Majalah DAQU, Edisi: 002 - Tahun V - Mei 2012/Jumadil Akhir 1433 H

Page 102

latarhati

102

Meraba Orang Kecil Oleh: Sunaryo Adhiatmoko @sunaryojati

Di kampung saya, Jawa, nasi jagung diolah cukup lezat. Diawali dengan menumbuk biji jagung kering, hingga jadi tepung. Lalu dikukus. Sebelum matang, sudah ada yang enak dimakan, bagian paling bawah. Namanya ampok. Lebih lezat jika ampok itu, dimakan dengan gula merah. Tapi, untuk membuat nasi jagung seperti itu, perlu bahan biji jagung lebih banyak. Di pedalaman Soe, NTT, saya menjumpai makanan pokok dari jagung. Tapi, cara mengolahnya berbeda dengan di Jawa. Di sana biji jagung yang masih utuh, hanya direbus dengan bumbu ala kadarnya, dicampur daun pepaya dan daun singkong. Itupun cara merebusnya tak terlalu matang. Kita akan mengenal masakan seperti itu, dengan menyebut sayur bening. Tapi ini bukan sayur lo, sungguh-sungguh nasi, seperti nasi beras yang kita konsumsi. Di Soe, banyak generasi mudanya yang masuk pesantren ke Jawa. Saat saya cerita tentang nasi jagung ala Jawa, mereka mengatakan lezat. Lalu terpikir juga, untuk mengolah dengan cara yang sama. Tapi, ada sebab khusus tak dilakukan. Sesuatu yang sederhana, namun luput dari cara nurani kita meraba dan pikiran kita mencerna, tentang cara hidup orang kecil. Di Jawa, jumlah jagung lebih banyak dengan masa panen bisa dua kali setahun. Untuk membuat Edisi: 002 Tahun V/Mei 2012/Jumadil Akhir 1433

nasi jagung dalam tepung, perlu jumlah biji jagung lebih banyak. Sementara di Soe dan NTT umumnya, panen jagung hanya sekali setahun, itu jika cuaca baik. Kalau musim kemarau merajam, lain lagi cerita dramatisnya. Maka, jagung sebagai salah satu makanan pokok, hanya direbus tak terlalu matang. Dengan begitu, jumlahnya akan cukup untuk dimakan sekeluarga, jagung yang tak terlalu matang juga bisa mengembang di dalam perut. Intinya, bisa kenyang dalam waktu lama. Cadangan jagung juga bisa bertahan, sampai pada musim panen berikutnya. Begitu, cara orang-orang dipelosok mempertahankan kelangsungan hidup. Kali lain, saya ke Tubeket, satu kampung di pedalaman Mentawai yang dikepung ancaman gempa dan tsunami. Di kampung terpencil itu, hanya ada sekolah SD sampai kelas tiga. Jika ingin melanjutkan ke kelas empat sampai lulus, anakanak yang baru berumur 9 tahun itu, akan berpisah dengan orang tua dan kos di Pasapuat. Mereka baru pulang sepekan sekali, itu jika ada perahu tumpangan ke Tubeket. Saat berangkat, anak-anak itu, selain membawa beras juga dibekali orang tuanya, dua jirigen berisi 5 liter air yang sudah direbus. Padahal, di Pasapuat air bersih melimpah, bahkan lebih segar dari di Tubeket. www.pppa.or.id


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.