Ruang17

Page 1

Ruang17


www.ruang17.wordpress.com


Pembaca yang baik, di tangan anda saat ini adalah sebuah majalah yang berisi lima liputan yang ditulis dalam bentuk cerita, beberapa tentang material, arsitektur instalasi, dan sosok yang selama ini jarang dimunculkan. Cerita tentang Maryono, misalnya. Ditambah dengan satu review buku arsitektur yang bagus untuk dibaca, dan diakhiri dengan Tanya-jawab.

Lima liputan dalam majalah ini sudah pernah dipublikasikan pertama kali di blog ruang17, sebuah blog arsitektur yang saya buat sejak April 2010. Dua tahun blog itu berjalan dengan liputan yang singkat, beberapa malah hanya berisi foto dengan penjelasan yang minim. Di tahun 2013, tahun ke tiga blog ruang17, saya mencoba membenahinya. Salah satunya melalui model liputan dalam majalah ini. Sekian, Saya persilahkan membacanya.

admin, blog ruang17 Muh Darman



Cerita Utama


6

BENNI DI TEGEL KUNCI Muh Darman Muh Darman

S

UATU HARI YANG CERAH saya menemani seorang arsitek bertemu klien barunya, ia orang yang sangat sibuk dan seperti tak punya banyak waktu untuk diskusi, tentang rumah yang akan ia bangun, ia langsung menanyakan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membangun rumah ini, arsitek di sampingku diam sebentar, seperti menghitung waktu, arsitek ini kemudian menjawab “saya belum bisa memastikan, tapi yang saya tahu, untuk pengerjaan lantai saja, mesti menunggu lima bulan hingga tegel yang dipesan datang.â€? Saya 100% yakin klien barunya ini akan berkata; terus gue harus bilang WOW gthu?, Tapi cepat-cepat ia menutupi keterkejutan itu dengan hanya bilang Ooo‌ Tegel yang dimaksud adalah Tegel cap kunci Jogja. 2 oktober 2012, kereta berhenti di stasiun Tugu Jogja setelah menempuh sekitar 390km perjalanan dari Bandung. Seorang tukang ojek menghampiri ketika saya baru saja keluar dari pintu



8 Benni di Tegel Kunci . ruang17

timur stasiun, saya tanya apa ia tau jalan KS Tubun no.95? ia langsung menjawab sepuluh ribu saja. Saya mengartikan ia tahu. Usianya cukup tua, wataknya bersahajah, dan seperti menjalani hidup dengan santai, ia tidak terburu-buru mengendarai motor dan cukup tenang mencari alamat yang dituju. “pokoknya di depan bangunan ada tulisan pabrik tegel dan beton kunci, pak” saya menerangkan sebentar sebelum akhirnya sampai. Saya sedikit lebih beruntung bisa berkunjung langsung ke pabrik tegel ini, kebanyakan pengguna hanya memesan tegel lewat telepon dan mengirim gambar denah lewat internet. Kemajuan teknologi mempersingkat hidup tapi juga menghilangkan kesempatan-kesempatan lain, kesempatan melihat dan memahami proses. Saya menyampaikan demikian ketika seorang penanggung jawab pabrik menanyakan maksud kedatangan saya. Benni, laki-laki kulit hitam bertinggi sekitar 170cm ini adalah orang yang bertanggung jawab di pabrik tegel kunci ini. Tamu yang datang ia terima dengan sikap ramah dan terbuka. Ia perantau dari Indonesia timur yang mencari pekerjaan di jogja, eman tahun sudah ia bekerja di pabrik ini. Pengetahuan pembuatan tegel kunci ia dapati secara otodidak, “dari setiap pengalaman, terdapat pelajaran,” ia mulai serius, saya mulai fokus. Di teras depan pabrik, benni bercerita tak hanya soal pembuatan, ia juga lancar bercerita sejarah pabrik yang selesai dibangun 1927 ini. “meski sudah selesai dibangun 1927, tapi pabrik baru mulai beroperasi dua tahun setelahnya, 1929” benni lanjut bercerita. Saya mulai merekam setiap detailnya. Didirikan pertama kali dengan nama pabrik Midden Java oleh dua orang belanda, Louis Maria Stacker dan Julies Gerrir Corrane. Tapi tanpa alasan yang benni tak tahu, tahun 1931 Julies Gerrir Corrane mengundurkan diri dan 50% sahamnya digantikan oleh Ir.Liem Ing Hwie, seorang tionghoa. Pada penjajahan Jepang sekitar tahun 1942 banyak warga negara Belanda pergi meninggalkan Indonesia. Tak terkecuali dengan Louis Maria Stacker, Ia juga pergi meninggalkan Indonesia, sehingga keseluruhan pabrik kemudian

dimiliki oleh Liem Ing Hwie. Tapi kepemilikan Liem Ing Hwie hanya bertahan tiga tahun, pada masa kemerdekaan 1945 pabrik ini diambil alih oleh pemerintah, dan baru pada 1947 dikembalikan lagi kepadanya. Pabrik ini sempat berhenti produksi pada tahun 1949 karena adanya agresi militer Belanda, kegiatan produksi baru mulai lagi tahun 1950. Pada 1957 pemerintah mengambil alih semua perusahaan yang pernah di miliki Belanda tidak terkecuali Midden Java. Pada 1963 Firma Tegel Fabrik Midden Java oleh Pemda Daerah Istimewah Yogyakarta diganti nama yang hingga kini terkenal dengan nama pabrik Tegel dan Beton cap Kunci. Tahun 1973 perusahaan dikembalikan kepada ahli waris Ir.Liem Ing Hwie Yaitu Keluarga bapak Suleiman. “Kadang ada saja orang yang tidak tau bahwa tegel ini masih diproduksi, mereka biasanya kaget” kata benni “tapi tidak mesti bilang WOW


ruang17 . Benni di Tegel Kunci

9

dalam pabrik / suasana tegel kunci Jogja, tampak

pekerja sedang mengerjakan proses pewarnaan tegel bermotif.

gthu” ia mulai menjelaskan dengan ringan, saya mulai tenang. Kekagetan itu dianggapnya wajar saja, “mungkin karena tegel ini terlihat antik” kata benni, menjelaskan sembari mengajak saya masuk melihat proses pembuatan.

R

uang dalam pabrik ini dipenuhi rak-rak penyimpanan tegel, hanya tersisa sedikit ruang untuk pekerja, usia mereka beragam. Dua puluhan hingga 30-an. Beberapa dari mereka asik bekerja sambil sesekali mengikuti syair lagu yang terdengar dari radio. “Suasana memang dibuat senyaman mungkin, sebab pembuatan tegel di pabrik ini punya cara yang lain, cara yang kadang sulit dipahami oleh pabrik modern yang menuntut kecepatan dalam jumlah yang banyak, proses pembuatan tegel kunci di sini masih handmade, mungkin karena itu kami harus menjaga perasaan pekerja dengan

membuat suasana yang nyaman, saya yakin, musik dapat menciptakan suasana”. Ah, benni mulai serius lagi. Tahun 1997 pabrik ini hampir tidak dapat bertahan karena persaingan dalam pasar modern. Pada waktu itu pabrik ini seperti mati suri hingga menimbulkan kekhawatiran kelangsungannya. Hingga suatu hari, seorang pengrajin dari seni logam institut seni indonesia tertarik mempelajari cetakan motif tegel kunci. Mega, namanya. Perempuan ini memperbaiki cetakan motif tegel kunci yang terbuat dari logam, setelah mencoba membuat dan berhasil, ia lalu bertemu ahliwaris pabrik dan mencoba membantu manajemen untuk revitalisasi dengan fokus pada pasar artistik sekarang. Mereka pun bekerjasama memperbaiki cetakan lama dan membeli mesin dari pabrik yang sudah tidak beroperasi. “Halo selamat pagi…” tiba-tiba benni menerima telepon, “motifnya saja yah pak,


10 Benni di Tegel Kunci . ruang17


ruang17 . Benni di Tegel Kunci

dalam pabrik / suasana tegel kunci Jogja, tampak tegel motif telah jadi.

11


12 Benni di Tegel Kunci . ruang17

sekitar 82 meter itu empat bulan, pak” “Ada klien yang barusan telpon” benni lanjut bercerita, “awalnya mereka mau pesan 710 meter tapi tidak jadi karena mendengar kami baru bisa selesai mengerjakannya delapan bulan. Karena deadline mereka empat bulan, mereka lalu menguranginya dan hanya pesan 82 meter untuk yang motif saja. Ini yang kadang-kadang menjadi permasalahan,” benni mulai curhat. “Yah kadang-kadang begitu, mas. Harusnya kami dapat order banyak jadi berkurang karena waktunya sedikit” lanjutnya “Kami juga kadang tidak enak ke klien, awalnya sudah janji tida bulan nanti kenyataannya mundur dua minggu hingga satu bulan. Tapi kita mengusahakan tepat waktu.” Belajar dari pengalaman kapasitas pabrik lama yang kurang memenuhi jumlah pemesanan, pabrik tegel kunci lalu membuat pabrik baru, “bangunannya sudah jadi, mungkin akan beroperasi awal tahun 2013,” lanjutnya. Benni menemani saya melihat proses pembuatan, khususnya pada bagian tegel motif. Tegel kunci terkenal karena jumlah motifnya yang terbilang banyak, “jumlahnya ada 100 motif, mas” kata benni, menerangkan “Kadang orang tidak perlu datang ke jogja untuk pesan, mereka bisa hanya mengirim gambar denah dan memilih motif yang akan diterapkan di denahnya. Prosesnya pun agak lama, mungkin karena jumlah pilihannya yang banyak” Mendengar ceritanya, saya jadi sedikit merenung; banyaknya pilihan dalam hidup seharusnya membuat manusia lebih bahagia, faktanya, justeru membuat hidup lebih rumit dan membingungkan. Sebuah paradoks. Berbenturan dengan kultur deadline proyek sekarang yang ingin cepat selesai dan tak mau menunggu lama, pemesan lalu biasanya hanya datang dari arsitek-arsitek yang cukup idealis dengan proyek rumah pribadi. Benni mulai menyebutkan nama-nama arsitek Indonesia yang dimaksudnya, mulai dari Yori antar, Budi lim, Andra martin, Marco kusumawijaya, hingga arsitek sekaliber Eko prawoto. “tapi Yori antar yang paling sering” katanya, menambahkan. Mereka mesti menunggu dalam jangka waktu yang cukup lama, tergantung dari antrian

produksi, jika order semakin banyak, antrian juga banyak. Untuk seratus meter, biasanya mereka mesti menunggu 4-5 bulan. “Karena ini custom jadi kami tak ada stok barang.” lanjutnya. Beberapa pemesan memaklumi dan mengerti, selain karena pembuatannya yang masih manual, pengeringan tegel juga masih tergantung pada cuaca. “Jika hujan, kami menggunakan bantuan kipas angin untuk pengeringan” lanjutnya lagi. Di ruang dalam pabrik ini, Benni mulai menerangkan lebih spesifik cara pembuatan tegel, tidak mudah ternyata. Prosesnya cukup rumit dan butuh kesabaran. Benni seperti juru masak yang lancar menerangkan; pertama-tama tuangkan adonan basah, dilanjutkan dengan adonan kering lalu masukkan ke mesin press, “ya seperti masukan kue ke oven aja” katanya, bercanda. Setelah keluar dari mesin press, tegel lalu dianginanginkan setengah hari sebelum kemudian direndam di air selama satu sampai dua hari, “untuk merapatkan pori-pori tegel dan memperkuat strukturnya sehingga tak mudah pecah” lanjutnya. Setelah itu dikeringkan selama tiga sampai empat hari lalu kemudian dibawa ke gudang. Benni menunjuk satu ruang di depan, di ruang itu, tegel pun siap dikirim. Pengetahuan pembuatan tegel ini dipertahankan turun temurun persis seperti jaman dulu, mereka memperbaiki cetakan lama peninggalan belanda, juga dengan membeli mesin pabrik lain yang sudah tak beroperasi. Karena proses pembuatan handmade inilah yang kemudian menjadikan tegel kunci ini bisa bertahan di saat orang sudah mulai jenuh dengan produk pabrik. Regenerasi juga dilakukan dari tukang yang tua ke tukang yang muda. Ketika saya menanyakan apa kesulitan proses pembuatan, benni hanya menerangkan pada bahan pewarna masih impor dari Belanda, “di Indonesia bahan ada tapi kualitas kurang baik” Katanya, menjelaskan. “juga pada teknik pewarnaan, pemakaian warna yang setelah dicampur langsung dipakai akan berbeda dengan pemakaian warna yang sudah dicampur lama 1-3 hari” kata benni “warnanya berbeda meski bahan sama” Seluruh ruang dalam pabrik sudah kami jelajahi, setiap sudut sudah saya rekam dan foto.


ruang17 . Benni di Tegel Kunci 13

Ruang penerima tamu pabrik Tegel kunci Jogja, tampak sejumlah tegel motif dipajang sepanjang dinding ruangan.

“banyaknya pilihan dalam hidup seharusnya membuat manusia lebih bahagia, faktanya, justeru membuat hidup lebih rumit dan membingungkan. Sebuah paradoks” Sebuah bangunan pabrik yang sederhana dan fungsional, nyaris tak ada akrobat geometris yang mengada-ngada. Kami sama-sama meninggalkan ruang dalam pabrik. Di teras depan menjelang waktu istirahat, kami lanjut duduk bercerita tentang hal remeh-temeh dan akhirnya sampai juga ke soal hantu. Menurut benni, bangunan pabrik ini punya ‘penghuni’ dari dunia lain. Tapi dia dan pekerja pabrik tegel tidak keberatan hidup berdampingan dengan hantu. Sebab mereka terbiasa bergaul dengan berjenisjenis hantu. Tapi hantu genderuwo bukan hantu pada umumnya. Hantu jenis ini tidak ingin tinggal berdampingan dengan manusia. Mereka ingin membangun negeri hantu. “mungkin mereka ingin pakai tegel kunci juga” katanya, tertawa. Diakhir-akhir obrolan, benni sedikit banyak bercerita tentang tips memasang tegel yang baik, seperti proses pemolesan yang semestinya dilakukan satu bulan setelah dipasang, “menunggu tegel kering” katanya.

“Teorinya begini,” kata benni “tegel memang sudah kering, tapi jika dipasang dengan adukan semen, tegel kembali basah, karena tegel punya pori-pori dan penguapan masih berlangsung setelah pemasangan. Kira-kira satu bulan tegel baru benar kering dan pemolesan pun boleh dilakukan.” Saya pun menangkap maksudnya, ia ingin bilang kalau tegel kunci ini bukan barang ‘sembarangan’, ia sering menolak pemesan yang meminta cepat 1-2bulan mesti produksi 100meter. “saya ingin tetap mempertahankan kualitas, bukan kuantitas” kata benni, mengakhiri. Langit Jogja mulai gelap ketika saya pamit pulang, cuaca akhir-akhir ini memang sulit diduga, gemuruh mulai terdengar di langit. Berjalan keluar pabrik saya menoleh sekali ke belakang, saya melihat benni memandang ke langit mendung di atas sebelum menjatuhkan pandangannya ke ruang pengeringan tegel, seperti ada harapan dalam pandangannya, mungkin pemesan tegel mesti lebih sabar menunggu.



Pameran Eko Prawoto Dan Cerita Instalasinya


Teks: Muh Darman. Foto: Muh Darman & Dokumentasi Eko Prawoto.


ruang17 . Yogyakarta di bulan desember 17

foto suasana instalasi dalam ruang pameran, nampak Eko Prawoto sedang berdiskusi dengan pengunjung.

C

uaca Yogyakarta mulai dingin oleh gerimis yang turun sore ini, orang-orang mulai mencari tempat berteduh di sekitar titik Nol kota yang ramai di akhir minggu, beberapa terlihat berpasangan, beberapa terlihat sendiri seperti sedang mencari. Kemana pasanganmu? apa yang sedang kau cari? Dan Yogyakarta seperti bernyanyi dalam benak saya; walau kini engkau telah tiada kan kembali, namum kotamu hadirkan senyummu yang abadi. Tapi akhir minggu ini saya tidak sedang ingin pacaran, melankolis di waktu ini bukanlah hal yang tepat, jadwal pacaran bentrok dengan jadwal pameran seorang arsitek; EKO PRAWOTO, GEDUNG EX DE JAVASCHE BANK, TITIK NOL KOTA YOGYAKARTA. 15 desember 2012. Pukul lima sore; saya masuk ke dalam ruang pameran, di luar gerimis mulai turun. Ini pengalaman pertama saya melihat pameran dan instalasi karya arsitek eko prawoto, meski sebenarnya ini bukanlah kali pertama ia mengadakan pameran. Sebelumnya, di

usianya yang tepat ke-50, ia pernah mengadakan pameran dalam bentuk rangkaian acara bersama teman-teman senimannya, empat tahun lalu. Bangunjiwo Yogyakarta, 7 agustus 2008. Meski rambut hitamnya belum digerogoti uban, tapi perawakannya berkata ia tak lagi muda. Usianya sudah lima puluh tahun, ia punya selera berpakaian yang rapih dan bagus, terkadang warna hitam polos pakaiannya membuat ia seperti ahli silat yang baru turun gunung, apakah ia pernah mencoba bertapa? atau berguru pada seseorang yang sakti? -saya bertanya dalam hati. Tapi mungkin ialah satu-satunya arsitek yang menarik perhatian saya dari sekian arsitek indonesia yang menyimpan sejumlah keunikan, tak hanya karya-karya arsitekturnya, tapi juga tentang karya-karya instalasinya. Sebenarnya ia sosok yang paradoks, terkadang “ia eksis justru karena ada sesuatu dalam dirinya yang absen.� Tulis sitok srengenge dalam sebuah kado ulang tahun. Sitok srengenge adalah satu dari sejumlah seniman yang merasakan sentuhan


18 Yogyakarta di bulan desember . ruang17

kreatif arsitek eko prawoto pada desain rumahnya. Berada di tengah hutan yang nyaris tanpa tetangga, pengalaman memasuki rumahnya seperti pengalaman keluar rumah, ruang luar dan dalam begitu cair hingga kita tak lagi mengerti di mana batas ruang. Mungkin sesekali arsiteknya akan mengingat perkataannya bahwa manusia hanyalah seorang yang lewat di alam. Dan memang alam menjadi bagian dari kehidupan yang terus menginspirasinya, juga mengenai prinsip kehidupan yang paradoks dimana ia eksis justru karena ada sesuatu dalam dirinya yang absen. “Daun luruh demi bunga. Lalu bunga gugur demi buah,” Seperti berpuisi, sitok srengenge mencoba menggambarkan proses kreatif arsitek rumahnya, Eko prawoto, “begitu pula dalam budaya, aktivitas manusia, setiap pencapaian masyaratkan kerelaan atas hilangnya sesuatu. Selalu. Sikap rela atas kehilangan itu bisa juga dimaknai sebagai syarat, tebusan, usaha, pengorbanan.” Tulis sitok srengenge yang turut berpartisipasi merayakan ulang tahun eko prawoto dengan meminjamkan lahan rumahnya di Bangunjiwo sebagai tempat instalasi. Arsitek Eko prawoto memang dikenal sebagai arsitek rumah sejumlah seniman di yogyakarta, sebut saja aktor Butet kartaredjasa, musisi Djaduk ferianto, penyair Sitok srengenge, hingga pelukis sekaliber Nasirun pun pernah merasakan sentuhan kreatif arsitek kelahiran Purworejo 13 agustus 1958 ini. Kini, di usianya yang sudah setengah abad, ulang tahun pun dirayakan dengan sebuah rangkaian acara, satu di antaranya; instalasi. “Sebenarnya saya tidak punya rencana khusus untuk ulang tahun saya” Eko prawoto menerangkan “Ini tidak akan sangat menarik untuk menampilkan gambar saja. Oleh karena itu saya mendekati teman-teman seniman saya.” Katanya dengan nada bersahajah. Kedekatannya dengan beberapa seniman Yogya diakuinya memberi wawasan pemikiran yang baru, ia juga menemukan bahwa kegiatan berkesenian ini dibutuhkan untuk memaknai kehidupan, “kesenian kontemporer tidak hidup untuk dirinya sendiri melainkan hubungan timbal balik yang positif dengan sekitarnya” katanya. Dan ia melakukannya melalui instalasi. Berbeda ketika mendesain sebuah rumah, di-

mana ia sering dihadapkan pada aspek-aspek yang fungsional, pada karya instalasi ia nampak lebih banyak bereksplorasi pada proses dan nilainilai kehidupan yang diartikulasikan. “karena instalasi sifatnya relatif pendek, maka kita tidak bisa merencanakan secara fungsional semuanya di depan, tapi instalasi itu merupakan suatu struktur yang terbuka pada kemungkinan aktifitas yang akan terjadi” katanya menerangkan. Untuk karya instalasi ulang tahunnya yang kelimapuluh ini, ia membuat dua seri; Leng dan Lung. Tapi saya melihat pada Lung saja, karena dialah arsitek indonesia yang menurut saya paling terobsesi pada bentuk Lung, yang merupakan perpanjangan dari pangkal. Pada kunjungan ke beberapa karyanya, saya banyak menemui bentuk Lung perpanjangan pangkal tadi, hingga bentuk itu kemudian terulang lagi pada karya instalasinya. Maka, saya mulai mencari dan bertanya dalam hati; apa sebenarnya arti Lung bagi Eko prawoto? Seorang perenung Jawa, Ki Ageng suryamentaram, pernah menggunakan Lung sebagai perlambang sikap hidup yang adaptatif: genah wayah, empan papan. Yang berarti bagaimana kita membawa dan menempatkan diri secara tepat saat dan tapat tempat. Dari situ saya sedikit mengerti, instalasi Lung yang ia buat di usia ke-limapuluh tahunnya ini, selain menjadi media pentas teater garasi, juga mungkin adalah gambaran titik refleksinya. Seperti ajaran tentang mulur-mungkret yang, selain mengandung petuah tentang kemampuan ber-iritabilita, juga bisa ditafsirkan sebagai sikap skeptis yang selalu mempertanyakan kembali sebagai yang sudah ada dan yang akan diadakan, demi kematangan pemikiran dan tindakan. Pukul enam magrib; Eko prawoto, istri dan anaknya hadir dalam acara pameran ini. Tapi saya tidak melihat anak pertamanya, Bara prawoto, di mana dia? Setelah pertanyaan itu saya jadi teringat, suatu hari minggu di musim hujan 2010, saya pernah berkunjung ke rumahnya. Hari itu, Eko prawoto nampak sedang bersiap menerima tamu mahasiswa dari Palu, Sulawesi Tengah. Kami ngobrol sebentar sebelum akhirnya


ruang17 . Yogyakarta di bulan desember 19

beberapa mahasiswa datang. Di ruang studionya yang terletak di atas garasi rumahnya, saya ikut membaur melihat beberapa slide presentasi yang ia tampilkan ke tamu mahasiswa di depannya, seperti dosen yang memberikan kuliah, ia nampak terbiasa membawakan materi presentasi. Wajar saja mungkin, karena tak hanya sebagai arsitek, ia juga adalah dekan dan dosen arsitektur UKDW Yogyakarta. Mereka berdiskusi, saya asik sendiri. Duduk di belakang bersama anak pertamanya, Bara prawoto, kami asik bercerita ngalar-ngidul soal motor, soal iphone, soal macbook, soal fotografi, dan soal-soal selain arsitektur. Kadang kami lupa waktu, ayahnya di depan seperti memanggil mematikan infokus. Diskusi selesai, para mahasiswa tamu pamit melanjutkan perjalanan. Ruang studio telah kosong, makanan ringan untuk tamu telah dihabiskan. Saya pun ikut-ikutan pamit karena gerimis mulai turun, Bara mengeluarkan motor, berniat mengantar saya ke stasiun. “Makan dulu yuk, man” katanya dalam perjalanan. Saya mengiyakan, mungkin percakapan di rumahnya tadi belum cukup. Kami lantas lanjut ngobrol sambil makan soto di sekitaran stadion Mandala krida Yogyakarta. “Sebenarnya karya ayah tidak semuanya bagus, nanti sebelum ke stasiun bisa singgah lihat karyanya, kalau lihat, kamu pasti enggan tuk percaya itu karya Eko prawoto” Bara mulai bercerita sambil sesekali menikmati soto ayam di depannya, kali ini ia banyak bercerita tentang karya arsitektur ayahnya. Ketika saya tanya tentang karya instalasi, ia hanya berkata “lebih banyak terbangun di luar negeri, man. Di dalam sedikit.” Katanya dengan nada kecewa. Cuaca di luar gerimis, Yogya musim hujan, kami sama-sama menikmati soto yang hangat dan lanjut ngobrol sebelum ia menantar saya ke stasiun. Tapi siapa yang harus menimbang perasaan kecewa tadi? Akhirnya saya juga yang harus mencari tahu. Sebab saya yang terlambat mengetahui, ketika dunia luar sudah lebih dulu menghargai, sejak tujuh tahun yang lalu, jauh dari Indonesia. Musim semi, Italy, 2003. Di tengah perjalanan kereta dari Roma menuju

Florence, Eko pratowo duduk dan melihat pemandangan di luar, ia nampak bahagia, tahun ini ia adalah satu dari sekian peserta yang diundang dalam acara Arte Architettura Paesaggio, sebuah acara yang diselenggarakan oleh Associazione Arte Continua dari San Gimignano yang mencoba membentuk keseimbangan baru antara desa dan kota, dan juga menciptakan hubungan baru antara Seni, Arsitektur dan Landscape. Ini adalah tahun ketiga sejak pertama kali diadakan pada 1996, setiap tahun seniman internasional dari enam negara berbeda diundang untuk merancang sebuah proyek khusus untuk tujuan mempromosikan wilayah, para seniman menghabiskan beberapa waktu di deerah dan kemudian masing-masing menghasilkan karya pada site tertentu dalam ruang publik. Dalam acara yang memasuki tahun ketiga ini, ia, Eko prawoto, membawa nama negaranya, I n d o n e s i a. Senang tapi juga gelisah, mungkin itulah ekspresinya ketika ia bercerita bahwa “pada saat itu diundang dan memang tak tahu harus buat apa?” katanya mengingat. Duduk di dalam kereta yang terus bergerak menuju Florence, Eko prawoto seperti ‘galau’ mencari inspirasi, “kadang dalam proses pencarian saya menjadi kesepian” katanya, ia lalu hibur dirinya dengan melihat pemandangan alam di luar kereta, jerami dalam bentuk silinder menarik perhatiannya, “itu telah menjadi elemen landskap yang bagus” katanya seperti mendapat inspirasi. Bounconvento musim semi adalah waktu yang baik melihat petani memanen jerami. Eko prawoto sekilas tigak lagi galau dengan inspirasi yang dicarinya, tapi hatinya belum puas, sejumput rasa ingin tahu telah timbul dalam perjalanan kereta itu, dan seperti pada proses kreatifnya yang selalu dimulai dari menenggelamkan diri dengan kehidupan sekitar, ia kemudian masuk dalam kehidupan dan mulai ngobrol banyak dengan warga sekitar. “Ada keluhan petani yang merasa konstribusinya kurang dilihat, juga persoalan alam, dan persoalan turisme” katanya mengenang. Setelah menyelami kehidupan sekitar, ia kemudian kembali ke permukaan dan memilih site di


20 Yogyakarta di bulan desember . ruang17

daerah in between, “dibilang daerah kota tidak dan dibilang daerah desa juga tidak” katanya seraya menjelaskan bagaimana material jerami yang ia lihat dalam perjalanan kereta tadi kemudian digunakannya pada instalasi. “Saya menyusun jerami ke atas, menjadi seperti konstruksi monumen bagi petani dan juga alam” katanya, instalasi itu lalu menjadi semacam struktur yang menjadi koneksi antar banyak pihak; kota dan desa, petani dan alam, juga bumi dan langit. Pengunjung yang datang dan melihat dari jauh itu sebagai karya instalasi yang sangat kokoh sekali. Tapi, ketika mereka melihat dari dekat, mereka melihat itu adalah rumput yang sangat rapuh, “mungkin ketegangan ini juga yang mereka suka” katanya mengenang. Pukul tujuh malam; Sejak itu, ia mulai banyak menerima undangan membuat instalasi di luar negeri. Pada satu sudut ruang pameran ini, terpajang foto karya-karya instalasinya, beberapa di antaranya adalah Bamboo shrine, anyang public art project, korea 2005. Kamikatsu, jepang. The Temple, esplanade Singapura 2010. The Temple, Louis Vuitton, Prancis 2011. Dan yang terbaru, Murbazzar, Austria, 2012. Dari semua karya instalasinya, saya paling suka dengan dua karya yang terakhir; The Temple dan Murbazzar. Pada instalasi The Temple dalam galeri Louis Vuitton di prancis. Eko prawoto mencoba membenturkan sifat keabadian dan kesementaraan, antara sesuatu yang intangible (bersifat tak benda) dan tangible (bersifat benda). Instalasi yang ia susun dari meterial bambu itu seperti mengajak pengunjung memaknai kembali warisan budaya Indonesia tapi dari sudut pandang material yang berbeda, jika pada candi kita menemukan material batu yang abadi, pada karya instalasi The Temple pengunjung akan menemukan material dengan sifatnya sementara; bambu. Instalasi The Temple dengan menggunakan material bambu yang sementara itu seperti ingin menyuarakan bahwa nilai spiritual pada candi yang bersifat benda (tangible) sesungguhnya adalah sesuatu yang abadi, tapi juga bisa punah

jika kita tidak menjaganya, apalagi dengan perkembangan globalisasi yang semakin tak terelakkan. Untuk menangkap maknanya memang mesti menggunakan hati, ya, seperti kata ‘pangeran kecil’ Antoine de saint, “on ne voit bien qu’avec le coeur. L’essentiel est invisible pour les yeux” –dengan menggunakan hati, kita bisa melihat dengan jernih, sesuatu yang begitu penting justru tak terlihat kasat mata. Prancis sepertinya memang menjadi tempat orang jatuh cinta, seorang pengunjung pameran yang datang melihat instalasinya seperti langsung jatuh cinta pada pandangan pertama, Le Coup de foudre, begitulah cinta pada pandangan pertama dalam bahasa prancis. Pengunjung tersebut lantas menawar instalasi The Temple untuk menjadi koleksinya. Harga dari Louis Vuitton ia sanggupi, tak disebutkan berapa nilainya, mungkin seperti seorang kolektor yang tak lagi peduli berapa uang yang akan ia keluarkan untuk sesuatu karya yang ia inginkan. Dan hingga hari ini, instalasi The Temple tetap berdiri, menjadi miliknya, di Prancis bagian selatan. Lalu instalasi terakhir yang saya suka; Murbazzar.


ruang17 . Yogyakarta di bulan desember 21

Bounconvento, Italy, 2003.

The Temple, Louis Vuitton, Prancis 2011.


22 Yogyakarta di bulan desember . ruang17


ruang17 . Yogyakarta di bulan desember 23

Murbazzar, Austria, 2012.


24 Yogyakarta di bulan desember . ruang17

Pada instalasinya di Murau Austria ini, ia memilih menggunakan kayu pinus yang masih banyak terdapat di daerah tersebut, pilihan penggunaan material ini pun didukung dengan masih adanya keahlian pertukangan masyarakat sekitar. Hari demi hari ia habiskan dengan menjelajahi daerah sekitar Murau, hasilnya, ia dapati memori plaza yang sekian ratus yang tahun dulu adalah sebuah pasar hewan. Dari hasil menyelami daerah sekitar itu, ia lalu ingin mengangkat memori tempat dan mengaitkannya pada satu sisi perekonomian Eropa saat ini yang mulai goyang. Ia melihat pengrajin dari komunitas-komunitas kecil dalam tekanan persaingan yg luar biasa. Gagasan itu ia gabungkan dalam karya instalasinya, ia mengajak beberapa orang yang punya hobi yang tergabung dalam komunitas punya potensi. Mereka lalu dihadirkan dalam struktur instalasi yang ia buat. Tiap struktur dihiasi dengan hasil kerajinan dari 30 komunitas yang ada di Murau. Lewat karya instalasi yang jadi seperti sebuah karya bersama ekspresi dari kota Murau, saya melihat ia membuktikan pernyataannya, ketika usianya limapuluh di tahun 2008 yang lalu “kesenian kontemporer tidak hidup untuk dirinya sendiri melainkan hubungan timbal balik yang positif dengan sekitarnya”

“kesenian kontemporer tidak melainkan

pukul tujuh lebih tiga puluh; Setelah seluruh ruang pameran saya jelajahi, saya pun menghampirinya, kali ini ia masih punya selera berpakaian yang bagus, hitam polos pakaiannya seperti kontras dengan selera pakaian fancy anak dan istrinya yang selalu menemani. Tamu yang lain sudah pamit pulang, ruangan mulai sepi, kami duduk ngobrol berdua. “Sebenarnya pameran ini bukan kepada bagaimana menunjukkan karya, tapi bagaimana menjadikannya wacana,” kata Eko prawoto seraya menjelaskan bahwa dalam pameran ini ia ingin mengajak pengunjung untuk terlibat langsung dalam proses ‘pencarian’ yang ia lakukan. Caranya? “Dalam pameran ini saya buat tiga sekuens yang tematik” katanya, menerangkan. Sekuens pertama ia namakan ‘jembangan-

memori’; lima buah jembangan besar ia isi dengan beberapa visualisasi pemikiran serta pengaruh-pengaruh yang ia rasakan cukup dominan dalam ‘membentuk’ serta mengarahkan proses pencarian berarsitekturnya. Visualisasi itu beberapa tentang Romo mangun, tentang kampung, tentang kerajinan, tentang tektonika, dan tentang alam yang, “jika kita bisa melihat, sebenarnya ada potensi di situ” katanya. Lalu masuk ke Sekuens kedua yang ia namakan ‘arsitektur sebagai pencarian bersama’; merupakan kumpulan dokumentasi beberapa karya arsitekturnya. Baginya, karya arsitekturnya muncul sebagai rangkaian interaksi dan kolaborasi antar klien, para tukang, keadaan site serta pengaruh nilai sosial serta budaya yang ada. Eko prawoto mengatakan “Pada sekuens kedua


ruang17 . Yogyakarta di bulan desember 25

jembangan memori berisi sejumlah gambar tentang alam

hidup untuk dirinya sendiri, hubungan timbal balik yang positif dengan sekitarnya” ini, saya ingin memperlihatkan contoh kecil bagaimana saya menggunakan visualisasi sikuens pertama (tentang Romo mangun, tentang kampung, tentang kerajinan, tentang tektonika, dan tentang alam) pada karya-karya saya yang ada” Dan yang terakhir, sikuens ketiga yang ia namakan ‘arsitektur mau kemana?’; pada bagian terakhir ini, ia ingin mengajak pengunjung berpartisipasi. Setiap pengunjung yang telah mengalami dua sikuens sebelumnya kemudian diberi kesempatan memilih beberapa gambar yang tersaji pada ‘amben’ yang tersedia. Dari pilihan gambar yang mereka ambil, mereka lalu membuat pernyataan, komentar, ungkapan, atau catatan kritis dalam sebuah kertas yang tersedia. “jadi nanti akan ada banyak pernyataan kebu-

dayaan” katanya seraya menerangkan kumpulan pernyataan itu nantinya akan dipotret dan mulai besok akan ditampilkan pada layar proyektor yang tersedia. “jadi ini seperti pameran bersama saja” katanya mengakhiri. Sebelum pamit pulang, saya sempat iseng menanyakan rencana instalasinya ke depan, tapi Eko prawoto hanya menjawab “wah,, saya kan hanya pengamen, tergantung undangan.” katanya, tertawa ringan. Hari sudah malam, saya pamit pulang. Keluar dari gedung ex de javasche bank saya berjalan menuju stasiun Tugu dalam gerimis yang sederhana. Melewati malioboro Yogyakarta kembali bernyanyi, musisi jalanan mulai beraksi di antara mereka yang berpasangan dan juga yang sendiri, di mana pasanganmu? Dan lagu itu mengalun merdu seiring laraku kehilanganmu.


26 Yogyakarta di bulan desember . ruang17

Instalasi The TEMPLE, Esplanade, Singapore 2010


ruang17 . Yogyakarta di bulan desember 27

INSTALASI EKO PRAWOTO 2003 : Shrine for mother nature, Matsudai, Jepang. 2005 : Bamboo shrine, Anyang public art project, Korea.

2010 : the TEMPLE, Louis Vuitton, France. 2012 : Murbazaar , Murau, Austria. 2003 : The Arte all’Arte, Buonconvento, Toscani, Italia. 2010 : the TEMPLE, Esplanade, Singapore. 2012 : “Garbha”, Esplanade, Singapore.

2002 : Between the water and the sky, Art of Bamboo, Yogyakarta, Indonesia. 2004 : Landmark of Mind, Contemporary three dimensional art event, Magelang, Indonesia. 2007 : Aku = Bambu, Yogyakarta, Indonesia.



Sosok Di Balik Layar


30 Maryono . ruang17

MARYONO Teks dan Foto oleh Muh Darman

S

EORANG ARSITEK Jogja yang baik pernah mengenalkan lelaki ini pada saya empat tahun yang lalu, ketika itu ia nampak sibuk dan terlihat tidak sedang ingin bicara. Saya mengerti dan memilih melanjutkan perjalanan ke rumah-rumah pasca bencana gempa. Setelah hari itu, saya tidak lagi bertemu dengannya, karena kesibukkan lain saya meneliti rumah-rumah di atas air. 31 maret 2012 saya pergi ke Yogyakarta, saya memutuskan mencarinya, seorang yang setidaknya bisa menceritakan dan mengerti rumah-rumah pasca bencana gempa. Kali ini saya beruntung, seorang kawan yang baru sebulan tinggal di rumahnya berniat mengantar saya. Maryono, pria 51 tahun itu belum juga digerogoti uban, ingatannya tajam, nada bicaranya tegas, terkadang berapi-api, lalu menyulut sedikit untuk soal-soal yang menyedihkan hati dan sepasang mata tuanya ikut merah berkaca-kaca. “Ibu dan adik meninggal ketimpa bangunan tetangga� katanya, mengenang. Sebenarnya saya merasa takut menyinggung perasaannya dan mencoba mencari tema lain. Maryono tiba-tiba


ruang17 . Maryono 31

lanjut berkata, “Setelah menguburkan dan kemudian mengungsikan adik ke godean, saya kembali ke ngibikan, hendak membuat tenda sementara untuk warga”. Semangatnya menyala. hari ini, saya tahu, ia sedang ingin bercerita. Maryono fasih berbahasa Indonesia, dan hanya menggunakan bahasa jawa pada warganya. Maryono adalah ketua RT 5 di ngibikan, sebuah dusun di Bantul Yogyakarta yang pada 27 mei 2006 hancur oleh gempa berkekuatan 5,9 skala richter. Hampir seluruh rumah-rumah roboh rata tanah. Lima orang meninggal. Maryono mengatakan pada saya, membangun kembali rumah yang hancur di ngibikan lebih kepada semangat gotong royong, sebuah rumah dengan modul struktur 6m x 7,20m bisa jadi hanya dalam waktu 12 jam saja. Pengalamannya pada dunia bangunan mendukung untuk membangun itu. Maryono meninggalkan bangku sekolah sejak lulus SD, sejak itu ia tak pernah lagi kembali mengenyam pendidikan formal. Sejak saat itu pula ia harus membantu orang tua, juga mencari penghidupan sendiri yang tidak mudah. Di usia yang masih kanak-kanak, maryono sudah kerja jadi tenaga bangunan sebagai tukang. Dia tekun dan mempelajari betul gambar kontraktor (salah satunya prima karya) dan memahami; pelaksanaan lapangan kadang-kadang tidak pas dengan gambar. Ia memperhatikan dan bertanya, seperti di bawah pondasi mesti ada pasir, itu fungsinya apa? “Untuk menahan penyusutan” saya menjawab setengah yakin. Ia tersenyum. :-) saya mengartikan dalam hati “mahasiswa hari gini, siapa yang peduli”. Meski pengetahuan teknis terjadi di lapangan tukang, tapi menekankan dimensi pertukangan (craftmenship) dalam arsitektur itu penting. Kritik keras dan kekecewaannya yang besar dalam pengajaran arsitektur di perguruan tinggi Indonesia menghilangnya kemampuan bertukang dan pengenalan akan material yang otentik.

B

ANGKIT membangun rumah-rumah pasca bencana gempa memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, gotong royong bukan sebuah konsep yang mudah dilaksanakan pada kenyataannya, “jika diterapkan pada dusun lain, belum tentu berjalan dan berhasil, mas” maryono menjelaskan. Gotong royong yang ia dan warga lakukan sudah terbentuk jauh sebelum adanya bencana gempa. Ia kepala RT yang tak hanya tahu menyuruh, “mungkin ini berhasil karena setiap saya mengajak

gotong royong membersihkan kampung, saya pun ikut langsung bekerja”. Tradisi Kebersamaan dalam gotong royong seperti ini yang kemudian menarik perhatian dunia. Beberapa peneliti Jepang datang melihat dan belajar, mereka mempelajari lagi apa yang dulu mereka miliki namun hilang oleh modernisasi; nilai kebersamaan. Tim juri penghargaan tertinggi untuk arsitektur Negara berkembang ‘aga khan award’ menempatkan proyek ngibikan pasca gempa dalam daftar finalis peraih penghargaan bergengsi tersebut. Dunia arsitektur seperti menemukan jawaban di ngibikan, kita tidak lagi akan bisa bicara tentang krisis lingkungan atau pemanasan global atau perubahan lingkungan tanpa adanya nilai kebersamaan. Proyek ini lebih memperlihatkan masih adanya nilai-nilai kebersamaan itu. “Keistimewaannya bukan pada arsitekturnya, tapi pada proses yang terjadi, pada nilai-nilai kebersamaan yang tetap kita praktekkan” maryono menambahkan. selain menggunakan material yang ada dan masih bisa dipakai, maryono dan warga ngibikan mendapat bantuan dana kemanusiaan dari kompas. Pembangunan pun dimulai dengan apa yang ada di sekitar; kerangka kayu, campuran kayu kelapa dengan kayu bekas yang ada, sambungan dengan baut, dinding bata setinggi 1m, bagian atas rangka kayu dengan penutup kayu, anyaman bambu atau bahan bekas yang ada, penutup atap fibrecement gelombang. Penghematan juga pemanfaatan penggunaan bahan ini berhasil menekan biaya pembangunan hingga 10juta untuk satu rumah. Tiga setengah bulan bekerja bersama, komunitas harmonis dengan 65 kepala keluarga (290 warga) yang bermata pencaharian utama tukangbangunan, petani, tukang becak, pedangang pisang, penjual kue, berhasil membangun enam puluh lima rumah. Warga ngibikan bangkit bersama. Ketika saya tanyakan bagaimana perasaannya, ia terlihat bahagia. Maryono mengatakan pada saya bahwa ini sangat ‘dasar’ sebagai kelangsungan kehidupan, tapi ini juga sangat rapuh jika kita tidak waspada dan cukup peka melihat, menghargai dan mengupayakan ikatan kebersamaan ini agar tidak hilang. “kuncinya” katanya “pada nilai-nilai kehidupan”. Malam semakin larut, maryono teringat besok ia mesti ke bandara, ia akan terbang ke singapura. “ada instalasi yang harus dikerjakan” katanya. Saya Tanya apakah ia betah di sana, ia jawab “tidak” katanya “saya lebih damai dengan kehidupan di Ngibikan”.



Rekomendasi Buku


34 Rekomendasi Buku . ruang17

rekomendasi buku

ZAMAN BARU GENERASI MODERNIS Judul buku : ZAMAN BARU dan GENERASI MODERNIS sebuah catatan arsitektur

Muh Darman

Penulis : Abidin kusno

Muh Darman

Penerbit : Ombak, 2012. Jogjakarta. harga : Rp 45.000 176 hlm (xviii + 158)


ruang17 . Rekomendasi Buku

I

a tak ingat lagi persisnya kapan, “hampir 20 tahun yang lalu” katanya. Pada suatu sore yang cerah di balkon kahin Center di Cornell University, seorang guru besar yang akrab dipanggilnya “Pak Ben” dengan sabar mendengarkan rencananya untuk menulis tentang keunggulan ‘arsitektur tradisional’. Tidak mudah ternyata, ketika ia sudah kehabisan kata-kata menjelaskan, Pak Ben yang sedari awal dengan sabar mendengar pun akhirnya bicara. “Saya tidak begitu tahu bidang arsitektur, tapi kenapa yah anda bisa tertarik pada hal-hal yang tradisional saat orang-orang di Indonesia berusaha menjadi modern.” Singkat cerita, diskusi mereka sore itu pun ditutup dengan ungkapan enigmatik Pak Ben yang kira-kira berbunyi “Indonesians (or better javanese) seem to have no difficult in assuming modernity and in absorbing anything that is new, but it is more difficult for them to leave traditional ways behind them.” Akhir tahun 2012, dari sebuah situs jejaring sosial facebook, seorang teman merekomendasikan buku yang baru selesai ia editori; ZAMAN BARU DAN GENERASI MODERNIS. Abidin kusno, penulisnya, seorang yang “hampir 20 tahun yang lalu” berdiskusi dengan Pak Ben mencoba melakukan pencarian yang diperlukan untuk memahami modernitas. Apa hubungan antara kedua dunia yang berbeda namun saling bertautan itu? apakah pertarungan antara ‘tradisi’ dan modernitas’ di dunia arsitektur itu sama dengan sosial-politik? Kenapa pengertian ‘modern’ sering disalah kiprahkan sebagai ‘barat’? apakah yang modern itu bukan tradisi Indonesia? Kenapa Orde Baru takut pada ‘modernitas’? “Pertanyaan-pertanyaan tersebut telah lama dan masih menghantui saya,” katanya, seraya menerangkan bahwa tujuan buku ini adalah untuk memberi modernitas sebuah tempat dalam sejarah arsitektur Indonesia, dan lebih jauh lagi menjadikan modernitas sebuah tradisi Indonesia. Apa yang dimaksudnya dengan ‘modernis’? Sejujurnya, bagi generasi saya yang lahir di awal abad ke-21, tidak mudah memahami buku ini –yang sebagian besar membahas periode abad ke-20. Bagaimana cara membacanya? Itu adalah pertanyaan saya yang pertama, menyusul pertanyaan saya yang kedua, apa isi buku ini? Maka, seminggu lamanya mula-mula saya mencari cara, menenangkan diri, lalu duduk membaca buku ini pelan-pelan,

35

mencari tahu apa maksudnya. Dan beginilah isi buku ini setelah saya membacanya: Dibagi dalam lima bagian yang masing-masing terdiri dari sejumlah catatan-catatan yang singkat, buku ini menceritakan arsitektur yang jauh dari sekedar urusan gambar dan bangunan. Dimulai dengan bagian ‘Krisis Representasi’ –yang merupakan bagian pertama buku ini- yang antara lain bercerita bahwa dalam sejarah Indonesia, abad ke-20 sebenarnya adalah abad perkotaan. Ditandai dengan jumlah penduduk kota yang semakin bertambah juga perkembangan pers dan periklanan yang semakin marak. Kondisi itu membuat masyarakat semakin tanggap terhadap teknologi dan budaya kota yang dianggap baru, dan yang lebih penting lagi; perubahan sosial ini mengundang kaum muda untuk bergerak maju meninggalkan ‘tradisi’ yang kini dianggap kuno. “Generasi muda ini suka berpakaian gaya Barat, bersepatu mengkilap, berambut minyak, berkaca mata warna, dan jas putih dengan dua atau tiga pulpen di kantong dada,” ia lanjut menggambarkan bahwa “pemuda-pemudinya gemar berjalan-jalan di kota sambil bergandengan tangan, doyan keluar masuk restoran yang berlampu remang-remang, suka minum limun, menulis surat, membaca buku dan koran.” Sejenak saya berhenti membaca dan mulai membayangkan, bagaimana keadaan semangat generasi muda pada waktu itu? yang suka setelan baru, membayangkan dunia luar, ingin setara dengan orang Eropa, memiliki rasa merdeka, dan yang terpenting; merasa berhak untuk maju. Saya membayangkan Minke –tokoh Tetralogi bumi manusia, Pramoedya Ananta Toer. Reaksi pemerintah Hindia Belanda sangat hati-hati menghadapi era baru ini, singkatnya; modernitas yang membuat kaum muda terpesona dan gelisah itu perlu disiasati agar tak menjurus menjadi pergerakan anti-kolonialisme. Caranya? Selain membentuk Balai Pustaka untuk menerbitkan buku yang pada umumnya mengetengahkan konflik antara tradisi dan modernitas. Pemerintah Hindia Belanda juga menggunakan arsitektur untuk meredam gejolak modernitas dan mengarahkannya ke jurusan yang bisa membantu kestabilan hubungan kolonial. “Perlu ditekankan di sini,” terang Abidin kusno “bahwa para arsitek ini, meskipun mendapat tugas


36 Rekomendasi Buku . ruang17

dari pemerintah, mereka bukanlah antek-antek pemerintah kolonial. Ada di antara mereka yang justru punya sentimen anti-kolonial, berjiwa sosialis, dan mempunyai misi untuk mencerdaskan masyarakat Indonesia melalui arsitektur yang dianggap berada di atas politik.” Para arsitek Belanda yang tiba di Indonesia pada awal abad ke-20 umumnya adalah lulusan dari Delft Technische Hoogeschool, mereka bisa dilihat sebagai kelompok pembaharu yang datang dengan seperangkat metode perancangan dan ide-ide baru seni bangunan di Eropa. “Di daerah jajahan, mereka mendapat kesempatan untuk mencoba merancang dengan bebas, bahkan lebih bebas daripada di Eropa sendiri,” terang Abidin kusno. Kreatifitas para perancang Belanda ini tidaklah hanya berasal dari pengaruh dinamika kehidupan di Eropa. Sebaliknya, desain-desain mereka dipengaruhi oleh perubahan sosial masyarakat dan politik kebudayaan pemerintah Belanda di Indonesia. Pertanyaannya kemudian adalah Bagaimana arsitektur memberi bahasa yang tepat pada lingkungan yang sedang mengalami pancaroba? Masih di abad ke-20, Abidin kusno menjelaskan bahwa selain sebagai abad perkotaan, abad ke-20 juga adalah abad memajang diri. Diadakannya expo Koloniale Tentoostelling pada 1914 di Semarang memberi kesempatan kepada masyarakat untuk pertama kalinya melihat bangunan sebagai barang pajangan. Pengunjung dengan bebas menyaksikan kemajuan bangsanya melalui koleksi seni arsitektur, kekayaan daerah, dan pembangunan di Hindia Belanda. Arsitek yang ikut merancang pameran ini, Henri Maclaine Pont, mempunyai wawasan yang tidak kalah besar. Sejak pameran Semarang, Maclain Pont sudah mulai tekun mengembangkan suatu pemikiran arsitektur yang berwawasan Nusantara. Didukung oleh studi-studi Orientalis dan arkeoligis, ia mencatat dan menganalisis tipologi struktur bangunan daerah dan yakin bahwa struktur bangunan tradisional mempunyai ‘rasionalitas’ arsitektur modern. Dengan dukungan ‘bapak arsitektur modern Belanda’ H.P. Berlage, Maclaine Pont dan kawankawan di Hindia Belanda berupaya menghidupkan seni bangunan Indonesia. Menurut Maclaine Pont, proses pembangunan di Hindia Belanda semestinya berangkat dari sumber daya setempat dan diolah dengan budaya lain untuk menjadi suatu langgam baru. “ia ingin menunjukkan kepada dunia arsitektur

dan mungkin juga kepada pemerintah kolonial, bahwa seni bangunan daerah di Indonesia bisa menjadi bagian dari gerakan arsitektur modern di dunia,” terang Abidin kusno. Kita tidak mengetahui pemikiran politik Maclaine Pont, tapi teknik-teknik penyajian arsitekturnya, yang mempersatukan elemen-elemen bangunan daerah dalam satu komposisi sinkretis yang utuh, telah mempengaruhi pendekatan ‘arsitektur Indonesia’ pada 1980-an, saat ketika ‘identitas’ bangsa dianggap penting oleh negara untuk diterjemahkan ke dalam bentuk bangunan. CATATAN-CATATAN Abidin kusno dalam buku ini selanjutnya bergerak maju ke alam arsitek dan arsitektur pembaharuan, seperti antara lain pada catatan; semangat zaman baru dan fantasi art deco, pergerakan kota dan pemukiman utopia, estetika zaman normal, Sukarno dan dekolonialisasi, transformasi diri dan modernis, penjelajahan diri arsitek muda Indonesia (AMI), arsitektur memori, hingga catatan ‘subjektifitas baru? Masa depan modernisme’ yang sudah masuk pada awal abad ke-21, abad dimana generasi saya hidup. Tapi, saya tidak akan menceritakan semuanya di sini, dari 21 catatan yang ada, saya hanya akan menceritakan secara singkat satu catatan yang menarik bagi saya, yaitu pada catatan ‘lunturnya pilar kekuasaan tradisional jawa.’ BALIK BUWONO; menggeser kekuasaan Keraton. Perubahan zaman makin terasa sejak dimulainya perkembangan jaringan kereta api dan jalan lintas di pulau Jawa. Jalan Pos Besar (Groote Postweg) yang dimulai pada masa Daendels dan melintasi Jawa dari arah Timur-Barat sudah menggoyahkan kedudukan simbolisme keraton. “Jalan Pos yang melintang Barat-Timur dan menghubungkan kota-kota di sepanjang Pulau Jawa ini melawan orientasi Utara-Selatan alun-alun keraton” terang Abidin kusno. Memasuki era 1930-an, ‘pusat’ kota bukan lagi keraton, melainkan jalan yang dipenuhi toko-toko. Pusat aktivitas keraton yang tersembunyi di balik tembok tidaklah mampu bersaing dengan jalan raya yang terbuka untuk masyarakat luas. Abidin kusno menganalisa bahwa bila kompleks keraton bukanlah tempat umum dan tidak dapat selalu dimasuki dengan bebas, jalan raya justru mencoba menarik perhatian orang.


ruang17 . Rekomendasi Buku

“Di kota-kota keraton, jalan raya telah menggantikan alun-alun kota sebagai simbol zaman baru,” Abidin kusno lanjut menerangkan, “jelaslah bahwa melunturnya kekuasaan keraton berkaitan dengan makin berkembangnya kota sebagai pusat perdagangan.” Sebagai bagian dari jaringan perdagangan, tokotoko di jalan raya kini menduduki posisi yang menarik perhatian, terutama saat berakhirnya masa depresi, jalan raya makin dipenuhi oleh toko-toko pedagang Tionghoa. Bangunan-bangunan dan toko-toko yang saling bersaing menampilkan wajah ‘modern’ di sepanjang jalan besar menimbulkan pemandangan yang kontras dengan bangunan pemerintahan atau keraton yang harus dihadapi dengan hati-hati. “perwajahan bangunan mulai berperan sebagai bagian dari iklan yang dipajang untuk menarik hati, salah satu gaya yang paling menonjol di sepanjang jalan kota besar adalah langgam art deco,” terang Abidin kusno. Lalu apa yang bisa diambil dari catatan ‘lunturnya pilar kekuasaan jawa’? apakah penjelasan mengenai bangunan di sepanjang jalan yang berwajah art deco hanya berujung pada langgam saja? Jawabannya tidak. Sebab, seperti yang ia simpulkan pada akhir buku ini bahwa; hanya jika modernisme diartikan sebagai jiwa pembaharuan yang terikat pada kondisi sosial dan politik, maka kita bisa membebaskan modernisme dari langgam arsitektur tertentu. Dengan demikian, sejarah Indonesia ternyata melahirkan banyak modernis yang memberontak dengan berbagai pemikiran, teknik, dan ekspresi, menurut kondisi sosial dan politik tempat mereka berada. Saya rasa generasi yang hidup di awal abad ke-21 seperti saya ini mesti banyak belajar dari generasi abad ke-20, salah satunya melalui catatan-catatan dalam buku ini, buku yang menceritakan arsitektur yang jauh dari sekedar urusan gambar dan bangunan.

37



Tanya - Jawab


foto by Muh Darman

40 Tanya-Jawab . ruang17

I

a masih saja mengenakan kaos abu-abu polos, warna kesukaanya, ketika suatu hari saya berkunjung ke rumahnya di desa Kandangan, Temanggung. Ia lebih senang tingga di desa ketimbang di kota, kenyataan yang membutuhkan keberanian saat ia mengambil keputusan untuk pulang ke kampung kelahirannya, setelah menyelesaikan kuliahnya di desain produk ITB Bandung. Kini, fase kehidupan yang membutuhkan keberanian itu telah ia lewati, ia telah sukses menjadi seorang desainer produk dari desa kandangan. Namanya tak hanya dikenal di Indonesia, sebab produk-produk yang ia beri nama magno kini telah menyebar ke seluruh belahan dunia. Eropa? Ia sudah taklukkan dengan menyabet penghargaan brit insurance product award. jepang? Ia sudah taklukkan dengan menyabet penghargaan Good design award. Di sela-sela aktifitasnya yang sibuk, Singgih Susilo Kartono menyempatkan menjawab beberapa


ruang17 . Tanya-Jawab 41

pertanyaan saya melalui Facebook, sekembalinya saya dari desanya, Kandangan. Berikut tanya-jawab kami; (Muh Darman) : bisa sedikit cerita awal mula radio magno? (Singgih Susilo Kartono) : awalnya dari tugas akhir kuliah desain produk tahun 1992 di ITB. versi yang saya produksi telah saya redesign lagi dari versi di tugas akhir. produksi baru terealisasi tahun 2005, karena kesulitan mendapatkan supplier kit elektronik. produksi berjalan setelah Panasonic Indonesia bersedia mensuplai kit elektronik. (MD) : alasan bapak lebih dulu memasarkan radio magno keluar indonesia? (SSK) : saya sebenarnya orang yg tidak pernah berstrategi, saya menjalankan bisnis lebih banyak dengan intuisi. dari awal memang saya menjadikan pasar ekspor menjadi tujuan pemasaran, karena pasar ekspor memiliki persyaratan2 yang mendorong produsen untuk mencapai kualifikasi mutu tertentu. saya juga ingin melalui karya saya menjadikan produk kayu indonesia menjadi salah satu icon design dunia. hehe malu saja dengan negeri yg kaya akan kayu ini. (MD) : apa desain magno bergantung pada pasar? (SSK) : saya tidak pernah mendesain berdasarkan pasar, saya tidak pernah melakukan riset pasar. selain tidak mampu, menurut saya riset pasar itu koq nggak benar ya… bayangkan jika pasar itu anak kita sendiri, kita melakukan riset ttg apa yg diingini anak kita dan kemudian kita penuhi keinginan anak tsb. saya pikir, hal tersebut yg justru membuat kehidupan makin runyam. kalau mau riset, jangan hanya riset pasar, tetapi riset yg lebih holistik, sehingga akhirnya kita bisa mengetahui apa yg sesungguhnya baik, positif, konstruktif bagi kehidupan… bisa jadi sebuah produk yang dilahirkan sangat berbeda dengan ‘what market wants’, tetapi sangat konstruktif untuk kehidupan… apakah produk ini akan ‘laku’ dipasar? memang bisa tidak laku kalau kita hanya menggunakan cara konvensional-tradisional untuk memasarkan produk tsb (semua upaya bujuk-rayu agar orang mau beli). namun hampir semua produsen lupa akan peran edukasi masyarakat yg menjadi tanggung jawab mereka. saya yakin jika mereka melakukan dengan sepenuh hati tugas

edukasi dan membuang strategi bujuk-rayu-tipu konsumen, mereka akan sukses dan memiliki konsumen yg loyal. hehe tetapi harus disadari, hal tersebut membutuhkan upaya keras dan perjuangan bertahun2. (MD) : arti kreatifitas bagi bapak? (SSK) : wah apa ya? menurut saya yg terpenting ketika kita bicara ttg kreatifitas adalah bahwa kreatifitas merupakan salah satu hal penting yg membedakan manusia dengan mahluk lain. kreatifitas manusia lah yg menjadikan saya sekarang ini bisa menjawab questioner anda dengan komputer dan mengirim jawaban melalui facebook… juga semua hal-hal bendawi dan non bendawi yg ada didunia adalah wujud dr kreatifitas manusia. manusia hidup dengan cara sangat berbeda dari mahluk lain, juga karena kreatifitas yg dimiliki. pada satu sisi sangat positif, namun pada sisi lain bisa sangat negatif. binatang dan tumbuhan yg tidak kreatif samasekali, mereka adalah mahluk paling eco-friendly di bumi ini, mereka tidak pernah menghasilkan polusi, semua kotoran dan emisi yg dihasilkan bisa diproses kembali oleh alam. menurut saya, sekarang saatnya kita memikirkan kembali ttg kreatifitas setelah kita bisa melihat bahwa pada sisi lain, kreatifitas juga bisa menghancurkan kehidupan…menurut saya, kita harus mendasari kreatifitas dengan wisdom, agar kita bisa menyadari sisi positif dan negatifnya, tidak hanya sekedar berkarya. (MD) : desain radio magno terbilang tidak banyak, mengapa? (SSK) : ngapain juga bikin terlalu banyak desain, desain itu sebenarnya juga akan menjadi sampah. jadi sesedikit kita menghasilkan desain, akan semakin sedikit sampah yg tercipta juta. menurut saya bukan dr jumlahnya, tetapi yg terpenting dr sebuah desain adalah kualitasnya. (MD) : desain radio magno terbilang simpel, bahkan (ada satu desain) tanpa grafik FM seperti radio pada umumnya, bisa dijelaskan? (SSK) : idenya untuk membangun kembali hubungan yg lebih baik antara produk dan usernya. ada kecenderungan yg tidak baik ketika teknologi makin canggih dan pasar menyediakan pilihan dan pergantian type yg demikian cepat dan masif. hubungan semakin berjarak, produk benar-benar menjadi


foto by Dokumentasi Singgih Susilo Kartono

42 Tanya-Jawab . ruang17

/1 object pelayan manusia, dan ada kecenderungan pola pakai buang yg semakin parah. ini akan menjerumuskan peradaban ke kehancuran… menjadikan manusia semakin tolol dan kehilangan nurani…saya membuat produk dengan semangat edukasi, bagaimana user harus melatih feeling dia untuk menemukan station radio tanpa panduan skala gelombang, mengenali semua bagian dengan cara lebih intuitif (saya menghapus hampir semua graphics), bagaimana mereka lebih berhati-hati (bisa pecah karena jatuh), mereka juga harus menjaga kebersihan.. dll. apa yg akan muncul kemudian? yg muncul adalah relasi emosional antara produk dan pemakainya. saya orang yg percaya bahwa produk itu bukan object, dia juga mahluk dan bereaksi atas aksi yang kita berikan. manusia yang terpelihara kepekaannya akan bisa merasakan fenomena yang sangat halus ini.

seperti itu. kayu juga mengajarkan kita tentang keseimbangan. kalau kita cermati, material kayu merupakan perpaduan harmonis antara 2 hal yg kontradiktif (keras-halus, kuat-lemah dsb). kayu juga mengajarkan tentang batas, karena sekuat apapun kayu, dia akan hancur juga oleh alam. kayu itu perfect cause of its imperfectness…

(MD) : desain radio magno menggunakan material kayu, alasan penggunaan material kayu? dampak terhadap lingkungan?

penggunaan kayu yang berlebihan memang berpotensi merusak alam. saya menerapkan 2 prinsip dasar dalam berproduksi dengan material kayu. less wood more works, yaitu menggunakan kayu seminimal mungkin namun bisa memberikan lapangan kerja sebanyak mungkin. Sistem produksi craft dan high design product memberikan peluang tersebut. Dalam 1 tahun kami hanya menebang 2 pohon untuk

(SSK) : kayu merupakan material yang luar biasa, di kayu kita bisa menemukan 3 hal utama, yaitu hidup, keseimbangan, dan batas. Kayu merupakan material yg soulful, saya yakin tiap orang memiliki perasaan

saya juga terbebani dengan kenyataan bahwa saya lahir di negara penghasil kayu, yg saya lihat pemanfaatannya sangat tidak bijaksana. lebih banyak dijual sebagai bahan, bukan produk. nilai tambah yang kita dapat rendah, selain kerusakan hutan semakin meluas. lebih menyedihkan lagi karena hampir tidak ada produk kayu karya bangsa Indonesia yang mendunia. sebagai desainer produk saya merasa memiliki ‘kewajiban’ untuk melahirkan produk kayu yang bisa menjadi ikon desain dunia.


ruang17 . Tanya-Jawab 43

foto by Dokumentasi Singgih Susilo Kartono

tiap perajin yg bekerja diperusahaan kami. kemudian prinsip yang kedua adalah ‘cut less plant more’. kami membagikan bibit gratis ke masyarakat minimal 8000 pohon setiap tahun untuk ditanam dilahan masyarakat dan kami melakukan pembinaan ban kontrol pada tanaman yang kami bagikan. jadi, penggunaan material kayu yang baik justru bisa menciptakan hutan baru. (MD) : arti arsitektur bagi bapak? (SSK) : desain dan arsitektur menurut saya sesuatu hal yang sama, dengan obyek garapan yang berbeda. kedua bidang ini juga menghadapi permasalahan dasar yang sama, dalam desain kami sering terjebak untuk menciptakan ‘produk’ dalam arsitektur pada ‘bangunan’. semestinya kita harus menempatkan produk dan bangunan bukan sebagai tujuan, tetapi sebuah alat atau fasilitas untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. dan menurut saya sudah saatnya kita kita meninggalkan pendekatan ‘manusia sebagai pusat’, kita harus menempatkan kelestarian dan keseimbangan alam sebagai pijakan paling dasar, manusia menjadi bagian didalamnya. (MD) : terakhir, bisa sedikit cerita tentang konsep pabrik radio magno yang bapak rancang? (SSK) : mendesain ‘produk’ dengan volume yang besar sesungguhnya merupakan keterbatasan saya (oleh karena itu saya hanya membuat produk yg berukuran kecil). namun karena keterbatasan biaya (saya tidak mampu membayar tenaga arsitek waktu itu) saya kemudian mendesain bangunan workshop Magno dengan cara yang saya bisa. saya ingin membuat bangunan yang tidak memiliki kesan ‘pabrik’, saya ingin bangunan yang memiliki kesan ‘rumah’. saya menyadari semua perajin dan saya sendiri bekerja minimal 7 jam sehari, 6 hari seminggu. sebuah waktu yang panjang untuk membagi hidup kami dalam periode ‘pabrik’ dan periode ‘rumah’. saya ingin lebih menyatukannya menjadi ‘rumah ke-1′ dan ‘rumah ke-2′. jadi workshop ini saya harapkan menjadi 2nd home bagi kami yang berkativitas didalamnya. saya memilih bata ekspos dan lantai multi level serta banyak bukaan. bukaan yang banyak selain untuk memperbaiki kualitas pencahayaan juga saya menginginkan ruang dimana kita bisa melihat semua aktivitas didalamnya. saya juga ingin tiap pekerja bisa

/2

/1 National Design Triennial

Taken at Cooper Hewitt National Design Museum, NYC-USA

/2 Magno@THEKEY.TO Berlin

menikmati pemandangan di luar, sebaliknya orang luar juga bisa melihat apa aktivitas di dalam. waktu saya masih kecil, saya paling betah menunggui para tukang kayu bekerja. saya juga ingin memberikan kesempatan kepada anak-anak disekitar untuk melihat (dari luar jendela) proses produksi berjalan. Di sekeliling workshop saya membangun tempat untuk pembibitan pohon. bibit inilah yang kemudian dibagikan ke masyarakat. para perajin kami libatkan dalam aktivitas ini agar mereka memiliki hubungan emosional yang erat dengan material yang menghidupi mereka.


www.ruang17.wordpress.com


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.