amelia Irene Syona Ricky Goreta

Rata-rata warga Jakarta menghabiskan 4 – 6 jam sehari di jalan. Kemacetan yang dulu hanya terjadi pada pagi dan sore hari, kini merambat hingga siang hari. Kenyataan ini merugikan perekonomian kota hingga milyaran setiap tahun. Belum lagi menghitung dampak psikologisnya. Buruknya sistem transportasi ini diperparah dengan minimnya runag publik kota. Warga menjadi komuter abadi. Tak mengalami ruang kotanya secara manusiawi. Warga yang berada di jalanan adalah mereka yang sedang menuju suatu tempat. Sepanjang itu, kerap kali mereka harus menunggu. Entah menanti bus yang tak kunjung datang atau kembali menunggu di dalam bus sambil mendambakan berakhirnya kemacetan jalanan. Menunggu semacam ini, yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya inilah yang kemudian menarik perhatian Amelia, Irene Syona, dan Ricky Goreta. Bagi mereka, sembari menunggu, selayaknya orang juga bisa mendapatkan informasi. Tempat yang mereka perhatikan adalah trotoar luas di depan Plaza Indonesia, Jakarta Pusat, yang memang ramai sepanjang hari. Area itu bahkan lebih diramaikan orang dari beragam tempat dan tujuan ketimbang pengunjung mal. Mereka lalu membuat sebuah struktur kecil serupa halte yang berisi beragam informasi. Dari majalah gratis sampai peta rute kendaraan umum. Semula, rancangan ini hendak dipasang di trotoar plaza, namun karena kendala perizinan, mereka menggesernya ke trotoar dekat halte Plaza Indonesia di sisi jalan MH. Thamrin.

103


Halaman ini: Studi model digital 3 dimensi pemasangan produk akhir dan keterangan trayek bus sekitar bundaran Hotel Indonesia yang di tempel di atas produk akhir sebagai pelengkap informasi. Halaman selanjutnya: Produk akhir yang terpasang di lokasi.


Di sini, analisa mereka atas kegiatan menunggu menjadi sangat sederhana. Seakan orang yang menunggu niscaya menganggur. Sementara di area itu, orang justru mengobrol dan mengaso. Mereka juga bisa menggunakan telepon genggamnya untuk mengisi waktu. Tak semua orang yang menunggu membutuhkan informasi, dan andai ya, informasi seperti apa yang dibutuhkan? Menyediakan informasi gratis memang baik, namun barang yang gratis tentu cepat habis sehingga harus terus disuplai, sesuatu yang hanya mampu mereka lakukan selama tiga hari. Kelompok ini juga luput melihat kemungkinan untuk menginteraksikan materi karya mereka dengan pedagang koran dan majalah asongan. Suatu hubungan yang mungkin bisa melahirkan ide-ide kreatif yang terintegrasi dengan lingkungan sosialnya. Namun materi informasi dalam struktur portabel itu dengan ajaibnya bisa santai berdiri tanpa izin di trotoar itu dan aman dari gangguan aparat keamanan Plaza Indonesia maupun polisi. Tampaknya masing-masing aparat saling menduga kalau yang lain sudah memberikan izin. Ketidakpedulian itu, walaupun menguntungkan bagi mereka, tentu merupakan cerminan mutlak akan ketidakpedulian pemerintah atas ruang publik Jakarta. Dengan itu, perhatian kelompok ini untuk meningkatkan kualitas menunggu, sampai akhirnya transportasi kota membaik dan ruang publik memarak, perlu dicatat oleh banyak perancang. Jika kondisi ruang publik Jakarta memang begitu mengenaskan, apa yang bisa kita lakukan bersama untuk meningkatkan kualitas hidup, sembari mengusahakan perubahan jangka panjang di masa depan? Sebuah pertanyaan yang layak menjadi catatan kita semua.

105





PETA JALAN PINTAS Andy Wijaya Edwin Budiman Phelia Felim Yulianti Chandra

Kita bisa mendefinisikan jarak dengan waktu, namun tak pernah sebaliknya. Di Jakarta, dengan kemacetannya yang ‘menjanjikan’, buruknya moda transportasi umum, dan minimnya sistem penunjuk jalan, orang bahkan cukup ikhlas untuk menempuh jarak lebih jauh asalkan bisa tiba lebih cepat. Namun itu hanya bisa dilakukan jika kita mengenali Jakarta, dan menganggapnya sebagai medan pertempuran sekaligus medan permainan yang unik. Perlu seperangkat strategi untuk bisa tiba dengan cepat dan nyaman sampai tujuan. Warga yang cukup berpengalaman dan lihai, biasanya ingat kapan jalan tertentu macet dan paham jalan pintas tersingkat. Jalan-jalan tikus itu, selain menjadi segenggam pengetahuan, juga perlu terus disegarkan dengan info-info terkini. Ruwetnya perjalanan kota dan bagaimana warga mengatasi jalan pintas itu, pada akhirnya menarik perhatian Andy Wijaya, Edwin Budiman, Phelia Felim, dan Yulianti Chandra. Awalnya, mereka masih tertarik pada isu-isu besar kota. Baru setelah menyusuri Stasiun Manggarai, dan mereka jumpai jalan pintas berupa tangga bikinan warga, pandangan mereka berubah. Minat baru itu kemudian mengantar mereka pada beragam pendefinisian atas jalan pintas Jakarta. Ada rangkaian rute yang dihubungkan secara alami. Ada jalan yang ditembus dan diciptakan warga. Ada pula yang dihubungkan dengan alat bantu seperti rakit dan perahu untuk menyebrangi


110


kali. Mereka juga mendata mana jalan pintas yang berbayar dan mana yang gratis, serta mana jalan pintas bagi pejalan kaki maupun kendaraan bermotor. Sekumpulan data itu kemudian diolah menjadi sebuah blog: petapotongpendek.blogspot.com. Di sana, orang juga mendapat detail informasi berharga lainnya, seperti waktu yang bisa dihemat, rawan licin, rawan terjal, atau rawan tertubruk mobil di jalan pintas. Tak cuma itu, mereka juga menyediakan foto panduan, agar kita bisa mengingat posisi jalan pintas di kenyataan. Karya ini adalah sebuah terobosan. Selain lahir sebagai kritik atas kompleksitas transportasi kota, merekam strategi warga dalam menyiasati kotanya yang selama ini menyesatkan orang banyak, juga membuka interaksi baru melalui peta yang berbeda, dan mungkin jauh lebih hidup dan berguna, untuk melengkapi peta formal yang ada. Blog ini akan diteruskan oleh mereka dengan informasi baru, tampilan lebih menarik dan komunikatif, serta sosialisasi dan publikasi yang lebih luas. Ke depan, akan kita lihat, apakah blog ini mampu berevolusi menjadi sebuah platform sendiri yang lebih publik? Mengajak siapapun untuk bergabung, menyumbang dan mengoreksi data, serta bersenang-senang atas manfaatnya. Potensi karya ini untuk menjadi sebesar, atau bahkan lebih daripada Foursquare— sebuah fasilitas geo-tagging yang mengubah satu bumi menjadi arena permainan—tak mustahil. Tantangan inilah yang hanya dapat dijawab oleh mereka. Sementara itu, karya ini saja telah memperjelas bagaimana sebenarnya kita sudah melakukan intervensi ruang yang bermakna. Bahwa sesungguhnya kita semua mampu berarsitektur, tanggap, dan tangkas menghidupi kotanya. Disiplin arsitektur perlu menyesuaikan kembali sikapnya atas fenomena seperti ini. Sesuatu yang telah mereka kerjakan dengan sangat baik.

111


Pemetaan dan foto hasil survei visual beberapa jalan pintas yang ditemukan sendiri oleh kelompok ini.

Sejumlah ikon hasil pengembangan studi penanda jalan pintas.

Dapat dilalui orang

Lewat gang

Dapat dilalui motor / sepeda

Resiko tergelincir

Dapat dilalui mobil

Resiko tercebur

Naik perahu

Hemat uang

Hemat jarak

Masuk gedung

Hemat waktu


Tampilan situs Peta Potong Pendek.


Tampilan situs. Tampak bagaimana alur penjelajahan pengguna dalam situs ini. Dari peta besar, sejumlah keterangan, sampai panduan foto lokasi jalan pintas.


3

5

2

1

4

1

3

2

4

5


116


117

SUASANA PENILAIAN AKHIR










Mahasiswa

Nomor Induk Mahasiswa

Aditya Setiawan Amelia Andayani PW Andy Wijaya Antoni Winata Antonius Wiradigdaya Kosasih Archangela E. Natalia Bernadette Adinadia Chin Ronal Purnama Chandra Denny Soedjito Edwin Budiman Fransiskus Ansis Gabriela Velda Gabriella Stella Ingrid Anita Stacia Dharmawan Irene Syona Jacson Andika Santoso Jose Mayson Mulia Juanto Putratama Kristanto Hadinata Kurniadi Lim Livia Louis Meidy Himawan Melita Felicia Mickhael Florence Phelia Felim Ricky Goreta Stacia Bernadette Suci Sandra Dewi Tania Permata Sari Tony Sunardi Wilie D. Atmaja Willyanto Hinardi Xena Levina Caesarea Yoana Linda Yotanaga Satria Yulianti Chandra

315070070 315070056 315050181 315070150 315070096 315070168 315070089 315070170 315070113 315070172 315070152 315070064 315070167 315070124 315070122 315070060 315070181 315070165 315070149 315070173 315070158 315070048 315070040 315070166 315070178 315070140 315070027 315070104 315070098 315070042 315070163 315070103 315070198 315070204 315070107 315070071 315070200


Dosen Tamu Ardi Yunanto lahir di Jakarta, 21 November 1980. Setelah lulus dari jurusan Arsitektur di Institut Teknologi Nasional Malang di Malang, Jawa Timur, ia kembali ke Jakarta pada 2003, kota di mana ia dibesarkan. Sejak 2004 bergabung dengan ruangrupa, organisasi seni rupa kontemporer dan sejak 2007 menjadi redaktur untuk Karbonjournal.org, sebuah jurnal online tentang kota, karya dan budaya visual, yang diterbitkan oleh organisasi tersebut. Ia juga bekerja lepas sebagai desainer grafis, peneliti, dan penyunting, sambil terus meluangkan waktu menulis fiksi. Farid Rakun lahir di Jakarta pada 1982. Ia belajar arsitektur di Fakultas Teknik Universitas Indonesia pada 2000 - 2005. Setelah terjun ke industri konstruksi selama empat tahun dan menjadi tukang gambar di Bali, New Orleans, dan Phnom Penh, ia memutuskan untuk rehat. Selain menjadi redaktur Karbonjournal.org, saat ini ia menjadi asisten dosen di almamaternya.


Dosen Iswanto hartono lahir di Purworejo, 1972. Ia seorang seniman yang berpendidikan formal di jurusan Teknik Arsitektur di Universitas Tarumanagara juga School of Planning and Architecture di New Delhi, India. Karya-karya seni rupanya sering dipamerkan di dalam dan luar negeri, baik dalam pameran bersama maupun tunggal. Ia juga pernah mengikuti program residensi seniman di Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat. Veronica Gandha lahir di Purwokerto pada 1979. Setelah lulus dari jurusan Arsitektur Universitas Tarumanagara pada 2001, ia sempat bekerja di konsultan arsitektur. Namun pada akhir 2002 ia memutuskan untuk mengajar di almamaternya. Pada 2004, ia menempuh pendidikan arsitektur di Cranbrook Academy of Art, Michigan, Amerika Serikat. Saat ini ia masih mengajar di almamaternya dan mulai membantu jurusan Arsitektur Universitas Indonesia pada pertengahan 2010. Mohammad Nanda Widyarta kuliah arsitektur di University of Oklahoma, menjadi pendengar di mata kuliah Semiotika di Universitas Indonesia, dan kuliah sejarah & teori arsitektur di Architectural Association School. Pernah menjadi salah satu konseptor pameran “Tegang Bentang� di Erasmus Huis, Jakarta, 2007 bersama tim Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA). Pernah menerbitkan sebuah buku dan terlibat dalam penulisan beberapa buku, seperti misalnya Rumah Silaban/Silaban House (bersama modern Asian Architecture Network), Warisan De Javasche Bank (bersama tim PDA), serta sebuah bab untuk sebuah buku mengenai konsep ruang dalam arsitektur Jawa (bab tersebut ditulis bersama Josef Prijotomo). Artikelnya pernah sekali muncul di harian The Jakarta Post, beberapa kali muncul di harian Surabaya Post, dan dua kali muncul di sebuah jurnal kebudayaan terbitan Paris, le Banian. Saat ini ia mengajar di Depok, Karawaci dan Jakarta.


Pengulas Tamu Agustinus Sutanto adalah seorang arsitek yang sempat mengenyam pendidikan di Universitas Tarumanagara dan lulus pada 1992. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di The Bartlett School of Architecture, Inggris dimana ia meraih gelar M.Arch pada 1998 dan MSc. pada 2003, lalu kembali belajar di Sheffield University di Inggris dan mendapatkan gelar PhD by Design pada 2009. Selain menjadi Direktur Desain pada PT. Studio Akar Karya, ia juga menjadi dosen tetap di almamater tanah airnya. Ade Darmawan lahir di Jakarta pada 1974. Ia belajar di jurusan Seni Grafis Institut Seni Indonesia di Yogyakarta (1992-1997), dan Rijksakademie Van Beeldende Kunsten - Institute for Advance Art Studies and Research di Amsterdam, Belanda (1998-2000). Bersama sejumlah seniman di Jakarta, pada 2000 ia mendirikan ruangrupa, sebuah organisasi seni rupa kontemporer di mana ia menjabat sebagai direktur. Ia juga seorang seniman yang kini mengajar di Jurusan Desain Komunikasi Visual, Universitas Tarumanagara. Paramita Atmodiwirjo lahir pada 1972. Setelah menyelesaikan studinya di Departemen Arsitektur Universitas Indonesia pada 1997, ia mendapatkan beasiswa untuk menempuh pendidikan di University of Sheffield, Inggris Raya, dan memperoleh gelar Master of Architectural Studies serta PhD. Sekarang ia aktif melakukan penelitian dan mengajar di almamaternya. Ia juga mendirikan dan merupakan editor dari jurnal arsitektur online arsitektur.net. Yandi Andri Yatmo lahir pada 1971. Setelah menyelesaikan studinya di Departemen Arsitektur Universitas Indonesia (1996), ia mendapatkan beasiswa untuk menempuh pendidikan di University of Sheffield, Inggris Raya, dan memperoleh gelar Postgraduate Diploma in Architecture (with RIBA Part II), Master of Architecture serta PhD. Sekarang ia aktif melakukan penelitian dan memimpin berbagai program studio perancangan di almamaternya. Ia juga mendirikan dan merupakan editor dari jurnal arsitektur online arsitektur.net.






Hidup di ruang publik kota Jakarta bagai berlaga di arena pertarungan. Penuh taktik, strategi, dan keberanian. Para mahasiswa jurusan Arsitektur Universitas Tarumanagara, yang mengikuti mata kuliah pilihan Studio Perancangan Arsitektur Kontemporer pada semester enam 2010 ini, menawarkan beragam taktik dan strategi untuk ‘memenangkan’ kembali ruang publik yang terus-menerus tergerus di ibukota ini dengan bergerilya. Mereka mengamati, meneliti, dan menanggapi berbagai permasalahan warga dan ruang publiknya, serta membuat arsitektur kembali mempermasalahkan tata bina ruang dan perilaku manusia yang sejatinya tidak hanya mengenai bangunan. Duabelas karya mereka menjadi karya arsitektur yang memiliki pengertian yang luas, meliputi desain rompi, tas alas belajar, naungan bermain, paviliun kampung, sampai sebuah situs interaktif tentang jalanan kota. Kumpulan karya para mahasiswa ini disertai berbagai foto dan gambar rancangan dalam halaman berwarna, diulas secara kritis, dan dilengkapi dengan esai-esai reflektif dari para pengajar yang terlibat. Buku ini merekam gerilya mereka, sekaligus menjadi catatan dari pencarian jawaban arsitektur dalam menanggapi permasalahan seharihari yang terus hidup berlaga secara nyata di Jakarta.

JURUSAN ARSITEKTUR - FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS TARUMANAGARA Kampus I - Jl. S. Parman No. 1, Jakarta Barat, 11440 Telp: 021-56958723/46, Fax: 021-56958738/5604478 www.tarumanagara.ac.id


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.