kelas10_aktif-dan-kreatif-berbahasa-indonesia_adi-yudi-amin

Page 165

Kesenjangan digital (digital divide) sangat dirasakan tidak saja dalam kaitan paradoks kota besar dan kecil, kota dan desa, melainkan juga dalam suatu kota, terutama sejak penggunaan internet secara luas dan meningkatnya arus informasi yang sangat dominan, yang didukung platform teknologi dan sistem informasi. Kesenjangan digital juga terkait dengan kesetaraan memperoleh peluang. Menkominfo tidak mau menyebut tingkat kesenjangan digital di Indonesia "sudah tinggi", tapi lebih tepatnya "sudah sangat sekali".

Sumber: syedas.files.wordpress.com

Menurutnya, kesenjangan digital itu bisa dilihat dari beberapa parameter, yakni IT literacy, penetrasi komputer,harga bandwidth,serta ketersediaan broadband. "Kesenjangan digital di Indonesia itu komplet. Bayangkan saja, jika Anda pergi ke Papua di sana masih ada yang hidup seperti zaman batu, tetapi di Thamrin Jakarta sudah zaman masa kini," kata Nuh seperti dikutip detiknet. Jadi, masyarakat Indonesia seakan-akan berada dalam satu kapsul, karena di dalamnya terdapat zaman tani, perdagangan, dan zaman informasi. Lantas, bagaimana mengatasinya? Mengandalkan para pelaku bisnis untuk bermurah hati menanamkan investasinya di area-area "kering" memang agak sulit. Bagaimana pun, prinsip dasar pelaku bisnis adalah mencari keuntungan dan laba. Memang, sejauh ini sudah ada program USO

158

(universal service obligation) dan CSR (corporate social responsibility), program yang mewajibkan tiap institusi perusahaan menyisihkan sebagian keuntungannya untuk pengembangan lingkungan dan masyarakat yang tertinggal. Namun, meski program USO dan CSR bisa berjalan pengaruhnya relatif kecil. Adapun kebijakan yang dibutuhkan adalah munculnya keadaan yang mampu memberi stimulus kepada investor. Hal ini dilakukan agar mereka mau mengembangkan usahanya di areaarea yang dinilai "kurang gemuk". Ini berarti, harus ada insentif khusus dari pemerintah kepada perusahaan yang mau menanamkan investasinya di area yang selama ini dihindari para pelaku bisnis. Menkominfo sendiri tampaknya sudah mengarah ke sana. Menkominfo akan menerapkan insentif khusus, terutama menyangkut kebijakan pricing (harga) dan mengundang investor. Kita tunggu saja perkembangannya. Hal lain yang perlu dilakukan adalah bagaimana pemerintah sebagai regulator mampu menciptakan suatu tatanan dan peraturan yang memungkinkan investor lokal memiliki peluang sama dalam penguasaan bisnis telekomunikasi. Sangat mungkin, saat ini proses alih teknologi sudah berlangsung dan para pakar IT kita sudah cukup canggih dalam menguasai segala hal menyangkut bisnis IT. Namun, seluruh keahlian itu menjadi mubazir dan kurang berdaya guna jika kemudian seluruh keputusan pengambilan kebijakan ada di tangan asing. Hal ini karena sebagian besar perusahaan IT yang beroperasi di Indonesia milik investor asing dengan modal yang besar. Berbagai kebijakan itu, tentu saja, tidak dimaksudkan untuk menutup peluang investor asing ke Indonesia, melainkan agar tercipta kesetaraan dan keadilan. Sungguh ironis rasanya jutaan unit handphone dipasarkan di Indonesia, sementara pabriknya ada di Cina. Mungkinkah pemerintah bisa mendorong agar setiap pelaku bisnis telekomunikasi di Indonesia? Entah itu produsen handphone, vendor jaringan, atau content provider, turut memberi kontribusi langsung bagi terciptanya penurunan pemberdayaan masyarakat dan pembangunan daerah setempat? Misalnya handset suatu hanphone yang dipasarkan di Indonesia pabriknya memang ada di Indonesia? Sumber: Pikiran Rakyat, 2 Agustus 2007

Aktif dan Kreatif Berbahasa Indonesia untuk Kelas X


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.