majalah elektronik Narodnik

Page 1

FEBRUARI COVER BY ABDUL HARIS

#1

SEMANGAT, CERDAS, DAN OBJEKTIF ITU NARODNIK!

Narodnik Majalah Elektronik


2

Narodnik #1 Editorial

Going to The People

Majalah (emagazine) ini bukan berarti ingin melakukan pergerakan sosial melalui gerakan kelas seperti “society

Berbicara tentang segumul masalah negeri ini di dalam negeri sendiri bisa saja kita optimis. Optimis terhadap konflik politik yang melukai kepercayaan masyarakat hingga masyarakat dominan saat ini tak percaya lagi terhadap partai politik. Optimis terhadap gejolak ekonomi politik Internasional, apalagi setelah krisis ekonomi di Eropa, yang notabene basis ekonomi dunia, melanda dan mengganggu dinamika perekonomian dunia lihat kerusuhan sosial di Inggris, Prancis, dan Yunani- hingga bangsa ini pun terkena dampaknya. Optimisme itu selalu ada memang, tapi apakah optimisme otomtis muncul ketika kita berbicara/berdiskusi dengan bangsa lain, Jepang misalnya? Pasca Soekarno bangsa ini belum mampu jadi 'leader' bagi negaranegara lain. Paling tidak menjadi negeri yang 'ditakuti' negara-negara lain. Bukan berarti pula negeri ini tidak melahirkan calon-calon 'leader negeri' yang mungkin saja kelak mampu membawa negeri ini ke fase integritas yang tinggi. Negeri ini terlalu banyak dan asik terhadap pergerakan yang cenderung konsumtif (hedonisme). Warganya terlalu terlena. Terlalu asik. Tidak berani berkata “tidak!” terhadap serbuan komoditas yang mudah menyerbu ke berbagai penjuru, bahkan menyerbu ke dalam pikiran masingmasing individu negeri ini. Ya, komoditas memang mengasikkan melalui pola konsumsinya. Bayangkan bila kita sedang menikmati secangkir teh di mall, menikmati mobil mewah di jalan tol, dsb. Tidak akan ada perubahan tanpa pergerakan. Pergerakan melawan, bukan pergerakan melawan yang sifatnya kadang-kadang. Bukan seperti: membeli banyak komoditas tapi berbicara lantang anti kapitalisme. Itu sama saja seperti memberi buah kepada orang yang sakit tapi menghalanghalangi dokter untuk menyembuhkannya. Berbicara pergerakan perubahan sosial mengingatkan sejarah Uni

movement of narodnik” tetapi semangatnyalah yang dapat diserap. Majalah Narodnik ingin memiliki semangat sosial seperti narodnik di Uni Soviet itu. Dari itulah majalah ini (bagian dari kerja-kerja Kelompok Studi Metafor) diberi nama Narodnik. Narodnik ingin lekat dengan masyarakat bukan semata karena ingin dikenal apalagi ingin menjadikan masyarakat sebagai pasar ekonomi semata (lebih lanjut mengenai 'cita-cita berdirinya' Metafor bisa ditemui di tulisan “Dunia Tanpa Metafor” yang ditulis oleh ketua Metafor itu sendiri, Zulfikar). Narodnik memiliki keinginan, selain tujuan esensial sebuah media massa pada umumnya, untuk memberikan kontribusi terhadap perubahan masyarakat yang lebih baik secara budaya, secara sastra, dan secara ekonomi. Cita-cita perubahan ini boleh jadi merupakan sesuatu hal yang terlalu tinggi dan terlalu idealis. Tapi itulah narodnik movement di Uni Soviet yang memiliki cita-cita “going to the people”. Narodnik pun punya cita-cita mewujudkan berbagai kajian berbagai bidang semampunya pegiat Metafor itu sendiri- bagi kehidupan masyarakat di negeri ini, khususnya bidang sastra maupun budaya. Apalagi bila kita melihat kondisi sastra di masyarakat luas dari berbagai perspektif, seperti perspektif kecintaan literasi, kecintaan menulis karya sastra, dan sebagainya. Begitulah Narodnik ingin “going to the people” dengan segala kemampuannya. Akhir kata, selamat datang dan selamat membaca sajian Narodnik ini. (Penasehat Redaksi)

Soviet (sekarang Rusia) yang memiliki suatu pergerakan sosial bernama narodnik. Berikut kutipan yang mungkin bisa menambah atau mengingat sejarah narodnik itu. The activities of the Narodniki developed in the late 1860s and early 1870s in a diffuse movement known as khozhdenie v narod (“going to the people”) in the course of which hundreds of young intellectuals, dressed in peasant clothes, canvased rural regions and incited the peasantry to rise against the system (Britanica.com)

Majalah elektronik Narodnik adalah majalah berkala dari kelompok Metafor. Terbit setiap sebulan sekali. Fokus di bidang humaniora. Info lebih lanjut mengenai Metafor dapat menghubungi: Email: kelompokmetafor@yahoo.com Phone: 081394334150 (Zulfikar) 085222105107 (Fredy Wansyah)


3

Narodnik #1

Dunia Tanpa Metafor Barangkali, kita tidak asing lagi dengan media komunikasi dewasa ini, terutama media-media pers, media untuk menyampaikan pesan atau berita yang berbentuk elektronik maupun media cetak. Media elektronik bisa kita katakan 'meraja', seperti bank informasi saja dia menyimpan banyak tabungan berita. Lalu suka hati kita mengambil tabungan-tabungan itu dan menyimpan di bawah bantal tidur kita sampai terbawa mimpi. Sama halnya juga media cetak, bagian dari alat yang terus menerus bekerja mengisi informasi ke kepala kita, entah itu informasi baik-baik maupun yang buruk. Setiap hari kita mendengar televise dan setiap hari kita membaca berita-berita. Menutup telinga pun masih terlihat dan menutup mata pun telinga mendengar. Menutup mata dan menutup telinga masih terasa saja keributannya. Berbicara tentang media cetak, begitu pun dengan media yang sekarang Anda baca ini. Apakah Anda tidak ingin mengatakan bahwa Anda terbiasa dengan ini? Terbiasa membaca media. Di era informasi dan teknologi saat ini, tentunya dengan segala kelebihannya dibandingkan di masa era tradisional dulu- dan juga kekurangannya, kita bisa bebas menyuarakan apa pun yang berhubungan dengan kepentingan kita, dalam hal apapun. Asalkan kita tidak menyinggung kepentingan orang lain yang mungkin dapat menimbulkan persengketaan fisik. Kemudian aku dengan secara acak akan menyinggung tentang hak setiap orang untuk berkumpul dan berpendapat, terkait kebebasan. Aku masih ingat perkataan Presiden beberapa hari lalu tentang penjaminan semua warga untuk menyampaikan pendapat, untuk berkumpul dan membuat organisasi, juga berkumpul untuk menyatukan pendapat dalam sebuah organisasi. Sepertinya semua keinginan presiden itu, kebebasan warga dan kebebasan informasi jadi timpang, termasuk dalam hal berpendapat. Pertanyaan sederhananya, seperti apa dan bagaimana semua keinginan itu terwujud? Dari benih itulah Metafor lahir. Bukan sekadar ingin meriuhkan atau mendamaikan keadaan yang timpang tadi. Tentu saja tanpa Metafor pun beginilah tetap keadaanya, karena kita memandang Metafor dari tidak ada. Tapi perlu diingat dan digarisbawahi, jika kita memandang Metafor dari keberadaannya maka tentu bisa jadi akan menciptakan sesuatu, walaupun mungkin tidak merubah. Tentu ada ruang-ruang kosong yang bisa diisi olehnya (-nya adalah Metafor). Pun dunia tanpa metafor akan baik-baik saja, mungkin. Metafor hanya membaca, hanya menulis, hanya belajar, hanya berkelompok untuk kembali mencintai dunia kesusastraan serta mencitai masyarakat. Pada akhirnya terus menyatu dengan masyarakat. Siapa yang bisa melihat dunia ini penuh dengan kemeriahan dan kemodernan dunia? Meski kita dapat melihat itu, seperti melihat rumah di seberang sungai, tentunya sastra sulit terlihat. Bila dibanding dengan teknologi dan informasi (dengan segala perangkat-perangkat yang canggih), dunia kesusatraan jauh tertinggal (opini). Dunia bacaan yang bisa menenangkan jiwa atau untuk membakar jiwa yang sudah kering tentu tak dibutuhkan lagi. Orang butuh teknologi untuk dapat memenuhi kejiwaannya yang terkurung ketakutan. Tulisan yang banyak dibutuhkan adalah bukubuku panduan penggunaan teknologi agar kita tidak dianggap bodoh (gaptek). Tulisan yang dibutuhkan adalah tulisan-tulisan berita dari dunia yang maju, bukan berkembang apa lagi yang tradisonal. Tapi di sini bukan berarti aku pun memusuhi dengan keterlaluan kenyataan (fakta) jaman ini, tentu saja tidak. Pesan yang mesti disampaikan kepada kita semua adalah, bahwa kita tidak harus lupa sesungguhnya kita punya perasaan untuk merasakan diri kita sebagai manusia, merasakan teman-teman kita sebagai manusia, merasakan tetangga-tentangga kita sebagai manusia, bahkan merasakan orang yang kita sakiti adalah manusia. Orang-orang butuh informasi untuk mengangkat kejiwaannya yang takut dikucilkan. Sedangkan dunia kesusastraan hanya berbicara tentang imanjinasi yang dipandang orang-orang informasi itu tidak penting. Ini tidak salah, tapi mari kita bicarakan di sebelah mana kesalahannya. Mari kita diskusikan untuk menemukan titik merah kesalahannya. Aku tekankan di sini, bahwa semua bentuk karya sastra adalah media yang sifat penyampaiannya halus. Dari dahulu media seperti ini digunakan oleh orang-orang untuk memperbaiki rasa sakit yang diidap oleh masyarakat ini semacam persamaan pandanganku terhadap pernyataan Seno yang cukup terkenal itu, “bila jurnalisme dibungkam, sastra mesti angkat bicara�- Bisa jadi orang-orang memang merasa kesakitan, atau boleh jadi orang-orang malah merasa sehat-sehat saja padahal sebenarnya sedang mengidap suatu penyakit. Maka pencipta karya sastra (sastrawan) adalah orang yang bertanggung jawab untuk tidak melewatkan penyakit berbahaya satu jenis pun. Jangan sampai terus berkelanjutan, dan bersemayam di hati maupun pikiran kita semua. Orang-orang tidak sembarangan membaca dan mengobati apa yang terjadi, layaknya membaca keadaan dengan agama, dengan hal filsafat, idiologi-idiologi yang bisa dipelajari dan diterapkan siapa saja. Perlu diingatkan kembali, bahwa kita hanya butuh waktu senggang untuk membaca perasaan kita tentang suatu hal yang kita hadapi. Jika kita sakit, maka kita datanglah ke dukun atau dokter, jika kita batuk maka datanglah ke warung membeli obat batuk.Tetapi jika perasaan kita sedang sakit siapa yang mesti kita datangi kecuali diri kita sendiri. Kita perlu membaca perasaan kita sendiri, membaca orang-orang yang juga mempunyai perasaan seperti kita. Kita perlu untuk menulis, mencatatkan setiap rasa sakit untuk diobati. Kita perlu mengembalikan lagi sastra kepada masyarakat. Di sanalah Metafor mengalir hilir. Zulfikar. Ketua Metafor

Keredaksian Penanggungawab: Zulfikar (Ketua Metafor). Penasehat Redaksi: Fredy Wansyah. Pemimpin Redaksi: Novriadi Sitompul. Tim Redaksi & Pewarta: Tirena Oktaviani. Muhammad Apian Romadhoni. Novriadi Sitompul. Fredy. Keuangan: Iffah Adilah. Distribusi/Publishing: Muhammad Aprian Romadhoni. Layout/Desain: Ucok. Kontak Redaksi email: redaksinarodnik@gmail.com phone: 081321786610 (Novriadi) blog: majalahnarodnik.blogspot.com basis/pusat kesekretariatan: Jln. Raya Jatinangor. Km.21. Sumedang. Jawa Barat. Indonesia. Narodnik menerima tulisan esai, puisi, cerpen, fotografi, dan isian Narodnik lainnya. Silakan kirim kritik dan saran. Semua dialamatkan ke email redaksi: redaksinarodnik@gmail.com Pengiriman tulisan disertai data diri singkat dan nomor kontak. Tulisan yang kami muat, untuk saat ini, belum dapat kami beri imbalan dana. Kami hanya mendukung kreatifitas kepenulisan karya sastra dengan membantu publikasi secara kualitatif, tapi tidak menutup kemungkinan untuk masa mendatang. Salam redaksi.


Photo Editing: Dinal Kelian

Di sini Kami sediakan space iklan (non iklan baris) gratis untuk tiga edisi Info lebih lanjut hubungi 081321786610 (Abel)


5

Narodnik #1 Warta

Stos Film Festival 2012

Istilah 'kota seni' mungkin layak dilekatkan untuk Cikini. Cikini sering digunakan untuk acara-acara seni. Misalnya, acara sastra apresiasi sastra, diskusi publik, gerakan literasi, dan pementasan seni teater dan musik. Cikini berada di tengah-tengah kota Jakarta, tepatnya berada di Jakarta Pusat, tidak jauh dari terminal Senen, sehingga sentralisasi seni di Jakarta mungkin saja benar-benar diletakkan di Cikini. Khususnya lagi, di Cikini terdapat pusat seni yang terletak TIM (Taman Ismail Marzuki). Di sini terdapat perpustakaan HB Jassin, IKJ (Institue Kesenian Jakarta), dan penggung pementasan teater yang cukup luas dan elegan. Maka, tak salah bila STOSFES (StoS Film Festival 2012) memancing acara puncak yang akan diadakan mulai tanggal 22 26 Februari.. Memancing acara dengan rangkai jumpa pers di Cikini memang tepat. Sebelum memasuki acara puncak StoS Film Festival 2012 yang akan digelar mulai tanggal 22 26 Februari 2012 dan bertempat di Goethe Institut, Kine Forum dan Institut Français d'Indonésie, yang terletak di daerah Mampang. StoS Film Festival, yang digelar dua tahun sekali untuk apresiasi seni film dengan fokus pada tema-tema lingkungan, bukan pertama kali diadakan di Jakarta, namun baru kali ini acara diadakan selama tiga hari. STOSFES ini merupakan kegiatan yang ke-IV. Ada banyak rangkaian acara sehingga acara ini harus diadakan selama tiga hari. Acara-acara tersebut ialah pemutaran 33 film dokumenter, film fiksi, dan Pameran tentang Masyarakat Mollo. Selain itu, juga ada penilaian kompetisi esai yang telah terpilih 30 judul karya terpilih dari 70 judul karya yang masuk ke panitia. Tahun ini acara mengambil tema “Semangat Tanpa Batas”. Tujuannya adalah mengangkat berbagai persoalanpersoalan sosial-politik di nusantara ini dengan wujud semangat yang tinggi. Semangat yang harus ditunjukkan melalui karya seni dalam bentuk film, dan dalam bentuk esai. “Berjuta semangat yang bermunculan inilah yang ingin ditularkan StoS Film Festival kali ini. Kami ini berbagi semangat dan menyerukan semua pihak untuk bertindak bersama-sama untuk menyelamatkan lingkungan,” ujar Ferdinan Ismail, Direktur StoS Film Festival 2012. (Fredy Wansyah)

Kekurangan Gizi di Tengah-Tengah Kawasan Pendidikan Jatinangor merupakan kawasan pendidikan. Penduduknya lebih dari 50% adalah pendatang yang sedang melakukan studi. Wajar bila kini Jatinangor menjadi kawasan yang mirip-mirip kota. Mulai dari bangunan-bangunan, hingga kebiasaan warganya yang mulai menampakkan pola kebiasaan kota. Kebiasaan menghibur diri ke tempat-tempat seperti mall, kebiasaan konsumsi makanan, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Tapi, ada kisah menarik di balik kisah Jatinangor yang mulai berkembang dan mulai mengarah pada kawasan perkotaan. Di balik itu semua ada bayi-bayi yang hidup kekurangan gizi. Terdapat 600 orang bayi mengalami kekurangan gizi, dari 6.912 balita. Dalam hal ini Desa Cipacing merupakan desa tertinggi yang mengalami kekurangan gizi. Sebanyak 30 dari 6.912 balita di Kec. Jatinangor, Kab. Sumedang, tergolong kategori sangat kurang gizi. Angka ini mencapai 0,47% berdasarkan hasil kegiatan bulan penimbangan badan (BPB) tahun 2011 yang dilakukan setiap Agustus. Spesifikasi itu disampaikan Kepala Puskesmas Dengan Tempat Perawatan (DTP) Jatinangor, dr. Wara Pamungkas, Senin (20/2). Menurut Piana, sampai saat ini di wilayah Jatinangor belum ada kasus gizi buruk yang parah. "Balita-balita itu hanya kurang gizi atau sangat kurang gizi, tidak sampai menderita marasmus," kata Piana, petugas gizi di Puskesmas Jatinangor. (Novriadi Sitompul. Dari berbagai sumber)

Pertemuan Komunitas: Mempertahankan Diri Bulan Februari banyak diidentikkan dengan bulan penuh cinta. Cinta bukan hanya sebatas soal rasa dan kata kasih sayang. Di dalam cinta ada pertemuan. Hal ini pula yang melatar belakangi Komunitas Lacikata (Semarang), bekerja sama dengan ASAS (Bandung), mengadakan pertemuan komunitas sastra dan seni Bandung di UPI, Sabtu (4/2). Pertemuan dibuka dengan lagu sunda yang diiringi kecapi dan suling dari komunitas TURUS (UPI). Pertemuan ini dihadiri dari berbagai komunitas sastra, baik komunitas-komunitas dari daerah Bandung, seperti komunitas teater TIK (UNPAS), Langkah Komunitas Sastra (Jatinangor), TURUS (UPI), Majelis Sastra Bandung (Bandung), komunitas SASAKA (UIN), dan omunitas Daun Jati (STSI). Selain itu, hadir perwakilan dari komunitas WARAS (Cianjur). Setelah memperkenalkan diri komunitas masing-masing, peserta pertemuan mengejawantahkan persoalan-persoalan yang muncul di dalam dinamika komunitas serta penyebab permasalahan tersebut. “Kita perlu menindak lanjuti persoalan-persoalan yang ada di dalam komunitas, bukan hanya membicarakannya saja,” tutur Romyan Fauzan, perwakilan dari Majelis Sastra Bandung. Lelaki yang akrab disapa Uyan ini berharap komunitas-komunitas bidang seni dan sastra di Bandung dapat mempertahankan diri. Seusai diskusi santai dan serius, acara yang dimulai setelah Dzuhur, diakhiri jam 4 sore dengan pembacaan puisi oleh perwakilan masing-masing komunitas. Semoga panjang umur, komunitas sastra! (Tirena Oktaviani)


6

Narodnik #1 Warta Polandia-Indonesia; Beda Tanah Beda Tradisi Ada adigum yang telah umum, 'di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung,' yang tidak asing lagi di telinga. Banyak orang memahami bahwa adigum itu sepertinya tepat. Di mana orang berada, tradisi di tempat berada itulah mesti dijunjung. Polandia misalnya. Di Polandia tidak ada kemelaratan sekolah. Tidak terlalu fanatik agama. Warga Polandia bisa dikatakan pada umumnya tidak begitu tertarik pada Tuhan, khususnya kaum remajanya. Seperti pengalaman Aniq Bastian, mahasiswi Unpad yang mewakili organisasi internasional mahasiswa, AIESEC, untuk ke Polandia. Menurutnya, kehidupan di Polandia sangat jauh berbeda dengan kehidupan di Indonesia. Khususnya mengenai kebiasaan berpesta (party). Di Polandia, berpesta sudah menjadi hal yang lumrah dan wajar. “Party dan alkohol dua hal yang mereka lakuin setiap hari. Aniq join di party mereka, tapi gak minum,” ungkap Aniq dari Polandia (14/02). Mengenai pendidikan, warga Polandia diberi pendidikan gratis oleh pemerintahnya. Bahkan wajib. Dari jenjang SD sampai kuliah. ”Di sini mereka gak bayar untuk pendidikan karena pendidikan jadi kewajiban buat setiap anak di sini. Justru kalau mereka ketahuan gak sekolah, atau orang tuanya ngebiarin anaknya gak sekolah, mereka mereka bisa dimarahi pemerintah. Pendidikan di sini gratis sampai kuliah, mereka cuma beli buku dan alat tulis,” ungkap Aniq.

Ilustrasi: google

“Pertama datang Aniq bilang Aniq muslim. Mereka bilang oh thats fine. Gak jadi masalah buat mereka karena agama di sini gak terlalu kuat pengaruhnya di masyarakat,” ungkapnya mengenai warga Poland atas toleransi beragama. “Di sini yang pasti mereka gak ada yang percaya Tuhan. Mereka ngerayain natal, tapi cuma itu aja.” Jadi, di Poland dan Indonesia dapat dikatakan sangat berbeda tradisinya. Jika hendak ke Polandia, Anda dapat mempertimbangkan hal ini demi mengikuti 'di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.' Perlu diingat bahwa keseharian warga Poland terbiasa dengan pesta-ria, sedangkan warga Indonesia hanya melakukan pesta-ria di saat-saat tertentu saja, mungkin kita hanya di saat momen peringatan semata, seperti momen perayaan valentin misalnya. (Fredy Wansyah)

Pedagang Kelontong Fasih Bahasa Inggris Biasanya, seseorang yang sudah uzur usia hanya menikmati hidup. Kesepian pula. Anak-anak dan cucu-cucu sibuk dengan rutinitas masing-masing. Sementara, ingin ikut dalam rutinitas tidak mampu karena tenaga tidak mencukupi. Berbeda halnya dengan nenek yang bernama Fajar Wati Gunadi. Ia akarab disapa Ibu Usman oleh penduduk sekitar rumahnya. Ia bukan perempuan uzur yang hidup tenang dengan cara duduk-duduk di beranda sambil menikmati udara. Ia masih mampu beraktivitas layaknya orang-orang yang belum uzur. Ibu Usman tinggal di rumah bilik kecil. Sederhana, dengan berlantai tanah. Rumah Ibu Usman tidak jauh dari pusat keramaian di Parung. Tepatnya, di kampung Tajur RT.07 RW.04 Desa Pemagarsari, kecamatan Parung, Bogor. Sore itu (18/02/2012), Ibu Usman bercerita banyak tentang hidupnya. Beruntung, salah satu tim pewarta Narodnik, masih menemui orang seperti Ibu Usman. Gayanya bercerita sangat khas. Ibu Usman lahir di kota Purworedjo pada tanggal 8 april 1945. Ibu Usman termasuk salah satu orang yang gigih, karena itu Ibu Usman dapat melewati studi hingga jenjang “pasca SMA”. Awalnya bersekolah di Sekolah Rakyat (SR) pada tahun 1952-1959. Kemudian melanjut ke SMP Marhaenisme Purworejo pada tahun 1959-1962, lalu ke SMA Marhaenisme Purworejo pada tahun 19631965, dan PGSLP (Pendididkan Guru Sekolah Lanjutan Pertama) jurusan bahasa Inggis pada tahun 1967-1969. Selain menempuh di jenjang pendidikan, Ibu Usman juga aktif di GSNI (Gerakan Siswa Nasional Indonesia). Menurut Ibu Usman, banyak yang menuduh organisasi GSNI yang diikutinya

sebagai organisasi jahat karena dekat dengan PKI. Akibatnya, karena pada masa itu sedang ramai-ramainya pencarian aktivis PKI, Ibu Usman sempat mengamankan dirinya dengan meninggalkan rumah. Selama menempuh pendidikan di PGSLP pun aktif di GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia). Setelah menempuh studi, mengajar jadi pilihan hidupnya. Sempat mengajar di taman kanak-kanak. Pada tahun 1980 mengajar di SMP Islam Parung, Bogor. Sejak tahun 1982 Ibu Usman memilih jadi pedagang kelontongan, bahkan masih berdagang hingga saat ini. Setiap pagi, setelah waktu-waktu subuh, berangkat ke pasar Parung untuk menjajakan barang dagangannya, alat-alat kecil seperti jarum, penitih, kapur barus, jepit rambut dan sejeninya. Ternyata di balik kesehariannya menjadi pedagang, Ibu Usman masih menunjukkan sifat sebagai guru. Ibu Usman masih mengajar di sela-sela berdagang. Di rumahnya, setiap sore para peserta didiknya menemui dengan rasa hormat, meski kadang di tempat berdagang belum tentu rasa hormat itu belum tentu didapatkan. Meski tidak banyak, para peserta didiknya rata-rata anak sekolah SD. Sesekali Ibu Usman menunjukkan kefasihannya berbahasa Inggris. Sampai saat ini, bahasa Inggris masih dicintainya seperti masa-masa muda dahulu yang bermula dari orang tuanya karena fasih berbahasa Inggris. Di balik jiwa pedagang, masih tersimpan ilmu-ilmu yang ditanamnya ketika muda dahulu, hingga kini bahasa Inggris masih melekat di diri Ibu Usman. (Muhammad Aprian Romadhoni)


7

Narodnik #1 Sosok

Valentine, Penyelamat Cinta Umat

Ada hari spesial setiap bulan Februari tiba. Spesial bagi kaum remaja. Pada tanggal 14 diperingati hari Valentine Day, atau biasa disebut hari kasing sayang. Pada hari itulah jadi hari yang spesial di bulan Februari. Tahukah bahwa peringatan hari kasih sayang itu bermula dari adanya larangan menikah? Nah, kalau kini menikah tidak ada lagi larangan bagaimana? Kini kita bisa bebas menikah kapan saja dengan kekasih kita. Mulanya adalah Valentine, yang kemudian namanya ditasbihkan menjadi hari peringatan kasih sayang sedunia. Valentine hidup pada abad ketiga sebagai seorang pendeta, di Roma, di kerajaan yang saat itu dipimpin oleh Kaisar Claudius yang terkenal kejam. Valentine sangat membenci kaisar Kaisar Claudius sebab Claudius berambisi memiliki pasukan militer yang besar, dan ia ingin semua pria di kerajaannya bergabung di dalamya. Sayangnya keinginan ini bertepuk sebelah tangan. Para pria enggan terlibat dalam perang. Karena mereka tak ingin meninggalkan keluarga dan kekasihnya. Hal ini membuat Claudius sangat marah, sehingga Claudius pun segera memerintahkan pejabatnya untuk melakukan sebuah ide gila. Claudius berfikir bahwa jika pria tak menikah mereka akan dengan senang hati bergabung dengan militer. Lalu Claudius melarang adanya pernikahan. Para pasangan muda menganggap keputusan ini sangat tidak manusiawi. Valentine pun menolak kebijakan tidak menikah tersebut. Valentine tetap melaksanakan tugasnya sebagai pendeta, yaitu menikahkan para pasangan yang jatuh cinta. Dalam situasi seperti itu Valentine menikahkan pasangan secara rahasia, di tempat-tempat yang tidak diketahui pihak kerajaan. Namun, aksi tersebut diketahui kaisar, dan segera memberinya peringatan. Valentine tak bergeming dan tetap memberkati pernikahan dalam sebuah kapel kecil yang hanya diterangi cahaya lilin, tanpa bunga, tanpa kidung pernikahan. Suatu malam Valentine tertangkap basah sedang menikahkan pasangan remaja. Pasangan itu berhasil melarikan diri, namun malang mereka tertangkap juga. Valentine dijebloskan ke dalam penjara dan divonis mati. Valentine mendapat simpati dari warga kerajaan setelah mengetahui kisah penangkapannya. Warga tersebut melemparkan bunga dan pesan berisi dukungan di jendela penjara. Salah seorang gadis, putri penjaga penjara, memberikan dukungan kepada Valentine melalui kunjungan yang dilakukannya atas bantuan sang ayah. Sang ayah mengijinkannya untuk mengunjungi St. Valentine di penjara. Tak jarang mereka berbicara selama berjam-jam. Gadis itu menumbuhkan kembali semangat sang pendeta itu. Gadis itu setuju bahwa St. Valentine telah melakukan hal yang benar. “Dengan Cinta dari Valentinemu,� tulisa Valentine dalam sebuah pesan surat yang diberi kepada gadis yang sering mengunjunginya. Surat itu diberikan Valentine sesaat sebelum proses pemenggalan atas vonisnya dilaksanakan. Tepat pada tanggal 14 Februari, ketika itu, adalah hari proses hukuman itu, yang kini menjadi hari kasih sayang sedunia. Begitulah, orang-orang yang merayakan hari itu bermula untuk mengingat St. Valentine sebagai pejuang cinta, sementara kaisar Claudius dikenang sebagai seseorang yang berusaha mengenyahkan cinta. (Novriadi Sitompul)


8

Narodnik #1 Cerpen

Ilustrasi gambar oleh Abdul Haris

IBU CEMARA Oleh Khoer Jurzani Ibu Cemara sekarang sudah tua, tidak kuat lagi berjualan kue keliling kampung. Rambut di kepalanya memutih semua, tertutup sehelai tudung tipis berwarna daun. Batik priangan motif hanjuang membalut tubuh Ibu Cemara ringkih saat berjalan menuju warung kecil di halaman rumahnya. Warung kecil yang baru dua minggu didirikan oleh salah seorang putra Ibu Cemara yang bekerja di kota. Hingga penduduk kampung bisa dengan mudah membeli kue buatan Ibu Cemara tanpa perlu menunggu Ibu Cemara lewat di depan rumah.


9 Tidak ada yang tahu persis sejak kapan Ibu Cemara mulai berjualan kue, jika ditanyakan pada salah seorang penduduk di kampung tersebut yang sekarang sudah memiliki empat orang anak pasti akan dijawab, “Sejak kelas satu sekolah dasar saya sudah menikmati kue bugis dan lapis legit buatan Ibu Cemara.” Lain lagi ketika bertanya pada tetangga Ibu Cemara atau salah seorang kerabatnya, mereka akan menjawab, “Ibu Cemara mulai berjualan kue sejak sang suami ditangkap kawanan lelaki bersenjata dan tidak pernah kembali ke desa.” Selain tetangga dan kerabat dekat, tidak banyak yang tahu, setiap senja tiba Ibu Cemara sering terlihat duduk-duduk di atas kursi bambu di depan bunga bougenvile yang memagari halaman dan jalan kecil. Bibir Ibu Cemara komat-kamit menyenandungkan kidung berbahasa sunda. Semacam rajah Cianjuran, tapi lebih menyayat hati siapa saja yang mendengar. Apabila kidung sudah selesai ia senandungkan dan adzan maghrib mulai terdengar dari arah surau, kata-kata seperti, Pulanglah, anak-anakmu menangis, pulanglah, di rumah tidak ada siapa-siapa, terlantun dari bibirnya yang kering. Ada yang bilang Ibu Cemara sedang menunggu seseorang, ada yang bilang, suaminyalah yang ia tunggu. *** Ibu Cemara membesarkan tiga orang putraputrinya dengan penuh cinta. Anak pertama ia beri nama Cece, yang kedua bernama Mama, dan anak ketiga namanya Rara. Ketiga putra-putrinya bagaikan reranting dan daun-daun bagi Ibu Cemara. Hanya putri ketiganya Rara yang bisa belajar hingga sekolah menengah atas, itu pun karena kecerdasan yang ia miliki, bukan karena harta yang Ibu Cemara miliki, sebab untuk membiayai hidup ia dan ketiga anaknya pun Ibu Cemara sudah kewalahan, kalau tidak memiliki sepetak ladang yang ia tanami singkong dan aneka palawija peninggalan suaminya, untuk makan sehari-hari saja rasanya Ibu Cemara akan kesulitan mendapatkannya. Bahkan Cece, anaknya yang pertama tidak pernah bersekolah, ia bekerja serabutan sejak masih kanak-kanak, berjualan kue buatan sang ibu, menjual kayu bakar, jadi buruh tani hingga akhirnya bekerja di kota, masih kerja serabutan. Mama masih beruntung karena bisa belajar hingga tamat sekolah dasar, setelah itu Mama belajar di Pondok Pesantren, sekarang Mama mengajar anak-anak mengaji di rumahnya. Kebiasaan Ibu cemara tidak pernah berubah, yaitu ritual senjanya, menunggu seseorang di atas kursi bambu seraya bersenandung. “Sudah hampir malam Bu, masuklah, udara begitu dinginnya di luar,” Kata Mama pada ibunya yang masih duduk di atas kursi bambu. Dengan halus Mama menyuruh Ibu Cemara berdiri, memegang lengan Ibunda yang demikian kurus, kemudian mereka berdua berjalan memasuki rumah.

Narodnik #1 *** Rumah Ibu Cemara beratapkan rumput, tiangtiang penyangganya terbuat dari kayu jati, dengan jendela cokelat tua sewarna dengan tanah. Dari balik jendela itu Mama sering memandang ke luar, menatap jalan kecil yang hening. Sebagaimana ibunya, Mama pun menunggu seseorang di balik jendela itu. Tapi seseorang itu tidak sering muncul, tidak sering berkunjung ke rumahnya yang beratapkan rumput. Mama tidak pernah menunggu bapaknya pulang, ia tahu bapaknya tidak mungkin pulang. Yang Mama tunggu tidak lain adalah seorang pria, yang sekarang mengajar di sekolah dasar di kampung itu. Mama jatuh hati pada guru muda yang sempat berbelanja kue-kue ke rumahnya. Tapi guru muda itu tidak pernah lagi datang ke sana. Entah, Mama tidak tahu kenapa. Mungkin ia tahu mengenai silsilah keluargaku,atau mungkin aku yang terlalu berharap padanya, padahal dia tidak pernah tahu siapa aku, pikir Mama. Ibu Cemara tidak pernah bertanya kapan kiranya Mama akan menikah. Dibanding Rara, Mama memang agak pemalu, pekerjaannya tiap hari tidak lain hanya mengajar anak-anak tetangga mengaji di rumah. Ia tidak mau bekerja ke kota, kasihan ibu tidak ada yang merawat, katanya. Rara masih suka pulang satu atau dua minggu sekali ke kampung. Rara bekerja sebagai buruh di pabrik sepatu, padahal Rara sangat ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi, tapi kalau pun bisa kuliah Rara pesimis citacitanya menjadi guru akan tercapai. Masa lalu keluarganya membuat Rara merasa rendah diri. Hanya Ibu Cemara yang setia dengan kue-kuenya, dengan penantiannya. Mama juga setia dengan rasa malunya yang berlebihan, hingga belum ada satu pun pemuda di kampung itu yang berkunjung ke rumah. “Rara, coba belikan kakakmu itu baju yang bagus, rok yang pantas, juga alat kecantikan dari kota, biar gaul, tidak di rumah melulu,” Ibu Cemara berkata ketika Rara pulang selepas bekerja. “Kak Mama sudah cantik kok Bu, kak Mama hanya pemalu saja,” jawab Rara. Mama yang hari itu menjadi bahan perbincangan pura-pura menyibukkan diri dengan adonan kue bugisnya. “Nanti saya mau ke ladang sekalian mengambil beberapa lembar daun pisang, apa Ibu mau singkong rebus? Nanti sekalian saya rabut satu batang singkong,” Mama mencoba mengalihkan topik pembicaraan. “Sekali-sekali mainlah ke pasar malam kak, akhir pekan besok akan ada pembukaan pasar malam di kampung ini. Tidak baik anak perawan mainnya terus ke ladang. Di sana kita bisa belanja keperluan kita, eh siapa tahu nanti ada jejaka yang suka sama kak Mama .” “Kalau mau ke pasar malam pergi saja Ra, saya


10 Masih harus mengajar anak-anak mengaji.” Di dalam hatinya Mama sebenarnya ingin sekali pergi ke pasar malam, tapi ia malu pada ibunya, malu pada adiknya. Di kampung itu, perempuan seusia Mama sudah memiliki setidaknya tiga orang anak. Teman-teman Rara juga banyak yang sudah menikah. Diam-diam Rara sudah memiliki pacar di kota, tapi Rara tidak ingin memberitahu siapa-siapa, ia tidak mau menambah beban pikiran kakaknya. Hanya Cece yang sudah memberi dua orang cucu bagi Ibu Cemara, Cece yang meskipun masih bekerja serabutan di kota namun bisa membiayai ia dan keluarganya. *** Ibu cemara kini memang sudah tua, sudah ingin melihat anak-anaknya berkeluarga. Disimpannya baikbaik kerinduannya pada suami yang entah pergi ke mana. Ibu Cemara seperti sebatang pohon cemara, ia mampu bertahan di segala musim, segala kerinduan pada langit biru cerah dipendamnya, segala gigil manakala hawa dingin membuat kulitnya nyaris membeku ditahannya. Hingga datang ketiga orang anak dan dua cucunya yang masih kecil, memeluknya, membawakan selimut paling hangat untuknya. Selimut bagi sebatang cemara ringkih dan barangkali sudah sangat lelah. Ia pun bisa bertahan saat musim rontok datang, menunggu musim semi dengan segenap kesabaran. Ibu Cemara tidak pernah mendidik anak-anaknya untuk menjadi ini atau itu, ia sadar betul, tanpa sosok bapak, akan sulit bagi anak-anaknya memperoleh perlindungan dan pengawasan. Ibu Cemara hanya memiliki kasih sayang. Kasih sayang itulah yang ia siramkan tiap waktu agar tunas-tunas cemara tumbuh dan bisa bertahan berdiri dengan akar sendiri, seberapa kerasnya cuaca menerpa, silih berganti datangnya. Seperti dirinya, anak-anaknya pun memiliki sifat yang tidak mudah menyerah. Mama misalnya, sampai sekarang belum ada laki-laki yang berani mendekati disebabkan desas-desus yang masih suka terdengar, yang mengatakan, Mama adalah anak tahanan politik, ayahnya tidak diketahui rimbanya, apakah mati apakah dipenjara. Mama sudah mempunyai telinga dan mental setebal baja, meski ia seringkali malu. Hanya Rara yang masih suka marah apabila masih ada orang yang bilang, bapaknya ada sangkut pautnya dengan salah satu partai yang menggunakan palu arit sebagai simbolnya. “Apa mereka merasa lebih soleh, sudah lebih taat dalam menjalankan agamanya? Buktinya anak-anak mereka belajar mengaji dari Mama! Mereka tidak takut Mama mengajari pemikiran yang tidak-tidak? Saya sendiri heran kenapa saya tidak diperbolehkan mengajar di sekolah,” kata Rara begitu memperoleh kabar bahwa ia tidak bisa mengajar anak-anak di sekolah kampungnya. Rara yang cerdas akhirnya menjadi buruh di kota. Sebagaimana pohon cemara di atas bukit, Ibu Cemara

Narodnik #1 Merupakan tempat berteduh paling sejuk. Dengan melihat raut muka Ibu mereka, Rara dan Mama sudah merasa tenang, bahkan nyaris menitikkan air mata karena pancaran ketegaran di dalamnya. “Kenapa ibu begitu setia menunggu bapak….” Bisik Rara. Di kamar tidur Ibu Cemara, beberapa peninggalan suaminya masih rapi tersimpan. Album photo kenangan berisi momen-momen perjuangan suaminya saat menjadi pejuang kemerdekaan sampai saat suaminya menjabat salah satu pengurus partai yang kemudian diharamkan keberadaannya oleh penguasa dulu, masih sering Ibu Cemara buka dan lihat. “Engkau seperti bapakmu Ra.” “Kenapa Ibu masih setia menunggu bapak….” Rara kembali bergumam. “Ketahuilah Nak, Bapakmu merupakan pejuang, kalau Negara tidak mengakui, setidaknya bagi kita ia pahlawan, yang dulu membebaskan kampung kita dari lintah darat dan gerombolan yang bersembunyi di hutan. Bapakmu nak, tidak mungkin berkhianat pada tanah airnya sendiri.” *** Meskipun sudah banyak warung yang menjual aneka macam makanan kemasan, tapi kue buatan Ibu Cemara tetap dicari saban pagi. Meskipun tiap hari, dari waktu ke waktu kue-kue buatan Ibu Cemara tidak pernah berubah, kalau tidak bugis, kue lapis legit, pasti putu, dongkal, dan martabak telur yang di dalamnya berisi jagung manis dari ladang. Kadang Ibu Cemara membuat juga panganan dari singkong, katimus, bobongko pisang, getuk. Ketika kondisi fisik Ibu Cemara sedang sehat, Ibu Cemara akan membuat tape dan goreng tape. Barangkali karena citarasanya yang tidak pernah berubah itulah yang membuat orang berduyun-duyun membeli kue-kue buatan Ibu Cemara. Selain citarasanya yang tidak pernah berubah, ukuran kuenya pun tidak pernah berubah meski harga gula, tepung dan minyak goreng terus melonjak. Hanya harganya saja yang berubah, lapis legit yang dulu harganya tiga ratus rupiah sekarang jadi lima ratus. Ibu Cemara masih menggunakan tungku dan kayu bakar untuk memasak, sekali-sekali suka juga pakai kompor, tapi karena minyak tanah mahal, Ibu Cemara lebih sering menggunakan tungku. Rara sudah berkalikali mengatakan akan membawa kompor gas ke rumah, tapi berkali-kali juga Ibu Cemara menolaknya. Selain listrik sebagai alat penerang, radio dan televisi sebagai hiburan bagi Mama dan Rara, tidak ada lagi alat elektronik yang mereka miliki. Ponsel pun hanya Rara yang punya, Mama bahkan Cece kakak tertua mereka belum punya sama sekali. “Nanti jadi ya kak ke pasar malam, Rara sudah mengajak teman untuk ikut.”


11 “Tapi jangan sampai ibu tahu ya.” “Tidak apa-apa atuh, bukankah ibu juga sudah menyuruh kakak untuk main ke luar rumah?” “Iya, tapi kan malu.” “Ah tidak apa-apa, oh iya kalau tidak punya baju yang pantas dipakai ke acara pasar malam, kakak bisa pilih beberapa potong pakaian Rara di lemari.” “Ah kamu, memangnya kakakmu ini tidak punya baju apa.” “Bukan begitu, baju-baju kak Mama kan kuno semua.” “Kuno pun yang penting bisa dipakai.” “Laki-laki sukanya yang modern kak, bukan yang kuno.” “Hsstt, jangan bilang gitu.” “Iya maaf kak, oh iya bagaimana dengan bapak guru muda itu, masih sering bersuakah? Saya punya lho nomor ponselnya, waktu melamar jadi guru kebetulan kami bertemu.” “Hsstt.. Kamu malu-maluin saja minta nomor ponsel dia segala!” Pagi itu Ibu Cemara kurang enak badan. Dari semalam ia berbaring di kamarnya. Tugas membuat kue dan melayani pembeli diserahkan pada Mama dan Rara. “Apa Ibu kita bawa saja ke puskesmas ya kak, sepertinya Ibu benar-benar sakit. Makannya juga sedikit sekali.” “Iya, nanti kita bujuk supaya Ibu mau diperiksa ke puskesmas. Dari dulu ibu paling tidak mau minum obatobatan dari warung, apalagi ke puskesmas. Yang ibu mau minum hanya ramuan traditional yang bahannya bisa dengan mudah diperoleh di ladang.” “Tapi kalau sampai parah sakitnya kan repot kak.” “Maka dari itu kita harus membujuk agar ibu mau diperiksa dokter.” “Kalau ibu tidak mau bagaimana?” “Biasanya ibu akan segar bugar kembali kok, ibu mungkin hanya capek.” Ibu Cemara memang tidak mau diperiksa ke puskesmas. Ia hanya minta dibuatkan secangkir air hangat untuk menghalau udara pagi yang dingin. Hari itu Rara sibuk mendandani kakaknya. Mama yang tidak biasa bersolek merasa tidak nyaman, seperti mau berangkat kondangan saja katanya. “Lebih bagus kerudungnya dilepas saja kak, rambut kakak hitam tebal kayak rambut artis iklan shampoo.” “Lebih baik kakak tidak jadi ke pasar malam daripada harus melepas kerudung.” “Kalau begitu pakai bedaknya agak tebalan, lipegloshnya juga.” “Ah kamu ada-ada saja.” “Nanti akan ada seseorang diantara kita kak, kejutan!”

Narodnik #1 Kejutan yang Rara maksud adalah laki-laki yang sering ditunggu kehadirannya di balik jendela oleh Mama. Rara tahu kakaknya menyukai lelaki yang berprofesi sebagai guru itu. Rara pun bertekad menjodohkan mereka berdua. Biar aku bisa leluasa pacaran sama orang kota, kata Rara dalam hatinya. Sore itu, selepas pamit pada Ibu Cemara, mereka bertiga pergi ke pasar malam. Saban senja, saban langit menggoreskan warna lembayung, Ibu Cemara duduk di atas bangku yang terbuat dari bambu. Menikmati udara senja di depan bougenvile. Dari mulutnya terdengar senandung sebuah kidung. Pulanglah, anak-anakmu menangis, pulanglah, di rumah tidak ada siapa-siapa.. “Cemara..” seorang lelaki, parasnya bercahaya, tiba-tiba hadir di depan Ibu Cemara. “Kakak, kenapa kakak baru pulang sekarang.” “Kakak datang menjemputmu Cemara, mari ikut.” “Tapi anak-anak belum pulang.” “Tidak apa-apa Cemara, sekarang memang waktunya untuk kamu pulang, anak-anak juga pasti pulang.” “Kakak, akhirnya kita bersua…” Ibu Cemara meraih uluran tangan lelaki, kekasih dan suami yang sekian lama ia tunggu. Bersama-sama mereka berdua berjalan ke arah senja gemerlapan. Di pasar malam, tiga orang muda-mudi sedang menikmati bintang-bintang di ketinggian komidi putar. Mereka tidak tahu, jika di atas bangku yang terbuat dari bambu, ibu mereka memejamkan mata seperti sedang tertidur dengan pulasnya. Sangat pulas. Sukabumi 2011


FOTO DESAIN


13

Narodnik #1 Film

Fusila Insani Cinta itu datang dari mata turun ke hati. Begitulah wejangan klasik yang sering kita dengar. Dari jaman pra sejarah sampai sekarang banyak orang yang mencoba mendefenisikan Cinta. Sebaliknya, beberapa filsuf mengatakan bahwa cinta tidak dapat didefenisikan karena cinta harus dirasakan. Mengutip dari salah satu percakap di film The Matrix Revolution, “cinta hanyalah sebuah kata, yang penting adalah hubungan dari arti kata itu�. Tema cinta tidak akan pernah berakhir dalam seni, sebab cinta akan selalu laku untuk dijual. Tema cinta di dunia musik, film, dan sastra merupakan tema-tema yang populer mudah diterima pasar- karena cinta merupakan suatu hal terdalam dari jiwa manusia yang menarik massa untuk di eksplor. Tema cinta tidak selalu di tandai dan menampilkan cerita-cerita yang picisan. Film-film seperti Love Time in The Cholera, Cassablanca, Eternal Sunshine on The Spotlise Mind, Atonement, Forest Gump, Benjamin Button -bertemakan cinta- telah mampu memberikan kita pandangan yang berbeda tentang cinta, bahwa filmfilm tentang cinta tidak hanya menampilkan cerita-cerita yang picisan saja. Tema cinta tersebut divisualisasikan dengan jalan cerita yang cukup menarik. Setiap adegannya dan dialog-gialognya sarat akan makna sebuah cinta, sehingga kita (para penonton) akan memberikan

interpretasi dalam arti cinta yang tidak lagi sama seperti pandangan dominan. Bisa saja lebih rumit atau lebih sederhana dari pemahan kita sebelumnya. Beberapa film yang saya sebutkan di atas berjenre romance. Eternal Sunshine of Spotless Mind, film yang dibintangi oleh Jim Carey (Joel) dan Kate Winslet (Clamentine) bercerita tentang pasangan kekasih yang menjalani prosedur penghapusan kenangan mereka masingmasing ketika hubungan mereka berakhir buruk. Dengan mendatangi sebuah klinik yang menyedikan jasa penghapusan memori, Joel berharap ketika bangun di pagi hari ia tidak ingat ataupun tidak pernah mengenal Clamentine. Prosedur penghapus memori hanya bisa dilakukan ketika Joel dalam keadaan tidur (tidak sadarkan diri).

Cinta dalam Film


14

Narodnik #1 Film

Tetapi semuanya mulai berbeda ketika Joel (dalam tidurnya) mulai menyadari bahwa ia begitu mencintai Clamentine, ia harus melawan peghapusan memori dalam tidurnya. Selain itu, dalam film ini kita akan disuguhkan adeganadegan romantic yang tidak biasa, penonton akan dibuat terkesima dan sedikit membingungkan dengan gaya penceritaan median-ras. Jangan terlalu berharap Jim Carey akan melakukan aksi-aksi yang biasa dilakukanya di film Adventura, liar liar, atau “yes man�. Penonton akan melihat Jim Carey dengan sosok yang berbeda, pendiam, dan romantis. Sebaliknya Kate Winslet terlihat lebih ceria dari film-film yang pernah di bintanginya seperti The Reader, Titanic, Revolutionary Road. Eternal Sunshine of Spotless Mind, meskipun film ini tidak mendapatkan Award tetapi beberapa kritikus menyarankan, sebagai 100 film romantis yang wajib di tonton (versi IMDB dan AFI). Film ini tidak kalah baik dari Atonement yang mendapatkan 6 penghargaan di Academy Award (2008). Film-film yang saya sebutkan di atas memiliki gaya dan kelebihanya masingmasing: gaya penceritaan yang khas, kekuatan kata-kata dalam percakapan, dan keunikan narator. Semua itu menjadikan film-film tersebut harus kita tonton. Kekuatan film-film yang berjenre romance tidak hanya terletak pada kisah cinta itu saja, tetapi bagaimana sang sutradara mampu memadukan usnsur-unsur yang lainnya ke dalam film tersebut. Misalkan saja, film Atonement (2007), berlatarkan perang dunia kedua, Sutradara Joe wright, mampu membangun emosi yang romantic dalam kondisi perang. Ketegangan perang, intrik politik, nilai humanis, dan kisah misteri berhasil dipadukan Wright ke dalam sebuah film. Film ini bercerita tentang sepasang kekasih yang harus bertahan dan terpisah karena keluguan dan kecemburuan anak berumur 13 tahun. Bagaimana tidak menarik, cemburu karena Cuma anak kecil yang, kalau boleh bisa dikatakan, masih ingusan karena masih berumur 13 tahun. Kisah cinta tidak hanya hadir dalam film-film yang berjenre romance saja. Dari beberapa film yang di produksi PH Amerika, hampir setiap film menyelipkan kisah percintaan, meski tema besar film tersebut bukan tentang cinta, baik itu jenre thriller, sci-fi, sampai misteri. Mislanya saja film Inception (2010), film yang berjenre sci-fi ini bercerita tentang Dom Cobb (Leonardo DiCaprio) dan partnernya, Arthur (Joseph Gordon-Levitt), dalam mempraktekkan espionase ilegal dengan memasuki alam bawah sadar target mereka yang menggunakan strategi dua-tingkat: mimpi dalam sebuah mimpi. Cobb, yang sedang melaksanakan tugasnya, dihalangi oleh bayanganbanyang istrinya yang tiba-tiba hadir dari alam bawah sadarnya, Isti Cobb meninggal akibat bunuh diri. Karena cintanya yang telalu besar, ia mengabadikan isitrinya dalam bentuk proyeksi ingatannya, dan memenjarakannya di alam bawah sadar. Takjarang dalam sebuah film digambarkan tindakan jahat yang bermula dari kegagalan tentang cinta dari aktor utamanya, baik itu yang antagonis maupun protagonis. Dalam film-film super hero, seperti Dare Devil, Batman, Cat woman, tokoh utamanya harus menderita karena ditinggal mati salah seorang yang mereka cintai. Kesedihan tersebut merupakan motif utama dari super hero untuk malakukan aksi besarnya. Motif berjalan, cerita bergerak, kemudian film pun dimulai.**


15

Narodnik #1 Sorot Pop

Menjadi Manusia Aneh Fredy Wansyah Seringkali kita menemui orang bercakap-cakap sendiri di bus-bus, di jalanan, di mall-mall, dan di ruangruang umum lainnya. Orang tersebut sepintas memang tampak bercakap-cakap sendiri, mungkin (maaf) seperti orang gila. Kita anggap seperti itu aneh. Ya, pada awalnya saya anggap itu aneh. Ternyata, bagi kita yang dapat pahami bahwa orang itu sedang berkomunikasi dengan rekan, sahabat, maupun saudaranya di tempat yang jauh. Tapi, setelah saya pahami lagi, ada juga orang-orang yang menikmati komunikasi dengan pacar atau kekasihnya di ruang-ruang umum tanpa sungkan pembicaraannya diketahui orang lain, mungkin saja ada kebanggaan tersendiri bagi orang-orang seperti itu. Misalnya saja, seperti orang yang pernah saya temui di dalam bus yang berbicara dengan kekasihnya sepanjang perjalanan bus itu. Tak bisa saya hindari, orang-orang yang berada di dekatnya seperti saya, percakapan orang itu masuk ke telinga saya. Lalu apakah orang seperti itu tidak memahami konteks? Begitulah fenomena sosial yang terus digempur oleh komoditas teknologi. Handphone adalah faktornya, yang dianggap sosial saat ini bukan lagi sebagai barang mewah sebab telah tergantikan dengan posisi laptop dan Android yang memungkinkan dapat mengganti peran handphone. Di sini saya tidak ingin mempermasalahkan bagaimana penjualan handphone di Indonesia, yang jelasjelas sudah jadi pasar empuk bagi berbagai produsen, apalagi berkenaan statistik yang seringkali merupakan bagian dari perilaku produsen atau sekadar manipulatif. Saya hanya ingin menyoroti tingkah laku yang dibentuk atas keberadaan handphone. Awal mula handphone, terlepas dari perdebatan apakah Martin Cooper -Martin, awalnya dianggap aneh saat memakai handphone temuannya ke tempat-tempat umum dengan tujuan memperkenalkan dan uji coba- atau Lars Magnus Ericsson atau Amos Edward Joel sebagai “bapak handphone Internasional�, tujuannya untuk berkomunikasi pada saat-saat terdesak. Cikal bakalnya lahir pada saat perang dunia. Orang-orang berpikir pada saat itu bagaimana supaya dapat berkomunikasi di saatsaat mendesak dan situasi perang. Artinya, ada keperluan yang sangat mendesak dan segera disampaikan. Awal mula hanyalah awal mula. Handphone bukan suatu ilmu yang sangat perlu dikait-kaitkan dengan nilai sejarahnya, melainkan sebuah produk nyata (barang) dalam roda ekonomi kapitalisme saat ini. Secara tidak sadar banyak keberadaan komoditas saat ini membentuk karakter dan kepribadian seseorang, termasuk handphone. 'Ilusi' yang ditawarkan handphone adalah kenikmatan serta kecanggihannya. Pengguna merasa nikmat dengan adanya menu-menu yang membuat pengguna merasa nyaman. Menu-menu itu diantaranya: game, fitur online seperti fesbuk, sms, bicara, radio, mp3 player, video player, kalkulator, dll. Menu-menu yang tanpa kita sadari pula merusak karakter sosial seseorang.

Ilustrasi/foto: dicky/lenting

Ya, menu-menu itu bisa merusak karakter sosial seseorang, meski tidak semua menu. Kenikmatan adalah sarana perusak karakter itu. Melalui kenikmatan-kenikmatan saat pengguna memakai fiturfitur dalam menu handphone, pengguna tidak peduli lagi dengan sekitarnya. Secara tak sadar pula, pengguna seperti itu menganggap tidak ada hal penting di sekitarnya, kecuali dirinya sendiri. Pengguna itu butuh game karena merasa jenuh, pengguna itu butuh berbicara dengan kekasihnya di saat naik bus karena jenuh, pengguna itu butuh mendengar radio atau musik karena jenuh, dan sebagainya. Pada umumnya kejenuhannya seperti itu merupakan wujud ketidakmampuannya untuk menjalin komunikasi dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Kebiasaan-kebiasaan seperti ini jelas akan membangun, secara perlahan tapi pasti, karakter seseorang menjadi tidak fasih melakukan komukasi (beradaptasi) terhadap lingkungannya maupun orang di sekitarnya. Indikator dampak pengguna handphone seperti itu bisa kita lihat dari maraknya bisnis motivasi di berbagai tempat, apalagi di televisi. Ketidakmampuan beradaptasi, kurang fasih menjalin hubungan, dan kurang fasih berkomunikasi terhadap sesama di lingkungan sekitar. Ketiga hal itu dampak yang acapkali tidak disadari dari penggunaan handphone, kemudian mengakibatkan tingginya potensi stress maupun tidak mampu menyelesaikan solusi. Karena itu tadi, tidak ada relasi atau teman yang mungkin bisa diajak berbagi. Kenikmatan ilusi. Saya katakan ilusi karena kenikmatannya tidak dipahami dan tidak disadari, bahwa di balik kenikmatan itu bila terus-menerus terlena dalam kenikmatan akan menimbulkan dampak buruk bagi diri sendiri. Mau tidak mau, dalam situasi maraknya penjualan handphone kita harus pahami terlebih dahulu apakah kita banar-benar butuh terhadap layanan yang ditawarkan 'si handphone' atau tidak butuh. Kalau tidak kita pahami, sekali kita terlena sulitlah kita keluar dari keterlenaan sehingga kita menjadi 'model handphone' yang berhandphone-ria di tengah-tengah umum, atau menjadi penggila handphone yang gonta-ganti handphone demi mengikuti trend semata (lifestyle) hingga kita harus bekerja keras cuma demi mengganti handphone. Saya pikir, dengan memahami tawaran dan kebutuhan diri, anggapan “manusia aneh� dari lingkungan pun mungkin tidak terjadi. Kita pun pasti akan memahami konteks dalam penggunaannya. (2012)


16

Narodnik #1 Puisi

“STONEHEART”

By Laura Bottaro

Puisi-Puisi Rizky Abrian


18

Narodnik #1

ANGKA (1)

(7)

sendiri.

senin hingga minggu jadi penanda waktu berpacu.

kesepian menggelayut di pikiranku.

ada yang rindu memanggilmu dengan tersedu.

menunjukkan jalan menuju malam malam kelabu

suara serak, hati sendu, bercampur menjadi alunan merdu.ďťż dirimu menjauh terus membiarkannya berlalu.

(2)

acuh, semakin tak mau tahu makin tak tahu malu.

sepasang kekasih memadu cinta. seonggok setan tersenyum merajut dosa.

(8)

hadiah untuk mereka berdua.

kaki laba laba cekatan menenun jaring di hati. langit berpilin membentuk payung raksasa warna kelabu,

(3)

ada yang bilang hatimu sedang sendu.

pukul tiga pagi.

tapi laba laba masih menenun jaring selambu.

ini waktu masih dini hari.

untuk menjerat hatimu.

aku tak tidur mencarimu di kamar, di pikiran dan di ruang hati.

jadi makanannya.

aku tak sadar kalau kamu menunggu berjam jam di alam mimpi. (9) (4)

mmmm,

pat gulipat.

di september masih ada hujan agak gerimis.

jangan menggunting dalam lipat.

bossanova dan slowjazz tumpang tindih dalam playlist.

ada sesal yang datang karena cinta tak sempat.

dalam pikiranku diputarkan gambaran wajahmu sisi demi sisi,

terucap dengan kata kata yang tepat.

jadi pengantar menuju tidur yang paling aku benci.

(5)

(0)

ibu jari, telunjuk, tengah, manis dan kelingking.

kekosongan jadi nyata ketika disadari.

semua jarinya itu lentik lagi manis.

tinggal mimpi mimpi yang diputar berurutan tanpa jeda maupun

apa jua yang masih buat kau menangis?

spasi.

cincin di jari manis, itu yang buat hati teriris.

satu,dua,tiga, hingga mulai dari nol lagi.

(6)

kamu benar sudah pergi dari ruang ini,

pukul enam pagi di hari minggu.

tinggal hujan menari, sunyi yang bernyanyi sepi.

sinar matahari menyusup melalui jendela dan pintu. hari ini kau bawakan aku seprinig penuh gerutu. padahal aku ingin setangkup roti dan madu.


18

LARA

Narodnik #1

CELAKA TUGU TANI

Adalah sejuta senyum yang merekah

Para pemabuk ceria

sebelum seribu mawar berwarna merah

Ketika buta membabi

: dirimu.

Ada pesta panen airmata di tugu tani!

Adalah mawar tanpa duri

Banyak yang bernyanyi

yang mekar sebelum senja pergi

melengking,

: senyummu

malaikat maut menari

Adalah senja tak terduga

dan di atas langit mendung

ungu jingga yang semenjana

burung nazar berputar membuat kemacetan di udara

: kata kata Sembilan pejalan kaki menengadah ke atas Hanya warna yang menari

Melihat Tuhan

senantiasa menaungi

membawa surat panggilan

: perjalanan kita mengapa Tuhan? Hingga kita teduh

bukankah kami sedang liburan?

dari terik yang dicium menjauh

kami kan sedang ingin jalan jalan.

: mimpi kita mengapa kami dipanggil, menuju sunyi yang menggigil? Tanah tak lagi membekas sepatu Jarum jarum semakin ragu

Tuhan tetap diam

Nasibnya,nasibmu,nasibku, sama. Duduk manis di halte bis: menunggu terjang.


19

Narodnik #1

BISU

kita tak pernah cukup punya suara

kita tak pernah bisa didengar

saat kita tunawicara

kalau kata kata yang kita tajamkan

di depan wanita yang kita suka.

hanya membabi buta

padahal hanya tiga kata: aku suka kamu

di dunia kecil yang datar

tapi rumitnya bikin lidah kelu

sedang di dunia yang bulat kita tak berani bermain silat

kita tak cukup keras bicara

apalagi gulat dengan pemimpin.

kalau yang kita umpat

kita bukan siapa siapa

masih harus melewati seberang jalan tinggi pagar berduri

hanya pamer tenggorokan

halaman berisi rusa

sebelum di putus kekuasaan.

gerbang istana pasukan penjaga pintu pintu hingga telinga yang buntu

kita akan selalu kehabisan kata kata

kalau yang kita jelaskan sudah tak punya lagi pemahaman karena topi hitam sudah menempel di kulit kepala


20

Narodnik #1 Garis Bawah

Manusia Religiosus Acep Zamzam Beni F Syarifudin Diawali dengan catatan tangan bolpoin pada buku ini, “To Beni, tertanda Acep Zamzam Noor 2011.” Membaca dan menikmati kumpulan antologi puisi terbarunya Tulisan Pada Tembok karya Acep Zamzam Noor (AZN) yang memuat 87 puisi yang dari beberapa puisinya telah ada dari buku antologi sebelumnya, misalnya “Tamparlah Mukaku,” “Mengapa Selalu Kutulis Sajak,” “Zikir,” dan beberapa lainnya adalah sesuatu yang sangat luar biasa ketika sudah membacanya. Banyak yang kemudian saya catat, daya ungkap yang sederhana, serta melalui kata-kata pilihannya; bahasa puisinya menyirikan kebermacaman situasi yang beragam namun pada posisi tema yang sama yaitu kesunyian (religios). Kebermacaman situasi itu, bisa dilihat hampir dari keseluruhan puisi dalam antologi ini. Periode AZN dalam antologi ini, puisi seperti sedang memerankan perjalanan panjang si Aku lirik dengan segala keluh kesahnya (semacam perjalanan hijrah), digambarkan pada berbagai situasi seperti malam, perjalanan, cinta, kesadaran, dan doa. AZN memosisikan puisinya pada keberagaman hidup yang dilaluidengan tanpaterlepas pada sikap penyerahan diri pada yang Kudus. Si Aku lirik dijadikan sebagai tokoh manusia religiosus. Manusia yang selalu bertanya pada segala situasi, resah, dan selalu berserah. Sebagaimana Y.B. Mangunwijaya bilang manusia religiosus itu adalah manusia yang berhati nurani serius, saleh, teliti dalam pertimbangan batin dan sebagainya. Jadi belum menyebut, dia menganut agama mana. Lalu siapa dan bagaimana manusia religiosus tersebut? Dalam konteks antologi puisi terbarunya ini, bisa dilihat pada beberapa puisi yang ditulis AZN pada masa 80-an ini. Dalam “Mengapa Selalu kutulis Sajak” misalnya, manusia religiosus sangat tampak. Ia tengah bertanya dengan segala kerinduannya pada yang Kudus. “Mengapa selalu kutulis sajak, Apabila kerinduan tiba-tiba menyerbuku//Mengapa harus sajak, kekasihku, mengapa harus ia//Yang mampu kupersembahkan kepadamu”. Bermula dari kerinduan yang melanda dengan selalu menulis sajak, lantas bertanya. Manusia religiosus mulai memfungsikan sikap keseriusan hati nuraninya memandang pada kehidupan yang dilaluinya. Selanjutnya ia memperlihatkan kesungguhannya dan bertanggung jawab pada dirinya, “Seandainya ini sebuah tugas//maka kuterima ia sebagai tugas//akan kujalani sampai nanti nyawaku terlepas//seandainya ini sebuah sembahyang//akan kuusir segala bayangan yang datang//yang selalu mengusik kekhusyuanku”. Maka dengan segala kesadarannya AZN mengembalikannya kepada sosok penyair yang sesungguhnya dan manusia religiosus melanjutkan kepenyairannya dengan konsisten. “Mengapa selalu kutulis sajak//apabila kesepian benar-benar menghanguskanku//mengapa hanya sajak, kekasihku, mengapa hanya ia//yang mampu kuisyaratkan sebagai satu-satunya cinta” (hal. 29).

Selanjutnya, berbicara mengenai manusia religiosus yang lain adalah suatu kecenderungan seseorang yang selalu menemui keresahan, gelisah, serta tetap berserah. Keresahan manusia religiosus tidak hanya selalu bersentuhan dengan yang Kudus semata, namun AZN menggambarkan keterlibatannya dengan manusia lain. Dalam Pertemuan dan Zikir misalnya terlihat sekali bagaimana AZN menggambarkan seorang manusia religiosus membangun suatu perjalanan (cerita) 'cinta'nya. Sebagaimana yang dijelaskan di atas, tema kesunyian yang dibangun AZN selalu berlatar 'malam'. “Karena kesepian//kita bertemu//kau bergayut di leherku// bait selanjutnya karena malam yang mempertemukan//kita bersatu//aku menyusu di dadamu” (hal. 21). Dari bait tersebut ada kata kunci yang menarik 'kau bergayut di leherku', tentu kalimat itu berasosiasi pada penjelasan keberadaan Tuhan yang berada hanya sejengkal dari urat leher. Namun entahlah, karena dalam zikirnya, manusia religiosus itu menzikirkan: “Anne! Anne! Anne!//zikirku seribu sepi menombakmu//menembus lapisan langitmu, membongkar//gumpalan megamu, membakar p u s a r a n / / k a b u t m u , menghanguskan jarak//Ruang dan waktu” (hal. 68-9). Pertemuan pada malam menjadi sesuatu yang sangat sakral. Malam dijadikan AZN sebagai ruang tepekur, ruang zikir dalam kesunyian. Religiosus adanya. Setuju dengan endosmen Agus R. Sarjono dalam antologi ini, “...Acep tampil dengan sajak-sajak yang secara suntuk menggambarkan keterantukan diri dalam menghampiri Tuhan. Sebuah proses keterbelahan antara 'paha' dan Tuhan, antara kesyahduan penghayatan religius dengan keterbatasan badaniah...” Dengan hanya, mengambil beberapa puisi yang dijelaskan sekiranya pembaca (masyarakat) perlu untuk membaca dengan serius buku kumpulan antologi AZN ini, sebagai bahan renungan juga sebagai bahan untuk berhijrah dalam kehidupan ini yang tentunya terus dinaungi dengan 'kegelisahan', sunyi, dan doa. Dan semoga menjadi manusiamanusia religiosus yang lebih bermanfaat sebagaimana AZN yang selalu setia melaksanakan tugasnya sebagai manusia religiosus (penyair). Meski puisi terakhir dalam buku ini ada bait: “Gerimiskanlah air matamu, Siti//dan hujankanlah kata-katamu agar semesta luluh//agar keangkuhan dunia runtuh di hatiku//sekali lagi, Siti, sekali lagi//aku bukan pelukis//bukan penyair” (hal. 107). Saung Panglawungan, 23 Januari 2012


21

Narodnik #1 Ruang Catatan

Apa Kabar “Apa kabar bung?” Saya bertanya itu kepada seorang teman. Ia lantas menjawab “Ah, basa-basi banget lo.” Karenanya, saya ingat pelajaran kala Sekolah Dasar, pelajaran Bab I Bahasa Inggris, introduction. Tentu bukan kurikulum “asalasalan” perkenalan menjadi isi bab pertama di setiap pelajaran bahasa,. Hal ini berlaku dalam format formal maupun non formal, dan terjadi dalam bahasa manapun, zaman kapanpun, dan dimanapun. Konteks “menanyakan kabar” tersebut, tentunya bukan sebuah teori pelatihan lidah. Kalimat semisal “apa kabar/pie kabare/kumaha damang/how are you/kaifa haluk” selalu menjadi pelajaran awal. Tentu bukannya tidak beralasan. Lantas saya ingat lagi pelajaran mengenai qada' atau ketetapan atau sunnatullah. Introduction dapat dianggap sebagai bagian dari ketetapan tersebut. Ketetapan yang dimaksud adalah 'keterhubungan manusia'. Kalimat “apa kabar” itu bukan bersifat individual. Kalimat tersebut diucapkan karena adanya kehadiran orang lain. Kehadiran orang lain ini membuktikan suatu ketetapan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Ketetapan ini, jelas tidak mungkin diubah. Sama seperti ketetapan bumi mengelilingi matahari. Sama seperti ketetapan gravitasi. “Apa kabar” juga mengandung suatu makna lain. Ia merekomendasikan suatu bentuk perhatian kepada orang lain, suatu bentuk ketetapan: bahwa manusia adalah makhluk sosial yang berkolerasi dengan konsep saling memerhatikan. Lalu, ada satu pertanyaan yang mengganjal: ketetapan bahwa bumi mengedari matahari bersifat indrawi, physicly. Begitu pun tentang gravitasi. Sedangkan ushul dari kalimat “kumaha damang” adalah suatu bagian bahasa yang juga budaya, yang bentuk sejatinya tidak d a p a t d i r a b a d a n d i l i h a t . Ti t i k perbedaannya terletak pada: ketetapan dengan landasan indrawi adalah “abadi” (baca: berlangsung dari hari lahir dunia hingga kiamat), sedangkan ketetapan non indrawi adalah 'perubahan adalah abadi'. Dan kalimat “kumaha damang” jadinya memiliki pengecualian tersendiri.

Jika dikaitkan dengan teori Om Saussure, kalimat “apa kabar” merupakan suatu penanda (yang menandai). Ia menandakan suatu makna, petanda (yang ditandai), yang telah kita tujukan pada pernyataan; manusia adalah makhluk sosial dengan konsep saling memerhatikan. Nah, makna tersebut bisa dan akan selalu berubah. Seperti kata 'sarjana' yang sebelumnya dimaknai sebagai 'gelar terhadap pencapaian suatu ilmu', kini menjadi 'syarat mendapatkan kerjaan yang lebih baik, yang selanjutnya bisa dapat rumah, mobil, dkk'. Pertanyaan “apa kabar” pun mengalami perubahan semantis. Ia bisa jadi tidak lagi mengusung qada' sifat sosial makhluk yang bernama manusia. Fenomena yang berkembang adalah, ia lebih semacam bahasa burung Kakaktua; hafalan atau basa basi. Lantas, dengan apa kita menandai ketetapan kesosialan manusia kalau kalimat “apa kabar” saja sudah menjadi basa-basi? Mungkin ada pilihan 'penanda' lainyang sayangnya tidak dapat saya temukan. Hmm, mungkin terlalu naif ya?. Namun, ada satu catatan yang tidak bisa kita acuhkan; pergeseran makna “apa kabar” ternyata menunjukkan gejala sosial. Kecenderungan individualistis menyebabkan banyak dari kita lebih ingin “ditanya” kabarnya, ketimbang “menanyakan” kabar. Lebih ingin “diperhatikan” ketimbang “memerhatikan”. Jika kecenderungan ini berkembang terus, maka tidak mustahil akan lahir budaya ketika manusia hanya hidup dalam kediriannya masing-masing dan meminimalisir hubungan dengan manusia lain. Frasa “apa kabar” akan “musnah”, tergantikan “kabar gue gimana ya?” Ah, mungkin saya terlalu berlebihan. Karenanya, tidak masalah jika menganggap pernyataan saya hanya basabasi (entah mengapa, ingin sekali saya memiringkan kata-kata tersebut). Toh, dengan adanya penanda atau pun tidak, ketetapan bahwa manusia adalah makhluk sosial tidak akan berubah. Itu sudah dari sononya kok.

Hanya saja, saya tiba-tiba ingat sebuah pengakuan Karl Marx: kebenaran pada manusia yang kau cintai sama dengan kekuatan. Saya juga ingat definisinya mengenai manusia: bayangkan ketika manusia berada di ruang hampa, takada benda dan takada manusia lainnya. Saat itulah ia “mati”, sebab ia tidak mampu menjadi subjek atau objek (kurang lebihnya seperti itulah. Jatinangor, 18 September 11

Oleh Abrorza A Yusra


22

Narodnik #1 Kolom Mahasiswa

Menulis Kehidupan Jakarta: Memikirkan Sejarah Sosial Indonesia Novriadi Sitompul Kumpulan antalogi puisi yang berjudul Djakarta dalam Puisi Indonesia, terbitan Dewan Kesenian Jakarta tahun 1972, para penyairnya menggambarkan keadaan sosial Jakarta pada masa itu, kondisi sosial Jakarta sejak tahun 1940-an sampai dengan akhir tahun 1960-an. Puisi-puisi tersebut disusun dan terbaca secara kronologis-historis sehingga dapatlah gambaran sosialnya dengan jelas. Tapi bagi sebagian besar sejarawan Indonesia, puisi-puisi itu tidak lebih dari karya sastra yang menjadi konsumsi para penikmat seni yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan kenyataan masa lalu atau sejarah sebagai sebuah kontruksi maupun pemaknaan kekinian. Menurut pandangan mereka, seperti juga karya-karya sastra yang lain, semua hal yang tertulis dalam puisi-puisi itu tidak mengandung fakta yang biasanya menjadi dasar dari semua tulisan sejarah, melainkan hanya sekadar hasil imajinasi penulis yang sulit dibuktikan secara empirik karena sifatnya yang fiktif. Sastra memang bukan sejarah, seperti pernyataan Kuntowijoyo ( 2004 ), namun tidak ada salahnya jika para sejarawan mulai berpikir bahwa karya sastra dijadikan refleksi sosial dari kehidupan sehari-hari yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber bersama (inkonvesional) untuk menulis sejarah masyarakat dan sejarah sosial dalam kehidupan seharihari. Sebuah karya sastra mampu membahas kehidupan sehari-hari masyarakat dalam lingkungannya secara mendetail, bahkan karya sastra menusuk hingga rongga-rongga yang sama sekali tak terlihat oleh kasat mata tentang dinamika yang terjadi. Apakah gambaran serupa tentang kehidupan sehari-hari masyarakat, terutama masyarakat di Jakarta, dapat ditemukan dalam karya orang Indonesia yang dikategorikan sejarah Jakarta? Paling tidak buku tentang sejarah Jakarta yang ditulis oleh orang Indonesia yang ada dalam koleksi perpustakaan Koninklijk Instituut Voor Taal -Land-en Volkenkunde (KITLV), Leiden. Ironisnya, di luar karya sastra, gambaran tentang masa lalu kehidupan sehari-hari masyarakat dan masyarakat kota Jakarta lebih mudah ditemukan dalam kajian ilmiah yang dilakukan oleh para antropolog Indonesia atau bahkan ahli bahasa (lihat Suparlan 1974). Pembahasan ini tidak dimaksudkan sebagai kajian komprehensif tentang sejarah masyarakat dan kehidupan sehari-hari masyarakat Jakarta, melainkan hanya untuk memberi contoh tentang unsur-unsur yang penting yang seharusnya dihadirkan dalam sejarah kota Jakarta yang ternyata hilang atau terlupakan dalam historiografi Indonesia selama ini. Jakarta, dalam bingkai foto dan lukisan dari abad ke 19, bukanlah kota yang diatur sedemikian rupa sehingga tampak menarik. Disamping kemewahan dan kebesaran gaya kolonial yang ditampilkan, Jakarta juga merupakan kota gersang dan semrawut yang memiliki jalan tanah berdebu pada musim kemarau dan becek serta berlobang pada musim hujan.

Penduduknya terancam malaria dan banjir sepanjang tahun, bahkan fenomena tersebut berkelanjutan hingga sekarang. Tampaknya banjir yang sering terjadi di Ibu Kota itu bukanlah suatu hal yang baru lagi, terkadang saya merasa tergelitik sendiri mengapa pemerintah kota Jakarta dan pemerintah pusat tidak kunjung mampu mengatasi permasalah banjir yang melanda pusat pemerintahan dan pusat bisnis negara tersebut. Padahal, fenomena banjir di Jakarta bukanlah permasalahan baru lagi karena sudah ada sejak awal abad 19. Selain permasalahan banjir, Jakarta yang dihuni berbagai suku bangsa mengakibatkan adanya pemisahan ala kolonial yang jelas seperti bumi putra terlihat berjalan kaki. Maka sulit ditemukan orang Eropa dan orang campuran Indis, Cina, Arab yang kaya mau berjalan kaki (lihat Abeyasekare 1989). Jika ada orang Eropa atau Indis yang berjalan kaki, mereka biasanya berjalan di bawah payung untuk menutupi diri dari sengatan matahari, baik itu dibawa sendiri maupun oleh para budak, jongos, atau babunya; sesuatu yang jarang dilakukan oleh sebagian besar penduduk bumu putra. Pemisahan tersebut saat ini dapat terlihat dari bagaimana cara masyarakat melakukan mobilitasnya atau perpindahan. Perubahan teknologi dalam beberapa dekade terakhir ini memperkuat citra jalan sebagai tempat mereproduksi simbol-simbol perbedaan sosial dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jakarta. Di tengah-tengah kemewahan yang menyeruak, seiring dengan perkembangan Jakarta sebagai pusat kegiatan pemerintahan dan ekonomi, kemiskinan menjadi sesuatu yang seolah-olah identik dengan Jakarta, kota yang bukan kota melainkan “kelompokan besar dusun“ (meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer). Janji-janji palsu yang ditawarkan kota metropolitan membius masyarakat desa untuk berurbanisasi demi menggapai taraf sosial yang lebih baik dari sebelumnya serta berharap mendapat sesuatu yang lebih dengan pendidikan dan keterampilan yang tidak memadai yang mungkin saja bisa berakibat fatal bagi kehidupannya kelak. Dalam kehidupan sehari-hari, kesulitan yang dialami kebanyakan orang Jakarta tidak hanya sebatas permasalahan ekonomi (kemiskinan), melainkan juga kematian. Menguburkan mayat saja, masyarakat Jakarta dikenai biaya admistrasi oleh pemerintah, belum lagi pemungutanpemungutan liar lainnya (Tempo, 12 mei 1973). Keadaan ini mengakibatkan adanya keluarga yang terpaksa menyimpan mayat atau tidak dikubur selama beberapa hari. Istilah tepatnya “hidup bayar matipun harus bayar.� Kenyataan seperti ini ternyata terus berulang dalam kehipun sehari-hari masyarakat Jakarta pada abad 21 ini, seperti dilansir oleh harian Kompas pada 9 juni 2005 lalu. Sejarah sosial Indonesia dalam gagasan, perkembangan intelektual yang menentukan arah perkembangan historiografi Indonesia,


23

Narodnik #1 Kolom Mahasiswa

dan perkembangan kesadaran politik kebangsaan Indonesia sebagai reaksi kolonialisme sejak abad ke-20 adalah tiga hal yang sangat menentukan keberadaan wacana dominan dalam historiografi Indonesia pasca kolonial. Pengetahuan mengenai kebesaran dan kejayaan negerinya pada masa yang lampau itu akan memperkuat keinsyafan diri untuk pembangunan yang akan dihadapinya (lihat Soekmono, 1946). Hal ini menunjukan bahwa sejak awal kontruksi sejarah Indonesia dibangun belum mampu merekonstruksi sejarahnya sendiri untuk masa depan yang lebih baik. Akibatnya, anakronisme dan intersubjektivitas akan sangat mudah melekat pada histiografi seperti itu karena konstruksi sejarah yang dibangun lebih didasarkan pada kepentingan untuk melakukan justifikasi atau legitimasi terhadap sebuah ide besar yang telah dibangun sebelumnya. Tidak berlebihan ada yang berpendapat bahwa persoalan utama histiografi Indonesia pascakolonial tidak hanya bersumber pada tekanan politik penguasa seperti banyak dikemukakan selama ini, terutama berkaitan dengan orde baru, melainkan lebih disebabkan oleh kerancuan dan keterbatasan baik secara epistimologi maupun metodologis yang berhubungan dengan negara, kekuasaan, politik. Pembahasan tentang struktur sosial masyarakat tidak lebih dari perpanjangan pokok bahasan utama mengenai pemerintahan dan kekuasaan para elite politik. Pemahaman seperti ini sering meninggalkan beberapa hal yang secara konseptual kemudian sangat menetukan arah kajian sejarah sosial Indonesia sampai saat ini, yang diselimuti oleh ketidakmampuan sebagian besar generasi sejarawan berikutnya. Akhirnya, tidak berlebihan pula dikatakan bahwa coretan, gambar, dan tindakan menulis sejarah sendiri oleh masyarakat miskin kota merupakan simbol dari perlawanan masyarakat yang terdiskriminasikan terhadap sebuah rezim dominan.

Dicari Relawan/ Lowongan Relawan Kami membutuhkan: 1. Layouter - Mampu mendesain (adobe indesaign/corel draw) - Mampu melayout - Mampu bekerja dalam tim dan tidak untuk mendapatkan gaji (karena Narodnik saat ini hanya dibangun dari semangat dan kesatuan visi pelakunya) - Diutamakan mahasiswa yang berdomisili di Jatinangor dan Bandung, bukan mahasiswa dipersilakan 2. Kontributor Tetap - Mampu menulis dengan baik - Minat di bidang humaniora - Masih berstatus mahasiswa dan pelajar (SMA) Di Narodnik kita bersama-sama membangun media kreatif. Kelak kita memiliki pengalaman serta mengasah kemampuan. Silakan kirim surat pengajuan beserta no. kontak yang bisa kami hubungi ke email: redaksinarodnik@gmail.com

Dicari


24

Narodnik #1 Ruang Langkah

Rubrik Ruang Langkah adalah kolom khusus untuk Langkah Komunitas Sastra. Narodnik menerima karya cerpen/puisi khusus anggota Langkah dan akan diseleksi. Mulai edisi kedua Narodnik akan memberi imbalan berupa satu buah buku (kumpulan cerpen/kumpulan puisi) untuk penulis yang karyanya dimuat. Silakan kirim ke email redaksi Narodnik.

Judulku Hilang Ada prosa yang tak sempat tersirat Ketika biru merengkuh indahnya sanubarimu Ada prosa yang tak sempat tersirat Ketika kealpaan menyapaku Ada ruang untuk bintang redupku Seperti labirin yang tak halau jumpa “Bintang redup, aku lebih suka kau menjadi kaktus” Meski tak dapat kurengkuh keduanya “Sampai kapan kau bermain dalam imajiku?” Ada kisah yang tak dapat kureka Yang kudengar hanya gema Aku bukan sebuah janji untuk imaji yang sempurna Hanya ada seikat kata dan seikat rasa

Puisi-Puisi Izulma

Ada prosa yang tak sempat tersirat Ketika biru merengkuh indahnya sanubarimu Ada prosa yang tak sempat tersirat Ketika kealpaan menyapaku Indramayu

Belum Selesai Titik Lelaki biasa itu, Tersenyum meniratkan ladang alphabet (aku ingin begitu) Lelaki biasa itu, Begitu sulit kumaknai, bhahaha .. Hingga pada sanubari kutautkan berderet Belum selesai. Titik Hidden Star


25

Narodnik #1 Ruang Kontemplasi

Fredy Wansyah

DENDAM

Ternyata semut itu punya daya yang luar biasa dalam hal ingatan. Mereka mengingat tidak melalui jaringan sel saraf seperti saraf-saraf kepala kita, melainkan melalui penciuman yang kuat. Indera itu untuk mengetahui zat-zat kimia yang ada di luar tubuh mereka sendiri. Ada sebuah penelitian terkait indera semut itu. Pihak University of Melbourne, Australia, meneliti semut, dengan terkait indera tersebut. Penelitiannya menyatakan bahwa semut tidak akan lupa bau musuhnya. Bukan berarti semut itu pendendam, punya hasrat menghancurkan musuh. Semut, seperti yang kita ketahui, kadang 'menggigit' tangan atau bagian tubuh manusia hanya sebatas perlindungan diri mereka. Dendam itu bagian dari sifat destruktif manusia. Ada hasrat untuk menghancurkan lawan. Bisa saja dilakukan dengan cara perencanaan terlebih dahulu, atau langsung (tanpa perencanaan). Tidak ada dendam tanpa rasa sakit si pendendamterlebih dahulu. Mari kita 'jalan-jalan' menengok dendam. Pernahkah kita berpikir 'tidak ada manusia yang tidak punya dendam'. Dendam itu seperti pola balas jasa. Hanya saja, dendam berwujud buruk atau merugikan orang lain. Ya, miripmirip ucapan terima kasih. Mungkin dendam ada pada setiap manusia. Paling tidak, sempat ada di dalam pikiran, sebelum dendam terealisasi. Dendam ada di mana-mana. Dendam ada di ruang televisi, dendam ada di mall-mall, dendam ada sekolah-sekolah, dendam ada kantor-kantor, dendam ada di ruang dewan yang terhormat negeri ini, dendam ada di pasar, dan mungkin ada di dalam percintaan. Di televisi misalnya, kita tanpa sadar menyaksikan dendam lalu menyimpannya ke memori kita hingga kemudian membentuk bagian diri kita, kita menikmati sajian olah raga terakbar di jagad raya ini, sepak bola. Melalui sepak bola dendam itu membangun sosial yang pendendam pula melalui 'partai balas dendamnya' (pertandingan kandangtandang). Di sekolah-sekolah kita dibangun dengan pola persaingan yang sangat potensial untuk bersikap dendam. Apalagi di ruang-ruang anggota dewan negeri ini melalui parlementariannya, melalui partai saling adu mulut dan saling cerca yang berdasarkan balas-membalas. Law Abiding Citizen, sebuah film yang memakai plot 'dendam', cukuplah bagi saya menunjukkan sedikit banyakknya bagaimana manusia itu mampu menjalanni kehidupannya seumur hidup dengan menyimpan dendam. Di film itu, melalui tokoh utamanya, Clyde Alexander Sheldon, cerita berkembang dimulai dari dendam. Kemudian, selama sepuluh tahun menyimpan dendam, dimulailah cara atau strategi (Clyde) menjalankan misi balas dendam. Sepuluh tahun itu waktu yang lumayan lama. Selain itu, ada sebuh novel dari Alexandre Dumas seorang penulis terkenal dari Prancis dan dikenal sebagai aktivis Republiken- berjudul The Count of Monte Cristo (dialihbahasakan ke bahasa Indonesia menjadi Monte Cristo) yang berkisah dendam. Saya ingat pula film The Sawshank Redemption yang juga menyinggung persoalan dendam, meski dalam cerita dendam bukanlah plot utama.

Dari ketiga contoh di atas, masing-masing melalui tokoh Clyde, Edmon Dantes (tokoh dalam Monte Cristo), dan Andy (tokoh dalam The Sawshank Redemption) menunjukkan bahwa dendam dapat menggerakkan segala tubuh untuk berbuat apa yang direncanakan dalam mencapai cita-cita balas dendam. Tidak dibatasi oleh waktu, karena dendam dapat menembus waktu, selama itu didukung oleh organ tubuh. Tidak dibatasi oleh materi, bahkan boleh dikatakan, tembok Cina sekalipun dapat diruntuhkan demi balas dendam jika itu syarat utamanya. Maka wajar bila Clyde mampu menunggu waktu selama sepuluh tahun untuk merencanakan balas dendamnya, wajar pula Edmon Dantes perlahan-lahan membangun siasat balas dendam entah mengapa kisah dendam Edmon Dantes sedikit mirip rentang waktu perencanaannya dengan film Law Abiding Citizen- terhadap relasi yang menjebloskannya ke penjara, juga dendam Andy ketika telah dikhianati di dalam persidangan oleh sipir penjara. Bisa saja dendam hanya ada di dalam pikiran. Belum terealisasi atau diwujudkan ke dalam bentuk agresi (serangan individu). Karena itu, saya menyebutkan, bahwa dendam ada pada setiap insan manusia. Hanya saja, perlu diketahui pula mana dendam yang tujuannya (agak) baik dan mana dendam yang tujuannya mutlak tidak baik.Dendam baik itu kadang terpikirkan. Bagaimana caranya mewujudkan rasa sakit yang 'diberikan' oleh orang lain dapat dirasakan si pemberi itu agar si pemberi merasakan sendiri rasa sakit tersebut sehingga si pemberi tidak lagi memberikan rasa sakit kepada siapapun (jera). Dalam hal inilah saya menyebut dendam pun kadang ada baiknya. Meski, pada umumnya dendam merupakan sifat manusia yang tidak baik bagi orang lain. Dendam seperti inilah yang ditunjukkan oleh Clyde dalam mencapai cita-cita mulianya kepada publik hukum. Sulit meniadakan dendam. Apalagi menghilangkan sifat dendam, karena terkait dengan pengalaman tersakiti yang telah terekam di dalam pikiran. Memaafkan saja tidak cukup. Ia akan ada di dalam pikiran selama masih teringat 'jejak rekam' pengalaman sakit tersebut. Syarat tidak dendam, menueut saya, ialah: tidak mengingat pengalaman sakit itu dan memaafkan. Akhir kata, saya catut pernyataan Albert Einstein tokoh dunia yang saya kagumi, karena kepiawaiannya dalam bidang ilmu alam (fisika) dengan tidak melupakan sifat-sifat kemanusiawian- yang menyatakan bahwa lebih mudah kita mengubah zat kimia ketimbang mengubah sifat jahat manusia. Semut saja tidak pendendam, mengapa manusia melebihi sifat semut yang harus menyimpan dendam sampai melekat karat di pikiran? Mengapa perilaku dendam masih menyelimuti bangsa ini lewat adu drama 'kasus Nazaruddin Cs' kalau toh tujuannya demi kepuasan hasrat pribadi semata?


Kontributor Rizky Abrian

Laura Botta

, lahir di Surabaya 5 Oktober 1991. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Alamat email : Rizk_abrian@yahoo.co.id

. Lahir pada tanggal 19 Desember 1958, di Vicenza, Italia. Mendapat gelar Painting dari Accademia di Belle Arti, tahun 1986. Kini tinggal dan bekerja di Vicenza. Ia juga menjalin hubungan dengan European Culture. F e s b u k : www.facebook.com/lbottaro

Khoer Jurzani

adalah nama pena dari Hoerudin, lahir di Bogor 22 maret 1987. Khoer sempat bergabung dengan Forum Lingkar Pena Sukabumi sebelum hijrah ke Cianjur. Ia lulusan kejar paket C atau setara SMA, kini aktif sebagai Mahasiswa di STAI Al-Azhary Cianjur jurusan Tarbiyah. Bergiat di Komunitas sastra cianjur (KSC), Masyarakat Kampus Cinta Seni (MASKA CS), PMII, dan mengajar ekstarkulikuler kesusastraan di sebuah sekolah Tsanawiyah di Kota Sukabumi.

Dinal Kelian

, biasa dipanggil Ende. Sempat menempuh studi di jurusan fakultas sastra Unpad. Saat ini tinggal di Cianjur. Menyukai seni gambar dan musik. Beberapa kali pernah perform musik di Jatinangor, Cianjur, dan Jakarta.

Abdul Haris, perantau dari Padang yang kini Fusila Insani. Lahir pada Agustus 1988. mendedikasikan dirinya untuk perfilman. Pernah menempuh studi

Aktif di Langkah Komunitas Sastra. Menempuh studi sastra Jerman di Unpad, dan pernah ke Jerman dalam beberapa waktu. Kini beraktifitas di Jatinangor.

Izzulma. Mahasiswi sastra Rusia Unpad. Aktif di Langkah Komunitas Sastra, Jatinangor. Gemar menulis puisi dan cerpen.

Sastra Rusia di Unpad. Sekarang bermukim di Jakarta. Telah menyelesaikan beberapa judul film pendek.

Abrorza A Yusra

adalah alumnus mahasiswa sastra Indonesia Unpad. Alumni pesantren ini juga pegiat seni pertunjukan. Selain aktif seni peran di kelompok teater Djati, juga aktif di kelompok seni musik. Saat ini bermukim di Jatinangor.

Beni F. Syarifudin. Penyair, aktif di FAS (Forum Alternatif Sastra) Bandung.

Narodnik majalahnarodnik.blogspot.com redaksinarodnik@gmail.com feb. 2012



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.