Teman Merawat Percakapan

Page 14

A

ku dilahirkan di Kota Semarang, 10 Juli 1975, Kamis kliwon. Kata ibuku, aku lahir sewaktu ayahku melaksanakan ujian kuliahnya. Sejak kecil aku jarang bermain di rumah dan lebih memilih bermain bersama teman-teman, bermain bola, sepeda, jalan-jalan menyusur kampung. Pernah di satu masa, mungkin kelas lima atau kelas enam sekolah dasar, selama kurang lebih setahun aku dan teman-teman kampung menabung dalam sekaleng bekas kuweh. Hasil tabungan kami gunakan untuk wisata ke kebon binatang di Semarang, lalu ke museum perjuangan (di daerah Tugu Muda, Semarang), dan berakhir ke pantai, naik bis kota.

Foto: Maret Prima

Luka Karang (untuk teman-teman sekampung) Tiap sore kami bertemu, mengumpulkan uang sebesar seratus perak tiap anak. Bertujuh mencoba menabung untuk bertamasya saat liburan sekolah tiba nanti. Maka menabunglah kami dalam kaleng bekas roti berbentuk tabung, merah warnanya. Setelah menabung maka terkumpullah uang untuk berkelana keliling kota. Pertama, kami mengunjungi kebon binatang. Berangkat pukul tujuh pagi naik bis kota. Berhenti di tepi jalan raya, bertujuh kami berjalan kaki yang lumayan jauhnya. Sesampainya di kebon binatang yang kami jumpai singa kurus,

macan yang sedang tidur, serta kandang ular yang tidak tahu ke mana ularnya dan malah bikin kami ketakutan. Siang datang, kami makan bekal yang kami bawa dari rumah. Beramai-ramai makan siang diselingi hembus angin, angin yang bercampur aroma kandang binatang. Amboi! Setelah kenyang menikmati kebon binatang perjalanan pun kami lanjutkan ke museum pahlawan. Sengaja kami ke sana karena penasaran saja mengingat museum kerap sepi pengunjungnya. Dengan langkah gagah dan keinginan mempelajari sejarah bangsa, kami memasuki ruangan yang besar serta gelap remang. Semula kami melihat berbagai kendaraan perang, senjata, yang itu semua bagi kami sangat imajinatif. Lalu mulailah kami memasuki ruang yang terdapat patung pahlawan. Tidak begitu menyeramkan, malahan kami dapat mengenal sosok pahlawan melalui wajahnya. Lalu, sampailah kami di ruang pakaian. Terkejutlah kami dalam ruangan yang besar, suram, dan melihat baju warna hijau tua dikenakan pada tubuh buatan namun tidak ada kepalanya. Seketika kami lari namun berusaha untuk tidak berteriak agar tak dianggap penakut. Tapi, gimana lagi, memang sangat menakutkan. Sampai di luar kami jadi tahu kenapa banyak orang enggan pergi ke museum pahlawan. Untuk menghibur diri kami tertawa bersama dan mulai mencari siapa yang lari duluan diantara kami. Perjalanan kami lanjutkan ke ujung kota: pantai! Meski tidak mirip pantai, namun mirip tambak, tapi bolehlah kami sebut pantai agar ada penghiburan


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.