Info KM - Hutan Desa

Page 1

SERI 002, MEI 2012 | www.fkkehutananmasyarakat.wordpress.com

Informasi ringkas seputar Kehutanan Masyarakat ini diterbitkan oleh FKKM bekerjasama dengan HuMa.

Hutan Desa (HD)

PENGANTAR Hutan Desa (HD) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan melibatkan masyarakat, di samping Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Banyak pihak memandang kebijakan ini sebagai pengakuan negara terhadap pengelolaan hutan oleh rakyat yang selama ini terabaikan, namun mampu menjaga kelestarian alam dan memberi kesejahteraan bagi masyarakat. Bagi masyarakat, hutan tak hanya memiliki makna ekologis, tetapi juga sosial, budaya dan ekonomi. Selain mengulas tentang kerangka kebijakan dan prosedur perizinan Hutan Desa (HD), Info Brief ini juga mengungkapkan peran hutan desa dalam memperkuat hak kelola rakyat dan mengurangi konflik kehutanan serta tantangan dalam pelaksanaannya. Info Brief ini diharapkan mampu menjadi jendela informasi bagi masyarakat sekitar hutan untuk memperoleh hak kelolanya dan sekaligus mendorong percepatan pencapaian target pengembangan Hutan Desa di Indonesia.

A.KERANGKA KEBIJAKAN HUTAN DESA Hutan Desa adalah hutan negara yang berada di dalam wilayah suatu desa, dimanfaatkan oleh desa,untuk kesejahteraan masyarakat desa tersebut dan belum dibebani izin atau hak. Prinsip dasarnya adalah untuk memberkan akses secara legal bagi desa­desa yang berada di dalam dan sekitar hutan untuk mengelola hutan negara yang masuk dalam wilayah desanya dengan dibarengi penguatan kapasitas sumberdaya manusia setempat. Saat ini terdapat sekitar 30 ribu desa di Indonesia yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Sehingga sudah selayaknya desa­desa semacam ini mendapatkan akses terhadap sumberdaya hutan yang ada di wilayahnya. Dengan pengembangan hutan desa diharapkan desa­desa hutan bisa membangun skema pendapatan asli desa melalui pengelolaan sumberdaya hutan secara otonom untuk kesejahteraan masyarakat desa tersebut. Hak desa untuk mengakses hutan negara yang ada di dalam wilayahnya inilah yang kemudian diterjemahkan sebagai hutan desa. Dalam Hutan Desa, hak­hak pengelolaan secara

legal diberikan oleh Menteri Kehutanan dan Gubernur kepada lembaga desa terhadap kepastian pengelolaannya selama 35 tahun dan sesudahnya dapat diperpanjang kembali. Pengelolaan Hutan Desa dapat dilakukan di areal hutan lindung dan juga produksi yang berada di dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan. Penetapan areal kerja hutan desa dilakukan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan usulan Bupati atau Walikota dengan mengacu kepada usulan Desa melalui proses bottom­up. Dalam hal ini hak yang dapat diberikan adalah hak pengelolaan Hutan Desa bukan hak milik dengan status tetap di hutan negara. B. PROSEDUR PERIZINAN dan PENGELOLAAN HUTAN DESA Pelaksanaan skema Hutan Desa dapat dipilah dalam 3 tingkatan: pertama, penetapan yang dilakukan oleh pemerintah pusat (Kemen­ terian Kehutanan); kedua, perizinan yang dilakukan oleh pemerintah daerah (Gubernur); ketiga, pengelolaan di lapangan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat pemegang hak pengelolaan Hutan Desa.


2

info KM Alur Proses Tata Perizinan Hutan Desa

Pada tahap awal Menteri Kehutanan memberikan Surat Ketetapan (SK) untuk Areal Kerja Hutan Desa. Setelah itu Gubernur memberi SK tentang Hak Pengelolaan Hutan Desa. Sampai pada tahap ini masyarakat, melalui Kelompok Pengelola Hutan Desa, belum dapat mengelola kawasan Hutan Desa. Untuk itu mereka harus menyusun Rencana Kerja Hutan Desa (RKHD) untuk jangka 35 tahun. Rencana kerja ini kemudian ditandatangani oleh Gubernur. Kemudian, mereka baru menyusun rencana kerja tahunan (RKT) yang ditandatangani oleh Bupati. Di dalam penyusunan Rencana Kerja, apabila kawasan Hutan Desa berada di kawasan Hutan Produksi dan masyarakat mau memanfa­ atkan hasil hutan kayu, maka Kelompok Penge­ lola Hutan Desa harus membuat permohonan kepada Menteri Kehutanan untuk memperoleh izin pemanfaatan hasil hutan kayu Hutan Desa. Untuk dapat mengelola Hutan Desa, Kepala Desa menetapkan kelembagaan pengelola Hutan Desa melalui peraturan desa (Perdes). Kelembagaan pengelola Hutan Desa,

bukan merupakan lembaga desa, baik BPMD, BPD atau lembaga formal desa lainnya. Namun lembaga apapun yang ada di desa, baik kelompok tani, kelompok adat, kelompok perempuan atau lainnya yang ditetapkan melalui Peraturan Desa. Dimana lembaga ini bertanggung jawab kepada Kepala Desa. Yang perlu dipahami adalah hak pengelo­ laan hutan desa ini bukan merupakan kepemilik­ an atas kawasan hutan,karena itu dilarang memindah­tangankan atau mengagunkan, serta mengubah status dan fungsi kawasan hutan. Intinya hak pengelolaan hutan desa dilarang digunakan untuk kepentingan di luar rencana pengelolaan hutan dan harus dikelola berdasar­ kan kaidah­kaidah pengelolaan hutan lestari. Lembaga Desa yang akan mengelola hutan desa kemudian mengajukan permohonan hak pengelolaan kepada Gubernur melalui Bupati atau Walikota. Apabila disetujui, hak pengelolaan hutan desa diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun, dan dapat diperpanjang setelah adanya evaluasi yang


info KM dilakukan paling lama setiap lima tahun sekali. Apabila di areal Hutan Desa terdapat hutan alam yang berpotensi menghasilkan kayu, maka Lembaga Desa dapat mengajukan permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Alam dalam Hutan Desa.Dan apabila di areal Hutan Desa dapat dikembangkan hutan tanaman, maka Lembaga Desa dapat mengajukan permohonan IUPHHK Hutan Tanaman dalam Hutan Desa. Namun dalam pemanfa­ atannya mengikuti ketentuan peraturan perundang­ undangan yang mengatur tentang pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam maupun hutan tanaman. Selain itu pemungutan kayunya dibatasi paling banyak 50 m3 tiap lembaga desa per tahun. Dengan mendapat hak pengelolaan hutan desa, masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan berpotensi sangat besar dalam meningkatkan kesejah­ teraan hidupnya. Hal ini dimungkinkan karena peme­ gang hak pengelolaan hutan desa berhak memanfaatkan kawasan, jasa lingkungan, serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu. Namun untuk di hutan lindung tidak diizinkan memanfaatkan dan memungut hasil hutan kayu. Dalam memanfaatkan kawasan hutan desa, baik yang berada di hutan lindung maupun hutan produksi masyarakat dapat melakukan berbagai kegiatan usaha, seperti budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur, lebah, penangkaran satwa liar, atau budidaya pakan ternak. Sedangkan dalam memanfaatkan jasa lingkungan dapat melalui kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, atau penyerapan dan penyimpanan karbon. Intinya, Hutan Desa adalah salah satu wujud kebijakan untuk pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan serta mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari. Kebijakan ini perlu disosialisasikan pada masyarakat dan instansi terkait agar tujuan yang diharapkan dapat dicapai. Selain itu, Hutan Desa diharapkan memberi akses kepada masyarakat setempat melalui lembaga desa, dan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan. C. HUTAN DESA: HAK KELOLA RAKYAT dan PENYELESAIAN KONFLIK Pada dasarnya hutan desa adalah hutan­ hutan rakyat yang dibangun dan dikelola oleh rakyat dan kebanyakan berada di atas tanah adat atau tanah milik, meski ada juga yang berada di kawasan hutan negara. Namun seiring perkembangan, berkaitan dengan kondisi sosial politik negara, kawasan hutan yang awalnya secara formal tidak ada hak milik, kemudian ditetapkan menjadi kawasan hutan negara oleh pemerintah. Sayangnya, pengelolaan kawasan hutan yang dianggap sebagai kawasan hutan negara tersebut selama ini dilakukan secara sentralistik dan pada akhirnya menimbulkan banyak masalah serius. Sementara itu, masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan membutuhkan ruang untuk bisa memenuhi kebutuhannya, baik secara ekonomi, budaya dan sosial politik. Saat ini tercatat sedikitnya ada 50 juta penduduk miskin Indonesia berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Hutan Desa diharapkan sebagai salah satu upaya mengurangi persoalan kemiskinan dengan memberikan lebih besar akses legal dan ruang kawasan hutan bagi masyarakat. Selain itu, pada umumnya kawasan hutan yang diusulkan bagi Hutan Desa berkonflik dengan kawasan permukiman, pertanian bahkan penguasaan lahan oleh pihak lain. Penunjukan kawasan hutan melalui Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) menghasilkan banyak ketidaksesuaian dengan kondisi di lapangan. Tidak adanya partisipasi dalam penyusunan peta dan kurangnya akurasi dalam skala peta, mengakibatkan banyaknya kawasan permukim­ an dan pertanian masyarakat termasuk dalam kawasan hutan. Karena itu, keberadaan Hutan Desa menjadi penting dalam menyelesaikan berbagai macam konflik pengelolaan hutan di Indonesia. Selain itu Hutan Desa juga dapat menjamin keberlanjutan dan transformasi ekonomi dan budaya masyarakat. Konsep Hutan Desa lebih

Dalam memanfaatkan kawasan hutan desa, baik yang berada di hutan lindung maupun hutan produksi masyarakat dapat melakukan berbagai kegiatan usaha, seperti budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur, lebah, penangkaran satwa liar, atau budidaya pakan ternak.

3


4

info KM

Foto: Hasantoha Adnan

Penduduk Desa Bonto Tappalang, Bantaeng, Sulawesi Selatan memanfaatkan sumber air di areal Hutan Desa sebagai pembangkit listrik mikrohidro yang dimanfaatkan oleh masyarakat desa.

mengutamakan kepada pemberian akses dan hak kelola hutan kepada lembaga desa yang merupakan pemerintahan terkecil yang diharapkan dapat mengakomodasi kepentingan lebih luas dari kelompok atau koperasi dimana masyarakat desa yang lebih cenderung heterogen. D. TANTANGAN Target Hutan Desa oleh Kementerian Kehutanan hingga 2014 adalah 500 ribu ha. Namun hingga 2010 luasan calon areal yang sudah diverifikasi mencapai 119.757 ha. Areal yang sudah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan baru 14.346 ha dan yang sudah diterbitkan izinnya oleh Gubernur baru seluas 10.310 ha. Belum tercapainya target tersebut, disebabkan oleh beberapa tantangan berikut: 1. Ketidakjelasan batas wilayah administrasi desa. Hampir semua wilayah desa di Indonesia belum mempunyai batas wilayah yang definitif, sehingga sering menimbulkan konflik horizontal antar desa. Dalam konteks Hutan Desa, kejelasan batas wilayah administrasi menjadi

penting, khususnya didalam proses pengusulan. Karena tanpa ada kejelasan batas administrasi wilayah desa, maka ketika suatu wilayah ditetapkan menjadi Hutan Desa bisa menim足 bulkan konflik bila ada klaim dari desa lainnya. 2. Terjadi tarik足menarik kepentingan antara desa (sebagai representasi pemerintah pusat) dengan masyarakat adat yang mewakili entitas lokal. Hal semacam ini diperkirakan akan banyak dijumpai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, maupun Nusa Tenggara, dimana kehidupan masyarakat adat masih banyak dijumpai, sementara tata ruang maupun pemerintahan desa belum terbentuk secara sempurna. Di lokasi semacam ini, Hutan Desa menjadi kompromi bagi kelompok yang memperjuangkan pengakuan hutan adat yang hingga saat ini belum terselesaikan. 3. Proses penetapan dan perizinan Hutan Desa belum mencerminkan bentuk upaya layanan pemerintah namun masih merupakan proses birokrasi. Sehingga dirasakan masih panjang dan rumit yang berdampak pada biaya tinggi.


info KM Hutan Desa di Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng ­ Sulawesi Selatan Hutan Desa di Kabupaten Bantaeng Seluas 704 ha diinisiasi oleh UNHAS dan RECOFT serta menjadi LAB KM bagi FKKM, terdiri dari tiga Hutan Desa yakni: Hutan Desa Labbo (± 342 ha), Hutan Desa Pattaneteang (seluas ± 339 ha), dan Hutan Desa Campaga (± 23 ha). Ada sekitar 900 KK yang terlibat dan mendapat dampak langsung dari kegiatan HD ini. Semua areal hutan desa Kabupaten Bantaeng ini di kawasan lindung, namun juga sebagai sumber penghidupan masyarakatnya. Misalnya Hutan Desa Campaga, sumber air yang ada di Kelurahan Campaga yang dimanfaatkan sebagian besar oleh desa tetangga (sebagai areal persawahan ± 300 ha sawah) dan PDAM Bantaeng, sehingga akan dilakukan komunikasi antara BUMMAS Babang Tanggayya (pengelola hutan desa) dengan para pihak tentang kompensasi hulu hilir. Hutan Desa Labbo diprioritaskan peruntukannya kelompok miskin dengan pengelolaan 0,5 ha/KK. Hutan Desa Pattaneteang adalah suatu cara penyelesaian sengketa antara masyarakat yang memiliki SPPT bukti pembayaran pajak dengan Dinas Kehutanan Kabupaten. Kawasan hutan desa­hutan desa tersebut memiliki keunikan terutama sebagai tempat rekreasi, tempat mencari rotan madu, sumber air bagi penggerak mikro hidro, PAM dan irigasi, wilayah penggembalaan, dan budidaya kopi. Namun ada permasalahankhusus bagi budidaya kopi karena dianggap bukan tanaman hutan. Walaupun ada disebutkan sejumlah hak­hak masyarakat di dalam pengelolaan hutan desa berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.49/Menhut­II/2008, tetapi tidak menyebutkan jenis kopi sebagai salah satu jenis tanaman yang dapat dibudidayakan di dalam pemanfaatan kawasan hutan lindung. Namun demikian, pasal­pasal tersebut juga tidak menutup peluang pemanfaatan kawasan hutan lindung untuk kegiatan usaha budidaya selain yang telah disebutkan. Usaha budidaya kopi yang telah dibangun oleh masyarakat pada kawasan hutan lindung di Desa Labbo dan Desa Pattaneteang diupayakan strategi budidayanya agar tetap menjaga fungsi lindung seperti mencegah erosi, sedimentasi serta terganggunya fungsi hidrologis hutan lindung. Berdasarkan penelitian Universitas Hasanuddin, hal yang perlu dilakukan adalah mengembangkan agroforestry berbasis kopi dan menerapkan teknik konservasi tanah antara lain membuat rorak pada areal budidaya kopi. Untuk mengelola dan mencapai tujuan Hutan Desa, telah dibentuk BUMDES Ganting (Desa Labbo), BUMDES Sipakainga (Desa Pattaneteang) dan BUMAS Babang Tangayya (Kelurahan Campaga). BUMDES/BUNMAS dipilih sebagai kelembagaan lokal pengelolaan hutan desa. Lembaga desa ini diharapkan dapat menjadi motor penggerak pembangunan desa. Kebijakan yang telah ada antara lain: Level Desa : Peraturan Desa Labbo No. 02 tahun 2009 tentang Lembaga Pengelola Hutan Desa Labbo; Peraturan Desa Pattaneteang No. 02 Tahun 2009 tentang Lembaga Pengelola Pengelola Hutan Desa; SK Lurah Campaga No. : 05/KPTS/CPG/KTB/IX/2010 tentang Lembaga Pengelola Hutan Desa Kelurahan Campaga; Pedoman Umum Pengelolaan Hutan Desa oleh BUMDES Ganting Level Kabupaten: Peraturan Bupati No. 5 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Hutan Desa Level Provinsi : SK Gubernur Sulsel No. 3805/XI/Thn 2010 tentang Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa di Kawasan HL Labbo. SK Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan No. 3804/XI/Thn 2010 2010 tentang Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa di Kawasan Hutan Lindung Pattaneteang. SK Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan No. 3806/XI/Thn 2010 2010 tentang Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa di Kawasan Hutan Lindung Campaga Level Menteri Kehutanan : SK Menhut, No. 55/Menhut­II/2010 tentang Penetapan Kawasan Hutan sebagai Areal Kerja Hutan Desa pada Hutan Lindung seluas ± 23 hektar dalam Wilayah Admisistrasi Desa Campaga SK Menhut No. 56/Menhut­II/2010 tentang Penetapan Kawasan Hutan sebagai Areal Kerja Hutan Desa pada Hutan Lindung seluas ± 339 hektar dalam Wilayah Admisistrasi Desa Pattaneteang. SK Menhut No. 57/Menhut­II/2010 tentang Penetapan Kawasan Hutan sebagai Areal Kerja Hutan Desa pada Hutan Lindung seluas ± 342 hektar dalam Wilayah Administrasi Desa Campaga. Pembelajaran: Pertama, pendampingan pembangunan Hutan Desa mesti dikawal dengan baik, tidak hanya sampai mendapatkan akses terhadap kelola hutan, namun juga penguatan tata kelola hutan yang transparan. Kedua, pemahaman, hak, peran, kewajiban dan tanggungjawab masyarakat lokal dan para pihak terhadap skema pembangunan termasuk Hutan Desa adalah proses awal yang mesti dipahami oleh para pihak sebelum proses pembangunan Hutan Desa. Dibutuhkan kebijakan lokal yang lebih teknis dan partisipatif dalam rangka tata kelola Hutan Desa berdasarkan kebutuhan dan konteks lokal. Sumber: Muhammad Alif KS, staf pengajar Fahutan UNHAS dan Faswil FKKM Sulsel.

5


6

info KM

Foto: Hasantoha Adnan

Hutan Desa memberikan hak pengelolaan kepada masyarakat di dalam dan sekitar hutan untuk mengelola sumberdaya hutan. Salah satunya dengan pemanfaatan jasa lingkungan dan aliran air, seperti di Kelurahan Campaga, Bantaeng. Di lokasi tersebut, Hutan Desa menjadi sumber air untuk irigasi pertanian dan sedang dikembangkan untuk ekowisata.

Menurut aturan, proses penetapan areal kerja Hutan Desa oleh Menteri Kehutanan selambat足 lambatnya 60 hari kerja setelah adanya usulan dari Bupati atau Walikota, atau Gubernur. Kenyataannya penetapan areal Hutan Desa kebanyakan tidak sesuai dengan aturan tersebut dan tidak ada sanksi atas keterlambatan proses tersebut. Lambatnya proses perizinan berdampak kontraproduktif terhadap inisiatif usulan Hutan Desa dari daerah. Untuk mempermudah proses perizinan Hutan Desa diperlukan pusat layanan terpadu yang disediakan pemerintah, baik di daerah dan pusat. 4. Belum adanya alokasi anggaran untuk mendukung fasilitasi Hutan Desa, baik di tingkat pemerintah daerah maupun pusat. BLU yang ada hanya dapat dimanfaatkan untuk skema HTR. 5. Tantangan lain yang tak kalah penting adalah keadilan dalam distribusi manfaat dari penyelenggaraan hutan desa. Utamanya agar

pemanfaatan hutan dapat dirasakan manfaatnya secara adil bagi seluruh level sosial ekonomi masyarakat desa, bukan hanya dirasakan oleh elit desa. 6. Di tingkat implementasi kebijakan, terlihat ada beberapa perbedaan antar kebijakan yang terjadi, antara aturan pelaksanaan Hutan Desa dengan PP No.6 tahun 2007 dan UUNo.41/1999 tentang Kehutanan antara lain: 足 Pembatasan pemungutan hasil hutan kayu atas Hutan Desa paling banyak 50 m3 pertahun. Pembatasan ini tentunya kurang efektif dan tidak menguntungkan jika dibandingkan dengan proses perizinan IUPHHK足HD yang cukup rumit, panjang dan berkonsekuensi pada biaya tinggi. Seharusnya pemanfaatan kayu di HPHD disesuaikan dengan daya dukung ketersediaan hutan dan lingkungannya sepanjang pengelolaannya berkelanjutan sehingga bisa berkontribusi secara ekonomi. Patut dicatat bahwa dalam konteks Hutan


info KM Desa, pemungutan hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan subsisten bukan untuk tujuan skala usaha. Apabila lembaga desa ingin mengupayakan untuk skala pengusahaan harus melalui skema IUPHHK karena akan terkait dengan aturan­ aturan lain tentang tata usaha kayu maupuan kewajiban yang harus dibayarkan kepada negara, melalui DR dan atau PSDH.

8. Pada masyarakat sendiri terdapat hambatan karena rendahnya pendidikan, kurangnya konsultasi dan tidak diterapkannya prinsip­ prinsip FPIC, serta kurangnya pendampingan dari LSM dan akademisi. Pengadaan fasilitator sarjana penggerak dan penyuluh kehutanan seperti diamanatkan dalam berbagai peraturan di atas belum terealisasi dan diserahkan ke pemerintah daerah. Di sisi lain pendampingan masyarakat yang dilakukan LSM tidak diikuti dengan penyediaan pembiayaan.

Kerja sama antar sektor dan pengembangan hutan desa menjadi hal yang penting dan mutlak dilakukan karena Hutan Desa bukanlah milik Kementerian Kehutanan semata. Peran dan dukungan antar sektor dalam bentuk sharing program, kegiatan, dan dana belum berjalan baik.

­ Tanggung jawab untuk fasilitasi pemegang izin. Berdasarkan PP No.6/2007 dan UUNo.41/1999 disebutkan bahwa seluruh fasilitasi dalam pengelolaan hutan dilakukan oleh peme­ gang izin. Hal ini bertentangan dengan semangat pemberdayaan yang menjadi dasar penetapan Hutan Desa. Selain itu, diaturan lain disebutkan bahwa fasilitasi Hutan Desa wajib dilakukan oleh pemerintah, pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya (pasal 9­10 Permenhut P.49/2008). 7. Selanjutnya dalam proses pemanenan Hutan Desa yang mendapat izin usaha kayu, pemerintah telah mengeluarkan regulasi tentang verfifikasi asal usul kayu berdasarkan jenis izin Hutan Desa yang diperoleh. Semangat dari peraturan ini adalah untuk mempermudah dan menyederhanakan persyaratan administrasi dari asal­usul kayu dari Hutan Desa, dengan memberikan wewenang kepada kepala desa. Kepala desa berhak untuk mengeluarkan dokumen pengangkutan dari Hutan Desa dengan nama Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU). Sayangnya, hanya menyangkut tiga jenis kayu saja yaitu kayu Sengon (Albazia falcataria), karet dan kayu kelapa. Sementara untuk jenis kayu lainnya dalam pengangkutan­ nya tetap menggunakan Surat Keterangan Kayu Bulat (SKKB), disertai dengan cap tambahan dengan kode: Kayu Rakyat (KR). Dokumen SKKB dikeluarkan oleh kabupaten, tetapi hal ini ternyata lebih sulit didapatkan karena ditentukan dengan pembuktian hak kepemilikan lahan.

9. Kerja sama antar sektor dan pengembangan hutan desa menjadi hal yang penting dan mutlak dilakukan karena Hutan Desa bukanlah milik Kementerian Kehutanan semata. Peran dan dukungan antar sektor dalam bentuk sharing program, kegiatan, dan dana belum berjalan baik. Peran Kementerian Kehutanan sesung­ guhnya hanya sebatas memberikan akses kepada kawasan hutan, sedangkan kegiatan­ kegiatan lain dalam konteks peningkatan perekonomian rakyat dapat didukung dari berbagai sektor, misal terkait dengan permodal­ an (Kementerian Koperasi), Penguatan Otonomi Desa (Kemendagri), Kementerian Sosial, Kementerian PDT, dan sebagainya.

*** Daftar Bacaan Andri Santosa dan Mangarah Silalahi, (2011), Laporan Kajian Kebijakan Kehutanan Masyarakat dan Kesiapannya dalam REDD+, FKKM, Bogor. Hery Santoso, (2008). "Selamat Datang Hutan Desa?", Warta Tenure Nomor 5, April, WG Tenure. Kemitraan, (2011), "Mendorong Percepatan Program Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa", Partnership Policy Paper No.4/2011, diunduh dari www.kemitraan.or.id.

7


8

info KM Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.49/Menhut­II/2008, tentang Hutan Desa. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.14/Menhut­ II/2010, tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut­ II/2008. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.53/Menhut­ II/2011 tentang Perubahan Kedua atas Permenhut No. P.49/Menhut­II/2008 tentang Hutan Desa.

Info KM ini merupakan bagian dari upaya FKKM dan HuMa dalam mendorong Kehutanan Masyarakat untuk mewujudkan sistem pengelolaan sumber daya hutan oleh rakyat melalui organisasi masyarakat yang berlandaskan pada prinsip keadilan, transparansi, pertanggung­jawaban, dan keberlanjutan pada aspek ekologi, ekonomi dan sosial­budaya. Untuk mencapai misi ini, FKKM dan HuMa mendukung proses­proses pengembangan kelembagaan kehutanan masyarakat melalui penyebaran informasi, pengembangan konsep, penguatan kapasitas (capacity building), dan perumusan kebijakan kehutanan. Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat

Alamat Telp/faks

: Gedung Kusnoto, LIPI, lantai 1. Jln. H Juanda No. 16, Bogor 16002. : 021­8310396. Email : seknas­fkkm@indo.net.id.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.