Shirvano Insight Vol.1 2022 - Urban Heat Island

Page 1

SHIRVANO INSIGHT

Issue 1 2022 image credit: unsplash.com

OUTLINE

Introduction

Cities Are Growing Hotter:

We Do?

Events

Heat Island Phenomenon

Greater Jakarta and Bandung City

the Singaporean

the City Thrive

Digest

summarize some o our projects

utilize design elements to adapt to climate change

Desain Perluasan Kawasan Perkotaan Kabupaten Demak

Jojga Planning Gallery Masjid Baabul Khoirot Jakarta Sayembara Desain Masjid Agung Sleman

From Our Perspective

interview with Ibrahim Wicaksono, S Ars, the Chie o Architect and Interior Division at SHIRVANO Consulting

When
What Can
What and Why Current
in Indonesia Urban
in
Studying Singapore How
Government Makes
in the Heat
We
which
Sayembara
Sayembara
An
03 04 06 07 09 16 2 Adviser Retas Aqabah Amjad Editor Fadhila Nur Lati ah Sani Writers A ra Izzati Kamili Dyah Meutia Nastiti Hasna Muni ah Permata Cinta Ilahi Layouter Leony Angela Instagram: @shirvanoconsul ting LinkedIn: SHIRVANO Architecture and Planning Youtube: Shirvano Consul ting Email: shirvanoconsul ting@gmail.com contact@shirvano.co.id Website shirvano.co.id Published by October 2022

When Cities Are Growing Hotter: What Can We Do?

Perubahan iklim merupakan salah satu masalah mendesak yang sedang dihadapi dunia. Meningkatnya temperatur sebagai dampak perubahan iklim kemudian diperparah oleh fenomena Urban Heat Island, yang disebabkan oleh perubahan tutupan lahan dan manifestasi aktivitas manusia yang menghasilkan panas. Sebagai penduduk dunia, kita perlu mengetahui isu tersebut sehingga tumbuh kepedulian untuk bisa merespon dengan langkah yang tepat.

Pada edisi pertama ini, Shirvano Insight akan mengulik fenomena Urban Heat Island. Dimulai dari terjadinya fenomena ini di sejumlah wilayah, hingga bagaimana SHIRVANO Consulting berusaha mengimplementasikan inovasi dalam proyek-proyek kami untuk merekayasa indoor climate suatu bangunan agar lebih nyaman untuk digunakan. Lalu, kita juga akan merefleksikan bagaimana pendekatan dari beragam aspek dapat dikombinasikan untuk meminimalisir dampak Urban Heat Island.

Tentu saja, perencanaan kota dan desain arsitektural bangunan hanyalah sedikit dari berbagai cara untuk beradaptasi dengan fenomena Urban Heat Island.

pemerkaya wawasan bagi pemerintah, pemangku kepentingan, dan masyarakat umum untuk mengoptimalkan upaya adaptasi dan mitigasi fenomena Urban Heat Island.

Demikianlah kami hadirkan Shirvano Insight, sebagai media berbagi pembelajaran yang diolah dari beragam karya SHIRVANO Consulting selama 5 tahun kontribusinya dalam mengembangkan kotakota di Indonesia dan mewujudkan kehidupan yang lebih baik untuk semua. Di edisi-edisi yang akan datang, kami juga akan mengulas hasil kegiatan edukatif yang rutin kami adakan; Rembug Bareng, Ruang Berbagi, dan beragam agenda internal kami, untuk menjadi alternatif dan menghadirkan gagasan mengenai isu-isu keruangan.

. Hal

Ibrahim, principal architect kami, menekankan bagaimana perubahan perilaku dan pilihan sehari-hari, apabila dilakukan secara masif, menjadi faktor terpenting yang memengaruhi mitigasi dan adaptasi terhadap Urban Heat Island. Kesadaran akan emisi atau footprint dari makanan, pakaian, dan materi lain yang kita konsumsi, bahkan pemilihan kendaraan untuk mobilisasi, menjadi penting untuk dipertimbangkan

ini membutuhkan komitmen yang besar, tidak hanya dari diri sendiri, tetapi juga dalam bentuk kebijakan, peraturan, maupun infrastruktur pendukung dari berbagai macam pihak.

Kami berharap, pembahasan di edisi kali ini dapat menginspirasi Shirvamates untuk ikut mengambil peran dengan inisiatif masing-masing. Sehingga, kita bisa bersama-sama menciptakan lingkungan hidup yang lebih baik. Beberapa rekomendasi yang disimpulkan dalam edisi ini juga dapat menjadi

pemerkaya
INTRODUCTION image credit: unsplash.com 3

The 2Ws

WhatDilansir dari National Geographic, Urban Heat Island (UHI) merujuk pada daerah metropolitan yang jauh lebih hangat dari daerah perdesaan di sekitarnya [1].

Menurut Zoer’aini (2001), UHI didefinisikan sebagai suhu kota yang lebih tinggi daripada lingkungannya. Sehingga dapat diibaratkan menjadi sebuah pulau panas yang terapung di atas media yang lebih dingin. Fenomena ini ditandai dengan suhu panas yang semakin meningkat pada pusat kota dan terus menurun ke arah tepian kota yang kepadatan penduduknya semakin renggang [2].

Kajian UHI dengan pendekatan analisis data stasiun cuaca telah dilakukan oleh Hidayati (1990); Karyoto et al. (1992); Adiningsih (1997) dan Santosa (1998) yang menemukan bahwa suhu udara kota Jakarta lebih tinggi 0,02-1,0°C dibandingkan wilayah suburban/rural [2].

FACTS

Keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) pada skala mikroregional memiliki fungsi ekologis dalam hal mengatur suhu udara, sehingga setiap kebijakan perubahan RTH akan mengubah suhu udara di kawasan tersebut. Perubahan suhu udara diyakini menyebabkan terjadinya fenomena Urban Heat Island (UHI) perkotaan.

Menurut penelitian di wilayah JABOTABEK, setiap pengurangan RTH 50% menyebabkan terjadinya penambahan suhu udara sebesar 1,8°C (di kota) dan 1,3°C (di kabupaten). Setiap pengurangan RTH 50%, menyebabkan peningkatan suhu udara sebesar 0.4-.8°C, sedangkan penambahan RTH 50% hanya menurunkan suhu udara sebesar 0.2-0.5°C [3].

Ini berarti, dampak pengurangan RTH terhadap peningkatan suhu udara lebih besar dibandingkan pengaruh peningkatan RTH terhadap penurunan suhu udara perkotaan.

Berdasarkan data dari Badan Perlindungan Lingkungan, ratarata suhu udara tahunan sebuah kota dengan penduduk satu juta orang bisa 1,8–5,4 Fahrenheit (1–3°C) lebih hangat daripada lingkungannya [1].

WHAT AND WHY www.americanforests.org/af-news/what-is-the-urban-heat-island-effect/ 4

Why?

Dilansir dari lipi.go.id, penyebab utama fenomena UHI adalah semakin meningkatnya jumlah penduduk di perkotaan. Lebih dari setengah populasi dunia yang berjumlah sekitar enam miliar orang tinggal di perkotaan dan menggunakan 50% persediaan energi yang menghasilkan 80% gas dan rumah kaca serta rata-rata emisi karbon sekitar 4,6 ton per orang [4].

Walaupun kota-kota di dunia hanya mengokupasi kurang dari 2% dari total wilayah daratan dunia yang menampung lebih dari setengah populasi global, tetapi kawasan perkotaan tersebut memilki tingkat konsumsi energi yang mencapai lebih dari 60% dari total konsumsi energi global dan diprediksi meningkat sebesar 80% pada 2040 [5].

Sementara itu, saat ini sekitar 54% penduduk dunia tinggal di kawasan perkotaan dan diprediksi akan terus meningkat hingga mencapai angka 66% pada tahun 2050 [6]. Gelombang penduduk yang meninggalkan kawasan perdesaan menyebabkan arus urbanisasi terjadi secara besar-besaran dan kemudian berdampak pada meningkatnya pembangunan dan masifnya pembangunan gedung tinggi di perkotaan. Dampak signifikan dari UHI antara lain memanasnya perkotaan dan penurunan kualitas udara yang juga dapat berdampak pada kesehatan masyarakat.

Warmer Cities

Pada berbagai kasus ditemukan, kepadatan bangunan dan pemilihan material bangunan memicu isolasi udara panas pada bangunan gedung yang kemudian menjadikan udara di sekitarnya ikut memanas. Apabila bangunan dan gedung dengan kasus serupa semakin banyak, tentu akan mempengaruhi memanasnya udara pada lingkup perkotaan.

Deteriorating Air Quality

Apabila ditinjau lebih jauh, fenomena ini dapat memicu penurunan kualitas udara perkotaan karena peningkatan polutan yang dihasilkan. Hal ini berimbas pada tingkat kesehatan warga perkotaan tersebut [1].

Untuk mengurangi dampak signifikan tentu dibutuhkan langkah mitigasi dan adaptasi yang konsekuen dari berbagai lintas sektor. Hal ini mengingat dampak tersebut berpengaruh tidak hanya pada kenyamanan ruang tinggal bagi manusia (kenyamanan suhu udara), stabilitas iklim namun hingga pada tingkat kesehatan warga perkotaan.

Cekungan

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

fenomena-pulau-panas-perkotaan-urban-heat-island-di-cekungan-jakarta/302)

[5] Dunia Energi. (2018). Perkotaan akan Sedot 80% Total Konsumsi Energi Global pada 2040. Dunia Energi. Available at: [https://www.dunia-energi.com/perkotaanakan-sedot-80-total-konsumsi-energi-global-pada-2040/](https://www.dunia-energi.com/perkotaan-akan-sedot-80-total-konsumsi-energi-global-pada-2040/)

[6] Sarosa, W., Isunotomo, M. D., Virant, G. E., Sarahidha, D., Susetyo, N. A. (2017). Panduan Praktis Implementasi Agenda Baru Perkotaan Untuk Kota Berkelanjutan di Indonesia. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Available at: https://bpiw.pu.go.id/uploads/publication/attachment/ PANDUAN%20PRAKTIS%20IMPLEMENTASI%20AGENDA%20BARU%20PERKOTAAN%20NEW%20URBAN%20AGENDA%20%20PENGANTAR%20AGENDA%20BARU%20PERKOTAAN.pdf

WHAT AND WHY [1] Rutledge, K., McDaniel, M., Teng, S., Hall, H., Ramroop, T., Sprout, E., Hunt, J., Boudreau, D., Costa, H. (2022). Urban Heat Island. National Geographic: Resource Library. Available at [https://education.nationalgeographic.org/resource/urban-heat-island](https://education.nationalgeographic.org/resource/urban-heat-island) [2] Faisal, A. (2018). Urban Heat Island, Any Solution?. SHIRVANO Consulting: Mini-Research Internship Program. [3] Effendy, S. (2009). Dampak Pengurangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Perkotaan terhadap Peningkatan Suhu Udara dengan Metode Penginderaan Jauh (Impact Reducing Urban Green Space Towards Increasing Air Temperature Using Landsat Data). Agromet, 23 (2), 169-181. [4] Lubis, R. F., Yamano, M., Miyakoshi, A. (2018). Fenomena Pulau Panas Perkotaan-Urban Heat Island di
Jakarta.
(LIPI) PRESS. Available at: [http://lipi.go.id/publikasi/fenomena-pulau-panas-perkotaan-urban-heat-island-di-cekungan-jakarta/302](http://lipi.go.id/publikasi/
5
image credit: unsplash.com image source: Cozie App Over view: A New Approach to Studying Urban Heat Islands | Data Driven EnviroLab (datadrivenlab.org)

Urban Heat Island Ph en om en on in Greater Jakarta and Bandung City

Reference:

Rushayati, S. B., & Hermawan, R. (2013). Karakteristik kondisi urban heat island DKI Jakarta. Media konservasi, 18(2). Available at: https://media.neliti.com/ media/publications/231267-karakteristikkondisi-urban-heat-island-9e28fb62.pdf

Putra, C. D., Ramadhani, A., & Fatimah, E. (2021, April). Increasing Urban Heat Island area in Jakarta and it’s relation to land use changes. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 737, No. 1, p. 012002). Available at: https://www.researchgate.net/ publication/350984366_Increasing_Urba n_Heat_Island_area_in_Jakarta_and_it% 27s_relation_to_land_use_changes

Greater Jakarta Bandung City

Sebagai kota terbesar dan terpadat di Indonesia, Jakarta merupakan kota dengan pertumbuhan yang sangat cepat. Diketahui, suhu pada bagian pusat kota mencapai lebih dari 34°C. Padahal pada tahun 1989 rata-rata suhu DKI Jakarta adalah di bawah 30 derajat celcius. Hanya 0.1% wilayah jakarta yang memiliki suhu diatas 30 derajat celcius. Kenaikan suhu di daerah Jakarta cukup signi kan, dimana didapati lebih dari 85% wilayah bersuhu diatas 30 derajat celcius pada tahun 2018.

Berbagai cara dapat dilakukan untuk mengurangi peningkatan suhu di perkotaan, seperti:

penyesuaian geometri kota meningkatkan albedo atau pantulan panas oleh permukaan melalui penyesuaian warna mengurangi penggunaan listrik memperbaiki sistem pengangkutan menggunaan permukaan yang telap air menggunakan permukaan vegetasi

Kota-kota lain di Indonesia pun mengalami peningkatan suhu dan fenomena UHI, salah satunya di Kota Bandung. Kota ini mengalami pertumbuhan penduduk perkotaan yang cukup pesat selama beberapa tahun ke belakang. Berbagai penelitian telah berhasil mengidenti kasi perubahan suhu di Kota Bandung dari tahun ke tahun serta perbandingannya dengan kawasan perdesaan di sekitarnya. Pada tahun 1996, suhu di Kota Bandung berada pada rentang 12,4°C hingga maksimal 25,8°C. Seiring dengan berkembangnya penduduk dan aktivitas kota ini, suhu perkotaan juga meningkat hingga mencapai 36,1°C untuk suhu maksimalnya, dengan suhu minimal sebesar 19,2°C di tahun 2018. Selain itu, dengan menggunakan algoritma mono window, terukur perbedaan suhu sebesar 3-10°C antara Kota Bandung dengan kawasan perdesaan sekitarnya.

Reference:

Naf, M. Z . T., & Hernawati, R. (2018). Analisis Fenomena UHI (Urban Heat Island) Berdasarkan Hubungan Antara Kerapatan Vegetasi Dengan Suhu Permukaan (Studi Kasus: Kota Bandung, Jawa Barat). Indonesian Journal of Geospatial, 5(1), 25-36

Tursilowati, L. (2010). Pulau panas perkotaan akibat perubahan tata guna dan penutup lahan di bandung dan bogor. Jurnal Sains Dirgantara, 3(1).

Perubahan ini terjadi karena adanya perubahan guna lahan atau tutupan lahan di Kota Bandung. Lahan dengan intensitas aktivitas yang tinggi, seperti permukiman, industri, dan lahan terbuka cenderung mempengaruhi peningkatan suhu ini.

Sama seperti upaya penanganan di Kota Jakarta, suhu di sekitar Kota Bandung bisa dikurangi dengan menyesuaikan geometri kota, meningkatkan albedo melalui penyesuaian warna, mengurangi penggunaan listrik, memperbaiki sistem pengangkutan, menggunakan permukaan yang telap air, serta memperbanyak permukaan vegetasi.

Current Events in Indonesia
6

How the Singaporean Government Makes the City Thrive in the Heat

Urban Heat Island juga terjadi di berbagai belahan dunia yang lain, termasuk Singapura. Menurut penelitian di tahun 2016, intensitas UHI tertinggi di negara tersebut berada di central region, mencakup kawasan Orchard, Chinatown, Little India, Kallang, hingga Geylang [1]. Penggunaan air conditioner (AC) memainkan peran yang signifikan dalam peningkatan suhu pada area-area tersebut.

Dapat kita lihat dari peta distribusi intensitas UHI di atas [2], terdapat area berwarna biru di tengah wilayah city-state tersebut, dimana *Central Water Catchment* terletak. Central Water Catchment merupakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di jantung Singapura yang berisi jaringan waduk luas, dengan tutupan lahan yang didominasi oleh hutan. Micro-climate yang tercatat pada lokasi tersebut menunjukkan intensitas UHI yang lebih rendah dibandingkan dengan lokasi di sekitarnya, utamanya pada central region, dimana banyak gedung perkantoran tinggi atau Central Business District (CBD) dan bangunan hunian Housing & Development Board (HDB) berada. Hal ini mengindikasikan pengaruh jenis tutupan lahan dan penggunaan AC terhadap micro-climate.

Singapore UHI Mitigation Roadmap

Singapura melakukan beberapa cara untuk beradaptasi dan memitigasi dampak dari terjadinya fenomena ini di masa depan, seperti dengan meningkatkan penghijauan di area terbangun dan perencanaan tata letak bangunan yang memaksimalkan naungan dan sirkulasi angin.

Sebagai salah satu guidelines untuk memudahkan aksi mereka, terdapat sebuah roadmap yang diterbitkan oleh Ministry of Sustainability and the Environment dan Urban Redevelopment Authority (URA) Singapura [3]. Roadmap tersebut berisi 3 strategi

Memahami efek UHI

Mensimulasikan efektivitas dari strategi-strategi mitigasi yang sudah dirumuskan

Melakukan langkah-langkah interim

STUDYING SINGAPORE
7

Menurut Roadmap tersebut, pemerintah melakukan penyebaran jaringan sensor iklim di seluruh pulau. Data yang terkumpul kemudian akan memvalidasi model komputasi yang dapat mensimulasikan iklim Singapura.

Para planners dan arsitek dapat memanfaatkan hasil dari simulasi tersebut, seperti dengan mengoptimasi layout orientasi bangunan. Pemerintah Singapura juga berencana untuk meningkatkan penggunaan material ‘cool’ atau memantulkan panas, dengan skala besar. Misalnya, pemerintah bekerjasama dengan developer HDB untuk mengaplikasikan lapisan yang bersifat ‘dingin’ pada fasad bangunan maupun driveways.

Mitigation vs Adaptation

Lalu, apa sih sebenarnya perbedaan adaptasi dan mitigasi sebagai respon atas perubahan iklim?

Mitigasi Adaptasi

: intervensi untuk mengurangi adanya perubahan iklim di masa depan, yang dapat dilakukan dengan cara mengurangi sumber emisi atau Gas Rumah Kaca. Pada perubahan iklim skala mikro atau Urban Heat Island, contoh langkah mitigasi adalah memperbanyak dan memelihara vegetasi atau pepohonan sebagai tutupan lahan. Selain itu, mengadopsi material yang memantulkan panas untuk permukaan atap atau paving juga merupakan langkah mitigasi.

: penyesuaian dalam menanggapi pengaruh perubahan iklim yang kemungkinan akan terjadi, yang dapat mengurangi bahaya dan efek bahaya yang memungkinkan untuk terjadi [4].

Jadi sejatinya, mitigasi cenderung menanggapi penyebab perubahan iklim, sementara adaptasi menanggapi dampak dari perubahan iklim.

Mitigasi tidak serta-merta merubah sistem iklim, efek yang didapatkan berkeja secara jangka panjang. Adaptasi lebih bisa mencapai efek jangka pendek pada skala spasial yang localized, karena langkah adaptasi di suatu area mampu mengurangi kerentanan penduduk di area tersebut terhadap dampak yang dirasakan.

STUDYING SINGAPORE
[1] Mughal, M. O., Li, X. X., Yin, T., Martilli, A., Brousse, O., Dissegna, M. A., & Norford, L. K. (2019). High‐resolution, multilayer modeling of Singapore's urban climate incorporating local climate zones. Journal of Geophysical Research: Atmospheres, 124 (14), 7764-7785. [2] Borzino, N., Chng, S., Mughal, M. O., & Schubert, R. (2020). Willingness to pay for urban heat island mitigation: A case study of Singapore. Climate, 8(7), 82. [3] Urban Redevelopment Authority. (n.d.). Factsheet on Singapore’s Efforts to Mitigate the Urban Heat Island Effect. Ministry of Sustainability and the Environment, Singapore: Urban Redevelopment Authority. [4] Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). (2001). Climate Change 2001: Synthesis Report. A Contribution of Working Groups I, II, and III to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Watson, R.T. and the Core Writing Team (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom, and New York, NY, USA, 398 pp. 8

Creating Breathable Demak Urban Area

Kawasan Peluasan Perkotaan Demak merupakan bagian dari Kabupaten Demak yang terletak di Provinsi Jawa Tengah. Rencana pengembangan perluasan kawasan perkotaan Demak memprioritaskan pembangunan ruang bagi peradaban permukiman yang baik, maju, hijau dan damai. Salah satu konsep penting yang diangkat adalah menciptakan breathable ecology pada perkotaan.

Pursuing Breathable Ecology in Demak Urban Area

Gagasan utama dalam konsep ini yaitu menciptakan ruang perkotaan yang dapat memastikan kualitas lingkungan lebih sehat dengan tingkat pencemaran yang lebih rendah serta aman dari risiko paparan iklim. Konsep ini kemudian diwujudkan dengan penerapan elemen desain hijau dan biru. Nature Preservation menjadi salah satu prinsip desain dalam

Tidak hanya desain, rencana perkotaan demak juga diusung dengan strategi Green Energy Supply, Green Building dan Green Transportation yang juga berperan penting dalam meningkatkan kualitas lingkungan dengan mengurangi polusi di kota Demak.

Green Strategy dalam Skala Meso

Beberapa konsep yang kemudian dikembangkan pada pengembangan area perkotaan seperti cluster demak eco garden, urban agriculture, green roof, dan pengaturan tata bangunan.

Cluster Demak Eco Garden

Urban Agriculture

Menciptakan taman sebagai buffer, pembatas ruang sehingga mengurangi lembah perkotaan yang dikelilingi dengan bangunan gedung. Ini artinya dalam tiap cluster tentu diatur pemanfaatan lahan dengan adanya taman dengan interval jarak tertentu.

Konsep berketahanan pangan dengan konservasi lahan sawah, selain memberikan ruang bagi heat release sekaligus menjadi pembatas bagi pengembangan perkotaan

Green Roof, Building, and Infrastructure

Akan mendorong perluasan ruang penyerapan panas dengan adanya elemen vegatasi pada dinding bangunan. Mereduksi efek dari material bangunan yang tidak dapat meyerap panas sehingga mengurangi efek UHI.

DIGEST 9
nature
preser v
ation design
principle Sayembara Desain Perluasan Kawasan Perkotaan Kabupaten Demak

Uchi Mizu: Menciptakan Cipratan dan Elemen Air untuk Ruang Perkotaan

Konsep untuk menjaga dan mengatur aliran air, kelembapan udara, membantu mengatur iklim dan menerapkan desain yang water sensitive pada ruang perkotaan. Budaya mencipratkan air atau membentuk elemen air ini berfungsi untuk menurunkan suhu udara saat musim panas.

Water Sensitive Housing

Akan mendorong penciptaan elemen biru dalam tiap blok dan persil lahan sehingga dapat menjadi pereduksi efek panas perkotaan. Implementasinya dapat pula dimanfaatkan sebagai sarana water harvesting dan water retention serta bioswale yang membantu mengontrol banjir di perkotaan.

Water Efficient Features

Menciptakan aliran air dan elemen air perkotaan dengan adanya kolam, danau perkotaan serta aliran air yang dapat menjadi efek penyejuk dan penyerap energi panas di padatnya perkotaan. Hal ini juga dapat mereduksi ruang yang berpotensi memperangkap panas perkotaan.

DIGEST
10
Project Team Members: Wilda Rizkina Ulfa, Retas Aqabah, Arbi Ali Farmadi, Muhammad Irfan, Diajeng Nasukha R, Ibrahim Wicaksono, Fitha Aulia, Ariq Bentar W, Ahmad Afifudin Susilo, Ahmad Fariz Al-Hazmi, Haniek Azizie, Rizky Nur Asih, Sonia Tessalonica,

Embodying Natas, Nitis, Netes

Key elements that mitigate UHI

Green Roof lahir dari diterapkannya unsur lokalitas, yang mana undakan pada atap bangunan dimanfaatkan menjadi reen roof. uildin Mass & Form memungkinkan cahaya alami & sirkulasi udara ke dalam gedung Landscapin

Jogja Planning Gallery merupakan bangunan yang dirancang sebagai wadah miniaturr galerigaleriencanaan perencanaan tata Kota Yogyakarta di masa depan dan didesain berdasarkan makna filosofis, yaitu Natas Nitis Netes. Makna Natas Nitis Netes pada bangunan adalah untuk mengisi sebuah fase antara masa lalu dan masa depan, memberikan visi akan perancangan daerah di masa depan, juga sebagai jembatan untuk menghubungkan masa depan, masa lalu, dan masa sekarang dengan tetap menjunjung nilai-nilai luhur (andhap asor).

Selain perencanaan desain yang sarat akan makna filosofis, lokasi yang direncanakan untuk Jogja Planning Gallery ini pun berada pada sumbu filosofis garis imajiner dari Panggung Krapyak, Kraton, hingga Tugu Pal Putih yang membentang ke utara menuju Gunung Merapi dan ke selatan menuju pantai selatan.

Konsep Jogja Planning Gallery berangkat dari fungsional bangunan yang dimaksudkan sebagai

etalase perjalanan tata ruang Kota Yogyakarta, dengan mengadaptasi selubung dinamika kota yang dinilai dapat menggambarkan kontrol yang dilakukan kota untuk dapat berkembang mengikuti zaman namun tetap mengakar pada ruhnya. Tidak lupa, unsur lokalitas juga turut diterapkan pada pembagian zonasi ruang dan bentuk atap yang mengadaptasi arsitektur rumah jawa. Pemilihan bentuk atap khas rumah Jawa membantu sirkulasi dan pencahayaan ke dalam bangunan, serta sebagai langkah mitigasi bila terjadi letusan gunung, abu dari dampak letusan dapat segera turun kebawah dan tidak membebani atap. Sama seperti bentuk atap, unsur lokalitas kembali ditampilkan pada pembagian zonasi yang mengambil adaptasi pembagian ruang rumah Jawa, yaitu pendapa, pringgitan, dan ndalem. Pembagian zona dan ruang dikategorikan berdasarkan peruntukan area publik, privat, dan servis. Zona dan ruang tersebut kemudian saling terhubung dengan satu sirkulasi utama yang lurus pada bagian tengah bangunan.

DIGEST 11
Project Team Members: Fitha Aulia, Wilda Rizkina Ulfa, Retas Aqabah, Ibrahim Wicaksono, Arbi Ali Farmadi, Alya P , M. Amri Yahya, Muhammad Ardi, Ariq Bentar W, Carissa Cahyani, Fortiusa Damha, Isa Sulaiman, Dyah Meutia, Riko Pamungkas, Rizky NA Hulu (Natas) menandakan mula yang baik, dan alami. Ditransformasikan menjadi ruang hijau dan biru yang menciptakan kesan alami dan damai.
xxx
Sayembara Jojga Planning Gallery

Dalam konteks mitigasi terhadap efek dari urban heat, penerapan unsur lokalitas, landscaping dan vegetasi pada bangunan maupun lingkungan Jogja Planning Gallery menjadi aspek yang paling menonjol dan tereksekusi dengan baik. Selain berfungsi untuk memasukkan sirkulasi udara dan cahaya alami, undakan pada atap bangunan dimanfaatkan dengan baik untuk menghadirkan green roof yang dapat membuat bangunan menjadi lebih sejuk dan secara tidak langsung mengurangi pemakaian energi. Landscaping yang biasanya hanya dijadikan elemen pendukung, pada perencanaan Jogja Planning Galleryini keberadaanya sangat diperhatikan dan terhubung dengan prinsip filosofis utama yaitu Natas Nitis Netes. Natas atau hulu, diilustrasikan secara landscaping dengan menghadirkan elemen hijau (vegetasi) dan biru (air) untuk menandakan mula yang baik serta menciptakan kesan alami dan damai. Netes atau hilir merupakan titik akhir yang selain ditandai dengan vegetasi, juga terdapat seating area, dan levelling step pada taman untuk ruang berkumpul atau bertemu. Kehadiran elemen hijau dan biru yang interaktif pada landscaping memiliki banyak fungsi. Sebagai resapan, healing space dan tentunya sebagai elemen peneduh yang dapat mengurangi efek dari urban heat.

DIGEST
Hilir (Netes) Tempat berkumpul atau bertemu. Titik akhir pengalaman ruang selubung kota, ditandai dengan ruang berkumpul seperti lawn, seating area dan levelling step pada taman. Presentasi ruang hijau dan biru besar, selain untuk resapan, juga sebagai healing space untuk ‘menyembuhkan’ kepenatan.
12

An Oasis in the Middle of a HighDensity Residential Area

Key elements that mitigate UHI

Dominasi warna cerah

Menciptakan Ruang Terbuka Hijau & memaksimalkan vegetasi dan lanskap dengan menggunakan vegetasi vertikal.

Bahan semi permeabel: memungkinkan bangunan untuk bernapas dan membiarkan panas keluar. Bentuk bangunan tidak masif, terutama di lantai satu. Penggunaan pintu geser kaca sebagai pengganti dinding masif memungkinkan udara dan cahaya masuk dengan leluasa ke dalam masjid. Hal ini menghasilkan ventilasi udara yang besar dan pencahayaan alami di dalam masjid.

Karena ada cahaya alami dan ventilasi udara, penggunaan AC dan pencahayaan buatan dapat diminimalkan.

modern & professional, sehingga tetap relevan seiring perkembangan zaman.

Masjid Baabul Khoirot yang terletak di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan merupakan pengembangan dari eksisting mushola guna menunjang kebutuhan kegiatan beribadah yang lebih memadai bagi warga sekitar. Masjid akan dikembangkan dengan konsep utama sebagai Ecomunity Mosque, dengan prinsip ecology, community, dan e Musholla.

Prinsip ecology diterapkan dengan menjadikan bangunan musholla yang dapat merespon pada kondisi alam di sekitarnya. Termasuk, merespon potensi banjir dengan meningkatkan luasan resapan air pada ruang terbuka hijau dan meninggikan lantai bangunan. Sistem green building terintegrasi dan pemanfaatan vegetasi sebagai pelingkup visual bangunan tak lupa turut serta dilibatkan untuk melengkapi penerapan prinsip ecology tersebut.

Prinsip kedua, diaplikasikan dengan menjadikan musholla sebagai community center yang ramah komunitas. Berbagai kegiatan komunitas maupun masyarakat nantinya akan diwadahi di area serambi masjid yang luas, nyaman, dan sejuk.

Last but not least, untuk mewujudkan penerapan sistem yang maksimal, akan didukung oleh prinsip e-Musholla yang menggunakan teknologi terbaru ramah lingkungan serta manajemen musholla yang z

Konsep, prinsip, dan sistem yang terintegrasi dengan baik pada akhirnya mampu menciptakan bangunan masjid yang sustainable dan beradaptasi dengan lingkungan. Pada Masjid Baabul Khoirot, hal ini dapat terlihat pada lima elemen yang dapat membantu mitigasi efek dari Urban Heat Island. Pemilihan warna terang yang dominan pada interior dan eksterior bangunan berfungsi untuk mencegah penyerapan panas yang berlebih pada bangunan. Keberadaan ruang terbuka hijau yang cukup luas ikut menyediakan ruang bagi pepohonan, vegetasi, dan air yang dapat membantu mendinginkan udara dengan memberikan keteduhan, transpirasi air dari daun tanaman, dan penguapan pada permukaan air.

Material semi-permeable yang dipakai membantu bangunan untuk bernafas dan menghindari panas yang tersimpan di dalam bangunan. Bentuk bangunan yang simpel dan fungsional menghasilkan ruang yang efisien, didukung dengan pemilihan bidang transparan sebagai pemisah ruang sholat dengan area selasar. Pemilihan bidang transparan dibanding dinding masif serta sliding door kaca menghasilkan ruang yang yang terang dengan pencahayaan alami serta sirkulasi udara yang baik. Hal tersebut menghasilkan penggunaan energi yang minim karena dapat mengurangi penggunaan lampu dan AC karna secara keseluruhan bangunan memiliki pencahayaan alami dan sirkulasi udara yang baik.

DIGEST 13
Project Team Members: Ibrahim Wicaksono, Ariq Bentar W, Ilham Sukarno, Luckhih Shofyan, Isa Sulaiman, Dedy Hermawan, Fortiusa Damha, Rizky NA, Riko Pamungkas , Retas Aqabah
Masjid Baabul Khoirot Jakarta

Sayembara Desain Masjid Agung Sleman

Creating Comfortable Place for Prayers: Utilizing Passive Design

Key elements that mitigate UHI

Massa & Bentuk Bangunan: Konsep desain pasif, solid-void

Green Roof Applica ion

Vege a ion & Landscape: Dinding hijau

Dominasi warna cerah

Sederhana dan fungsional, dua kata tersebut adalah kesan yang ingin disampaikan pada perencanaan desain Masjid Agung Sleman. Seperti pada perancangan masjid-masjid karya Shirvano lainnya, fungsional menjadi prinsip utama yang diterapkan pada proses perencanaan agar bangunan dapat berfungsi dengan maksimal sebagai ruang ibadah umat muslim.

Transformasi desain masjid mendasar pada tiga pendekatan kontekstual secara makro, meso, dan mikro. Pertama, transformasi merujuk pada analisis makro berupa lokasi si e yang berada dalam kawasan perkantoran pemerintah, dan area terdampak bencana Gunung Merapi. Mulai mengerucut ke arah meso, massa bangunan diletakkan di lokasi yang sama dengan eksisting masjid, dan terbagi menjadi dua zona untuk ruang sholat dan serambi yang berfungsi menunjang kegiatan sosial. Desain masjid akan mengadaptasi bentuk Gunung Merapi dan atap tajug yang merepresentasikan arsitektur masjid di daerah Jawa.

Pembagian zona serambi dan sholat diilustrasikan dengan elemen horizontal dan vertikal. Horizontal pada area serambi mengilustrasikan hubungan antara manusia dengan manusia yang membumi. Elemen vertikal pada area sholat mengilustrasikan hubungan manusia dengan sang pencipta yang me-langit. Terakhir, transformasi mikro merujuk pada komponen terkecil pembentuk arsitektur berupa modul aktivitas pembentuk sekuens ruangan. Khususnya, area sholat didesain mulai dari komponen terkecil pembentuk arsitekturnya yaitu ukuran satu shof orang sholat berupa modul antopometri ruang gerak sholat.

Bagaimana bangunan masjid ini dapat merespon urban hea ? Setelah dijelaskan panjang lebar tentang proses pendekatan dan transformasinya, passive design yang dihasilkan dari proses tersebut dinilai mampu secara efektif memitigasi efek dari urban hea . Passive design sendiri merupakan desain yang bekerja dengan iklim lokal untuk menjaga suhu yang nyaman pada bangunan. Passive design yang baik harus mengurangi atau menghilangkan kebutuhan akan ketergantungan peralatan listrik tambahan seperti AC. Bangunan yang menerapkan passive design dapat memberikan kenyamanan termal, tagihan energi yang rendah, dan emisi gas rumah kaca yang rendah. Selain penerapan passive design, elemen green roof & façade pada bangunan juga berfungsi sebagai elemen cooling down (menenangkan) dan memberikan shading. Pemilihan dominan warna putih pada bagian interior masjid turut berkontribusi mencegah panas yang tersimpan lama di dalam ruangan. Dan las bu no leas , landscaping pada area masjid turut serta menyediakan ruang resapan.g

DIGEST 14
Project Team Members: Ibrahim Wicaksono, Fitha Aulia, Ariq Bentar W, Rizky NA, Diajeng Nasukha R, Wilda Rizkina Ulfa, Isa Sulaiman, Fadhila Nur Latifah, Carissa Cahyani, Luckhih Shofyan , Retas Aqabah
DIGEST 15
Dari atas: Tampak atas desain baru Masjid Agung Sleman, interior ruang sholat, selasar masjid.

Between User’s Needs and Environmental Concerns

Ibrahim Wicaksono, S.Ars

atau ramah dipanggil Mas Boim, adalah Chief Architect and Interior SHIRVANO Consulting, sosok dibalik desain inspiratif dalam Digest!. Lulus dari Jurusan Arsitektur Universitas Gadjah Mada tahun 2018, Mas Boim tertarik untuk berfokus ke arsitektur masjid. Mas Boim telah lulus dari Pendidikan Profesi Arsitektur (PPArs) Universitas Gadjah Mada pada tahun 2021. Selama di SHIRVANO Consulting, Mas Boim banyak mengerjakan proyek dengan tipologi masjid.

Seberapa penting membuat bangunan ramah lingkungan dalam rangka mengurangi efek UHI?

Bangunan yang green-certified, apabila dihitung emisi dan tingkat keborosannya dibandingkan bangunan biasa, lebih hemat sekian persen. Karena, memang prinsip bangunan ini adalah untuk memanfaatkan sumber energi alami untuk pencahayaan, listrik, air, dan penghawaan. Misal dengan menggunakan panel surya, yang dapat menjadi alternatif sumber energi selain dari PLN. Dilemanya, pengadaan hal-hal tersebut cost nya jauh lebih besar.

Sebenarnya pada dasarnya, semua energi yang kita butuhkan ada emisinya. Maka yang bisa kita lakukan adalah menciptakan inovasi atau modifikasi agar emisinya tidak terlalu besar. Misalnya, dengan mengurangi mobilisasi setiap harinya dan mengurangi penggunaan kendaraan. Contoh lainnya adalah mengonsumsi makanan yang carbon footprintnya lebih sedikit.

Carbon footprint makanan adalah emisi gas rumah kaca

yang dihasilkan dari rantai pasok makanan, mulai dari produksi, distribusi, dan proses konsumsi makanan tersebut. Beberapa jenis makanan, misalnya sayuran, memang memiliki footprint yang lebih kecil dari yang lain, seperti daging ayam atau sapi. Maka, kita bisa mengonsumsi lebih banyak sayuran, sekaligus juga memanfaatkan potensi pertanian di Indonesia. Itu aplikasi terdekat yang bisa kita lakukan.

Jadi, perlu ada kesadaran bahwa dalam mengonsumsi atau membangun itu ada dampaknya dan harus diminimalkan. Terutama dalam konteks bangunan ramah lingkungan, dimana investasi yang kita keluarkan di awal terkadang tidak sebanding dengan efek baiknya.

Salah satu efek UHI adalah udara panas di sekitar bangunan. Apakah Mas Boim sebagai arsitek memiliki cara tertentu untuk merekayasa climate dari suatu bangunan agar lebih nyaman dihuni atau digunakan?

Bangunan sebaiknya dibuat tipis dan jendela diperluas agar seluruh titik bangunan dilalui angin. Ceiling perlu dibuat tinggi agar sirkulasi udara baik. Vegetasi juga memiliki peran penting untuk mengurangi suhu mikro, meski harus dibuktikan dengan perhitungan dan simulasi.

Selain itu, pemilihan material juga berpengaruh. Misalnya untuk atap, pilihlah material yang tidak menyerap panas dan bukan bahan konduktor. Perlu juga untuk memilih material yang awet, tidak mudah bocor, serta mampu mengalirkan air dengan cepat.

Inspirasi?

Hal lain yang perlu dilakukan adalah memastikan cahaya bisa masuk ke bangunan secara optimal. Caranya, upayakan proporsi yang pas antara bukaan pada dinding dengan bagian yang tertutup. Tetapi, perlu diingat juga bahwa ketika dindingnya berbahan kaca dan menghadap keluar tanpa tritisan, panas akan langsung masuk ke bangunan. Singapura dalam mengadopsi konsep A City in a Garden . Berbeda dengan yang dilakukan oleh negara lain; di mana taman hanya dibangun pada sisa lahan, Singapura memprioritaskan adanya taman dan tetap dilengkapi oleh bangunan.

Strategi yang digunakan untuk memanfaatkan lahan yang minim dengan sebaik mungkin adalah mengimplementasikan pembuatan layer atau leveling dalam bangunan, baik ke bawah (level basement) maupun tingkatan ke atas. Level basement pun didesain sedemikian rupa hingga menyerupai level permukaan tanah, dengan lampu-lampu buatan yang menyerupai pencahayaan asli.

Singapura juga berinovasi untuk menanam pepohonan pada bangunan, di balkon ataupun secara vertikal, misalnya di The Parkroyal Hotel. Ini membutuhkan maintenance yang cukup kompleks dan mahal, tetapi sepertinya Singapura memiliki teknologi yang mendukung.

aa FROM OUR PERSPECTIVE
16

Sebagai arsitek dari Masjid Baabul Khoirot yang ramah lingkungan, bisakah diceritakan konsepnya?

SHIRVANO Consulting memilih konsep eco-logy untuk masjid ini sebagai respon dalam pencegahan tenggelamnya Jakarta di 2050. Strateginya adalah kita perluas resapannya, dan kita terapkan konsep green building dengan memanfaatkan vegetasi dalam landscape desain.

Masjid yang mengadopsi desain rumah adat Betawi dan Masjid Si Pitung ini memaksimalkan penghawaan melalui pembuatan kolam-kolam kecil. Lalu, untuk mempertahankan desain minimalis dan tetap menghindarkan masjid dari panas, kita beri perimeter di antara luar bangunan dengan ruang sholat, agar tidak langsung terkena matahari.

Eco-logy kemudian digabungkan dengan konsep kedua; komunitas. Masjid ini didesain untuk bisa mengakomodasi masyarakat sekitar untuk berkumpul dan berorganisasi, karena belum ada Balai Desa atau semacamnya di area tersebut. Kami membuat serambi dengan akses yang tidak mengganggu ruangan sholat. Kami juga menggunakan pembatas antar ruang berbahan metal berlubang-lubang agar udara mudah bersirkulasi.

Adakah inovasi yang selama ini ingin diterapkan tapi belum pernah tercapai?

Penggunaan green roof, sebagai salah satu upaya untuk menurunkan suhu di dalam bangunan. Namun kendalanya, teknis pengerjaannya tidak mudah, selain itu juga membutuhkan biaya yang mahal.

Satu hal yang perlu dikurangi di masa depan oleh para arsitek dalam mendesain bangunan ramah lingkungan?

Kurangi gimmick dalam berarsitektur, yang hanya mementingkan estetika tapi sebenarnya tidak memiliki fungsi, menghasilkan terlalu banyak waste dan memakan biaya yang sebenarnya bisa disalurkan ke hal yang lebih bermanfaat.

Ketika membuat penghijauan di atas bangunan pun—seperti green roof atau green facade— apabila maintenance cost*nya tidak sebanding dengan O2 yang dihasilkan, sebenarnya juga perlu dipertimbangkan kembali.

Ada harapan untuk memperkenalkan desain yang ramah lingkungan dalam tiap desain SHIRVANO?

Saya pribadi biasanya saat mendesain, selalu mengupayakan hal itu untuk terwujud, misal dengan menghindari penggunaan AC. Tetapi, komitmen tersebut juga harus menyesuaikan idealisme maupun kebutuhan klien.

Pada proyek desain hotel contohnya, tentu harus mengikuti standar kebutuhan user atau konsumer hotel tersebut, yang membutuhkan AC. Tetapi jika memang harus seperti itu, kita bisa maksimalkan unsur ramah lingkungan dari elemen lainnya.

FROM OUR PERSPECTIVE
17

SHIRVANO INSIGHT

Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.