Pontianak Post

Page 15

Pontianak Post

20 15 29 18 30 22 27 28 29

OPINI

Selasa 25 Mei 2010

Pak Gesang tetap Gesang : In Memoriam

Editorial

Pendidikan dari Agenda Pemilihan Dua agenda pemilihan pemimpin yang berlangsung dalam seminggu terakhir bisa menjadi sarana becermin bagi kehidupan berpolitik di tanah air. Pertama, pemilihan kepala daerah (pilkada) di Kabupaten Mojokerto serta pemilihan ketua umum Partai Demokrat yang berakhir tadi malam. Pada agenda pertama, pemilihan pemimpin menemukan bentuk yang paling memprihatinkan. Pilkada yang seharusnya menjadi realisasi misi besar otonomi daerah, tereduksi maknanya sehingga tinggal dipahami sebagai ajang berebut posisi kepala daerah dengan segala fasilitas yang bisa dinikmati. Akibatnya, etika politik dikesampingkan. Politik hanya dijalankan sebagai ajang mencari kekuasaan dan penghasilan. Ketika tujuan itu gagal terwujud lewat prosedur yang dise­ pakati, segala cara dipakai agar semua pihak yang dianggap “menggagalkan” ikut menderita kerugian. Maka, mobilisasi massa dilakukan. Aksi anarkistis dihalalkan. Hasilnya, pada Jumat pagi (21/5), gedung DPRD Kabupaten Mojokerto dibakar, bom molotov diobral, puluhan mobil dinas jadi arang, dan beberapa aparat kepolisian juga menjadi korban keberingasan massa. Tragedi di Mojokerto itu semakin jelas menunjukkan bahwa masyarakat belum mendapat apa-apa dari karya besar pilkada. Mereka hanya menjadi objek, tanpa mendapat pendidikan yang santun dan beretika. Masyarakat lebih diajari bahwa politik itu adalah menghalalkan segala cara. Jika ada hukum alam bahwa politik itu tak mengenal kawan dan lawan yang abadi, masyarakat malah diberi dogma bahwa berbeda aspirasi po­litik adalah lawan. Akibatnya, rakyat tidak pernah cerdas dalam ber­politik. Politik dipandang sebagai hitam-putih, sehingga konflik politik sering menimbulkan permusuhan, bahkan perkelahian. Syukurlah, saat luka pilkada dari tragedi Mojokerto belum sembuh, ma­syarakat mendapat suguhan menyejukkan dari agenda pemilihan ketua umum Partai Demokrat pada kongres kedua di Bandung tadi malam. Meski sempat muncul kekecewaan karena semangat memelopori mekanisme pemilihan dengan e-voting yang menjamin kerahasiaan dan akurasi pupus di tengah jalan, secara keseluruhan proses pemilihan ber­langsung transparan dan demokratis. Dalam politik, strategi sangat penting untuk meraih kekuasaan, dan hal ini wajar. Namun, menjadi tidak wajar jika kekuasaan itu diraih dengan tidak mempertimbangkan etika dan melanggar berbagai aturan. Dalam pemilihan ketua umum partai terbesar kemarin, strategi berhasil ditempatkan pada porsinya. Tiga kandidat yang maju dalam pemilihan ketua umum, yakni Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, dan Marzuki Ali, berhasil memberi­kan teladan bahwa kontes pemilihan pada akhirnya adalah kontes ide dan kete­ladanan. Bukan kontes janji dan tebar pesona. Bukan pula kucuran dana deras saat lobi-lobi untuk “membeli” dukungan. Tetapi, sebuah “komit­men keteladanan”. Proses pemilihan yang terbuka dan yang paling penting tanpa intervensi adalah penghargaan prinsip one man one vote. Akhirnya, siapa pun yang terpilih mendapat dukungan dan kesejah­tera­an bersama dapat diwujudkan. Dari dua agenda pemilihan yang memunculkan hasil bertolak belakang itu, kita garis bawahi bahwa tugas calon pimpinan tak hanya untuk me­nang. Yang lebih penting adalah bagaimana menaburkan dan menyu­burkan demokrasi secara utuh dan mendidik masyarakat berpolitik se­cara cerdas dan beretika. Itulah seharusnya komitmen semua peserta pilkada dan kandidat pemimpin partai. (*)

gagasan

Penghargaan untuk Sri Mulyani Presiden SBY perlu memberikan penghargaan kepada Sri Mulyani, mantan menteri keuangan. Itu tak lepas dari jabatan barunya saat ini, yaitu managing director Bank Dunia. Meskipun sebelumnya -bersama Wapres Boediono (saat itu gubernur Bank Indonesia)- dianggap bertanggung jawab atas kebijakan penyaluran dana talangan ke Bank Century Rp 6,7 triliun, Sri Mulyani tetap berjasa kepada bangsa ini. Berkat kerja kerasnya sebagai Menkeu, perekonomian Indonesia tetap stabil ketika terjadi krisis global 2008. Pemerintah seharusnya bangga karena salah seorang putri terbaik bangsa akan menduduki jabatan penting di bank dunia. Asyiqul Mujahadah.

Pontianak Post

Judul tulisan ini diadapatasi dari judul buku T. Wendy Utomo (1986) terbitan Aneka Ilmu, Semarang yang khusus menuliskan perjalanan hidup Almarhum Gesang. Ia dilahirkan di kota Solo pada 1 Oktober 1917 dari keluarga juragan batik Martodihardjo. Dalam buku itu kemunculan lagu-lagu karangan Gesang disusun berdasarkan sikap hati sang pengarang dalam menjalani hidupnya. Lagu “Sapu Tangan” muncul setelah menerima tanda kasih dari cinta pertamanya (yang gagal karena batas harta keluarga). Namun juga tidak sekedar itu, sepasang kekasih yang sedang larut dalam buaian cinta tidak boleh memberi tanda cintanya lewat sapu tangan. Itu pemali. Lagu “Tirtonadi” berkisah tentang taman Tirto Nadi yang sedang dibangun di tengah kota Solo waktu itu. Sungguh indah, sebuah kota memiliki taman yang hijau dan rindang. Ketika Gesang bertemu dengan seorang anak perempuan yang telah kehilangan kedua orang tuanya, digubahlah lagu “Piatu”. Di akhir perang kemerdekaan, tahun 1950-an, ia dengan jenaka mengingatkan orang-orang kota yang dulu mengungsi ke desa. Saat itu,

mereka disambut dan dibantu dengan tulus oleh orang-orang desa. Diberi tempat tinggal dan juga makan. Nah, setelah perang berakhir, mereka kembali ke kota. Mereka kembali kepada kehidupan yang jauh lebih nyaman dari sebelumnya. Ternyata, mereka lupa membalas budi kepada para orang desa. Lupa akan janji­nya. Mungkin, lagu itu masih relevan dengan sebagian orang jaman kini. Janji saat berkampanye dilupakan begitu saja. Dalam lagu ”Rahayu” Gesang memberi nasehat kepada kaum muda. Ia berkata bahwa para orang tua mereka bercitacita agar anak-cucunya tidak akan kekurangan, walaupun tidak harus melimpah. Untuk mencapai ke situasi itu, para kaum muda hendaknya jangan bertengkar satu sama lain. Mereka hendak selalu rukun

Masih kuat dalam ingatan kita, dua belas tahun yang lalu tepatnya bulan Mei 1998, mahasiswa mengepung Ibu Kota Jakarta untuk menuntut sebuah pemerintahan yang mampu membawa bangsa keluar dari krisis moneter dan penderitaan rakyat akibat dari krisis tersebut. Harga bahan pokok melambung tinggi, rakyat menjerit karena nilai rupiah tidak stabil dan jatuh pada nilai terendah dalam kurs dollar. Adapun usaha pemerintah untuk meredam krisis tersebut hanya berbentuk sporadis dengan himbauan agar masyarakat mau mengumpulkan logam mulia, kemudian untuk meringankan penderitaan rakyat akan kebutuhan pokok, dilontarkanlah ide bagi-bagi nasi bungkus dengan pembagian kupon kepada rakyat oleh Departemen Sosial. Namun usaha-usaha yang dilakukan pemerintah tersebut tidak dapat mengatasi persoalan bangsa yang mulai mengoncang pilar kekuasaan. Aksi pengepungan para mahasiswa dari berbagai universitas di seluruh Jakarta akhirnya menduduki gedung DPR Senayan dan menuntut agar Presiden Soeharto turun dari kekuasaan. Pada tgl. 21 Mei 1998, tepat pukul 10.00 Wib, Presiden Soeharto menyatakan diri “Lengser Keprabon, Mandeg Pandito” dan menyerahkan estafet kepemimpinan kepada Wakilnya Prof. Ing. B.J. Habbie setelah kurang lebih 30 tahun berkuasa. Penyerahan estafet

kepemimpinan ini sesungguhnya sangat cacat hukum secara demokrasi karena tidak melalui Sidang Istimewa di MPR. Inilah dagelan politik terakhir yang dilakukan oleh Soeharto. Dengan berakhirnya kekuasaan Soeharto secara otomatis berakhir pula pemerintahan rezim Orde Baru yang sangat kental akan nuansa otoriter dan kediktatoran. Tuntutan para mahasiswa dalam mengawali era reformasi ialah 1). Menga­ dili Soeharto dan menyita kekayaannya dari hasil korupsi, kolusi dan nepotisme, (pemb­e­ ran­tasan korupsi dan penegakan hukum) 2. Mengadakan Sidang Istimewa MPR untuk membentuk pemerintahan baru (Good Governance), 3. Mengadakan pemilu yang jujur dan adil (Politik Demokrasi). Namun demikian era reformasi ternyata masih terganjal oleh berbagai aspek yang menentukan arah kemajuan bangsa. Krisis tahun 1998 yang berawal dari krisis moneter pada akhirnya me­ rembes pada krisis kepemimpinan dan moralitas bangsa. Borok-borok yang ditinggalkan era Orde Baru ternyata menyisakan bau busuk dalam sendi-sendi tubuh lembaga Negara. Dan tidak dapat ditampik lagi bahwa dalam tubuh lembaga Negara telah terjadi suatu pembusukan moral para pejabatnya, korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan tindakan yang lumrah. Perilaku koruptif, kolusif dan nepotisme merupakan parasit yang menggerogoti

Oleh: Leo Sutrisno dan kasih terhadap sesama. Mereka harus jujur dan tekun. Dan kelak, jika sudah usia senja hendaknya mencari jalan yang baik untuk menuju Sang

Khaliq. Dalam usianya yang ke85, hari ulang tahunnya dirayakan para penggemarnya dari masyarakat Jepang. Kelompok Jepang ini menamakan dirinya ”Yayasan Peduli Gesang”(YPG). Tiap tahunYPG

menggelar acara ulang tahun bagi Gesang. Mereka berjalan ribuan kilometer (dari Jepang) menuju kota Solo. Sayangnya, pada tahun itu, tidak banyak warga Solo, termasuk pejabatnya, yang hadir di dalam acara itu. Sungguh ironis. Namun, bukan Gesang kalau tidak memaafkan keadaan itu. Simaklah lagu ”Tlisingan”-nya. Ia bercerita tentang sepasang muda-muda yang saling bersumpah serapah dari kejauhan. Tetapi, setelah bertemu muka, hilanglah sumpah serapah itu. Sebaliknya, mereka merasa enggan untuk berpisah. Pada sekitar tahun 1974-an, saya menemukan lagu irama Mandarin dengan judul ”Big River”. Dijelaskan disana bahwa lagu itu bertutur tentang Sungai Yang She Khian. Sungai ini juga sering meluap kemanamana serta juga membawa korban. Tetapi, sungai ini juga sangat indah, berkelok-kelok

membelah bumi Tiongkok dalam ribuan kilometer dari barat ke timur. Irama lagu ”Big River” ini sangat mirip dengan irama lagu ”Bengawan Solo”. Mungkin lagu itu aransemen Mandarin dari lagu Kroncong Bengawan Solo. Khusus lagu Bengawan Solo, menurut Gesang ada sedikit perubahan dari tulisan aslinya. Pada kalimat ”di musim hujan ’air’ meluap sampai jauh”, kata ’air’ itu aslinya adalah ’nanti’. Demikian juga pada ”Terkurung’ gunung seribu”, kata ’terkurung’ itu sesungguhnya ’berkurung’. Terkurung berarti pasif, berkurung bermakna aktif. Dalam lagu Langgam Kroncong dengan judul ”Sebelum aku mati” ia menulis: Sekali ’ku hidup sekali ’ku mati / Aku dibesarkan di bumi pertiwi / Akan kutinggalkan warisan abadi / Semasa hidupku sebelum aku mati/ Lambaian tanganku / Panggilan abadi / Semasa hidupku / Sebelum aku mati. Pak Gesang, engkau tetap gesang (hidup). Lambaian tanganmu sebagai warisan sejati. Selamat jalan Pak Gesang. Jalanmu tetap lapang menuju Sang Khaliq. Engkau tetap gesang di seberang sana. **

dan pengorbanan para mahasiswa yang mempertaruhkan nyawanya demi arah kemajuan bangsa kian meredup. Aktivis yang dulunya bersuara keras/ vocal menentang rezim orde baru ternyata setelah masuk dalam lingkar kekuasaan tidak jauh berbeda dengan perilaku para pejabat rezim sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa kevokal-an, hanya sebagai suatu bentuk menunggu giliran waktu yang tepat untuk melakukan hal yang sama terhadap yang di-vokal-kan. Hal ini membenarkan apa yang dilakukan oleh aktivis angkatan 1966, Soe Hok Gie mengingatkan kepada para sahabatnya yang ada di parlemen secara simbolik dengan mengirim alat-alat kosmetik untuk mempercantik diri sehingga mendapat citra yang baik di depan penguasa/ atasannya. Dengan merunut perisitiwa dan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara dalam dua belas tahun era reformasi ini, rakyat belum merasakan sungguh-sungguh dampak dari reformasi itu sendiri, selain dari iming-iming kesejahteraan dikala waktu perhelatan kampaye pemilu tiba. Reformasi kita sedang berjalan setengah mati untuk melangkah menuju perubahan yang lebih baik. Realitas sosial yang sedang terjadi dewasa ini di pusat kekuasaan, tidak dapat dipungkiri. Para politisi kita sibuk mencari strategi terbaik untuk merebut kekuasaan, para pejabat sibuk

dengan mencari cara untuk meraup keuntungan selama memangku jabatannya, para aparat penegak hukum juga tidak jauh berbeda perilakunya dengan para penjaja asongan di terminal demi mendapat “order gede”, sehingga terjadi per-makelar-an. Para pendidik juga sibuk dengan rekayasarekayasa bagaimana agar hasil test nasional dapat berhasil dengan baik. Lalu apakah ini yang dikehendaki dari reformasi tahun 1998? Memang reformasi kita sudah berjalan dua belas tahun silam, namun masih perlu diperjuangkan oleh semua elemen bangsa yang memiliki kehendak yang baik, tiada jalan pintas untuk melakukan reformasi kecuali, berjuang dan mengorbankan kepentingan-kepentingan diri dari para pemimpin, elite politik, pengusaha demi kemaslatan masyarakat banyak. Maka itu dibutuhkan para pemimpin yang memikirkan kesejahteraan rakyat, politisi yang berpihak pada penderitaan rakyat, aparat penegak hukum yang tidak hanya membebankan rakyat, pengusaha yang tidak hanya meraup untung dan menghisap rakyat. Jika demikian adanya, maka tidak mustahil bangsa kita akan menjadi bangsa yang besar dan disengani oleh bangsa lain karena memiliki karakter bangsa yang tangguh. **

Reformasi Setengah Mati Oleh: Hilarinus Tampajara moralitas bangsa. Dengan realitas tersebut, rakyat menjadi kehilangan rasa percaya kepada pejabat penyelenggara pemerintahan yang kredibel, akuntabel, dan memiliki integritas moralitas yang baik. Selama era reformasi telah empat kali terjadi suksesi kepemimpinan nasional/ presiden, namun persoalan bangsa menghadapi persoalan korupsi, kolusi dan nepotisme kian tak berdaya (tumbuh subur para makelar di tubuh lembaga Negara). Hukum yang menjadi wasit terakhir dalam menentukan eksekusi pene­ gakan hukum ternyata penuh dengan nuansa per-mafia-an. Penegakan hukum kita sekarang sedang “lemah syahwat”, apabila berhadapan dengan para “pembesar” yang masuk dalam lingkaran kekuasaan. Hukum hanya diperuntukkan kepada rakyat kecil, lemah tak berdaya, sedangkan bagi mereka yang berkuasa, para pejabat, para pemodal/pengusaha, hukum sebagai tameng untuk mempertahankan kebusukan moralitasnya. Eforia reformasi yang menjanjikan kemajuan bangsa dalam aspek pemerintahan yang bersih, politik yang demokratis, penegakan hukum yang adil, pembangunan yang merata di seantero nusantara, dan seterusnya ternyata masih jauh panggang dari api. Perjuangan

* ) Penulis, Pengamat Sosial, Mahasiswa S2 Sosiologi Universitas Tanjungpura

Terbit 7 Kali Seminggu. Izin terbit Menteri Penerangan RI No. 028/SK/Menpen/SIUP/A7. Tanggal 3 Februari 1986. Per­setujuan Peru­bahan Nama No: 95A/Ditjend. PPG/K/1998 Tanggal 11­September 1998. Alamat Redaksi dan Tata Usaha: Jalan Gajah Mada No. 2-4 Pontianak 78121. Kotak Pos 1036. Fax. (0561) 760038/575368. Telepon Redak­si: (0561) 735070.Telepon Iklan/Pema­saran:735071. Hunting (Untuk seluruh bagian) Fax. Iklan 741873/766022. Email: redaksi @pon­tianakpost.com. PenerPERTAMA DAN TERUTAMA DI KALIMANTAN BARAT bit: PT.Akcaya Utama Press Pontianak. Pembina: Eric Samola, SH, Dahlan Iskan. Komisaris Utama: Tabrani Hadi. Direktur: Untung Sukarti. Pemimpin Re­daksi/Penang­gung Jawab: B Salman. Redaktur Pelaksana: Khairul­rahman Sidang Redaksi: Abu Sofian, Muslim Minhard, Surhan Sani, Mela Danisari, Yulfi Asmadi, Donatus Budiono, Basilius. Sekre­taris Redaksi: Silvina. Staf Redaksi: Marius AP, U Ronald, Efrizan, Aseanti Pahlevy, Deny Hamdani, Budianto, Chairunnisya, Pringgo, Pracetak/ Jawa Pos Group Artistik: Karnadi (Koordinator), Grafis: A.Riyanto, Ilustrator: Kessusanto, Sigit. Fotografer: Timbul Mudjadi, Bea­ring, Sando Shafella. Biro Singkawang: Zulkarnaen Fauzi, M Khusdarmadi, Hari Kurniathama (Jl. Gunung Raya No.15 Telepon (0562) 631912). Biro Sambas: Mursalin (Jl P Anom Telp (0562) 392683) Biro Sanggau: Anto Winarno (Jl. Sudirman No. 4 Telp. (0564) 21323). Biro Ketapang: Andi Chandra, Andre Januardi (Jl. Gajahmada No. 172. Telp. (0534) 35514). Kabupaten Pontianak: Hamdan, . Biro Sintang: Mustaan, Budiman. Pema­saran/Sirkulasi: -. Iklan: Dewiyanti.S. Percetakan: Surdi. Devisi Event: Budi Darmawan. Kombis: Nurtiman. Jakarta: Max Yusuf Alkadrie, Bank: BPD Kalbar, BEII, Bapin­do. Harga Lang­ganan per 1 Bulan dalam kota Rp 65.000,- (luar kota tambah ongkos kirim). Tarif iklan: Per mm kolom hitam putih Rp 20.000,- spot colour Rp 25.000,- full colour Rp 30.000,- Iklan baris Rp 10.000,- per baris (minimal 2 baris, mak­­si­mal 10 baris) pem­bayaran di muka. Telepon Langganan/Pengaduan: 735071. Iklan: 730251. Perwakilan Jakarta: Jl. Jeruk Purut-Al-Ma’ruf No.4 Pasar Ming­gu, Jakarta Selatan 12560. Telepon: 78840827 Fax. (021) 78840828. Percetakan: PT.Akcaya Pariwara Pontianak. Anggota SPS-SGP ISSN 0215-9767. Isi di luar tanggung jawab percetakan.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.