EDISI 912 - 7 JANUARI 2011

Page 17

RONA ®

ANTARA/WAHYU PUTRO A

17 Jumat 7 JANUARI 2011

Dibutuhkan Kemudahan Akses Pelatihan

K

Sertifikasi, Pemicu Diskriminasi Status Guru Diterbitkannya berbagai regulasi untuk mengatur pendidikan, termasuk status guru, tidak serta merta membuat guru negeri dan guru swasta memiliki kesamaan hak.

T

idak ada yang berbeda dengan guru swasta dan guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Mereka sama-sama mengabdi untuk pendidikan, untuk mengajar dan mendidik. Perbedaan yang sangat terasa adalah segi kesejahteraan dan sikap diskriminatif terhadap para guru swasta. Terbitnya berbagai undang-undang yang mengatur pendidikan, seperti peraturan pemerintah, permendiknas, atau kepmendiknas, ternyata belum dapat melegakan para guru swasta. Sebaliknya, setiap dikeluarkannya kebijakan pemerintah di sektor pendidikan hanya membuat resah guru swasta. Pasalnya, guru PNS-lah yang senantiasa mendapatkan prioritas, mulai dari kenaikan gaji, sertifikasi guru, hingga berbagai tunjangan lainnya. Guru swasta selalu dipinggirkan, atau bahkan tidak mendapat hak-hak sebagaimana mestinya. Melihat fakta tersebut, seyogianya Pemerintah memberlakukan persamaan guru swasta dan guru negeri dengan membuat regulasi yang mengatur persamaan tersebut. Padahal berdasarkan data yang ada, jumlah guru honorer swasta di Indonesia mencapai 1,1 juta orang. Dari jumlah tersebut, guru yang memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) hanya 600 ribu orang. Perbedaan juga terletak pada pemberian sertifikasi untuk guru, baik untuk guru swasta maupun guru negeri. Hingga saat ini, pemberian sertifikasi untuk guru masih terkesan diskriminatif antara guru berstatus PNS dan guru non-PNS atau guru dari sekolah swasta. Selama ini, sertifikasi guru untuk guru swasta baru mencapai angka 5-10 persen. Ketua Persatuan Guru Karyawan Swasta Republik Indonesia Jateng Muh Zen mengatakan kondisi itu terjadi di hampir setiap daerah. Dia mencontohkan, pada 2009, guru swasta yang mendapat sertifikasi hanya 293 orang, sedangkan guru PNS mencapai 2.318 orang. Berarti hanya 7 persen. Padahal berdasarkan amanat UU, seharusnya jatah untuk guru swasta 15-25 persen. Peraturan itu jelas sangat diskriminatif dan merugikan guru swasta. Padahal jumlah guru swasta dan guru negeri (ber-

ANTARA/ERIC IRENG

KORAN JAKARTA/BRAM SELO AGUNG

PENGABDIAN YANG SAMA l Baik guru swasta maupun guru negeri sebenarnya memiliki pengabdian yang sama. Sayangnya, hingga saat ini masih terjadi disparitas antara keduanya, baik soal kesejahteraan maupun perhatian dari pemerintah. status PNS) di Jateng relatif tak berbeda jauh. Jumlah guru swasta tercatat 197.000 orang, dan guru negeri 210.000 orang. ”Lagi pula, guru swasta juga sama dengan guru negeri yang sama-sama berperan penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi, pemberian sertifikasi jangan sampai dibeda-bedakan,” ungkapnya. Menurut Zen, nasib guru swasta sangat mengenaskan. Di desa-desa di pelosok Jateng, saat ini masih ada guru yang digaji 90 ribu hingga 300 ribu rupiah per bulan. Dengan gaji tersebut, pihaknya tidak dapat membayangkan guru dapat menyejahterakan keluarganya, apalagi diharapkan kinerjanya baik. Kesejahteraan guru swasta perlu mendapat perhatian karena perannya terhadap peningkatan kualitas pendidikan, khususnya di Jawa Tengah, sangat krusial. Dari total jumlah guru di Jawa Tengah yang mencapai 400 ribu lebih, 47 persennya guru swasta. ”Namun, kesejahteraan mereka masih jauh dari layak. Mereka di antaranya adalah status guru tetap yayasan, guru tidak tetap (GTT), maupun guru kontrak yang jumlahnya mencapai 195 ribu,” ujarnya. Kontribusi guru swasta sangat tinggi, namun masih terjadi disparitas antara guru swasta dan guru negeri, baik masalah kesejahteraan maupun akses untuk pengembangan diri. Hal ini ditunjukkan dengan minimnya perhatian pemerintah dalam memberikan akses pengembangan kualitas pendidik, mulai dari diklat hingga peningkatan kualifikasi pendidikan. Padahal, hampir 50-60 persen guru swasta belum mencapai standar kualifikasi minimal, yakni S1 atau D4. Menurut Undang-Undang Guru dan Dosen No 14 Tahun 2005, standar kualifikasi minimal tersebut mutlak sebagai

syarat utama sertifikasi profesi. Dengan tak tercapainya syarat untuk mengikuti sertifikasi itu, guru-guru swasta sangat jauh harapannya untuk mendapatkan tunjangan profesi. ”Kami minta pemerintah memperhatikan, paling tidak dengan memfasilitasi program beasiswa bagi guru-guru swasta, karena kalau tidak bagaimana mereka bisa mencapai sertifikasi dan mendapatkan tunjangan jika kualifikasi pendidikannya saja masih kurang?” katanya. Dari sisi kesejahteraan pun selama ini ditemukan hal yang sama. Dana bantuan untuk guru non-PNS yang digelontorkan oleh Pemprov Jateng yang mencapai 4 miliar – 5 miliar rupiah belum dapat dipastikan sasarannya apakah bisa langsung diterima ke tangan guru-guru tersebut atau tidak. Penurunan Kinerja Kepala Pusat Pengembangan Profesi Guru Universitas Negeri Semarang (Unnes) Ahmad Sopyan mengatakan sertifikasi guru wajib diikuti dengan peningkatan kinerja. Namun ironisnya, banyak guru yang telah mendapatkan sertifikasi justru mengalami penurunan kinerja. ”Makanya, setelah sertifikasi, akan ada penilaian kinerja berkesinambungan sehingga sertifikasi guru berbanding lurus dengan peningkatan mutu dan kinerja guru yang bersangkutan,” tegasnya. Ahmad Sopyan menambahkan, berdasarkan penelitian, banyak pula guru yang penilaian kepribadian dan sosialnya di atas 90 persen, namun penilaian pedagogi dan profesionalnya di bawah 20 persen. Artinya, guru yang bersertifikasi ternyata kualitas dan kinerjanya justru tak sepadan dengan sertifikasi yang dipegangnya. Guru yang lolos sertifikasi dan berki-

nerja baik adalah yang telah mengikuti PLPG (pendidikan dan latihan profesi guru), bukan yang portofolio (mengumpulkan sertifikat pelatihan/seminar). Maka, untuk ke depan, penilaian portofolio harus dikaji secara tepat. Kepala Bidang Pendidik dan Tenaga Kependidikan Dinas Pendidikan Kota Semarang Susetyo Budi mengatakan, pada 2011, kuota sertifikasi untuk Kota Semarang ada 1.779. Dari jumlah itu, kuota untuk portofolio hanya 17 orang, sedangkan yang berasal dari PLPG 1.762 orang. Dia sependapat jika sertifikasi guru diimbangi dengan peningkatan kualitas dan kinerja. Jangan sampai guru hanya fokus pada tunjangan dan gaji yang meningkat pascasertifikasi, namun justru kualitas dan kinerjanya merosot. Ketua Umum DPP Forum Guru Independen Indonesia (FGII) Suparman mengatakan bahwa potret kesejahteraan guru swasta di Jateng sangat memprihatinkan. Dia menyebutkan mayoritas guru swasta memperoleh gaji di bawah Upah Minimum Regional, yakni antara 150 ribu hingga 700 ribu rupiah, bahkan masih ada yang bergaji 50 ribu hingga 100 ribu rupiah. ”Kebanyakan guru tersebut bekerja pada satuan pendidikan yang didukung oleh masyarakat tidak mampu. Para guru ini rentan di-PHK lantaran ketidakmampuan sekolah swasta untuk menggaji. Mereka pun memperoleh kuota sertifikasi yang tak seimbang dengan satuan pendidikan milik pemerintah,” ujarnya. Praktis, lanjutnya, pemerintah perlu didesak segera menerbitkan peraturan pemerintah tentang guru dan tenaga kependidikan sekolah swasta yang melibatkan organisasi guru dan tenaga kependidikan dari sekolah swasta. SM/L-1

etua Komisi VIII DPR RI Abdul Kadir Karding mengatakan, hingga sekarang, masih terjadi kesenjangan antara guru sekolah negeri dan guru swasta. ”Dalam Undang-Undang Pendidikan, tidak ada perbedaan antara sekolah negeri dan swasta, tetapi dalam praktiknya perlakuan terhadap guru negeri dan guru swasta jauh berbeda,” ujarnya. Kesenjangan tersebut dapat dilihat dari kesejahteraan guru swasta yang tidak sesuai standar. Masih banyak yang berpenghasilan tidak sesuai dengan upah minimum kabupaten (UMK). Menurut dia, untuk meningkatkan kualitas guru swasta, dibutuhkan kemudahan akses pelatihan dan sertifikasi. Berdasarkan hasil panitia kerja DPR beberapa waktu lalu, legislatif meminta pemerintah membuat peraturan pemerintah tentang pendidikan yang dikelola masyarakat. Selama ini, kata dia, pemerintah daerah telah berupaya membantu memberikan insentif bagi guru swasta, namun besarannya berlainan antara daerah satu dan lainnya. Ada yang memberikan 100 ribu rupiah, ada yang 50 ribu rupiah per bulan. ”Untuk itu, perlu diatur dana dari pusat, provinsi, dan kabupaten/kota berapa untuk insentif tersebut agar tidak ada kesenjangan terlalu jauh antardaerah,” katanya. Sementara itu, pemerintah memberikan tunjangan profesi bagi guru dan dosen yang telah mengantongi sertifikasi dengan maksud meningkatkan kesejahteraan para pendidik. Namun, belum semua guru, terutama yang mengajar di sekolah swasta, mendapatkan tunjangan tersebut. Untuk mengajukan sertifikasi, seorang guru harus terlebih dahulu mendapatkan nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan (NUPTK). Ketua Persatuan Guru Karyawan Swasta Republik Indonesia Jateng Muh Zen mengungkapkan berdasarkan data pada 2010, sebanyak 24.453 guru swasta, baik di bawah Dinas Pendidikan maupun Kementerian Agama, belum mendapatkan NUPTK, padahal NUPTK adalah syarat mutlak seorang guru untuk mengikuti proses sertifikasi. Konsekuensinya, ribuan guru tersebut terhalang mengikuti program sertifikasi sehingga mereka belum dapat mendapatkan berbagai tunjangan sebagaimana tercantum dalam UU Guru dan Dosen. Bagi guru swasta berpenghasilan relatif kecil, tunjangan sertifikasi merupakan sesuatu yang sangat diharapkan guna memperbaiki kehidupannya. Karding mendesak Dinas Pendidikan maupun Kementerian Agama di kabupaten/kota lebih proaktif melakukan pendataan terhadap guru-guru swasta. ”Pendataan dan pemberian NUPTK harus dipercepat agar guru swasta di Jateng tidak tertinggal jauh dengan pengajar di sekolah negeri, baik dalam hal peningkatan profesionalisme maupun kesejahteraannya,” ungkapnya. Anggota Komisi E DPRD Jateng, Dwi Yasmanto, menyatakan agar profesionalisme pendidik dapat berlangsung lebih baik, sudah seharusnya guru swasta mendapatkan NUPTK. Menurutnya, dengan memiliki NUPTK dan bersertifikasi, dirinya yakin profesionalisme guru semakin tumbuh. Sementara itu, kuota sertifikasi guru untuk Jateng pada 2011 meningkat dibandingkan tahun 2010 ini. Kenaikan itu mencapai 25 persennya dari jumlah kuota sebelumnya. ”Kuota untuk Jateng pada 2011 mencapai 34 ribuorang, sementara tahun 2010 ini hanya sekitar 27 ribuorang,” kata anggota Konsorsium Sertifikasi Jateng Muhdi. Kenaikan kuota sertifikasi guru tersebut terjadi seiring dengan peningkatan kuota sertifikasi secara nasional yang naik menjadi 300 ribu guru. Kuota sertifikasi guru secara nasional pada tahun 2010 ini mencapai 200 ribulebih. Sedangkan di tahun depan mengalami kenaikan 50 persen menjadi sekitar 300 ribuguru. Kenaikan tersebut merupakan langkah baik dari pemerintah untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas guru-guru melalui proses sertifikasi. Namun, sertifikasi guru harus diimbangi pula dengan langkah evaluasi untuk mengontrol kualitas dan kompetensi guru-guru yang telah tersertifikasi. SM/L-1

KORAN JAKARTA/WACHYU AP


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.