Kokob 180 fix

Page 1

KOBAR O

B

Herpa

n Sagit

a | KOB

ARkob

ari

K

Peringkat Anjlok, UII Jalankan Strategi Baru

A

R

I


Pendidikan sejatinya merupakan pro­ ses. Proses yang dalam hal ini Ma­ ngunwijaya menyebutnya sebagai proses memerdekakan manusia, dan Driyarkara sebut sebagai proses memanusiakan ma­ nusia. Pendidikan bukan alat untuk menja­ dikan manusia sebagai robot, tapi bentuk pembebasan. Menimbang Sumber Daya Manusia (SDM) Universitas Islam Indonesia (UII) sebenarnya bisa menjadi bahan untuk mawas diri. Datangnya SK dari Direk­ torat Jendral Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) tentang pengumuman Klasifikasi dan Peme­ringkatan perguruan tinggi In­ donesia tahun 2015 salah satu poin pe­ nilaiannya adalah kualitas SDM. Sedangkan kualitas SDM memiliki beberapa indikator yang salah satunya rasio dosen dan ma­ hasiswa. Selain SK tersebut, muncul juga surat edaran Dikti tentang nisbah dosen/ mahasiswa pada tahun 2015 yang kem­ bali menegaskan mengenai batasan rasio dosen mahasiswa. Namun, ketika melihat data dari Dikti, nisbah dosen/mahasiswa beberapa Program Studi di UII masih ba­nyak yang melebihi standar dari Dikti, yaitu 1: 30 untuk eksakta, dan 1: 45 untuk sosial. Lihatlah contoh rasio dosen maha­ siswa di berberapa program studi di UII. Di program studi Ekonomi Pembangunan misalnya, rasio bisa mencapai 1:82. Lihat juga di Manajemen Perusahaan D3 yang bahkan bisa mencapai 1:101. Kala fasilitas tidak sebanding dengan banyaknya jumlah mahasiswa dalam suatu kelas, maka ini akan berimbas pada pola pengajaran dan proses dialektika yang terjadi di kelas. Hal ini juga bisa menjadi satu kekhawatiran, karena melihat hal semacam itu, relasi pendidikan yang terjadi kini bukan lagi melihat pada titik proses, tapi hanya un­ tuk mengejar hasil. Mahasiswa yang pen­ ting mendapat formalitas pendidikan, cap universitas ternama. Tak perlulah ada di­ alektika, debat keilmuannya, ataupun pen­ dalaman kajian, yang penting dosen masuk, bak cermahan ataupun seminar. Kalaulah UII hanya mengejar kuantitas mahasiswa yang banyak tanpa pertimbangan kemam­ puan kelas dan suasana pembelajaran yang baik, tak usah berharap kelas akan mela­ hirkan generasi emas kampus perjuangan.

Peringkat Anjlok, UII Jalankan Strategi Baru Kurangnya jumlah dosen merupakan salah satu penyebab rangking UII turun ke peringkat 51. Perekrutan besarbesaran dosen hingga penurunan jumlah mahasiswa pun dilakukan. Oleh : Dedy Tulus Wicaksono Kampus Terpadu, KOBARkobari Pada tanggal 20 Februari 2015, Direk­ torat Jendral Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) menurunkan Surat Keputusan (SK) Nomor 1613 /E2.4/LN/2014 perihal penge­lompokan (clustering) peringkat per­ guruan tinggi Indonesia kepada pimpinan perguruan tinggi negeri seluruh Indonesia dan koordinator perguruan tinggi swasta seluruh Indonesia. Sesuai SK di atas, Dikti mengeluarkan pengumuman klasifikasi ­dan­pemeringkatan perguruan tinggi In­ donesia tahun 2015. Dalam pengumuman tersebut, Universitas Islam Indonesia (UII) berada pada peringkat 51. Hal ini dikare­ nakan dari rasio 0-4, kualitas kegiatan mahasiswa mendapat nilai 0 dan kualitas penelitian dan publikasi ilmiah mendapat nilai 1,4. Selain itu, kualitas manajemen mendapat nilai 3,8, dan kualitas Sumber Daya Manusai (SDM) mendapat nilai 1,83. Nilai 0 yang didapat UII dalam hal penilaian kegiatan mahasiswa disebabkan oleh prestasi internasional mahasiswa UII tidak ter-record oleh Dikti. Hal ini dikare­ nakan Dikti melakukan penilaian dari Pe­ kan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) dan Olimpiade Sains Nasionel (OSN), sedangkan UII tidak kuat di sisi tersebut. Rekrut Dosen Besar-Besaran Menanggapi pengumuman Dikti terse­ but, Bambang Supriyadi selaku Koordina­ tor Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) wilayah V Yogyakarta menjelaskan bahwa ada beberapa indikator penilaian kualitas SDM di tiap universitas. “Untuk penilaian kualitas SDM sendiri ada beberapa indi­ kator seperti rasio dosen perpendidikan S3, rasio dosen yang memegang jabatan, rasio dosen tetap, dan rasio jumlah dosen terhadap jumlah mahasiswa. Menurut per­ aturan, rasio dosen terhadap ­mahasiswa prodi eksakta adalah 1: 30 dan untuk prodi­

2 KOBARKOBARI EDISI 180 // XVII // Mei 2016

sosial adalah 1: 45,” ungkap Bambang keti­ ka ditanyai perihal indikator kualitas SDM. Ia menuturkan bahwa secara institusi jumlah dosen di UII masih mencukupi tetapi jika secara prodi jumlah dosennya masih kurang dibanding jumlah mahasiswa. “Bulan Juni nanti harusnya bisa lebih baik lagi dan menurut data yang kami dapat UII tahun ini melakukan perbaikan dengan perekrutan dosen besar-besaran. Kema­ rin contohnya, UII mengajukan 200 lebih Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN),” ujar Bambang. Selaras dengan Bambang, Ilya Fajar Maharika selaku Wakil Rektor I UII me­ nyatakan bahwa Dikti setiap tahun me­ mang mengeluarkan data semacam kinerja yang dikumpulkan kemudian dianalisis dan diumumkan pada bulan Agustus 2015, di mana pangumuman tersebut merupakan­ hasil dari kinerja 2014. Dirinya menjelaskan bahwa untuk pe­ nilaian tentang SDM bukan hanya urus­an­ rasio dosen dan mahasiswa tapi juga sebe­ rapa banyak profesor yang dimiliki, dosen yang mempunyai jenjang pendidikan tinggi, dan dosen yang memiliki jabatan di kam­ pus. “Untuk tahun 2014 memang rasionya masih tinggi, sehingga untuk tahun 2015 kita memperbaiki dengan­memperbanyak rekrutmen dosen dari pihak universitas maupun fakultas sendiri,” ujarnya. Ilya juga menambahkan bahwa di tahun 2015 saja UII menambah sekitar 90 dosen baru se­ hingga jumlah dosen sekarang adalah 700 orang. “Target kita kedepan adalah 200 dosen baru,” tutur Ilya. Berbeda dengan Ilya yang sudah cu­kup mengerti penilaian Dikti, Beni Suranto­se­ laku Direktur Kemahasiswaan UII men­ jelaskan bahwa dirinya merasa bingung dengan metode penilaian yang dilakukan


Sumber: www.forlap.dikti.go.id Tsania Faza | KOBARkobari Dikti, yang ia tahu, penilaian SDM diukur dari ketercukupan dosen. “Jumlah dosen S3 masih kurang, dan belum ada jabatan akademik untuk dosen baru. Sedangkan jumlah profesor kita baru 11 orang,” terang Beni menjawab permasalahan ke­ ku­rangan dosen di UII. Menurut data indikator dalam pengu­ muman Dikti ada beberapa prodi di UII yang rasio dosen terhadap mahasiswanya sangat tinggi, terutama prodi-prodi yang berada di Fakultas Ekonomi (FE) dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengeta­ huan (FMIPA).

Akhsym Affandi selaku Kepala Prodi Ilmu Ekonomi (IE) mengungkapkan jika ada beberapa hal yang menyebabkan ra­ sio dosen terhadap mahasiswa di prodi IE menjadi 1: 82,1 padahal rasio normalnya adalah 1:45. Menurutnya, prodi IE masih banyak menggunakan dosen dari luar dan adanya dosen yang belum mempunyai ja­ batan atau Non Jabatan Akademik (NJA). “Pada aturan sebelumnya dosen yang mengajar di S2 dan S3 bisa kita akui se­ bagai dosen kita secara keseluruhan. Tapi aturan yang baru dosen yang mengajar di S2 dan S3 di satu prodi tidak dapat

di akui sebagai dosen S1 juga. Sekarang homebase dosen S1 di prodi IE hanya 12 orang padahal sebelumnya 21 dosen,” tutur Akhsym. Ia juga menambahkan jika tidak hanya prodi­IE yang terkena imbas dari peraturan baru tersebut, tetapi prodi Akuntasi dan Manajemen juga bahkan semua perguruan tinggi, namun kadarnya berbeda-beda.

Bersambung ke halaman 8

KOBARKOBARI EDISI 180 // XVII // Mei 2016 3


Koneksi Wi-Fi UII Lemot, Apa Sebabnya? Mahasiswa sudah tidak diberi batasan kuota, namun ­kenyataannya implementasi Wi-Fi di UII masih bermasalah. Murni kerusakan teknis, atau karena kebijakan birokrasi?

Didik Firmansyah | KOBARkobari Oleh: Muhammad Ghozali Kampus Terpadu, KOBARkobari Berdasarkan survei yang dilakukan Lembaga Pers Mahasiswa HIMMAH Uni­ versitas Islam Indonesia (UII) pada 2-3 November tahun lalu, banyak mahasiswa yang mengeluhkan lambatnya koneksi­ fitas Wireless Fidelity (Wi-Fi) di UII. Dari 426 mahasiswa UII yang diteliti, sebanyak 94% responden merasa koneksi Wi-Fi UII sering terputus sendiri. Padahal maha­ siswa sudah tidak diberi batasan kuota se­ hingga bebas mengakses internet sampai bandwidth-nya optimal. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya setiap maha­ siswa dibatasi kuota sebesar 12 GB per semester. Menanggapi hasil survei tersebut, Badan Sistem Informasi (BSI), satuan kerja rektorat yang mengelola sistem Wi-Fi UII membenarkan banyak mahasiswa yang komplain terhadap koneksi Wi-Fi di UII karena sinyalnya yang tidak kuat dan akses internet yang lambat. Saat ini BSI sendiri telah berlangganan internet melalui dua penyelenggara jasa internet atau biasa pula kita kenal dengan Internet Service Provider (ISP), yaitu provider milik Yayasan Badan Wakaf, PT. Global Pri­ ma Utama atau biasa disebut dengan UII Net dan provider Icon Plus. Apabila salah satu provider mati, maka provider satunya dapat mengambil alih layanan provider yang mengalami kerusakan tersebut. Kapasitas

bandwidth yang dipesan BSI melalui kedua provider tersebut masing-masing adalah 200 Mbps, sehingga total 400 Mbps di­ transfer ke kampus terpadu UII melalui fiber optik. Sedangkan untuk fakultas di luar kampus terpadu UII seperti Fakultas Ekonomi (FE) dan Fakultas Hukum, BSI melakukan transfer bandwith sebesar 100 Mbps. Deputi Alat dan Jaringan BSI UII,Trisna Samudera, menjelaskan bahwa BSI menge­ luarkan dana sebesar Rp 150.000.000,untuk berlangganan ke UII Net, dan Rp 100.000.000,- untuk Icon Plus. Pemilihan provider sendiri ditentukan oleh rektorat. “Rektorat yang memilih provider, bukan dari BSI,” papar Trisna. Keunggulan dan kecepatan akses in­ ternet dari kedua provider tersebut pun telah diuji oleh BSI, dan hasilnya adalah relatif. Tidak ada yang dominan, hanya saja UII Net lebih cepat ketika digunakan un­ tuk membuka youtube.com ketimbang Icon Plus. Hal itu dikarenakan UII Net telah berlangganan dengan atau telah berlang­ ganan dengan youtube sehingga mempu­ nyai location server youtube. Sedangkan Icon Plus lebih unggul pada beberapa situs lain karena memiliki lompatan hub yang pendek sehingga jaringan yang diterima optimal. Terkait putusnya layanan internet pro-

4 KOBARKOBARI EDISI 180 // XVII // Mei 2016

vider dinilai sangat mungkin terjadi. Hal itu dikarenakan oleh kerusakan fisik in­ frastruktur provider akibat putusnya kabel fiber optik yang tercangkul karena proyek penggalian jalan dan karena kerusakan router dari provider itu sendiri. “UII juga pernah mengalami hal itu, kabel putus aki­ bat tercangkul alat berat, sehingga jaring­ an salah satu provider terputus,” ungkap Trisna. Perihal lambatnya koneksi Wi-Fi di fakultas, Trisna menjelaskan bahwa itu tergantung dari infrastruktur tiap-tiap fakultas dan seberapa banyak percabangan­ hub. Apabila percabangan pendek maka koneksi itu akan semakin cepat, tetapi apabila percabangan itu panjang, maka koneksi internet tersebut akan semakin lambat. Fakultas Teknik Sipil dan Perenca­ naan dan Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Agama Islam UII biasanya sering mengalami kerusakan infrastruktur Wi-Fi tersebut. Penempatan access point juga mem­ pengaruhi koneksi Wi-Fi. Lokasi penem­ patan access point dan banyaknya access point sendiri tergantung kebijakan tiaptiap fakultas. Selain itu, access point juga dapat mengalami lag atau hang akibat sinyal yang ditransfer kecil, sedangkan pemakainya banyak sehingga mengaki­ batkan suplai bandwidth dari access point ke ­perangkat berkurang. Trisna mengaku jumlah pemakai jaringan Wi-Fi UII me­ mang tidak seimbang dengan kapasitas yang diberikan, hal ini disebabkan karena jumlah mahasiswa tiap tahunnya selalu bertambah dan tidak diikuti dengan ber­ tambahnya bandwidth. Menurut Trisna sendiri, penyebab WiFi sering bermasalah kemungkinan besar dikarenakan oleh access point-nya mati atau kabel terputus. Masalah ini selalu ada, misalnya karena petir, dan lonjakan listrik yang membuat access point mati. “Access point fakultas menjadi kewenangan­fakultas bukan kampus pusat. Kalau fakultas kom­ plain, BSI baru akan datang dan mengecek. Biasanya fakultas tidak memberitahu kami apabila access point rusak, staff fakultas lebih memilih coba-coba sendiri, padahal itu bukan keahlian mereka, itu yang mem­


buat access point di fakultas rusak,” jelas Trisna. Menanggapi pernyataan tersebut, Staff Divisi Sistem Informasi Manajemen (SIM) FE UII, Muhammad Munawar, menjelaskan bahwa semua infrastruktur access point yang terpakai di FE adalah milik FE UII. BSI hanya pernah mengirim access point ke Divisi SIM FE UII, tetapi tidak pernah memasangnya. “BSI hanya mengirim alat tersebut ke FE, tetapi tak kunjung dipa­ sang sejak dua bulan yang lalu, sehingga akhirnya kita men-setting alat itu sendiri, tetapi akhirnya alat tersebut sama sekali belum pernah dipakai oleh kita,” papar Munawar. FE sendiri telah mengajukan imple­ mentasi pelayanan internet agar dilakukan oleh BSI sejak bulan Oktober 2012, tetapi baru direalisasikan oleh BSI pada tanggal 19 April 2016. Saat ini telah terpasang 23 unit access point di FE UII. Dua di Program Pasca Sarjana, dan 21 unit lainnya tersebar di seluruh bagian FE. Dari 21 unit access point tersebut, 11 unit memakai koneksi dari BSI dan 10 unit lainnya menggunakan ISP lain. Idealnya, access point hanya optimal apabila digunakan oleh 30 perangkat saja, apabila lebih, kecepatan akses Wi-Fi di tiap access point akan menurun. “Permasalah­ annya adalah sekarang 1 kelas saja isinya 50-an mahasiswa. Dan tiap mahasiswa pasti memiliki smartphone yang ada wireless-nya. Ketika access point ditempatkan dekat dengan kelas, maka performanya akan menurun,” jelas Ikhsan Pamungkas, yang juga merupakan staff Divisi SIM FE. Padahal saat ini kecepatan Wi-Fi sebe­

sar 8 Mbps telah disalurkan ke seluruh FE, bertambah 2 Mbps dari tahun 2011 yang saat itu hanya 6 Mbps. FE sendiri saat ini sudah menerapkan kuota Wi-Fi di kam­ pus yang proporsinya dibagi sebanyak 128 Kbps untuk mahasiswa, dan 256 Kbps un­ tuk dosen. Kuota tersebut hanya berlaku saat jam efektif perkuliahan, sedangkan di luar jam perkuliahan otomatis akan bertambah bandwidth-nya, seiring dengan berkurangnya kegiatan penggunaan inter­ net di FE. Lebih lanjut, Ikhsan menuturkan bahwa penambahan access point dapat juga dilakukan tetapi masih harus mem­ pertimbangkan seberapa pentingnya WiFi di kampus dan ketersediaan alat yang kompatibel di Indonesia. Saat ini juga baru saja selesai dilaku­ kan penataan kabel jaringan yang menjadi salah satu penyebab lambatnya koneksi Wi-Fi di UII. Dalam penataan kabel server ini, dilakukan virtualisasi lot balances, yang bertujuan apabila kabel server dicabut dan mati untuk diperbaiki, maka server terse­ but akan di back up oleh server berikutnya. Setelah penataan kabel jaringan rampung, akan dilakukan peremajaan server secara bertahap agar server bisa menampung kapasitas sebesar 10 GB. Peremajaan server dikerjakan oleh teknisi dari luar UII, dan ditargetkan selesai dalam 6 bulan ke depan. Manager Operasional PT. Global Pri­ ma Utama (UII Net), Taufik M Heriawan mengatakan bahwa UII Net menyuplai bandwidth hanya sampai ke BSI, setelah itu BSI lah yang menyebarkannya, sehingga mereka tidak bisa mengkontrol jaringan sampai titik akhir. “Semua ada di BSI dan

itu di luar otoritas kami,” ujar Taufik. Se­ lain melayani jaringan internet di UII, PT. Global Prima Utama juga melayani be­ berapa tempat seperti Universitas Sarjana Wiyata, Poltekes, D3 Teknik Elektro Uni­ versitas Gajah Mada, Pemerintah Daerah (Pemda) Sleman, Pemda Kulon Progo, dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat, tetapi hanya jaringan Wi-Fi di UII yang bermasalah. Menurut Maria Ulfa, mahasiswi Ilmu Komunikasi 2014, UII seharusnya menye­ diakan jaringan Wi-Fi yang bagus, sesuai dengan apa yang dibayarkan mahasiswa setiap tahunnya yang notabene-nya ma­ hal. “Wi-Fi kampus lelet banget, kira-kira nggak ada 100 Kbps, susah buat menger­ jakan tugas,” ujarnya. Sama halnya dengan Maria, anggota Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) FE, Rafi Adriyan mengungkapkan bahwa dirinya sering sekali merasakan koneksi Wi-Fi UII lambat. Menurutnya BSI harus tau berapa kuota yang dibutuhkan oleh seluruh mahasiswa aktif di UII, setelah itu buat tim khusus untuk menangani imple­ mentasi penerapan dan perencanaan ulang Wi-Fi di UII agar masalah koneksi lambat ini bisa diatasi. “BSI dan UII Net harus saling berkoordinasi, supaya kuota bisa tersalurkan semua, jadi mahasiswa ti­ dak ada yang dirugikan karena ini fasilitas kampus,” paparnya. Reportase bersama: Nalendra Ezra, Nurani Ika, Rabiatul Adawiyah, Dian Indriyani, dan Siti N. Qoyimah

"Kami menerima hak jawab jika ada pihak-pihak tertentu yang keberatan dengan pemberitaan KOBARkobari."

Dewan Redaksi: Kholid Anwar., Yuyun Novia S. Pemimpin Redaksi: Fahmi Ahmad B. Sekretaris Redaksi: Siti N. Qoyimah. Redaktur Pelaksana: Laras Haqkohati, Fikrinisa’a Fakhrun H. Redaktur Foto: Putri Werdina C. A. Redaktur Artistik: Abdurahman Al-Asykari. Staf Redaksi: Haninda Lutfiana U., Adilia Tri H., Dian Indriyani, Norma Indah P., Rabiatul Adawiyah. Fotografi: Danca Prima R., Fitri Sarita. Penelitian dan Pustaka: Al-Aina Radiyah, Fauzi Farid M., Nurcholis Ma’arif Rancang Grafis: Tsania Faza, Putri Bidadari A., RB. Radix Sabili D. P. Perusahaan: Novita Dwi K., Wean Guspa U., PSDM: Desi Rahmawaty, Arieo Prakoso, Asyharuddin Wahyu Y. Jaringan Kerja: Sirojul Khafid, Nurcholis Ainul R. T., Ferry Firmansyah A. Magang: Zahrotun Nafiah, M. Alfian Lutfi, Amalia Ratna P., Bakas Afrandy W., Regita Amelia C., Dhyan Fidyawati, Eky Roza P., Rengganis Ulvia, Egi Andrea, Naura Hassa L. C., Novrizal Roynanda, Rian Afriansyah, Ghilman Muhammad, Dika Utama, Yolanda Dwi A., Retyan Sekar, Bangkit Dwi M., Faisal M. Ramdani, Rilis Akista T. S., Fatimah Intan K., Dena Mantovani, Nalendra Ezra A., Annur Syifan, Muhammad Ghozali, Aditya Iswanto, Hidayatul Akii, Ahmad Zakyy A., Runike Putri, Kurnia Ramadhani, Taris Aditama, Desi Anggraini, M.Khanif Khoerul, Herpan Sagita, Dedy Tulus W., Vinny Fhiadina N. S. T., Rahmad Dwiky S. S., H. Puja Prakoso., Zikra Wahyudi, Dika Utama, A. Nur Al Farizi, Raies Maulana, Agus Ali S., Nike Kusumawati, Intan Early W., Mifthahul Fauziah, Nur Amanah I. A., Annisa Aulia R., Mita Eprilia, Moch. Lazuardy Islami, Novrizal Roynanda, Nadia Aisyah S., Didik Firmansyah. Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa HIMMAH Universitas Islam Indonesia. Alamat Redaksi: Jln. Cik Ditiro No.1 Jogjakarta. Telp (0274) 3055069, 085642611172 (Novita Dwi K., Iklan/Perusahaan). Saran dan kritik melalui email: lpmhimmah@gmail.com, http://lpmhimmahuii.org.

KOBARKOBARI EDISI 180 // XVII // Mei 2016 5


Mita Eprilia | KOBARkobari

KIPO Bu Djito

Alat Masak

Puja Prakoso | KOBARkobari

Meracik Bahan

Puja Prakoso | KOBARkobari

6 KOBARKOBARI EDISI 180 // XVII // Mei 2016

Kipo, Iki Iki opo… iki opo…? Berawal dari para pembeli yang selalu bertanya “iki opo?”, maka tercetuslah nama sebuah makanan tradisional khas Kotagede, Kue Kipo namanya. Ini bukan “typo”, bukan pula “kepo”. Bahan dasar kue kipo tersebut adalah tepung ketan, parutan kelapa, dan gula jawa. Kenyal dan manis dilidah, ketika dimakan akan tercium aroma panggangan yang akan menambah cita rasa dari kue kipo tersebut. Dulu, sekitar tahun 1946 kue ini hanya dijajakan di pinggir Jalan Mon­ dorakan, Kotagede. Sekarang telah dijajakan dalam sebuah toko. Dulu, hanya dibungkus daun pisang dan ko­ ran. Kini kue dikemas dengan daun pisang berbalut kertas yang bertu­ liskan “kue kipo”. Dulu, kue dibuat sendiri oleh Mbah Mangun Irono. Lalu secara turun temurun resep pembuaan kue kipo ini diturunkan kepada anak cucunya.


Dokumentasi Sejarah

Regita Amalia | KOBARkobari

Opo? Proses pembuatan kue ini meng­ gunakan panggangan berupa cobek yang terbuat dari tanah liat. Maka tak heran aroma dari panggangannya akan tercium ketika mengkonsumsi kue kipo. Hal inilah yang menambah cita rasanya. Menjadi unik, karena dari proses memasaknya saja mengguna­ kan alat yang masih sangat tradisio­ nal. Selain itu, untuk menjaga cita rasa haruslah cucu Mbah Irono, Istri Ra­ hayu sendiri yang membuat adonan kue. Sedangkan proses mencetak dan memanggang dibantu oleh adik dan menantunya. Tidak sembarang orang yang dapat memanggang kue kipo. Karena dalam prosesnya harus membalik satu per satu kue kipo menggunakan tangan kosong. Butuh kesabaran dan ketelatenan. Harganya pun cukup murah, hanya Rp 1.800. Banyak pelanggan dari berbagai ka­ langan berdatangan untuk memesan kue ini.

Transaksi

Puja Prakoso | KOBARkobari

Siap Kemas

Regita Amalia | KOBARkobari

Narasi Oleh : Mita Eprilia


dimiliki prodi Akuntansi segera memiliki Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN). Hal ini agar dosen yang mengajar bisa ter­ catat di data Dikti. Penurunan Jumlah Mahasiswa Kebijakan yang diambil prodi IE untuk Selain menambah jumlah dosen, UII meningkatkan mutu pendidikan dan ra­ sio dosen terhadap mahasiswa tersebut juga terus memperbaiki data administratif adalah dengan merekrut dosen baru “Un­ mahasiswa. Jumlah mahasiswa di tahuntuk tahun 2015, prodi IE telah merekrut tahun berikutnya akan diturunkan “Jumlah 4 dosen sementara awal tahun ini merek­ mahasiswa yang dipakai untuk penilaian rut lagi 3 dosen. Namun total kita masih Dikti sebanyak 3000 mahasiswa itu meru­ pakan data lama. Terus kita passing­ out kekurangan 9 dosen,” jelas Akhsym. Dirinya mengeluhkan tentang sulitnya (PO) jadi total ada sekitar 23.000 maha­ merekrut dosen menggunakan sistem siswa. Target kita, rasio jumlah dosen dan penerimaan dari universitas (reguler) mahasiswa adalah 1:35,” ungkap Ilya. Beberapa prodi juga melakukan lang­ kare­­ na syarat administrasi yang berat, sehingga pihak prodi banyak yang meng­ kah yang sama. Prodi IE sendiri akan urangi jumlah mahasiswa di tahun gunakan jalur pernerimaan dosen meng­ meng­ gunakan jalur fakultas. ”Tahun kemarin 2016 menjadi hanya sekitar 170 maha­ kita rekrut dosen 4 kali menggunakan siswa baru. Lain lagi dengan prodi Akun­ jalur reguler dan semua peserta tidak ada tansi. Selain berupaya menurunkan jumlah­ yang lolos seleksi administrasi. Begitu pula mahasiswa yang diterima dari tahun ke­ dengan­Akuntansi. Namun Manajemen marin yang berjumlah 500 mahasiswa hanya 1 yang lolos, itu pun baru seleksi men­jadi 400, prodi Akuntasi juga sedang administrasi belum seleksi tes akademik,” men­coba negosiasi ke Pendidikan Profesi Akuntansi (PPAk) agar dosen yang dipin­ tambah Akshym. Pernyataan yang sama disampaikan jam D3 dapat kembali mengajar ke prodi Dekar Urumsah, Kepala Prodi Akuntansi, S1 Akuntansi, sehingga rasio akan improve­ “Resource yang dimiliki prodi Akuntansi significantly dan insyaallah rasio kita bisa dibagi ke dalam program S1, profesi, S2 sampai 1:60,” terang Dekar, kaprodi dan S3. Bahkan kita sempat meminjamkan Akuntansi. Dekar juga menambahkan jika prodi dosen untuk D3 juga. Jadi akar masalahnya­ ada di situ,” terang Dekar ketika ditanyai­ Akuntasi juga menjalankan perbaikan in­ penyebab kekurangan dosen di prodi put jumlah data mahasiswa yang akan ber­ Akuntansi. Dekar juga memaparkan untuk dampak pada rasio dosen dan mahasiswa. upaya perbaikan tersebut, prodi akuntansi “Mahasiswa 2007, 2008, dan 2009 kita bina sedang berupaya meningkatkan rekrut­ agar segera menyelesaikan pendidikannya. men Dosen Tetap dengan Perjanjian Kerja Kita juga membuat surat pernyataan agar (DTPK) dan mengupayakan dosen yang mahasiswa tidak di Drop Out (DO) serta Lanjutan dari halaman 3

Wireless Fidelity (Wi-Fi) Universitas Islam Indonesia (UII) lam­ bat, kurang kencang, terkadang suka error apalagi di dalam kelas, susah untuk mengerjakan tugas. Seharusnya Wi-Fi di kelas itu kencang, supaya mahasiswa lebih mudah cari referensi saat di­ beri tugas mendadak. Padahal mahasiswa semestinya mendapat­ kan fasilitas yang memadai seperti Wi-Fi ini, karena SPP kita ter­ bilang besar. Sebagai mahasiswa tentu kita merasa dirugikan. Ke depannya pihak UII harus menyelesaikan masalah Wi-Fi ini. Trinanda Anugrah Besma-Jurusan Psikologi 2014 Miris juga tahu peringkat UII turun, tapi untuk masalah SDM saya kurang tahu. Sedangkan untuk masalah kegiatan mahasiswa sendiri memang untuk tahun ini belum begitu keliatan, tidak sepe­rti tahun kemarin yang mengadakan banyak acara. Rizal Akbar Fahmi-Jurusan Hukum Islam 2013 8 KOBARKOBARI EDISI 180 // XVII // Mei 2016

orang tua mahasiswa terus kita hubungi dan tentunya kita cek 2 bulan sekali untuk perkembangannya dan alhamdulliah itu semua ada hasilnya sekarang,” lanjutnya. Aldy Novaldi, mahasiswa Statistika 2013 berpendapat bahwa hasil dari Dikti­ itu dapat menjadi bahan evaluasi dan pem­ belajaran UII agar ke depannya lebih baik lagi. “Ibarat kita mau berenang ke suatu pulau. Ada dua cara kita mau belajar berenang atau kita cari alat agar kita bisa berenang. Sama halnya dengan UII, ingin mencari dosen yang bisa mendidik maha­ siswanya atau mengurangi jumlah maha­ siswa,” tegasnya. Sedangkan Andi Afrizal, Ketua Forum Mahasiswa Ilmu Ekonomi (FMIE) me­ nyarankan bahwa jumlah tenaga pendidik UII dan kualitasnya harus dibenahi lagi. Karena sebagai mahasiswa, dirinya ter­ kadang merasa kesulitan untuk melaku­ kan konsultasi ke dosen. “Mungkin ini karena perbandingan jumlah dosen dan mahasiswa sangat jauh berbeda. Dan un­ tuk peningkatkan terhadap penilaian Dikti ini tentunya harus ada kesinergian semua pihak antara KM UII, rektorat, dekanat, dan lembaga mahasisa harus bisa me­ mainkan perannya masing-masing dengan baik,” ucapnya.q Reportase bersama: Nalendra Ezra dan Retyan Sekar

Wi-Fi di UII tidak merata, hanya di daerah-daerah terten­ tu yang koneksinya kencang. Seperti yang terjadi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengatahuan Alam (FMIPA). Wi-Fi lantai satu kampus FMIPA lumayan kencang, tetapi ketika memasuki lantai 3 atau 4 koneksinya semakin melambat, malah di lantai 4 terkadang tidak mendapatkan koneksi Wi-Fi sama sekali. Kita sebagai mahasiswa UII bisa dibilang bayarannya mahal, harusnya juga diberi fasilitas yang mendukung. Ayu Hanisa-Jurusan Ilmu kimia 2013 UII itu sebenarnya banyak PKM-nya, hanya saja tidak ada yang tembus nasional. Kegiatan organisasi yang dilakukan anak UII juga banyak, sedih saja tahu UII bisa sampai turun nilai dan ­peringkatnya. Harapannya semoga dosen UII lebih baik lagi dari segi dedikasinya. Karena mahasiswa berhasil atau tidak salah sa­ tunya karena dosen. Pradita Maharani-Jurusan Ilmu Ekonomi 2014


Judul : Law Abiding Citizen Genre : Drama Sutradara : Gary Gray Pemeran : Jamie Foxx, Gerard Butler , Leslie Bibb, Christian Stolte, Joshua Stewart Produksi : Overture Films Tanggal Rilis : 6 Oktober 2009 Bahasa : Inggris Durasi :110 menit 50 detik Oleh: Asep Setiawan Law Abiding Citizen merupakan film yang menceritakan tentang kasus pem­ bantaian terhadap keluarga Clyde Shel­ ton. Terdapat dua pelaku yang membunuh istri dan anak dari Clyde dalam pemban­ taian tersebut, yaitu Clarence Darby dan Rupert Ames. Kasus ini kemudian diseli­ diki dan dibawa ke pengadilan setelah ada laporan dari sang korban, tak lain adalah Clyde, yang meminta peradilan hukum atas kejadian sadis itu. Darby adalah pelaku utama yang telah menikam pisau ke tubuh korban. Semen­ tara Ames berperan sebagai medepleger, seseorang yang turut serta membantu rencana jahat Darby. Kasus ini ditangani oleh jaksa penuntut umum yang popu­ laritasnya sedang di atas awan, Nike Rice. Rice telah berusaha untuk mendapatkan bukti yang kuat terkait kasus tersebut, tetapi kesulitan untuk mendapatkannya. Dia terpaksa mengambil keputusan untuk melakukan plea bargain dengan salah satu terdakwa, Darby. Berdasarkan keterangan yang diambil dari Wikipedia, plea bargain adalah suatu mekanisme kesepakatan dalam perkara pidana antara penuntut hu­ kum dengan terdakwa, di mana terdakwa harus mengaku bersalah sebagai ganti dari tawaran penuntut atau ketika hakim telah menyebut secara informal bahwa hakim akan mengurangi hukuman jika terdakwa mengaku salah. Darby dan Ames kemudian dibawa ke persidangan dengan berkas perkara ter­ pisah. Keberuntungan berpihak pada Dar­ by yang didaulat menjadi saksi mahkota dalam berkas perkara Ames. Di sinilah ke­ sempatan Darby untuk memutarbalikkan fakta dan menjatuhkan kawannya itu demi keuntungannya. Alhasil, Ames dijatuhi hu­ kuman mati. Darby sendiri hanya divonis lima tahun penjara. Clyde sempat tidak

terima. Namun sebagai warga negara yang baik, ia harus menaati sistem hukum yang tidak adil itu. Clyde selanjutnya memutuskan be­ lajar hukum selama sepuluh tahun demi memahami sistem hukum dan peradilan yang diterapkan di negaranya. Dia akh­ irnya paham bahwa pada sistem hukum dan peradilan yang ada, hakim hanya dapat memvonis seorang terdakwa jika tersedia bukti-bukti yang kuat. Clyde pun menyusun strategi untuk membalas den­ dam terhadap orang-orang yang memiliki sangkut paut dengan kasus pembunuhan keluarganya. Saat ini, masih banyak para penuntut hukum di Indonesia yang kurang memaha­ mi bagaimana hukum benar-benar mengi­ kat warga negara. Banyak penuntut hukum melakukan perjanjian dengan kriminalis melalui sistem mutualisme. Maksud dari mutualisme di sini, yaitu penuntut hu­ kum dan pelaku kriminalitas sama-sama mendapatkan keuntungan dari peneta­ pan hukuman tersebut. Penuntut hukum menerima suap dari pelaku, sedang sang pelaku mendapat hukuman lebih ringan dari yang sewajarnya. Salah satu contohnya adalah kasus putra bungsu Hatta Rajasa pada 1 Janu­ ari 2013 silam, di mana ia mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi hingga menewaskan dua orang. Setelah kejadian, polisi tidak menahan pria yang menimba ilmu di London itu dengan alasan trauma dan adanya jaminan dari pihak keluarga bahwa Rasyid akan kooperatif. Rasyid mendapatkan keistimewaan sebagai putra pejabat negara. Bandingkan dengan kasus tabrakan maut yang dilakukan Afriyani Su­ santi di Tugu Tani, Jakarta Pusat pada 22 Januari 2012. Afriyani dituntut hukuman 20 tahun penjara atas kasusnya.

Sumber; Google

Permainan Mutualisme Hukum

Kedua kasus tersebut dapat mem­ berikan kesimpulan bahwa sistem hukum di Indonesia belum berjalan secara adil. Para penuntut hukum tidak tegas dalam menegakkan hukum. Sebagaimana sistem hukum dalam film Law Abiding Citizen yang bisa dipermainkan dengan begitu piciknya. Lalu, bagaimana dengan nasib Clyde? Apakah “hukum benar-benar mengikat warga negara” seperti judul film ini benar adanya? Atau hukum tak cukup kuat menunjukkan tajinya karena alasan kurang alat bukti? Bagaimana pun akhir ceritanya, film Law Abiding Citizen sangat cocok diton­ ton oleh masyarakat yang berkecimpung di dunia hukum sebagai sebuah kritik sekaligus cerminan terhadap pemaha­ man hukum yang sebenarnya, terkhusus di Indonesia. Film ini juga mengajarkan agar warga negara tetap kritis terhadap ketidakadilan sistem hukum. Hanya saja film ini mengkritik sistem peradilan den­ gan cara yang sadis, yaitu pembunuhan. Selain itu, strategi-strategi sang korban ketika menuntut haknya dilakukan dengan cara yang tidak realistis. Terkadang alur ceritanya pun sulit untuk dipahami sebab latar belakang kejadian pada setiap bagian kurang dijelaskan secara rinci. Jika plea bargain dilakukan oleh para penuntut hukum di Indonesia, mungkin mereka akan melakukan hal yang sama seperti akhir film yang disutradarai oleh Gary Gray ini. Rice yang digambarkan sebagai jaksa yang cerdas mengaku ka­ pok melakukan plea bargain dalam kasus pembunuhan. Pengakuan penyesalan itu dia akui di depan kliennya sendiri. “Jangan pernah melakukan bargain dengan pem­ bunuh!” katanya.

KOBARKOBARI EDISI 180 // XVII // Mei 2016 9


Ilustrasi Tunggal: Freedom of Expression

Abdurahman Al-Asykari | KOBARkobari

10 KOBARKOBARI EDISI 180 // XVII // Mei 2016


Jangan Biarkan Pembangunan UII Berjalan Tanpa Pengawalan! Oleh: Nurcholis Ainul R.T.*) Selama tahun 2015, sektor infrastruktur merupakan salah satu sektor yang paling merugikan negara dengan jumlah dugaan kasus korupsi mencapai 832,3 miliar rupiah. Indonesian Corruption­ Watch (ICW) mengatakan bahwa kasus yang menyangkut infra­ struktur mencapai 139 kasus. Dugaan korupsi ini naik seiring meningkatnya pembangunan yang terjadi di Indonesia. Masifnya pembangunan juga bisa kita lihat di Universitas ­Islam Indonesia (UII). Saat ini pun UII sedang gencar­-gencarnya melakukan pembangunan. Selama kurang lebih tujuh tahun kede­ pan, kita, mahasiswa UII akan diriuhkan oleh masifnya pemba­­­ ngun­ an. Menurut masterplan pembangunan kampus terpadu yang disepakati oleh pihak Yayasan Badan Wakaf (YBW), univer­ sitas, dan fakultas, UII akan melakukan pembangunan kampus terpadu hingga tahun 2023. Proyek ini juga meliputi pembangunan gedung Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, gedung laboratorium Fakultas Kedokteran, gedung Unisi Shop, dan boulevard UII yang beberapa waktu lalu telah selesai dibangun. Pada proyek pembangunan kampus terpadu, ada beberapa hal yang saya rasa perlu dipertanyakan. Beberapa diantaranya yaitu soal portal otomatis untuk motor yang ada di depan gedung Kahar Muzakkir. Portal tersebut telah beberapa kali dibongkarpasang. Sekarang pun portal khusus motor tidak digunakan lagi. Gantinya, portal motor dipindah ke setiap parkiran motor yang ada di fakultas. Nah yang perlu dipertanyakan adalah bagaimana sebenarnya perencanaan pembangunan portal otomatis terse­ but? Mengapa harus beberapa kali bongkar pasang? Satu lagi adalah terkait pembangunan Unisi Shop. Jika anda menyempatkan diri untuk bermain ke gedung yang belum lama selesai dibangun tersebut, akan terlihat beberapa bagian gedung yang sudah mengalami keretakan, dan rusaknya beberapa lam­ pu tempel yang terpasang di temboknya. Mengapa hal tersebut bisa terjadi mengingat gedung Unisi Shop belum lama rampung dibangun?­ Melihat fenomena ini, secara sporadis saya jadi teringat salah satu tulisan Herry Soebagyo di buku Api Putih di Kampus Hijau. Di situ dirinya menuliskan fakta-fakta mengejutkan tentang kampus Antara—kampus yang saat ini digunakan sebagai gedung perkuliahan Fakultas Ekonomi—yang pada saat itu baru selesai dibangun. Banyak kejanggalan dalam pembangunan kampus Antara yang ia temukan bersama tim reevaluasi Kampus Antara. Begini tu­ lisannya: “Belum genap setahun kampus Antara selesai dibangun,­ sudah terlihat berbagai keanehan yang mencolok mata. Air ka­ mar mandi tidak mengalir, dinding banyak yang retak, kusen

jendela dan pintu-pintu dipasang secara tak presisi dan kasar, lantai ruangan kelas dan selasar banyak yang terangkat dan je­ bol, pemasangan siku penyangga atap yang melenceng dan sangat membahayakan, serta eternit langit-langit atap banyak yang jatuh dan pecah.” Runtutan fakta-fakta lapangan yang ditemukan oleh tim re­ evaluasi kampus tersebut akhirnya membawa UII pada suatu peristiwa berdarah yang amat menyedihkan. Pada hari itu, 4 No­ vember 1989, Slamet Saroyo, ketua tim reevaluasi kampus An­ tara tewas dalam sebuah perkelahian antar kelompok mahasiswa UII. Mayatnya ditemukan di sebuah ladang dengan luka bacokan dan tikaman di bagian punggung sedalam kurang lebih 10 sen­ timeter. Bagi sivitas akademika UII, peristiwa tersebut mustahil dipisahkan dari pertentangan-pertentangan yang terjadi akibat pembangunan kampus Antara. Berbanding lurus dengan meningkatnya intensitas pemba­ ngunan yang ada di UII, maka meningkat pula potensi-potensi penyalahgunaan dalam pembangunan tersebut. Entah itu penya­ lahgunaan karena minimnya perencanaan sehingga dapat menim­ bulkan kerugian, atau bahkan penyalahgunaan yang diakibatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk meraup keuntungan pribadi. Berangkat dari kondisi lapangan dan fakta sejarah yang ada, saya rasa sudah seharusnya kita, mahasiswa UII merasa awas akan masifnya pembangunan di kampus ini. Karena bukan tidak mungkin penyelewengan-penyelewengan yang terjadi beberapa puluh tahun lalu bisa terulang kembali saat ini. Dan jika kita ti­ dak cepat-cepat mengambil tindakan, maka bukan tidak mungkin peristiwa berdarah yang terjadi 27 tahun lalu terulang kembali. Tentunya tantangan yang mahasiwa hadapi saat ini sangat berbeda. Kita saat ini sangat disibukkan dengan agenda-agenda perkuliahan yang begitu padat, dihadapkan oleh biaya perkuliahan­ yang semakin hari semakin meningkat, dihajar habis-habisan de­ ngan biaya hidup yang semakin hari semakin naik. Namun pembangunan tersebut adalah hak kita sebagai ma­ hasiswa UII, pembangunan itu digunakan dari keringat orang tua kita. Apa kita rela jerih payah orang tua kita disalahgunakan oleh orang-orang tak bertanggung jawab? Tentunya saya tidak. Saya akan meminta hak yang seharusnya saya dapatkan! Di sini, selu­ ruh mahasiswa harus bersama mengawal pembangunan ini, khu­ susnya Keluarga Mahasiswa UII. Mengawasi apa yang menjadi hak kita. Mengawasi jalannya pembangunan kampus terpadu. *) Mahasiswa jurusan Teknik Informatika 2013/Staf Jaringan Kerja LPM HIMMAH UII 2015-2016 KOBARKOBARI EDISI 180 // XVII // Mei 2016 11


12 KOBARKOBARI EDISI 180 // XVII // Mei 2016


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.