Salut 7

Page 1

EDISI 7. 2015

Salut!

Kabar PPI Prancis Mata Tertutup Festival Culinaire IndonĂŠsien Virelangue Gelora 13 tips how to backpacking like a boss Elok Dyah Messwati


EDITO

Salut ! Suhu udara mulai menghangat, bunga-bunga mulai bermekaran, dan matahari pun semakin sering menyapa Prancis. Mantel beserta syal tebal yang selama ini selalu menemani kita setiap keluar rumah, sudah mulai dirapikan ke dalam lemari. Matahari yang hangat tentu saja sangat berpengaruh terhadap mood orang-orang Prancis dan pendatang seperti mahasiswa Indonesia. Banyak aktivitas outdoor yang mulai bisa dilakukan dari mulai piknik bersama teman-teman atau hanya sekadar menikmati secangkir jus d'orange pressÊ di teras kafe dekat kampus. Musim panas sebentar lagi tiba! Tentu saja hawa liburan panjang pun semakin terasa mendekat. Salut! edisi ke-7 kali ini sedikit berbeda dengan edisi-edisi sebelumnya. Banyak rubrik baru yang diharapkan dapat menambah informasi baik bagi kawan-kawan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Prancis maupun teman-teman di Indonesia yang ingin menambah pengetahuan tentang negeri Napoleon. Tips-tips liburan ke Eropa dengan budget mahasiswa sampai beberapa restoran yang harus dikunjungi di beberapa kota besar Prancis juga hadir di edisi kali ini. Tentunya tidak ketinggalan pula bahasan tentang kegiatan PPI dalam beberapa bulan terakhir. Berkat kerja keras tim redaksi Salut! terbaru, rekan-rekan kontributor, dan tentunya dukungan dari teman-teman PPI Prancis, Salut! dapat hadir di hadapan pembaca. Redaksi berharap semoga media ini dapat menyuguhkan bacaan yang informatif sekaligus menjadi hiburan yang tetap fun. Jangan lupa, kami juga menunggu saran dan masukan dari teman-teman semuanya! Last but not least, le soleil est là , les vacances arrivent !! Profitez-en bien les amis‌ Bonne lecture !

Icha


Sommaire

_


Pelindung Prof. Surya Rosa Putra Penanggung Jawab Indah Tridiyanti Penanggung Jawab Divisi Prafitra Viniani Pemimpin Redaksi Icha Ayu Kontributor Aditia Gunawan Alamanda Irawan Alfi Auliya Angga Dwi Putra Aulia Nastiti Barokah Ruziati Dina Adinda Gabriella Alodia Gabriella Devi Benedicta Ghani Jaelani Muhammad Putra Eka Nurmala Nur Shadrina Novrian Prafitra Viniani Tanisa Diva

salut.ppi@gmail.com

@salutMagz


Behind the cover


1. Tahun 2015 ini telah hadir Duta Besar untuk negara Prancis, Andora, dan Monako, Bapak Hotmangaradja M.P. Pandjaitan. Lahir di Palembang, 14 Oktober 1953, purnawirawan perwira tinggi TNI-AD ini merupakan putra dari Pahlawan Revolusi Mayjen TNI Anumerta D.I. Pandjaitan. Visi dari Pak Dubes adalah menghadirkan Indonesia di tengah-tengah masyarakat dunia.

2. KBRI Prancis, Andora, dan Monako juga memiliki Atase Bidang Pendidikan yang baru di tahun 2015 ini. Bapak Prof. DR. Surya Rosa Putra, alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Louis Pasteur Prancis ini membawahi kantor Atase Pendidikan KBRI yang bertugas menyelenggarakan kerjasama antara Indonesia dan Prancis dalam bidang pendidikan, universitas, dan ilmiah. Tentu saja beliau juga lah yang selalu membimbing PPI Prancis.

7 kabar dari Prancis oleh Icha Ayu (PPI Paris) sama Tanisa Diva (PPI Nancy)

3.

Sidang Bamus PPI Prancis menetapkan Indah Triditanti sebagai Ketua Umum PPI Prancis 2014/2015. Mahasiswi S1 di Institut de Gestion et d'Études Financières (IGEFI) Paris ini telah lama aktif di pengurusan PPI Prancis. Beberapa agenda penting yang sedang dipersiapkan pada masa kepengurusannya adalah Olimpaide Karya Tulis Ilmiah (OKTI), Gerakan 1€ dan program-program kebudayaan di 21 wilayah PPI se-Prancis, sesuai dengan moto yang diusungnya: Ici on partage, demain c'est à nous.

4. Prancis adalah salah satu negara yang menerapkan sistem “sekularisme”. Konsep yang disebut “laïc” ini merupakan sistem tata negara di mana negara tidak ikut campur dalam urusan keagamaan, dan segala penggunaan simbol-simbol agama dilarang di bidang pendidikan. Tetapi, sebulan yang lalu, sistem ini “disalah pandang”kan oleh seorang sosiolog dan dosen di universitas Bordeaux, François Dubet, yang mengusulkan pelarangan pemakaian rok biru tua rampel di sekolah. Karena, menurutnya hal itu merupakan salah satu ciri khas dari agama Islam dan Katolik. Menurut kalian apakah ini berlebihan?


5.

Tahukah Saluteurs, bahwa polusi ibukota Prancis sudah hampir menyaingi Shanghai dan bahkan mengalahkan Jakarta? Ya, akibat banyaknya perusahaan-perusahaan industri dan transportasi yang semakin marak, kota yang terkenal sebagai “kota cahaya” ini menduduki peringkat pertama sebagai kota terpolusi di dunia, sebagaimana dirilis pada tanggal 18 Maret 2015 yang lalu. Bisa dilihat di gambar yang terpampang di bawah ini, bagaimana asap dan debu menyelimuti seluruh permukaan pusat kota Paris, termasuk menara Eiffel, yang menunjukkan fatalnya situasi kebersihan di “kota teromantis” ini.

7 kabar dari Prancis oleh Icha Ayu (PPI Paris) sama Tanisa Diva (PPI Nancy)

6.

Setelah “kedisiplinan” dan “otonomi”, kini Prancis menggunakan “pembelajaran Bahasa” sebagai salah satu kunci untuk “reformasi” kepada para pelajar di sekolah meningkat pertama (SMP). Mulai tahun 2016, muridmurid di kelas 5 (setara kelas 1 atau 2 SMP di Indonesia) diwajibkan mempelajari dua bahasa asing, satu atau dua jam pelajaran setiap minggunya. Setelah Bahasa Inggris atau Jerman, mereka harus memilih satu bahasa di antara bahasa Spanyol, Rusia, Cina atau Italia. Menteri pendidikan Perancis berharap agar usul ini dapat diterima oleh para dewan dan tentunya orang tua murid.

7.

Siapa yang tidak tahu “Festival de Cannes”? Tahun ini, festival film ke-68 yang berlangsung selama 12 hari setiap setahun sekali di kota Cannes, diadakan pada tanggal 1324 Mei. Sembilan juri yang di antaranya sutradara, produser dan pemain film akan menilai 19 film yang berpartisipasi dalam kompetisi dan menentukan siapa yang berhak untuk mendapatkan “La Palme d’Or”! Seperti tahun-tahun sebelumnya, Le Cinéma de la Plage dipenuhi oleh banyak tokoh-tokoh ternama, mulai dari bintang film, sutradara, model, desainer, hingga sosialita. Akses ke Grand Théâtre Lumière terbuka dan dijual untuk umum.


KABAR PPI PRANCIS

Pelajar Indonesia di negeri asing pada dasarnya adalah duta budaya. PPI Prancis sebagai organisasi para pelajar Indonesia juga memiliki program yang berkaitan dengan hal itu. Begitu pula dengan PPI wilayah yang tersebar di seluruh Prancis, seperti Nantes, Marseille, Toulouse, dan Lille juga menyelenggarakan kegiatan serupa. Nama soirée indonésienne atau journée indonésienne kemudian menjadi sesuatu yang tidak asing. Tapi di antara kegiatan-kegiatan yang menyebar itu, apa yang dilakukan oleh PPI Lyon patut mendapat perhatian lebih. Setelah di tahun 2014 sukses mementaskan teater sejarah di acara Soirée Culturelle Indonésienne dan menampilkan sendratari musikal dalam Iles de Rêves, di tahun 2015 PPI Lyon menggelar Festival Kuliner Indonesia (Festival Culinaire Indonésien). Acara yang berlangsung pada Minggu, 5 April di Centre Culturel de la Vie Associative, Lyon, ini merupakan acara kebudayaan kelima yang digagas oleh PPI Lyon. Dalam Festival Kuliner Indonesia ini, PPI Lyon menggadang tema “Un voyage gourmand” atau wisata kuliner. “PPI Lyon adalah PPI yang paling aktif dan gencar mempromosikan budaya Indonesia di Prancis, apalagi dengan adanya tema kuliner ini, bagus sekali”, komentar Koordinator Fungsi Pensosbud KBRI Paris, Henry Kaitjili. Beliau juga berharap agar acara ini dapat menjadi event rutin mengingat kuliner Indonesia memiliki potensi besar di Prancis. Penilaian Bapak Henry sepertinya tidak berlebihan. Meski

Meski baru pertama kali muncul di publik, acara ini dipadati tidak kurang dari 300 pengunjung dari Lyon dan sekitarnya yang antusias mencicipi berbagai sajian khas Indonesia. Konsep bazar membuat pengunjung bebas memilih aneka hidangan yang menarik selera. Lebih dari 33 jenis makanan dan minuman disajikan mulai dari aneka kudapan seperti klepon, molen, martabak telur, lumpia, risoles, tahu isi, siomay hingga menu lengkap seperti nasi rendang, mie goreng, nasi goreng, bakso, pempek. Berbagai pentas seni budaya disuguhkan sepanjang acara yang berlangsung selama empat jam, antara lain tari saman, tari merak, tari cendrawasih, serta lagu tradisional dengan iringan kecapi dan rampak gendang. Tidak hanya itu, berbagai kegiatan kreatif juga dipersembahkan, seperti demo masak dari koki/chef KBRI, tari poco-poco bersama, peragaan busana adat, serta photo booth dengan kostum tradisional.


KABAR PPI PRANCIS Kuliner, Strategi Diplomasi Budaya Efektif Menurut ketua PPI Lyon, Reyner, mulai tahun ini, PPI Lyon memfokuskan pada promosi budaya Indonesia lewat kuliner. Mengapa kuliner? “Kuliner dihadirkan sebagai benang merah dengan karakter kota Lyon yang terkenal sebagai ibu kota gastronomi Prancis”, jawabnya. Salah satu tujuan acara ini juga adalah menegaskan peran pelajar Indonesia dalam mempromosikan kekayaan budaya Indonesia lewat kuliner. Gagasan untuk menggali kekayaan kuliner menjadi cara yang tepat untuk menarik warga Lyon. Kuliner menjadi titik kesamaan (common point) antara karakter publik yang disasardengan acara yang disuguhkan. Selain itu, ragam makanan dipadukan dengan pementasan seni menjadi selling point utama acara ini. Paduan antara tema yang tepat, konsep yang matang, serta eksekusi yang rapi menjadi kunci keberhasilan untuk menarik antusiasme warga Prancis untuk mengenal Indonesia. Hasilnya, sejumlah pengunjung sangat mengapresiasi rangkaian kegiatan yang dihadirkan di Festival Kuliner Indonesia. “Saya seperti mengunjungi negara yang sangat kaya budaya, terutama tarian dan makanan kalian benar-benar luar biasa”, komentar Mélanie, warga Lyon. Hiroko, seorang warga negara Jepang yang studi di Prancis juga menyatakan pendapat senada, “Sungguh ide yang brilian untuk memperkenalkan Indonesia lewat kuliner dan pentas seni dari para pelajar”.

Juara Festival Budaya di Chambéry Selain menyelenggarakan festival kuliner di Lyon, upaya PPI Lyon mempromosikan budaya Indonesia kepada masyarakat Prancis juga membuahkan hasil di Chambéry, yang masih menjadi wilayah kerja PPI Lyon. Dalam acara Tour du Monde au Manège yang digelar oleh IAE de Savoie pada 3-4 April 2015, perwakilan Indonesia dipilih pengunjung sebagai Juara I dalam bidang Partisipasi dan Dinamisme. Hasil ini sangat berkesan karena Indonesia baru pertama kali berpartisipasi dalam pesta kebudayaan tahunan di Chambéry yang telah diselenggarakan sejak tahun 1990 ini. “Meski baru pertama kali tampil, Indonesia benar-benar partisipatif dan mampu menyambut pengunjung dengan ramah. Kami tentu berharap Indonesia dapat menjadi peserta rutin”, ujar Océan Picot, Ketua Penyelenggara Tour du Monde au Manège 2015. Tidak kurang dari 1.500 warga Prancis datang ke acara yang berlangsung selama dua hari ini. Stan Indonesia termasuk yang paling diminati, terlihat dari banyaknya apresiasi atas berbagai makanan yang disajikan. Pengunjung juga menikmati berbagai ragam budaya Indonesia, seperti instrumen dan alunan musik tradisional. Photo booth yang memberikan kesempatan untuk berfoto dengan mengenakan baju adat Minang juga menarik banyak pengunjung. Selain itu, Indonesia juga mengisi acara di panggung dengan menampilkan Tari Ronggeng Menor khas Bekasi.


KABAR PPI PRANCIS Dari prestasi yang membanggakan di Chambéry, ada satu catatan yang menarik, yakni pelajar Indonesia yang mengorganisasi stand Indonesia dalam acara ini hanya lima orang. Di Chambéry memang hanya ada tiga mahasiswa Indonesia, ditambah bantuan dua orang yang datang dari Lyon. “Kami ingin membuktikan bahwa keterbatasan jumlah bukan halangan untuk berkontribusi mempromosikan budaya Indonesia”, ujar Bastian Okto, mahasiswa S3 di Chambéry yang juga mantan ketua PPI Lyon. Diplomasi Budaya dan Kerjasama Pelajar Antarbangsa Berbagai aktivitas yang digagas PPI Lyon di atas merupakan wujud nyata untuk membangun hubungan antarbangsa melalui people to people diplomacy atau upaya diplomasi yang dilakukan oleh elemen-elemen non pemerintah secara tidak resmi. Upaya ini sering disebut sebagai Diplomasi Budaya, yang menjadi salah satu instrumen penting dalam menjalin hubungan baik dengan bangsa lain di samping mengokohkan karakter suatu bangsa. Menyadari peran penting pelajar dalam diplomasi budaya, PPI Lyon juga terus mengembangkan upaya dalam menguatkan hubungan Indonesia dengan negara lain. Salah satunya melalui kerja sama dengan asosiasi pelajar negara lain, sebagaimana telah diwujudkan dalam Festival Kuliner Indonesia kemarin.

Dalam acara ini, PPI Lyon merangkul asosiasi mahasiswa Malaysia, MASAF, untuk ikut serta menyajikan makanan khas Malaysia seperti kue keria, ubi kledek dan teh tarik. “Dari acara ini, selain untuk mempromosikan Malaysia, kami juga memetik manfaat untuk menjalin pertemanan dengan orang Indonesia,” ujar Azizi, Ketua MASAF wilayah Grenoble-Lyon. Meski Indonesia-Malaysia acapkali berbenturan dalam persoalan klaim budaya, menurut Tiara Kurniasari, ketua panitia Festival Kuliner Indonesia, undangan bagi negara tetangga ini sekaligus mengukuhkan karakter diplomasi Indonesia:“million friends, zero enemy”. PPI Lyon juga berencana untuk memperluas partisipasi negara tetangga dengan mengundang negara-negara seluruh ASEAN. Proyeksi ini menjadi bagian dari rencana strategis PPI Lyon menyambut ASEAN Community 2015. Dengan menggandeng negara tetangga dalam misi diplomasi budaya, tidak hanya tujuan eksternal untuk mempromosikan akar budaya ASEAN pada masyarakat Prancis yang dapat tercapai. Di level internal, pelajar Indonesia dapat menjadi pilar untuk memperkuat solidaritas antarbangsa sekaligus memperluas jaringan yang tentunya bermanfaat bagi diri sendiri maupun bangsa Indonesia. (Aulia Nastiti, Mahasiswa M2 Cultural Studies Université Lyon 3 & anggota PPI Lyon)


KABAR PPI PRANCIS

GELORA

17 APRIL

“Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring ahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”. (Patih Gajah Mada dalam Serat Pararaton, 1336 M)

P

ada tanggal 17-19 April 2015 lalu, PPI Prancis, bekerjasama dengan PPI Rennes mengadakan sebuah acara yang bertajuk “Pagelaran Olah Raga dan Budaya 17 April,” atau yang disingkat sebagai “Gelora 17 April.” Uniknya, acara olah raga kali ini dikemasi dengan tema “Majapahit,” di mana cita-cita Sang Patih untuk menyatukan seluruh Nusantara di bawah Kerajaan Majapahit diadaptasi sebagai semangat untuk menyatukan seluruh Pelajar Indonesia di Prancis! Seluruh peserta yang berdatangan dari berbagai wilayah di Prancis tiba di Rennes pada tanggal 17 April malam, atau 18 April pagi harinya. Setelah mereka menempati “Joglo” masing-masing, bersama dengan panitia mereka menuju “Trowulan,” alias lapangan pertandingan untuk mengikuti acara pembukaan serta pertandinganpertandingan yang telah dijadwalkan. Para peserta terbagi atas sembilan “Kerajaan,” yaitu Kerajaan Melayu (PPI Paris), Sunda (PPI Rennes), Hujung Medini (PPI Lille), Taliwang (PPI Lyon), Badahhulu (PPI Caen), Sumba (PPI Brest), Seran (PPI Poitiers), Bantayan (PPI Nantes), dan Ambon (PPI Besancon). Cabang olahraga yang dipertandingkan terdiri atas futsal, basket 3-on-3, badminton, lari estafet, catur, FIFA, serta yang paling bikin deg-degan, Les Texas Rennes’gers! Nah, berbeda dengan cabang-cabang pertandingan lain yang cukup ‘normal,’ Texas Rennes’gers ini membutuhkan konsentrasi penuh, kewaspadaan, serta akal bulus dari para pesertanya! Seluruh peserta wajib memberikan foto selfie-nya yang terbaru kepada panitia, untuk kemudian diacak dan dibagikan pada peserta lainnya. Jadi, masing-masing peserta akan memiliki target, siapa yang harus ia ‘habisi,’ alias, tembak dengan menggunakan…… pistol air. Permainan berlangsung dari awal pembukaan hingga tersisa satu orang pemenang. Jadi sepanjang acara, masing-masing peserta harus benar-benar waspada, karena mereka tidak pernah tahu kapan akan ‘ditembak’ dan ‘mati!’


KABAR PPI PRANCIS

“Hai, kakak namanya Gaby, yah?” ujar Angga, penembak dari PPI Caen. “Iya,” jawab saya dengan polosnya. “Oh, saya Angga.” Kebetulan sekali si Angga kurang beruntung, karena beberapa menit sebelum dia mengulurkan tangannya, Ucup, penembak dari PPI Paris baru saja bertanya pada saya “Gab, kenal Angga yang mana, nggak?” dan yap! Nyawa Angga pun langsung melayang saat itu juga! Namun, yah. Target Ucup pun berganti menjadi saya, karena saya ternyata adalah target dari si Angga! Lantas saya kabur perlahan dari Ucup, walau akhirnya, saya ya mati juga (sedih – red). Memang sih, dari segi peserta, terlihat bahwa antusiasme warga PPI Prancis secara umum terhadap acara ini cukup minim. Berbagai kekurangan dapat dilihat dan dianalisis, terutama mungkin, dari penentuan lokasi, karena Rennes memang tidak terlalu mudah dijangkau terutama bagi para penduduk wilayah Prancis bagian selatan. Namun, namanya juga belajar, ajang temu-kangen antar PPI wilayah ini secara umum cukup sukses untuk menyatukan setidaknya setengah dari jumlah PPI wilayah di Prancis. “Kita bisa belajar untuk menghargai usaha yang telah kita lakukan. Hasil dari usaha ini akan jadi awal untuk perbaikan-perbaikan ke depannya. Harapan untuk acara olahraga PPI Prancis ke depannya, tentunya agar bisa lebih meriah dan sukses dari yang sebelum-sebelumnya!” ujar Decky Saputra, Ketua dari Gelora 17 April ini. Secara garis besar, PPI Prancis pulang dengan memborong juara umum, yang terdiri atas Juara 1 dan 2 Futsal, Juara 2 Badminton Putra, Juara 1 Lari Estafet, Juara 1 FIFA, serta Juara Texas Rennes’gers. Juara 1 Basket Putra diraih oleh tim yang beranggotakan Rifoy (PPI Nantes), Rolando (PPI Paris), dan Delvin (PPI Brest), Juara 1 Badminton Putra diraih oleh Manolo, seorang atlet luar biasa dari PPI Caen, Juara 1 Badminton Putri diraih oleh Carissa dari PPI Caen, serta Juara 1 Catur diraih oleh… Pak Surya Rosa Putra, alias, Atdikbud kita sendiri! Nah, cukup seru kan? Agar makin seru lagi, ayo ikutan acara olahraga dari PPI Prancis selanjutnya! Karena bagaimana pun, tiada kesan tanpa kehadiranmu. Gaby (PPI Brest)


KABAR PPI PRANCIS

Selasar Kebudayaan PPI Prancis Tahukah teman-teman kalau PPI Prancis memiliki program kerja menarik bertajuk ‘Selasar Kebudayaan?’ Ngga tahu? Yakin? Wah, kebangetan ini hahaha (heboh sendiri – red). Nah, kali ini Salut! akan menghadirkan perkenalan serta pembahasan dari program Selasar Budaya yang telah berlangsung selama kepengurusan 2014/2015 ini. Apa itu Selasar Kebudayaan? Selasar Kebudayaan merupakan sebuah wadah diskusi rutin kebudayaan dalam pengertian luas, dalam rangka menyikapi persoalanpersoalan aktual melingkupi bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, sains, hukum, perkembangan teknologi, dan lain-lain. Diskusi ini dilaksanakan dalam format online course menggunakan platform WiZiQ (www.wiziq.com). Diskusi biasanya diisi oleh 1-3 pembicara yang berasal dari kalangan akademisi, profesional, dan mahasiswa, serta dipimpin oleh seorang moderator. Sebenarnya diskusi ini dipersiapkan dengan durasi 1,5-2 jam, namun karena antusiasme para peserta, seringkali waktu berlalu tanpa terasa, seperti ngeronda (hahaha red)! Jadi bisa dibilang sebenarnya Selasar Budaya ini adalah wadah ‘tukar pikiran sambil ngopi-ngopi’. Nggak jauh beda dari obrolan biasa antar-kawan, dengan hidangan yang sedikit lebih bergizi, hehe.Hingga saat initelah berlangsung empat program Selasar Kebudayaan dengan tema yang berbeda-beda. Apa saja sih, yang dibahas?

Selasar Kebudayaan #1: Bincang bersama Pak Atdikbud Sejak Desember 2014, kita memiliki seorang Atase Pendidikan dan Kebudayaan baru, yaitu Prof. Surya Rosa Putra. Keberadaan beliau tentunya penting bagi kita para mahasiswa, karena pada beliau-lah kita akan mengadu di kala masalahmasalah akademik bahkan non-akademik melanda (berlebihan – red). Nah, bagaimana mungkin kita ‘mengadu’ kalau nggak kenal dengan beliau? Selasar pertama ini bertujuan untuk menjadi wadah komunikasi awal antara anggota PPI Prancis dengan Bapak Atdikbud baru kita. Selain itu, permasalahan mahasiswa di Perancis pada umumnya juga dipaparkan dalam diskusi ini. Pemaparan masalah pendidikan tingkat S1 diwakili oleh Zaki Assegaf (PPI Brest), sedangkan S2 dan S3-nya diwakili oleh Catur Sugiarto (PPI Marseille). Seluruh partisipan dapat mengeluarkan unek-uneknya selama menempuh pendidikan di Perancis. Prof. Surya dan para pendatang baru pun mendapat gambaran akan tantangan yang akan dihadapi dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan. Diskusi berlangsung cukup seru, terutama ketika masuk dalam pembahasan ‘klasik’ seputar kehidupan mahasiswa di Perancis, dari mulai sulitnya mendapatkan garrant (terutama bagi mahasiswa non-beasiswa), konversi nilai, culture shock, hingga beasiswa tertentu yang seringkali terlambat bulan (hehe – red). Solusi umum dari

dari seluruh permasalahan tersebut sebetulnya gampang saja: jangan malu-malu menghubungi Prof. Surya! Beliau cukup aktif kok di facebook. Kalau teman-teman masih merasa sungkan, bisa hubungi para pengurus PPI Prancis dulu, dan permasalahan teman-teman akan dicari solusinya oleh Prof. Surya. Contoh konkrit pemecahan masalah. Misalnya, bagi temanteman yang kesulitan mendapat garrant, akan dibuatkan surat resmi dari KBRI yang dapat menjamin keberadaan temanteman sebagai mahasiswa di Perancis. Jadi daripada bingung sendiri, jangan ragu-ragu, yah!

Selasar Kebudayaan #2: Pro-Kontra Hukuman Mati di Indonesia Selasar kedua ini dibuat atas usulan dan antusiasme dari para anggota PPI Prancis mengenai pidana mati yang akan dijatuhkan Indonesia bagi para pengedar narkoba, yang kebetulan, salah satunya merupakan Warga Negara Prancis. Diskusi ini menghadirkan Bapak Yahya Syam selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur, serta Ibu Asmin Fransiska selaku Dosen Hukum di Universitas Atmajaya, yang sedang mengambil doktorat dengan spesialisasi Human Rights & Drugs Policy di Gieβen, Jerman. Diskusi berlangsung seru karena sudut pandang kedua pembicara dari


KABAR PPI PRANCIS cukup berbeda. Di satu sisi, latar belakang dan pelaksanaan hukuman mati di Indonesia dipaparkan oleh Bapak Yahya Syam, di mana dijelaskan bahwa hukuman mati ini merupakan hukuman terakhir jika grasi tidak lagi dapat diberikan kepada terdakwa. Hingga saat ini pun, masyarakat Indonesia tidak pernah secara khusus menolak hukuman mati yang telah terlaksana di Indonesia, terutama pada kasus pembunuhan disengaja dan direncanakan. Contohnya, dalam kasus Amrozi dan Imam Samudra. Di sisi lain, sebagaimana diungkap oleh Ibu Asmin Fransiska,hukuman mati juga memiliki berbagai kekurangan, antara lain tidak adanya hubungan antara pelaksanaan hukuman mati dengan penurunan tingkat kejahatan, tidak bersifat memulihkan (rehabilitatif/ restoratif), hingga masih adanya ruang ketidak-adilan para penegak hukum jika ternyata yang diadili bukanlah pelaku yang ‘sebenarnya.’ Seorang pengedar narkoba dijatuhi hukuman mati, misalnya, belum tentu merupakan aktor utama pengedaran tersebut. Penerapan hukuman mati belum tentu menurunkan tingkat kejahatan, terutama dalam bisnis pengedaran narkoba. Oleh sebab itu, hukuman mati ini dirasa kurang efektif. Perbedaan sudut pandang dari kedua pembicara ini melahirkan berbagai pertanyaan dan pendapat dari para partisipan. Secara garis besar, hukuman mati di Indonesia masih merupakan sebuah kontroversi, antara pro dan kontra. Bahkan Amerika Serikat, sebuah negara yang mendukung Hak Asasi Manusia (HAM) sekali pun, masih melaksanakan hukuman mati dengan cara suntik. Namun jika dihubungkan dengan kasus pengedaran

pengedaran narkoba, seperti yang telah dibahas, hukuman mati ini tidak memiliki sangkut-paut secara langsung terhadap pengedaran narkoba secara global. Solusi lain yang ditawarkan adalah penggantian pidana menjadi hukuman seumur hidup. Selasar Kebudayaan #3: Nonton Bareng Film ‘Senyap’ Selasar Kebudayaan satu ini berbeda dengan selasar-selasar sebelumnya, karena dalam selasar ini, seluruh partisipan bisa ‘nonton bareng’ secara online film ‘Senyap’ atau ‘The Look of Silence’ karya Sutradara Joshua Oppenheimer. Sejak peluncurannya, film ini telah menjadi sesuatu yang “ngeri-ngeri sedap” bagi Warga Negara Indonesia, bukan hanya yang berada di tanah air, melainkan juga di berbagai penjuru dunia. Setelah mencengangkan masyarakat lewat kehadiran pendahulunya, ‘Jagal,’ yang juga dikenal dengan judul ‘The Act of Killing.’ Kedua film ini sesungguhnya membuka ruang diskusi tentang suatu periode yang selama ini seolah-olah “tabu” dibicarakan oleh masyarakat Indonesia. Hadir dalam diskusi ini Truly Hitosoro, seorang alumni EHESS Paris (l’Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales) yang juga merupakan salah satu peneliti di Pusat Kajian Kriminologi FISIP UI, dan seorang penikmat film yang ber

berdomisili di Paris, Yuliana Sandy. Dua sudut pandang kembali dipaparkan dalam diskusi, yaitu mengenai etika dari sang sutradara dalam menampilkan adegan demi adegan dalam film, serta dari sudut adanya ruang diskusi yang terbuka bagi masyarakat Indonesia mengenai isu yang diangkat dalam kedua film tersebut. Menariknya lagi, seorang partisipan yang menyebut dirinya ‘Mbak Ucu’ turut memberikan sudut pandangnya dalam segi sinematografi, karena beliau memang berkecimpung di bidang pembuatan film dokumenter. Menurut Mbak Ucu, sebuah film dokumenter biasanya dibuat atas dasar kesamaan visi antara sutradara, produser, serta tokoh protagonis utama. Jadi, dapat dikatakan bahwa pada akhirnya film ‘Senyap’ ini memang baru melihat peristiwa tersebut dari kacamata Joshua Oppenheimer dan seluruh kru. Berbagai sudut pandang terhadap peristiwa tersebut serta metode Joshua dalam menggarap film ini tentunya masih sangat luas dan terbuka bagi siapa saja yang hendak melihat, dan tetap berjalan ke depan. Seperti kata Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri.”


KABAR PPI PRANCIS Selasar Kebudayaan #4: Menggugat Kepatuhan Perempuan Setelah melewati dua topik diskusi yang agak menegangkan, pertemuan berikutnya menghadirkan satu diskusi yang tidak kalah pentingnya, yaitu membahas isu ‘kepatuhan’ perempuan. Diskusi ini muncul dari adanya kesadaran bahwa perempuan dan laki-laki memang dibedakan secara fisik, namun bukan berarti mereka juga dibedakan atas dasar hak. Terobosan yang dilakukan oleh pergerakan-pergerakan feminis, bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di dunia, didasari oleh kesadaran para wanita akan adanya pelanggaran akan hak-hak wanita yang terjadi dari masa ke masa di seluruh dunia. Yang menjadikan diskusi ini menarik adalah bahwa yang membahas isu ini justru laki-laki, yaitu Ghani Ahmad Jaelani (PPI Paris) dan Agung Wibowo (PPI La

Rochelle). Secara garis besar, kedua pembicara memaparkan isu ‘kepatuhan’ perempuan di Indonesia dari masa ke masa, hingga ‘kepatuhan’ perempuan di rumah tangga. Adanya konstruksi gender pada masyarakat Indonesia ini juga menjadi fokus pembahasan yang menarik dalam diskusi. Konstruksi yang dimaksud adalah, kebiasaan masyarakat Indonesia untuk mengarahkan laki-laki sebagai kepala keluarga yang memiliki beban untuk mencari nafkah, sementara perempuan ditempatkan dalam posisi ‘menerima’ dan ‘menikmati’ nafkah suami. Diskusi belangsung cukup panas... Satu hal menarik dipaparkan oleh Laras A. Pitayu (PPI Paris), yang menyebutkan bahwa di jaman modern ini, penindasan perempuan justru dilakukan oleh perempuan lain! Kontras dengan adanya perbedaan hak yang sengaja dibuat oleh para penguasa (yang kebanyakan berjenis kelamin

laki—laki) sejak jaman kolonial hingga orde baru, kini kebanyakan para perempuan sendiri yang ‘kabur’ dari adanya kemungkinan untuk memiliki kesamaan hak, dan malah ‘menindas’ perempuan lain yang ingin maju. Secara garis besar, pandangan-pandangan baru terhadap permasalahan hak perempuan di Indonesia ini bermunculan dalam tanya-jawab yang berlangsung selama diskusi. Pada intinya adalah, perempuan punya kok, potensi bahkan hak untuk maju. Masa depan perempuan akan bergantung pada pemikiran masing-masing perempuan itu sendiri, mau ‘bergerak’ di rumah, tetangga, atau lebih jauh lagi. Nah, gimana, seru kan? Makanya, tunggu selasar-selasar selanjutnya yang tentunya akan membahas isuisu yang tak kalah menarik, dengan pembicara ciamik, dalam ruang tak tersekat, disiarkan langsung melalui platform WiZiQ (www.wiziq.com)! À très bientôt !

Gabriella Alodia (PPI Brest), Hani Ramadhan (PPI Compiegne), Gabriella Devi Benedicta (PPI Paris)

Komentar tentang Selasar Budaya Dhila Annisa PPI Caen Menurut saya selasar menarik banget, kita bisa berbagi pendapat. Nah, selain berbagi pendapat terus dapet info-info baru dari diskusidiskusinya. Allez selasar!

Muhammad Yusra PPI Paris Kegiatan ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan atmosfir dan budaya diskusi antar mahasiswa, khususnya yang sedang studi di Prancis. Ke depannya diharapkan kegiatan ini dapat lebih memperhatikan aspek kesesuaian antara tema dan narasumber, sehingga manfaat yang dapatkan akan semakin meningkat.


KABAR PPI PRANCIS

Bibliothèque Nationale Universitaire Strasbourg mengadakan konferensi berjudul “Le français au XXIème siècle” dalam rangka memperingati pekan frankofoni. Tema dari acara tersebut adalah “Le français, une langue, une culture, une diversité, qui nous unit”.

A

cara dimulai dengan presentasi mengenai jumlah penutur bahasa Prancis di dunia dibandingkan dengan bahasa internasional lain secara demografis, yang dipresentasikan oleh Claude Régnier, demograf yang juga merupakan mantan rektor Universitas Strasbourg. Perwakilan dari Kedutaan besar Swiss Jean-Philippe Jutzi menyampaikan pandangannya mengenai faktor-faktor sosial yang mempengaruhi pertumbuhan jumlah penutur bahasa Prancis di Eropa. Perwakilan dari Konsulat Jendral Tunisia di Strasbourg, Ridha Zguidane menyampaikan tentang perkembangan jumlah penutur bahasa Prancis di Afrika. Acara diselenggarakan di Auditorium Bibiliothèque nationale et universitaire Strasbourg, pada tanggal 25 maret dengan mengundang beberapa diplomat perwakilan negara-negara penutur bahasa Prancis yang sedang menempuh pendidikan di Ecole Nationale d’Administration (ENA), sekolah paling bergengsi di lingkungan Administration Public di Prancis. Mexind Suko Utomo, mahasiswa Indonesia di

kampus ENA berkesempatan untuk menyampaikan situasi terkini dari para penutur bahasa Prancis di Indonesia. Sejumlah peserta konferensi cukup terkejut ketika mendengar bahwa Indonesia adalah negara dengan ragam bahasa terbanyak di dunia. Bahasa Prancis yang saat ini semakin meningkat jumlah penuturnya di indonesia, adalah bahasa ke-empat atau kelima yang dipelajari setelah bahasa daerah, bahasa nasional (bahasa Indonesia), bahasa Inggris, bahasa arab dan bahasa asing lainnya seperti bahasa jepang atau mandarin. Saat ini tidak ada data yang dapat merepresentasikan jumlah penutur bahasa Prancis di Indonesia, namun demikian, tercatat sekitar 57.000 orang Indonesia belajar bahasa Prancis setiap tahunnya. Di Prancis, terdapat sekitar 2.314 orang Indonesia, sebagian besar diantaranya adalah mahasiswa. Indonesia sendiri nampaknya cukup menarik bagi orang Prancis, saat ini diketahui jumlah orang Prancis yang tinggal di Indonesia sedikit lebih besar dari jumlah orang Indonesia yang berada di Prancis, yaitu sekitar 3.973 orang. Dinda Adinda (PPI Strasbourg)


SOSIAL

S

eks adalah hal dasar yang membedakan antara perempuan dan laki-laki. Perempuan dan lakilaki diciptakan dengan perbedaan fisik, namun bukan perbedaan hak. Tapi kemudian perempuan lebih sering dicitrakan sebagai sosok yang harus patuh untuk diatur dan dibentuk sesuai dengan standar budaya, negara atau bahkan AAAAA. Padahal sebagai pemilik tubuh, adalah hak penuh pasar perempuan untuk menentukan kuasa atas tubuhnya; bagaimana tubuhnya akan dibentuk, pakaian dan aksesoris apa yang akan digunakan, maupun siapa pasangan yang akan dipilihnya. 8 Maret 2015 lalu, Place de la République di Paris, Prancis, disesaki perempuan dan laki-laki, tua dan muda, sampai anak-anak dari berbagai kelompok yang membawa spanduk menyuarakan berbagai isu terkait perempuan dan hak-nya. Hari Perempuan Internasional 2015. Berbagai isu mulai dari penentangan prostitusi sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, perlindungan hak perempuan di tempat kerja dan penghapusan jam kerja di akhir pekan, perlindungan terhadap hak-hak LGBT, sampai penentangan terhadap rezim. Beberapa foto berikut diambil pada saat aksi bersama di hari itu dengan berjalan sejauh dua kilomter lebih , dari place de la République hingga place de l’Hotel de Ville, Paris. Foto-foto ini dipilih untuk menunjukkan keragaman ide tentang pembebasan tubuh yang disuarakan oleh berbagai kelompok dari berbagai negara. Boleh jadi perempuan berpesta sehari, merayakan ‘kebebasan tubuh’, tetapi foto-foto ini sebenarnya mengajak kita pada perenungan yang lebih mendalam tentang hakekat kebebasan tubuh perempuan dalam praktek keseharian.

Selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah perlawanan

Tubuh Perempuan dan Perayaan Kebebasan

Bersama turun ke jalan untuk sebuah harapan

Terkadang keringat yang diteteskan Perempuan lebih banyak dari laki-laki

Bukan pelacur, tapi pelangganlah yang harus dihukum


SOSIAL

UNICEF, salah satu badan PBB yang fokus di isu anak, melaporkan di tahun 2014 secara statistik, 1 dari 10 anak perempuan di seluruh dunia mengalami perkosaan atau kekerasan seksual pada usia 20 tahun.

Agama : Penjara tubuh perempuan. Tapi apa itu kebebasan?

Karena perempuan lebih dari sekedar daging Teks dan foto oleh Gabriella Devi Benedicta (EHESS Paris)

Menjadi cantik, memiliki tubuh yang sehat dan indah hendaknya didasarkan atas kesadaran dan pilihan pribadi, bukan atas permintaan atau bahkan paksaan pihak lain.


SCIENCE POPULER

Tentang Fiksi Waktu oleh Gani A. Jaelani

Kalau Benjamin Franklin, si pemikir politik yang juga founding fathers negara Amerika Serikat itu tidak iseng, mungkin perubahan waktu di musim semi dan dingin tidak akan pernah ada. Pada tahun 1784, ketika sedang tinggal di Paris bekerja untuk Kementrian Amerika untuk Prancis, dia menulis sebuah surat ke Journal de Paris, sebuah harian yang biasanya menerbitkan temuan-temuan orang hebat. Dengan gayanya yang jenaka tapi serius, Benjamin Franklin pun bermaksud menyampaikan temuannya. “Saya terbangun kira-kira jam enam pagi karena mendengar suara ribut”, dia mengawali tulisannya, “dan dibuat kaget karena melihat kamar penuh dengan cahaya. Awalnya saya membayangkan sejumlah lampu dibawa ke kamar; saya monggosok mata, dan tahulah ternyata cahaya datang dari jendela”. Sesaat dia merasa ada yang salah. Sebab tidak biasanya terjadi seperti itu. “Saya melihat jam, yang tentu saja tidak rusak, dan melihat masih pukul enam; saya terus berpikir tentang sesuatu yang luar biasa yang sedang terjadi bahwa matahari bisa terbit lebih pagi”, tulisnya. Mungkin itu adalah cerita paling tua terkait perbedaan waktu di musim panas dan musim dingin. Bagi mereka yang biasa tinggal di negara yang dekat garis katulistiwa, tentu saja pengalaman ini tidak pernah ada. Sebab pada musim apa pun, malam dan siang selalu seimbang. Sementara itu, di bagian bumi yang lebih ke utara maupun ke selatan, panjang malam dan siang tidak selalu sama setiap tahunnya, sehingga selalu dilakukan penyesuaian jam dua kali setahun. Tapi perubahan jam ini tentu saja tidak sesederhana menggeser jarum jam, mempercepatnya satu jam di musim semi dan mengembalikannya ke poisisi semula di musim gugur. Seperti cerita Tuan Franklin tadi. Kekagetannya merupakan sebuah pengantar untuk menyampaikan apa yang kemudian disebut sebagai temuannya. Pertama, dia melihat penanggalan astronomi dan menemukan bahwa matahari pada hari itu memang terbit lebih awal. Dan hal ini akan berjalan sampai AAA

enam bulan ke depan. Kedua, selama periode itu, dia yang terbiasa tidur sampai tengah hari, akan tidur selama enam jam di bawah sinar matahari. Akibatnya, pada malam hari, dia akan terjaga enam jam, dan karena gelap, akan menggunakan lilin sebagai penerang. Nah, lilin pada masa itu merupakan komoditas yang cukup mahal. Oleh karena itu, Franklin menyarankan dengan bangun cepat, bangun pada saat matahari terbit, misalnya, maka orang akan tidur cepat di malam harinya, pada saat matahari terbenam. Demikian, maka penggunaan lilin akan berkurang, dan itu berarti pengiritan ekonomi. Kita harus membayangkan sebuah masyarakat yang kesehariannya, seperti bangun tidur, mulai kerja, makan, sampai tidur lagi, sudah diatur oleh jarum jam. Semua itu dimungkinkan oleh adanya penemuan jam mekanik di Eropa pada akhir abad ke-13, sebagai sebuah ikhtiar untuk menangkap waktu dengan lebih tandas. Upaya menangkap waktu melalui bayangbayang matahari dan penandaan waktu berdasar lonceng gereja dianggap kurang memberi kepastian. Sebab keduanya didefinisikan oleh sesuatu yang berada di luar dirinya. Dalam keadaan mendung, misalnya, bayang-bayang matahari tentu tidak nampak. Dan artinya waktu jadi tidak tertangkap. Sedangkan jam mekanik mampu mendefinisikan waktu kapan pun tanpa harus terpengaruh kondisi alam. Pada saat Tuan Franklin menyampaikan gagasannya, Eropa sedang memasuki periode yang sering disebut dengan revolusi industri. Pabrik-pabrik bermunculan, produksi massa dikerahkan, dan distribusi dimaksimalkan. Semua itu hanya memiliki satu tujuan: meraup keuntungan sebesar-besarnya. Pengaturan berdasarkan jarum jam tentu saja menjadi sangat relevan, untuk mencapai efektifitas dan efisiensi produksi dan distribusi. Setiap detik dihitung harus produktif. Karena itu wajar saja kalau dalam tulisannya yang setengah berseloroh dan imajinatif itu dia menyarankan penghematan. Hanya saja gagasannya tidak ditanggapi. Mungkin AAA


SCIENCE POPULER karena Tuan Franklin tidak benar-benar serius menulis itu. Tapi yang tidak bisa dielakan, kebergantungan terhadap jarum jam semakin meningkat; setiap detik bergerak harus digunakan untuk kegiatan yang produktif. Itulah kenapa, ketika William Willet, seorang arsitek tata kota Inggris, bangun di pagi hari, untuk memulai rutinitasnya dengan berkuda, merasa ada yang aneh ketika matahari sudah naik tinggi sedangkan jalanan masih sepi. Dia merasa bahwa orang-orang sudah menyiasiakan waktu bekerja. Dan atas dasar itu pulalah dia menulis sebuah pamflet di tahun 1907, mengusulkan pengurangan waktu selama 20 menit secara bertahap selama empat kali, yang nantinya jam di musim semi akan mundur 80 menit, supaya orang terbiasa dan bisa menikmati matahari lebih lama Gagasan ini mendapat sambutan yang cukup baik, selain juga mendapat tentangan. Sir Arthur Conan Doyle, si penulis Sherlock Holmes, misalnya, berpendapat bahwa gagasan ini “sangat baik buat kesehatan dan kebahagiaan sebagian besar AAA

masyarakat, dan generasi mendatang inggris akan lebih baik karena memiliki satu jam lebih matahari di masa kecilnya�. Para dokter di masa itu tampak bersepakat bahwa menikmati sinar matahari lebih bermanfaat buat kesehatan ketimbang cahaya artifisal yang secara eknomi juga sangat boros. Sementara itu mereka yang tidak setuju beranggapan bahwa ide ini sudah melampaui wewenang tuhan soal waktu. Para pengelola bisnis juga khawatir perubahan ini akan mengganggu kelancaran sistem mereka yang sudah berjalan mapan. Dan mereka pun menyarankan, alih-alih memutar jarum jam, supaya aktivitas dimulai sejam lebih awal pada musim semi dan kembali lagi ke semula di musim gugur. Misalnya, kalau orang terbiasa bangun pukul 8 pagi di musim dingin, maka pada musim semi sampai musim panas, dia harus bangun pukul 7 pagi. Begitu pula dengan jam kantor dan jam sekolah. Adapun jarum jam tetap tidak berubah. Untuk sebuah masyarakat yang hidupnya sudah diatur oleh jarum jam, gagasan terakhir tentu saja tidak AAAA


SCIENCE POPULER

mudah. Kalau sudah terbiasa bangun jam 7, tentu akan sangat sulit bangun jam 6 pagi. Begitu pula dengan kebiasaan lainnya. Sebab, bagaimana pun, keseharian kita sudah lebih banyak diatur oleh jarum jam ketimbang oleh gerak matahari. Mungkin hanya para petani yang masih menggantungkan ritme kehidupannya berdasarkan terbit dan terbenamnya matahari di masa itu. Demikian, gagasan Tuan Willet, sekalipun sudah masuk dalam perdebatan di Parlemen Inggris, tetap tidak diberlakukan. Tapi mungkin krisis ekonomi selalu menjadi pengecualian. Seperti pada masa Perang Dunia I misalnya. Gagasan memutar jarum jam lebih cepat sejam pada musim semi untuk kepentingan ekonomi menjadi penting. Dengan itu penggunaan gas dan minyak untuk penerangan dan kebutuhan lainnya bisa berkurang. Dalam krisis, penghematan haruslah dilakukan. Dan Jermanlah yang pertama kali menerapkan sistem ini, pada masa perang, diikuti oleh negara-negara lainnya. Hanya saja setelah perang berakhir, sistem ini tidak lagi dipakai. Baru pada tahun 1970-an, ketika krisis minyak melanda dunia, gagasan ini kembali dikemukakan. Dan sampai A

sekarang sistem yang disebut Daylight Saving Time terus berlaku. Perdebatan terkait baik buruknya sistem ini memang terus berlanjut. Ada yang bilang bahwa angka kecelakaan meningkat pada malam dimajukannya jarum jam. Beberapa orang melihat bahwa jam tidur anak-anak terganggu gara-gara ini. Tapi pendapatpendapat negatif seperti ini selalu langsung mendapat bantahan oleh penelitian yang lain. Sebagai orang yang mungkin baru beberapa tahun mengalami sistem pergantian jam musim dingin dan musim semi ini tentu kita memiliki pengalaman yang berbeda. Ada banyak keluhan di musim semi, karena kita kehilangan waktu tidur sejam, tapi bersyukur di musim gugur, karena mendapat tambahan waktu tidur sejam. Di saat musim semi, jarum jam bergerak lebih cepat, khawatir terdahului matahari, dan sebaliknya, di musim gugur jarum jam berhenti menunggu matahari. Karena matahari memang ukuran, supaya jarum jam mendapat otoritasnya, dia harus terus menyesuaikan diri. Soal memutar jarum jam ini memang persoalan yang terus menjadi perdebatan. Ketika GMT dijadikan standar internasional untuk keseragaman waktu, tidak semua negara langsung bersepakat. Beberapa negara masih terus mengoperasikan jam nasional, yang artinya memiliki selisih beberapa saat dengan dengan standar nasional. Seperti Prancis misalnya, baru menyesuaikan di tahun 1911, setelah mengalami banyak perdebatan. Penyesuaian itu, menurut seorang komentator di masa itu, merupakan sebuah kesepakatan atas sesuatu yang tidak nyata. Pada akhirnya, waktu merupakan sebuah fiksi; sebuah fiksi yang disepakati bersama sebagai sesuatu yang seolah nyata. Harus diakui segala sesuatunya sekarang memang didasarkan pada putaran jarum jam: janji bertemu pacar, pergi nonton ke bioskop, atau konser musik, sampai kapan kita boleh dan tidak makan pun diatur olehnya. Perlahan-lahan, sebetulnya kita sudah memiliki kebergantungan yang cukup tinggi pada jarum jam.


POTRET

Elok Dyah Messwati The world is a book, and those who do not travel read only a page St. Agustine Mari berkenalan dengan Elok Dyah Messwati, penulis buku “Backpacking Hemat ke Australia” dan juga pendiri komunitas Backpacker Dunia (BD), grup Facebook yang sudah memiliki lebih dari 67.000 anggota. Grup yang didirikan pada tanggal 5 September 2009 ini berawal dari acara launching dan diskusi buku karyanya. Diskusi yang tadinya hanya membahas mengenai Australia, ternyata berkembang menjadi diskusi tentang destinasi di seluruh dunia. Apalagi, Elok yang berprofesi sebagai wartawan Kompas ini, sudah berkeliling ke lebih dari 40 negara dengan memanfaatkan masa cutinya. Dan tentu saja, ia menabungkan pendapatannya. Sayangnya, traveling, terutama ke luar negeri masih sering dipandang sebagai aktivitas yang hanya menghabiskan banyak uang. Tidak sedikit pula yang masih memiliki pandangan bahwa Indonesia adalah negara paling indah yang harus disinggahi sebelum berkunjung ke negara lain. Pandangan sempit seperti itu rupanya masih beredar di grup BD yang memang hanya diperuntukkan untuk berbagi informasi tentang destinasi wisata di luar Indonesia. Menurutnya, dunia ini seperti sebuah buku dengan ratusan halaman. Jika kita hanya diam di tempat, itu artinya kita hanya membaca satu halaman saja. Dunia begitu luas, tidak ada salahnya kita menimba pengalaman di negeri-negeri asing untuk memperkaya pengalaman. Banyak hal bisa kita pelajari dari negeri-negeri lain, bangsa-bangsa lain. Jadi, tidak ada salahnya kita menghabiskan halaman buku tersebut sebelum kita tiada kelak. “Uang selalu bisa dicari, tapi pengalaman tak akan pernah terlupa sampai kita mati. Apa yg kita dapatkan dalam perjalanan hidup kita, akan menuntun dan mengarahkan kita untuk menjadi seseorang yang sesuai dengan apa yg kita kecap sepanjang perjalanan tersebut. Tentunya mencecap hal-hal positif : open mind/berpikiran terbuka, menerima perbedaan-perbedaan dengan lapang dada, menerima keberagaman budaya, bahasa, agama, adat istiadat dll.” Tentu saja, berjalan-jalan ke luar negeri tidak selalu identik dengan menghamburkan banyak uang. Grup tersebut bertujuan untuk memotivasi para anggotanya agar menjadi lebih berani untuk backpacking secara mandiri. Pejalan mandiri, adalah mereka yang melakukan kegiatan traveling dengan dari tour & travel. Mereka bergerak secara mandiri membawa ransel/backpack (umumnya) tanpa terikat program dari kota ke kota, dari negara ke negara, dengan beragam interest: budaya, destinasi wisata, belajar bahasa, mendaki gunung, keliling kota tua, studi arsitektur, atau sekadar merasakan ambience / atmosfer sebuah negara. “Keliling dunia bukan lagi mimpi”, itulah slogan yang diusung oleh BD, yang sekarang memiliki banyak anggota dari Indonesia yang tinggal di mancanegara dan sering menjelajah dunia. Dalam grup BD para anggota berbagi pengalaman dan memberi informasi bagi anggota lain yang sedang merencakan perjalanannya. Informasi tentang dokumen perjalanan yang harus disiapkan, hunting tiket murah, mengatur itinerary memilih akomodasi low budget, hingga survival skill yang berguna tidak lagi sulit ditemukan dalam grup ini. berguna tidak lagi


POTRET Tidak hanya berkomunikasi secara online, para anggota grup juga rutin mengadakan kopi darat yang berlangsung di acara gathering rutin sambil membahas topik-topik menarik seputar traveling. Tidak bisa bahasa Inggris? Bukan lagi halangan untuk memulai perjalanan. Elok bercerita tentang pengalamannya yang berkesan saat mengunjungi kota Riga di Latvia. Host Couchsurfing tempatnya tinggal ternyata tidak bisa bahasa Inggris. Saat berkomunikasi, mereka selalu ditemani oleh kamus Latvia-Inggris. Hal yang tentu saja tidak mudah tapi poinnya adalah mereka tetap berusaha untuk bisa saling mengerti. Terbukti, Elok dapat survive di Latvia tanpa kendala bahasa. Solo traveling juga tidak menjadi hambatan untuk berjalan-jalan. Sebelum menikah dulu, Elok sering traveling sendirian dan dia tidak pernah menemukan kendala apapun. Tips-nya untuk para solo traveler adalah: selalu berhati-hati, jangan terlalu “heboh� dengan pakaian dan make up karena bisa mengundang bahaya, cari informasi sebanyak mungkin, copy semua dokumen perjalanan dan email juga softcopy-nya ke alamat sendiri, dan jangan lupa mencatat alamat kedutaan Indonesia di negara tujuan. Tentu saja pengalamannya bertualang di luar negeri tidak membuatnya lupa dengan keindahan negara Indonesia. Saat ditanya mengenai tempat wisata pilihannya di Indonesia, dia tampak kesulitan menjawab. Baginya, daerah-daerah di Nusantara seperti Papua, Maluku, NTT, NTB, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Sumatera merupakan tempat-tempat yang memiliki kesan tersendiri saat dikunjungi. Di Kalimantan, misalnya, kita bisa menonton upacara Tiwah yang diselenggarakan di tengah hutan di dekat Kalimantan Tengah. Tradisi ini dilakukan oleh suku Dayak Ngaju untuk membersihkan makam para leluhurnya. Elok pernah menginap di sebuah desa di pinggir sungai Kahayan hanya untuk menonton upacara tersebut. Bali juga punya cerita menarik, yaitu kehidupan komunitas muslim di Buleleng di tengah budaya Hindu yang begitu kuat. Bagi Elok, traveling di dalam maupun luar negeri telah mengajarkannya banyak hal. Menambah kepercayaan diri, memperluas wawasan dan membuka pikiran, lebih menghargai perbedaan, dan juga menambah banyak teman dari berbagai negara, merupakan sebagian dari manfaat yang bisa diambil dari setiap perjalanan. Selain itu, backpacking ke luar negeri juga merupakan cara terbaik untuk mempromosikan negara sendiri. Apalagi, saat kita tinggal di luar negeri, tentu saja kita secara tidak langsung sudah memperkenalkan negara Indonesia kepada orang-orang di sekeliling kita. Icha Ayu (PPI Paris)


HIDUP DI PRANCIS

13 tips how to backpacking like a boss

S

alah satu kenikmatan bisa kuliah di luar negeri, terutama di Prancis, tentu saja dengan adanya kesempatan jalan-jalan keliling Eropa. Selama 2,5 tahun di Paris, saya sudah traveling ke 220 kota di 31 negara di benua biru dan 3 negara di Afrika. Mulai dari menikmati keindahan aurora di Islandia sampai ikut bersafari di Kenya. Memandangi cantiknya sunset di Santorini, mendaki Kilimanjaro, berdiri persis di Omaha Beach tempat pendaratan D-Day hingga masuk ke dalam kuda Troya di Turki. Tentu saja masih banyak lagi kenangan dan pengalaman yang tidak akan pernah bisa saya lupakan seumur hidup. Alangkah sayangnya bila sudah di Eropa tapi tidak memanfaatkan waktu untuk jalan-jalan. Namun jangan salah, jalan-jalan di sini, tentu saja bukan sekadar selfie di depan landmark dan lantas pulang. Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari traveling. Kita bisa membuka wawasan lebih luas, belajar mengatur uang dan waktu, berbagi bersama sesama traveler, menambah teman dari seluruh dunia, dan masih banyak manfaat lainnya. Nah, di sini saya akan berbagi tips beserta pengalaman selama saya traveling. Apalagi musim liburan sebentar lagi tiba, jadi ayo kita siapkan ransel dari sekarang! Selama traveling, ada 4 komponen biaya utama: transportasi, tiket masuk kawasan wisata, hotel, dan makan. Semuanya bisa kita siasati. Apa aja tipstipsnya? Ini dia...

1. TRAVEL LIGHT Bawalah pakaian secukupnya dan dicuci seminggu sekali dengan mencari laundry otomatis (jangan di hotel soalnya pasti harganya jauh lebih mahal). Kehabisan baju di jalan? Cukup beli baju baru yang bisa sekalian jadi souvenir☺. Saya pribadi selalu membawa celana training dan menghindari celana jeans yang membuat tas menjadi penuh dan berat. Bawa tas ransel yang juga memiliki roda sehingga memiliki dua fungsi. Oh iya, kok masih ada salah persepsi ya? Backpacking itu bukan berarti harus bawa tas ransel besar atau harus prihatin dan menderita. Backpacking menurut saya, berarti jalanjalan hemat tapi berkualitas. Kalo saya sih menyebutnya BOSSPACKING, backpacking like a boss. Sudah trademark loh☺. Atau kalau meminjam istilah D'cost, jalan-jalan bintang lima harga kaki lima. 2. BELI VACUUM BAG Pelajari teknik packing ! Caranya bisa dilihat di banyak video YouTube. Ada satu tips lagi nih, beli vacuum bag (sekitar 3€ di Amazon) dengan berbagai size. Tinggal gulung semua pakaian terus kempesin deh ! Teknik ini akan membuat kita mendapat banyak space. Dulu, saya hanya dengan memakai tas ransel kecil saja bisa bawa 15 baju, 3 celana panjang, handuk, tas kecil, dan kamera. 3. RYAN AIR DAN EASY JET. Ryan Air ini dibenci tapi dirindu. Saya pernah mendapatkan tiket Paris-Venisia hanya 7€! Tapi mereka memang sangat strict untuk masalah bagasi. One bag, max 7 kg dan semua harus muat di tempat cek tas. Membeli bagasi, kadang malah lebih mahal dari harga tiket. So, apa dong solusinya?


HIDUP DI PRANCIS Gampang mas bro! Sebelum check in, pergi ke toilet dulu dan pakai semua yang membuat berat. Dulu, saya pakai 2 jeans, 4 lapis baju, plus jaket saat liburan summer di Yunani, alhasil muka saya merah kepanasan kayak badut, jalan susah, sambil dilihatin satpam. Mais, voilà cuma 6 kilo! Nah pastikan tidak ada barang apapun di kantong yang bisa bikin scanner menyala saat masuk gate. Malu dong disuruh buka dan mengosongkan kantong, tahunya barang yang harus diambil ada di jeans lapisan dalam. Pastinya banyak-banyak doa juga ☺. Begitu lolos, masuk toilet lagi terus lepas. Voilà, c'est génial, non? 4. RESEARCH HOTEL Ini hal paling penting karena kita ke mana-mana akan naik kereta jadi carilah hotel dekat stasiun. Mencari hotel itu gampang banget! Buka aja www.booking.com karena tidak dikenakan booking fee dan bisa di-cancel. Jangan lupa lihat review-nya. Cari yang banyak di-review dengan score bagus, terutama lokasi. Hal penting lainnya, jangan lupa save screenshot cara ke hotel dengan street view karena kemungkinan kita tidak akan bisa menggunakan internetMales banget dong nyasar sambil gendong tas berat-berat. Research juga transportasi untuk menuju hotel, naik bis apa, turun di mana, belok ke mana. Sebelum berangkat, buka Google Maps dari tempat kedatangan, misalnya stasiun atau terminal menuju ke hotel dengan mencari opsi transportasi. Kalau tidak ada informasi yang dibutuhkan, cek website hotel, pasti ada petunjuk. Kalau masih tidak ada juga, email hotel dan tanya cara menuju ke sana. Tidak pernah sekali pun saya nyasar selama trip. Dulu, waktu saya masih belum berpengalaman, saat nyasar selalu mencari Mc.Donalds untuk memanfaatkan wi fi, selalu open dan gratis kok. Plus, McFlurry is always good idea ☺. 5. RESEARCH WHAT MUST SEE Kalau ini Wikitravel is your meilleur ami atau bisa juga dengan Google “10 must thing to do in Santorini” misalnya. Buatlah itinerary yang jelas sehingga tidak ada waktu yang terbuang. Tapi, kalau bisa jangan lihat foto tempat yang akan kita tuju jadi bisa lebih surprise begitu tiba di tempat tujuan! Kuncinya: make detailed plan but be flexible. Ingat aja bahwa ini vacation bukan competition. Niatnya jangan mengunjungi banyak kota tapi lebih untuk nikmati liburan.

6. YANG WAJIB DIBAWA Saya selalu dipanggil Doraemon, selain karena samasama gemesin, juga karena tas saya isinya bermacam-macam. Saya selalu membawa dua tas, selain tas yang besar untuk baju, saya juga membawa tas punggung untuk berkeliling-keliling kota. Saya selalu bawa tas yang semi selempang (bisa dicari di Decathlon), soalnya pengalaman pernah dicopet waktu memakai tas yang full gendong. Jangan lupa bawa juga money belt, sehingga paspor dan uang aman. Dulu, saya pernah kecopetan paspor waktu di Roma dan tentunya kejadian itu sangat merusak liburan. Makanya, bawa foto kopi dan softcopy dokumen-dokumen penting seperti Titre de Sejour karena itu akan sangat berguna saat ada masalah seperti kecopetan tadi. Yang harus dibawa di tas punggung: kamera, batere cadangan, gorilla tripod, tongsis, Powerbank (bah oui!), air minum bisa dibeli di luar saja. Yang juga wajib dibawa: tablet untuk hiburan di jalan, camera connection untuk transfer foto, universal adapter dan colokan kombinasi biar tidak rebutan saat menginap di hostel. Oh iya, jangan lupa juga bawa Student Card! Berguna banget, bisa dapat banyak diskon di berbagai tempat bahkan kadang gratis! 7. BE PARANOID IN HOSTEL Saya sudah kenyang kehilangan barang, mulai dari iPad dan iPod yang baru dibeli satu jam sebelumnya (bah oui c'est vraiment merd*!), lensa kamera, terutama paspor. So be paranoid! Kadang hostel tidak menyediakan loker, jadi selalu bawa dua gembok. Satu gembok biasa untuk resleting ransel, satu gembok sepeda agar bisa diikat ke kasur. Jadi, kalau ada yang mau copet, harus menggotong saya dan kasurnya sekalian. Bahkan teman sekamar di hostel pernah dicopet semua tasnya. Makanya, don’t make the same mistake, ok?!


HIDUP DI PRANCIS 8. BELI SIMCARD Kalau stay lama di satu negara, please belilah simcard. Pilihlah kartu yang menawarkan paket data, jadi tidak begitu mahal sekitar 10€. Audio Guide? Meh. Just trust Wikipedia! Selama traveling, Google maps is your best friend. Tinggal ikut itinerary yang sudah dibuat. Sangat berguna kalau kalian ke negara yang tidak bisa bahasa Inggris (I mean you France!). Waktu ke Turki, setiap membeli tiket atau bertanya jalan, saya ketik dulu di Google translate mau ke mana dan jam berapa. Bisa sekalian upload foto saat itu juga pastinya ☺. 9. BELI EURAIL Ini dia nih yang wajib banget! Jangan bilang belum pernah dengar yang namanya Eurail? Yang punya ide menciptakan Eurail seharusnya layak mendapatkan Nobel untuk bidang pariwisata. Dengan tiket ini, kita bisa naik kereta sepuasnya. Tahun lalu, saya ajak orang tua keliling satu bulan ke 10 negara dengan 28 kota memakai Eurail. Ada banyak jenisnya, kalo saya dulu beli global pass 21 days consecutive. Memang harganya agak mahal, 680€ per orang, tapi setelah membandingkan dengan membeli tiket satuan, kita bisa menghemat hingga 15 juta per orang. Selain itu, masih ada banyak manfaat lainnnya di tiap negara. Misalnya di Swiss, kita bisa naik panoramic train yang jendelanya sangat besar dengan pemandangan menakjubkan, dapat diskon kalau mau ke gunung, dan bahkan bisa naik boat gratis di banyak kota. Jadi, pelajari dulu baik-baik di website-nya! Apalagi, kalau sudah tinggal 6 bulan di Eropa, bisa beli Interrail, itu lebih murah lagi! Tiket ini bisa dibeli online atau langsung di stasiun. Ini bener mas 15 juta? Berarti tanpa Eurail, tiket kereta ketengan bisa mencapai 2000€ gitu?

10. INSTALL APPS Waktu masih newbie, saya menghabiskan banyak waktu untuk mencari timetable kereta. Not anymore, Install RailPlanner! Di sana kalian bisa lihat semua jadwal kereta di Eropa secara offline. Aplikasi ini bisa di-install di Android dan IOS. Untuk yang pakai Android lebih asyik lagi, tinggal swipe ke atas buka “Google Now” di situ ada saran harus ke mana saja and naik apa. Mau tahu restoran mana yang enak? Buka TripAdvisor. Maksimalkanlah fungsi smartphone sebaik-baiknya. 11. STAY IN HOSTEL Buat apa menginep mahal-mahal kalau seharian kita akan habiskan di luar? Selain itu, di hostel ada dapur, jadi bisa menghemat budget makanan dengan masak sendiri, tinggal pergi ke supermarket, beli bahan makanan, terus masak deh. Ada hal lain yang lebih asyik lagi pastinya, saat sedang masak kita bisa bertemu dengan sesama traveler. Kadang saat kita sharing makanan, bisa ngobrol-ngobrol juga sambil sharing cerita, itulah serunya hostel! Apalagi kalau kebetulan sekamar sama yang bening, kan bisa sekalian kenalan. That's what I did ☺.


HIDUP DI PRANCIS 12. BAGI WAKTU Saya selalu membagi dua waktu. Selalu bangun saat sarapan disediakan, sekitar jam 7 pagi. Setelah selesai sarapan, langsung jalan selagi orang-orang masih tidur (atau mabuk). Foto-foto di landmark pagi hari saat suasana masih sangat sepi, menyapa orang lokal yang mau buka toko, ditambah udara juga masih segar. Jam 12 kembali ke hotel, masak terus makan siang. Lanjut tidur siang sebentar, sekitar setengah jam biar bisa kembali segar dan bisa lanjut jalan sampai malam. Oh iya, saya selalu sediakan waktu untuk ke taman dan ke kafe untuk mengobrol dengan orang lokal sambil menikmati suasana. Sekalian bisa salat kalo tidak menemukan mesjid ☺. 13. COUCHSURFING Ingin menginap gratis sekalian dapat teman baru? Why not Couchsurfing? Buat yang belum tahu CS itu apa, CS adalah forum di mana traveler, alih-alih menginap di hotel, mereka menginap di rumah orang lokal. Saya pernah host 25 orang dari 14 grup traveler berbeda selama di Paris dan mereka lah yang menjamu saatsaya berkunjung ke kota mereka. Saya sudah ada teman di 17 negara yang siap ditumpangi. Asyik kan? Tapi hatihati, harus benar-benar membaca review, baik kalau kita mau menjamu atau mau menumpang.

Sayang bro kalo sudah di Eropa tapi tidak ke mana-mana. Nanti saat sudah pulang ke Indonesia, pasti menyesal. Pastinya memang harus menyiapkan budget lebih untuk jalan-jalan. Uang masih bisa dicari, tapi kesempatan, umur, dan kesehatan belum tentu. “The world is like a book. He who does not travel only read one page” Sayang dong kalo hanya baca dua bab, Indonesia-Prancis. Alors, bonnes vacances!

Angga Dwi Putra (Alumni Paris 1 Pantheon Sorbonne tahun 2011-2013 master économie et psychologie)


LE BON PLAN

L'ORIGO

Chez Gladine

L’Epicerie

Selain dikenal dengan acara fêtes des lumières” -nya, Lyon juga dikenal sebagai ibukota gastronomi Prancis. So, untuk kalian yang berkesempatan untuk melanjutkan study atau sekadar berwisata di Lyon, rugi banget jika tidak menyempatkan diri makan menu khas kota ketiga terbesar di Prancis ini. Masakan khas Perancis kan mahal? Tenang, banyak restoran di Lyon menawarkan menu dengan harga terjangkau dan yang pasti porsinya sangat mengenyangkan ! Salah satunya adalah l’Origo. Restoran ini menjanjikan keaslian dan kesegaran produknya, seperti yang mereka digambarkan semboyannya : “100% frais, 100% Maison”. Restoran yang buka lima hari dalam seminggu ini memiliki dekorasi modern berbahan dasar batu dan kayu berwana terang, dengan menghadirkan suasana seperti rumah-rumah tipikal pegunungan Prancis. Menu dan harga yang ditawarkan l’Origo sangat bervariasi. Demi menjaga kesegaran produknya, menu yang dihadirkan restoran ini berubah setiap saat mengikuti produk yang tersedia di pasar. Harga mulai dari 7 € sampai dengan 22€ à la carte, 9 € sampai dengan 16€ untuk formula makan siang dan 35€ untuk menu dégustation.

Paris memang memikat banyak orang dari berbagai penjuru dunia. Dalam hal kuliner, misalnya, les Parisiens alias penduduk kota Paris sangat beruntung karena dapat mencoba berbagai makanan dari seluruh penjuru dunia tanpa harus mengeluarkan ongkos untuk tiket pesawat. Kangen masakan Indonesia atau penasaran dengan masakan khas Tanzania? Semua bisa dicoba di Paris! Penasaran juga dengan masakan khas daerah Prancis tapi hanya punya waktu untuk berwisata di kota Paris? Tidak usah khawatir, karena di Paris, semua makanan khas Prancis bisa ditemukan ! Pays Basque merupakan sebuah daerah di selatan Prancis yang terkenal dengan piment d’espelette alias cabe khas yang dihasilkan hanya di Pays Basque. Bagi orang Indonesia yang terbiasa makan makanan pedas, tidak ada salahnya mencoba masakan Basque ini. Chez Gladine, restoran Basque yang berada di lima lokasi di Paris ini bisa menjadi pilihan yang tepat. Dekorasi rustik bergaya tahun 50an menjadi andalannya. Rasa masakannya yang sesuai dengan lidah Indonesia dan porsi besar yang ditawarkan menjadi tawaran yang menarik. Untuk harga, tidak perlu khawatir, karena kita bisa menikmati masakannya hanya dengan mengeluarkan kocek antara 5€ 13€ saja.

Strasbourg bisa dikategorikan sebagai kota yang sangat kondusif untuk belajar, tapi kegiatan mahasiswa di sini tentu saja bukan hanya belajar. Hobi ngopi sambil menikmati makanan khas Alsace? Restoran L'Épicerie bisa menjadi pilihan tepat saat sedang berkunjung ke Strasbourg. Beragam tartines dan minuman hangat yang enak dengan harga mulai dari 3€ sampai 6,80 € dapat ditemukan di sini. Restoran berdekorasi retro ini juga menyuguhkan pilihan musik khas Prancis yang menarik. Harga yang bersahabat untuk kantong mahasiswa dengan tetap mengedepankan kualitas cita rasa masakannya, membuat restoran ini seringkali dipadati pengunjung, oleh karena itu disarankan untuk membuat reservasi sebelum datang.

3 rue du jardin des plantes 69001 Lyon Metro : Hôtel de Ville www.resto-origo.fr 09 84 28 28 28

6 Rue du Vieux Seigle, 67000 Strasbourg www.lepicerie-strasbourg.com 03 88 32 52 41

Namun, karena reservasi tidak dapat dilakukan di restoran tersebut, maka datanglah lebih awal untuk mendapatkan meja secepatnya! 30 rue Cinq Diamants 75013 PARIS Metro : Corvisart www.gladines.com 01 46 33 93 88


KULTUR Resensi film:

Mata tertutup “Tidak ada satu pun agama di dunia ini yang mengajarkan kita untuk tidak menaruh hormat kepada bapak, ibu, maupun anak-anak kita sendiri.” Mungkin sebagian besar dari kita belum pernah menyaksikan film garapan Garin Nugroho yang satu ini. Yap. Seperti kebanyakan filmfilm berkualitas di Indonesia, akibat pangsa pasar yang kecil, filmfilm seperti ini cepat sekali hilang dari peredaran. Jadilah sang produser dan sutradara menawarkan kepada badan-badan tertentu untuk menyelenggarakan pemutaran film bersama, agar pesan dari film tersebut tersampaikan.

Film “Mata

Tertutup” ini mengangkat isu radikalisme agama di Indonesia. Memang, radikalisme agama itu jenisnya tidak hanya satu, namun radikalisme yang dibahas pada film ini terfokus pada keberadaan Negara Islam Indonesia (NII) dan aksi terorisme. Satu hal yang kontan membuat film ini menarik adalah, bagaimana seorang Garin Nugroho lagi-lagi mengangkat kehidupan sosial masyarakat Indonesia dalam sinematografinya, yang mungkin, bagi kita rakyat Indonesia itu, ya biasa saja. Padahal, jika kita memandangnya dari sudut ‘orang luar,’ hal-hal tersebut menjadi menarik! Salah satu yang menonjol adalah suasana di bus kota yang selalu riuh rendah, lengkap dengan keberadaan berbagai macam pedagang asongan alat-alat ‘ajaib’ seperti racun tikus super, superglue cepat kering, dsb. Tak lupa keberadaan berbagai pengamen, yang seakan bergantian menghibur seisi bus yang entah sedang menempuh perjalanan jauh, maupun sedang menuju/pulang dari kantor masing-masing. Juga bagaimana bahasa daerah tetap dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dengan kerabat yang masih sama-sama mengerti bahasa daerah tersebut, selain menggunakan bahasa persatuan kita, Bahasa AAAAAA

Indonesia. Hal menarik lainnya adalah bagaimana sutradara mengisahkan orang-orang yang ‘terjebak’ dalam gerakan radikal ini bukan dari sudut pandang pergerakannya. Dibanding memaparkan pergerakan dari sisi ideologi, sistem, serta proses pergerakan itu sendiri, film ini jauh lebih banyak menilik reaksi orang tua yang telah ‘kehilangan’ anak-anaknya sejak mereka berpartisipasi dalam gerakan-gerakan tertentu. Tiga tokoh memainkan kisahnya masing-masing dalam kepingan-kepingan film ini. Mereka adalah Jubir, Ibu dari seorang perempuan bernama Aini, dan Rima. Jubir (M. Dinu Imansyah) merupakan seorang lelaki pesantren yang ingin membahagiakan ibunya. Terlihat dalam film betapa ibu dari Jubir terus menerus disiksa oleh suaminya, terutama secara fisik. Jubir sendiri sering dikata-katai oleh ayahnya tersebut. Ia dianggap tidak berguna dan bisanya hanya menghabiskan uang. Tokoh Jubir akhirnya bertemu dengan seseorang yang merekrutnya untuk melakukan aksi terorisme. Ia tertarik karena merasa, hal itu merupakan satusatunya cara baginya untuk menyucikan dosa-dosanya serta dosa-dosa ibunya. Keikutsertaannya dalam pergerakan merupakan sesuatu yang ia sadari secara penuh, bukan karena paksaan dari pihak mana pun.


KULTUR Lain halnya dengan Aini (sosok Aini tidak ditampilkan dalam film – red), yang berasal dari keluarga yang berada. Ibunya memiliki usaha jahit-menjahit yang cukup sukses. Masalah datang ketika Aini tiba-tiba hilang dengan membawa sejumlah uang. Tidak tanggung-tanggung, Aini hilang hingga tiga bulan. Ibu Aini, yang diperankan dengan sangat baik oleh Jajang C. Noer, setengah mati mencari ke rumah dosen dan teman-teman Aini, hingga membagi-bagikan poster ‘orang hilang’ ke hampir semua orang yang dijumpainya. Lewat berbagai informasi yang ia dapatkan, diduga bahwa Aini telah tergabung dalam NII, sementara sang ibu sendiri tidak tahu-menahu tentang apa itu NII. Satu-satunya yang ia ketahui bahwa, ia telah kehilangan anaknya. Anak satusatunya. Tokoh terakhir kita adalah Rima (Eka Nusa Pertiwi), wanita tipikal superwoman yang sangat kritis dan mau berbuat nyata demi idealismenya. Dengan segala kekritisannya, ia bergabung secara sadar dengan NII. Ketangkasan dan kecakapannya serta semua pengabdiannya terhadap NII membuatnya sukses mengumpulkan sejumlah uang dari orang-orang yang baru ikut bergabung dengan NII atas ajakannya. Ia juga diberi nama panggilan baru, Khansa, yang diambil dari nama seorang Pejuang Muslimah, Khansa Sabiha. Singkat cerita, sesuai dugaan, Rima mengalami berbagai kekecewaan terhadap NII. Sebagian besar adalah akibat tidak dihargainya segala usaha yang dia dan beberapa rekannya lakukan akibat jenis kelamin mereka. Secara garis besar, film ini berhasil memaparkan bagaimana isu radikalisme agama yang terkesan ‘sensitif’ menjadi sesuatu yang ternyata dianggap ‘normal,’ bahkan ‘mulia’ oleh para pengikutnya. Judul ‘Mata Tertutup’ sendiri ingin menggambarkan bagaimana masyarakat umum ‘menutup mata’ atas peristiwa-peristiwa di Indonesia yang dilatarbelakangi oleh radikalisme agama ini. Secara cerdas, Garin Nugroho juga mengambil gambar ketika Rima dan beberapa rekannya sama-sama ditutup matanya ketika mereka dibawa ke ‘markas’ NII, karena mereka

sendiri tidak berhak mengetahui secara pasti, di mana lokasi pusat dari pergerakan tersebut, meski mereka mengikutinya secara sadar. Dapat dikatakan, mereka pun secara tidak sadar ‘menutup mata’ mereka sendiri akan hal-hal yang akan terjadi akibat pergerakan yang mereka lakukan tersebut. Pemilihan pemeran utama yang jauh dari kesan ‘artis ibukota’ pun menjadi salah satu daya tarik tersendiri, bagaimana Garin Nugroho membuat film tersebut sedekat mungkin dengan kehidupan masyarakat Indonesia, yang dalam film ini berfokus di Pulau Jawa. Satu hal yang menarik dan menjadi benang merah dari ketiga kisah yang disampaikan adalah: put yourself in your parents’ position. Bayangkan bagaimana perasaan ibu Jubir, jika ia mengetahui anaknya masuk ke dalam jaringan terorisme dengan mengatas-namakan ‘pengabdian kepada ibunya, agar kelak di surga mereka dapat bertemu kembali. Bayangkan pula bagaimana perjuangan ibu Aini dalam mencari anaknya, hingga di tengah keputus-asaannya ia berkata, “tidak ada satu pun agama di dunia ini yang mengajarkan kita untuk tidak menaruh hormat kepada bapak, ibu, maupun anak-anak kita sendiri... Tidak satu pun.” Bayangkan, bagaimana kedua orang tua Rima mendukung penuh segala kegiatan anaknya, yang memang sejak kecil memiliki ketertarikan dan bakat dalam berorganisasi. Ketika Rima telah dewasa dan mengikuti NII tanpa sepengetahuan mereka, mereka tetap berada di barisan depan atas keyakinan “Rima sudah besar, sudah bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk,” dan lantas memberi uang lebih untuk segala kesibukan Rima, yang sekali lagi, tidak benar-benar mereka ketahui. Mungkin sebagian besar dari kita belum pernah merasakan bagaimana sulitnya menjadi orang tua. Namun yang jelas, apa pun yang kita lakukan, sebisa mungkin pikirkan terlebih dahulu: “how would my parents react?,” sebelum kita benar-benar melakukannya. Bagaimanapun juga, kita bisa sebesar dan semaju ini atas jasa beliau-beliau juga, kan? Gabriella Alodia (PPI Brest)


KULTUR Resensi Buku:

Pulang Leila S. Chudori Siang ini, kami akan memberi penghormatan terakhir pada para mahasiswa yang tertembak kemarin. Suatu peristiwa yang semoga tak dilupakan oleh generasi masa kini (hal.413) Beberapa tahun lalu, saya pernah bicara dengan mahasiswamahasiswa tingkat akhir yang sedang magang di kantor saya. Ketika saya mengungkit tentang peristiwa 13 Mei 1998, wajah mereka sungguh-sungguh kosong dan mereka tak mengerti kenapa saya begitu berapi-api membahasnya. "Tapi kalian kan mahasiswa? " "Tapi waktu itu kan saya baru SMP Mbak... " "Ya pernah denger sih...tapi nggak paham. " Padahal obrolan kami berlangsung tak sampai 10 tahun setelah peristiwa itu terjadi. Dan mereka adalah mahasiswa jurusan komunikasi/jurnalistik. Saya yakin tidak semua mahasiswa buta sejarah. Tapi sungguh mengerikan betapa mudah kita melupakan sejarah. Mahasiswa-mahasiswa ini tak menyadari bahwa ada sesama mahasiswa yang harus berkorban nyawa sehingga kini mereka bisa menikmati alam kebebasan yang mereka reguk dengan begitu mudahnya. Aneh sekali, suasana di DPR siang itu terasa agak festive. Rasanya aku tak percaya baru beberapa hari yang lalu telah terjadi kerusuhan dan kekejian di negeri ini. Makanan dibagikan, minuman berkardus-kardus disebarkan. (hal.439) Pulang memberikan pengalaman membaca yang luar biasa bagi saya. Mungkin karena saya sedikit banyak ikut merasakan ketegangan di masa yang menjadi latar belakang paruh kedua novel ini. Namun pada saat bersamaan saya seperti tengah menonton Indonesia dari luar kotak. Selama membaca saya kerap membatin, seperti inikah Indonesia saya? Mungkin selama ini saya terlalu nyaman tinggal di dalamnya, sehingga tidak menyadari berbagai penyakit yang menggerogotinya. Mungkin saya harus terdampar di luar negeri seperti Dimas Suryo dan kawan-kawan, untuk bisa melihat negeri tercinta ini dengan lebih jernih. Kembali saya angkat topi untuk penulis-penulis seperti Leila, yang dengan karyanya membuka mata kita tentang perjalanan sejarah Indonesia, dengan cara yang mudah dicerna. Karena kita mudah lupa. Kadang malah memilih untuk lupa. Pulang adalah suara kegelisahan anak negeri. Pulang adalah keyakinan bahwa sejauh apa pun melangkah, tanah air adalah tempat kembali untuk selamanya. Penulis Barokah Ruziati (kontributor) Novel Pulang juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh Michel Adine et Éliane Tourniaire dengan judul Retour. Mau coba mengenalkan sejarah Indonesia kepada temanteman frankofon ? Novel ini bisa dipesan melalui e-mail ke Éditions Pasar Malam, afi.pasar-malam@wanadoo.fr


KULTUR www.irsalinasalsabila.wordpress.com

Blog Irsalina

Alumni Institut Teknologi Bandung dan École Nationale Supérieure des télécommunications de Bretagne, Irsalina menulis blog yang berbagi pengalamannya selama sekolah dan bekerja di Prancis. Ingin tahu bagaimana dunia kerja di Prancis? Bagaimana cara memilih sekolah yang tepat? Pengalaman dan opini pribadinya bisa menambah wawasan mengenai kehidupan di negara Napoleon.

Blog Icha Ayu


KULTUR www.icha-ayu.blogspot.fr Mahasiswi S2 jurusan Informasi dan Komunikasi di universitas Pantheon-Assas sekaligus pemimpin redaksi Salut! tahun ini, Icha Ayu mempunyai blog pribadi yang berisikan perjalanan-perjalanannya menjelajah Eropa dan Indonesia beserta karya dan opini pribadinya. Ditambah lagi, Icha juga seorang novelis yang sudah menerbitkan 3 novel. Ditulis secara pribadi dengan celotehan-celotehan gurih mengajak pembaca untuk ikut berinteraksi.


LA LANGUE DE MOLIERE

Virelangue “Bahasa Prancis itu susah banget pronounciation-nya !” “Yang dibaca sama yang ditulis nggak nyambung sama sekali.” “ Ampun deh bikin mimisan belajar bahasa Prancis itu !” Pastinya untuk yang pernah atau pun sedang belajar bahasa Prancis sudah tidak asing lagi dengan keluhankeluhan seperti itu. Ada yang menyerah dan akhirnya berhenti belajar, namun tidak sedikit pula yang merasa tertantang akhirnya jadi lancar dengan bahasa yang katanya romantis ini. Salut! edisi kali ini akan memberikan beberapa “virelangues” alias “tongue twister” yang bisa berguna untuk melatih pelafalan bahasa Prancis yang tentunya sangat berbeda dengan bahasa Indonesia.

Bunyi [ ʃ ] comme dans chat dan [s] comme dans super Son chat Sacha chante sa chanson sans son Un chasseur sachant chasser doit savoir chasser sans son chien Les chaussettes de l'archiduchesse sont-elles sèches? Archi-sèches! Masih belum pegal juga lidahnya ? Ada beberapa latihan lagi yang harus dicoba ! Buat yang masih suka bingung dengan pelafalan bunyi [v] bisa latihan dengan virelangue ini :

Bunyi [v] comme dans vie Vends, vendons, vestons, vestes et vareuses vieilles et vétustes Sudah bisa melafalkan bunyi [v] ? Tahu dong pastinya bedanya dengan bunyi [f] comme pharmacie ? Le vent fou vient fanfaronner Vieille femme veuve et fiévreuse vend des fèves Last but not least, ini dia salah satu bunyi paling absurd di bahasa Prancis, yang buat ngucapinnya harus siapsiap monyong ☺

Bunyi [y] comme dans salut atau [u] comme dans beaucoup Une tortue sourde court sur un mur. Nous l’avons vu le jour où elle a chuté dans la rue Tentunya, bukan tongue twister apabila belum berhasil membuat lidah kita jungkir balik, jadi jangan menyerah sebelum mimisan #eh. Bon courage! Icha Ayu (PPI Paris)


LA LANGUE DE MOLIERE

Komentar tengtang Bahasa Prancis Katarina Ningrum Murid Institut Français d'IndonÊsie Bandung Bahasa Perancis menantang lafal banget! Hahaha. Tapi seru dan diomongnya enak. Romantis? Lumayan! Cuma butuh keberanian buat ngomong langsung sama pemilik bahasanya.

Andini Ekaputeri Mantan mahasiswi Indonesia di Jenewa, Swiss Impresi denger bahasa Prancis pas belum tahu apa-apa : keren, seksi, apalagi kalau eja "R". Ahhh, leleh hati ini. Begitu suda belajar, dan 4 taun di Jenewa masih nggak pinter-pinter, mulai capek. Ngerti sih ngerti, susah tapi mau ngomong baliknya karena ini lidah balelol ama bahasa Indonesia dan Inggris. Sekarang tinggal di New York, berhubung bahasa nationalnya ternyata spanish, bersyukur sih bisa Prancis, karena banyak kata-kata spanish yang sekilas mirip. Jadi sampai hari ini Prancis masih balelol, tahu-tahu jadi ngerti kalau denger spanish.

Fahmi Hendriawan Mahasiswa jurusan bahasa Prancis, Universitas Negeri Jakarta Bahasa Prancis itu USEFUL banget! Kepakai di mana-mana dan malah bisa jadi sarana unjuk bakat. J'aime parler et pratiquer le francais dans ma vie quotidienne! Depuis, cela a change mon point de vue sur le monde qui est actuellement plus vaste qu'avant


FOTO EDISI INI Diambil oleh : Gabrielle Alodia Journée ensoleillée en Bretagne ? C'est rare ! Itulah mengapa, begitu melihat mentari bersinar terang ditemani langit biru cerah, tiga orang pemudi Brest yang enerjik dan cenderung hiperaktif ini lantas tidak bisa diam! Berbekal tiket pergi-pulang seharga 3€ saja, hari Sabtu, 21 Maret 2015 lalu, spontan menjadi hari yang tidak biasa. Ekspedisi singkat GR 34 dari Pointe Saint-Matthieu menuju Le Conquet, diselingi aksi tidur-tiduran cantik ala Teh Syahrini di pinggir tebing membuat akhir dari pekan yang padat itu bak liburan musim panas. Allez ! Le soleil, les vacances sont arrivées !

Diambil oleh Putra Eka La joie est le soleil des âmes ; elle illumine celui qui la possède et réchauffe tous ceux qui en reçoivent les rayons (Carl Reysz)

Diambil oleh Putra Eka La pâquerette adalah bunga salah satu jenis bunga daisy yang banyak bermunculan pada saat musim semi. Bunga kecil dengan nama latin Bellis perennis yang memiliki arti cantik dan abadi ini juga sering dijadikan sarana untuk meramal dan mengukur cinta dengan petal bunganya : je t'aime, un peu, à la folie, pas du tout !


FOTO EDISI INI Diambil oleh Icha Ayu Matahari berpengaruh banyak pada mood orang-orang di negara Eropa. Banyak yang tadinya malas tersenyu menjadi jauh lebih ramah saat matahari mulai bersinar dan cuaca sudah mulai menghangat. Parc André-Citroën adalah salah satu taman di Paris yang banyak dikunjungi oleh les parisiens untuk berjemur di bawah cahaya matahari. Jangan lupa juga naik balon udara untuk melihat pemandangan Paris dari ketinggian 150 meter.

Diambil oleh Viniani Ayo uji peruntunganmu disini! Casino de Monte Carlo, Monaco. Kasino ini masuk kedalam daftar tempat judi termewah di dunia. Selain itu, tempat ini sempat masuk kedalam scenes film animasi Madagascar 3: Europe's Most Wanted. Disini kita bisa bermain craps, blackjack, dan rolet. Selain itu, bangunan yang dibuka pada tahun 1863 ini merupakan markas bagi Balet de Monte Carlo.

Diambil oleh Icha Ayu Karya seni dari Frédéric Baron dan Claire Kito ini dapat ditemukan di square Jehan Rictus, place des Abbesses à Paris Montmartre. Selama 15 menit duduk di depannya, saya berhasil menemukan 5 bahasa dari Indonesia : B. Indonesia, B. Sunda, B. Jawa, B. Manado, dan B. Padang. Mari mencari Je t'aime, Saya cinta padamu ditulis sebanyak 1.000 kali dalam lebih dari 300 bahasa !

Ingin hasil jepretanmu dimuat di Salut Edisi berikutnya? Kirimkan foto beserta keterangannya ke salut.ppi@gmail.com siapa tahu foto kamu bisa menjadi cover kami berikutnya.


AGENDA

Le musée national des arts asiatiques – Guimet menawarkan pameran dengan tema 2000 tahun teater di Asia. Pameran yang berlangsung sejak tanggal 15 april hingga 31 Agustus ini menampilkan beragam kostum, wayang, hingga topeng dari beberapa negara di Asia Tenggara dan Tiongkok.

Sabtu, 13 Juni 2015 di Place bellecour Lyon, PPI Lyon kembali berpartisipasi dalam acara Fêtes des Banniéres 2015. Acara ini merupakan festival budaya tahunan yang mengundang representasi berbagai asosiasi dan konsulat Negara asing yang ada di kota Lyon.

14 Juni 2015 Ikatan Keluarga Franco Indonesia (IKFI) menyelenggarakan acara Indonesian Day di Kedutaan Besar Indonesia di Paris. Acara yang berlangsung dari jam 14-17 ini menyajikan ragam tarian daerah dan tentunya, masakan Indonesia. Tiket seharga 5€ untuk bukan anggota dan 3€ untuk anggota dapat dipesan langsung melalui cek kepada asosiasi IKFI di 25 avenue René Coty 75014 Paris.

15 – 20 Juni 2015 Gemar menonton film animasi ? Festival Film Animasi di Annecy bisa menjadi pilihan. Le Festival d'Annecy sudah menajdi referensi dalam dunia animasi internasional. Ditambah lagi kecantikan kota yang berada di tengah pegunungan Alpen ini juga bisa menajdi referensi tempat liburan untuk menghirup udara segar pegunungan. Info lengkap bisa dilihat di http://www.annecy.org/


AGENDA

Acara yang pastinya tidak boleh dilewatkan adalah fête de la musique alias pesta musik. 21 Juni merupakan hari terpanjang dalam satu tahun di mana setiap sudut kota dikelilingi oleh para pemusik. Jangan lupa lihat agenda fête de la musique di kota mu dan pastikan untuk menikmati beragam konser yang siap menghiburmu.

C'EST LES SOLDES !!! ☺ 24 Juni - 4 Agustus 2015

Rendez-vous du 22 juillet au 23 août 2015 sur la Prairie du Triangle di Parc de la Villette. Setiap tahunnya taman di utara Paris ini selalu menampilkan cinéma plein air alias layar tancam gratis bagi penduduk ibu kota. Piknik di atas rumput hijau sambil menyaksikan film favorit bersama sahabat-sahabat tentu bisa menjadi pilihan untuk menghabiskan musim panas di Paris.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.