Merumuskan arah reformasi kebijakan Hutan

Page 6

kemiskinan. Tidak hanya pemerintah, inisiatif juga datang dari kalangan masyarakat sipil yang membentuk kelompok kerja pengelolaan Sumber Daya Alam yang mendorong lahirnya RUU PSDA, atau usulan pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA) untuk menyelesaikan konflik pertanahan. Hampir satu dekade sejak perubahan politik itu terjadi, momentum datang dan pergi. Ada yang dapat dimanfaatkan, ada juga yang dibiarkan berlalu begitu saja. Perubahan terjadi di beberapa tempat. Namun banyak kebijakan pembangunan belum memposisikan masyarakat di porosnya. Berbagai inovasi kebijakan tersesat tanpa kabar atau berjalan secepat siput. Memang pengakuan hukum pada beberapa masyarakat adat lahir, tetapi belum memberikan dampak perubahan berarti pada perbaikan kesejahteraan dan keamanannya dalam menguasai tanahnya. Masyarakat diberikan akses pada hutan, tapi dengan alokasi luasan dan realisasinya di lapangan yang masih sangat kecil. Di saat yang sama, perusahaan besar (kehutanan, perkebunan, pertambangan) serta jangan dilupakan, inisiatif konservasi, malah diberikan peluang lebih luas, lebih gampang dalam mengakses lahan dan hutan. Tekanan pada perlunya perubahan tenurial hutan juga berasal dari semakin ditariknya hutan ke dalam kancah perubahan iklim. Dalam soal perubahan iklim ini, pengelolaan hutan berbasis masyarakat dapat memegang peranan penting. Chhatre dan Agrawal (2009) menyebutkan bahwa di hutan yang dikelola masyarakatlah secara bersama-sama terdapat kandungan karbon dan tingkat kesejahteraan yang tinggi.1 Keberadaannya tidak mungkin dilepaskan dari perdebatan soal mitigasi perubahan iklim, utamanya skema REDD. Di tengah arus perubahan tersebut, Kemenhut bersedia menjadi tuan rumah untuk sebuah konferensi internasional bertema penguasaan hutan, tata kelola dan usaha kehutanan yang dilaksanakan di Lombok 11 -15 Juli 2011. Ini merupakan pintu kecil yang terbuka kembali untuk mendesakkan ulang perlunya perubahan penguasaan hutan di Indonesia. Kelompok masyarakat sipil memandang perlu adanya konsolidasi gagasan menghadapi Konferensi tersebut. Prosiding ini merupakan refleksi dan harapan kelompok masyarakat sipil yang berkumpul dan saling bertukar pendapat mengenai isu-isu penting untuk perubahan kebijakan tenurial hutan sebagaimana ada pada sebuah lokakarya bertema “Merumuskan Arah Reformasi Kebijakan Penguasaan Hutan di Indonesia� di Hotel Grand Cemara, Jakarta 31 Mei 2011 lalu. Lokakarya ini diselenggarakan atas kerja sama sejumlah organisasi: Epistema Institute, HuMa, FKKM, Working Group Tenure, KPA, KpSHK, Pusaka, Sains, dengan dukungan dari Rights and Resources Initiatives, Samdhana Institute dan Kemitraan. Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Lokakarya tersebut. Selain sejumlah organisasi yang disebut di atas, kami sampaikan terima kasih kepada para narasumber, koordinator panel, fasilitator, panelis dan 1

Chhatre A. dan Agrawal A., 2009. Trade-offs and synergies between carbon storage and livelihood benefits from forest commons. Proc Natl Acad Sci USA 106:17667–17670, http://www.pnas.org/content/106/42/17667.full

iv Â


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.