Edisi 30 Maret 2011 | Balipost.com

Page 6

OPINI

6

Rabu Paing, 30 Maret 2011

Harian untuk Umum

Bali Post

Pengemban Pengamal Pancasila

Terbit Sejak 16 Agustus 1948

Tajuk Rencana Cegah Simpati Berubah Jadi Antipati SETIAP orang tahu bahwa sepak bola di Indonesia merupakan olahraga yang paling populer. Di kota, desa bahkan pelosok pegunungan, masyarakat mencintai olahraga ini. Karena itulah sepak bola sering dipandang sebagai olahraga pemersatu apabila prestasinya memuncak. Contoh yang paling baru adalah keberhasilan Indonesia meraih juara kedua pada Piala ASEAN (AFF) beberapa waktu lalu. Masyarakat telah demikian bergembira bahkan sebelum memastikan meraih juara. Bahwa kemudian kita kalah dari Malaysia, masyarakat justru menyalahkan pihak-pihak yang memanfaatkan sepak bola sebagai euforia. Masyarakat tetap mencintai olahraga ini. Model baju kostum pemain Indonesia dibeli dan diburu masyarakat. Ini menandakan alangkah dicintainya olahraga ini oleh masyarakat Indonesia. Karena itu, kita sangat prihatin bahwa emosi yang ada pada tingkat masyarakat itu tidak diadaptasi secara positif oleh para elite sepak bola yang ada di Indonesia. Kita tahu, banyak pihak menyoroti kinerja pengurus pusat PSSI. Banyak yang mengkritik sikap tidak profesionalnya, kurang ahli di bidang manajemen, korupsi sampai terlalu otoriter karena terlalu lama duduk di pengurusan. Akumulasi itu dipandang sebagai penyebab mundurnya prestasi sepak bola Indonesia, bahkan di ajang Asia Tenggara sekalipun. Karena begitu banyaknya tudingan, kita sepakat bahwa ada yang tidak beres pada kepengurusan nasional sepak bola kita. Bahkan kita juga tahu, ketua umumnya, Nurdin Halid, pernah mendapat hukuman karena melakukan korupsi. Dalam iklim budaya demokrasi, seharusnya berbagai kritikan itu telah mampu membuat sikap para petinggi sepak bola Indonesia mengaca diri dan mundur dari kancah kepengurusan. Memberikan kesempatan kepada mereka yang lebih muda dan lebih mampu, merupakan pilihan paling baik dan rasional. Akan tetapi, seperti yang kita lihat, mereka yang menjadi pengurus teras itu tetap bergeming, tidak mau mundur dan ngotot mencalonkan diri menjadi pengurus pusat lagi. Wajar apabila kemudian desakan, unjuk rasa dan protes ber-

S URAT

munculan. Kita tidak tahu secara pasti apakah ada yang menggalang dan mendanai protes itu atau tidak. Faktanya, berbagai komponen masyarakat terus menyuarakan ketidaksenangannya dengan kepengurusan PSSI sekarang. Ada satu hal yang harus kita lihat juga. Ketika ada dua kompetisi yang digelar di Indonesia, masing-masing liga super dan liga primer, itu pun sesungguhnya menyimpang dari ketentuan FIFA. Salah satu dari ajang kompetisi tersebut, yaitu Liga Primer Indonesia, tidak diakui FIFA. Sesungguhnya kompetisi saingan itu bisa menjadi cermin dari kepengurusan PSSI. Akan tetapi, liga tandingan itu juga membuat sepak bola Indonesia bertambah kacau. Tidak salah FIFA pun mengharuskan agar kedua kompetisi ini digabungkan. Malah diharuskan bulan Mei nanti. Kita makin dibuat kecewa apabila sepak bola Indonesia bertambah kacau. Akan tetapi, ketika sepak bola kita sudah kacau, yang cukup memprihatinkan adalah hadirnya pasukan TNI berseragam dalam kongres di Pekan Baru (Riau) beberapa waktu lalu. Mengapa harus menurunkan pasukan TNI dalam kongres yang seharusnya berupaya mencari jalan untuk memecahkan masalah. Kalaupun ajang tersebut dipandang penuh konflik, maka pihak kepolisian sudah cukup menangani. Ini merupakan tugas dan wewenang pihak kepolisian untuk menjaga ketertiban, bukan ranahnya tentara. Karena itu wajar pula kalau ada pihak yang mengatakan bahwa kehadiran pasukan tentara itu adalah upaya menakut-nakuti lawan, provokatif. Ini merupakan preseden buruk dan bisa kembali ke zaman Orde Baru ketika tentara dimanfaatkan sebagai ajang untuk menakut-nakuti. Jadi, marilah semua pihak bisa menjaga diri agar persepakbolaan nasional kita bisa maju, terbebas dari konflik. Jangan sampai upaya ingin memperbaiki prestasi justru menuai citra buruk. Simpati yang semula diarahkan kepada pihak-pihak yang mengkritik PSSI justru akan berbalik menjadi antipati. Senjata, upaya menakut-nakuti dan psywar tidak akan pernah memenangkan hati rakyat yang sesungguhnya. Para pengritik pun harus mampu menahan diri.

PEMBAC A

Persyaratan : Sertakan Fotokopi KTP atau SIM

’’Traffic Light’’ di Desa Kalibukbuk Adanya traffic light di Desa Kalibukbuk, yang merupakan pusat kawasan wisata Lovina, Buleleng, tentu dimaksudkan untuk mengurangi kemacetan, memperlancar lalu lintas dan mencegah kecelakaan. Di pusat desa tersebut terdapat simpang lima, yaitu jalur utama Singaraja-Seririt, arah ke selatan menuju Kayuputih dan ke utara menuju pantai dan satu jalur lagi di belakang Kantor Kepala Dusun. Memperhatikan tingkat kepadatan lalu lintas sudah tentu jalur Singaraja Seririt yang paling padat dan jalur lainnya relatif sangat tidak padat. Akan tetapi waktu pengaturan lampu hijau dan merah sama sekali tidak memperhatikan tingkat kepadatan ini. Jalur padat Singaraja - Seririt waktu lampu hijau sangat pendek sedangkan

jalur yang tidak padat justru lampu hijau jauh lebih lama. Akibatnya waktu lampu merah untuk arah Singaraja - Seririt terjadi antrean kendaraan yang panjang dan para pengendara banyak yang mengeluh. Akibat lebih jauh, karena tidak sabar, banyak yang melanggar. Dengan begitu adanya lampu pengatur lalu lintas (traffic light) tersebut membuat lalu lintas semakin berbahaya. Justru saat pengatur lalu lintas padam, lalu lintas kelihatan lebih lancar. Mengingat Desa Kalibukbuk merupakan pusat kawasan wisata Lovina, kami mohon instansi yang berwenang memperhatikan hal ini. I Gede Widiada Desa Bebetin, Kec. Sawan, Kab. Buleleng

Guru Besar Unud Sabtu, 26/3 lalu, Universitas Udayana (Unud) mengukuhkan lima orang guru besar (GB) lagi. Sebagai orang yang pernah menimba ilmu di Unud, tentu merasa bangga karena Unud kini sudah berhasil melampaui ketentuan minimal jumlah GB yang dipersyaratkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), yakni sebanyak 10% dari jumlah dosen (sekitar 1.600 orang) yang dimilikinya. Dibandingkan dengan pengukuhan GB tanggal 16 Mei 2009 yang waktu itu berjumlah 139 orang (Bali Post, 17 Mei 2009), jelas merupakan peningkatan yang cukup signifikan. Namun, masih ada sesuatu yang menurut saya kurang pas; 1. Dalam pengukuhan tanggal 16 Mei 2009 dinyatakan jumlah dosen Unud sebanyak 1.800 orang, sehingga jumlah GB ketika itu dikatakan masih banyak yang kurang. Pada pengukuhan yang terakhir, 26 Maret 2011, dilaporkan jumlah dosen sekitar 1.600 orang. Apa memang demikian? 2. Dilihat dari rentetan peristiwa tiga kali pengukuhan GB pada tahun 2010 tampaknya mengalami pengurangan terus pada segi jumlah komulatifnya. Kongkretnya sebagai berikut. Pengukuhan tanggal 21 Maret 2010 jum-

lah GB dinyatakan 162 orang, pengukuhan tanggal 7 November 2010 = 156 orang, dan pengukuhan tanggal 4 Desember 2010 Unud dikatakan telah memiliki GB sebanyak 154 orang. Yang menjadi pertanyaan, kok bisa demikian (terus mengalami penurunan)? Atas dasar data kuantitatif di atas (sepintas memang tampak sepele), saya menyarankan agar; (1) dalam memberikan laporan pada acara pengukuhan GB dan/ atau memberikan informasi kepada wartawan hendaknya memberikan data yang benar-benar valid, dan (2) keberadaan jumlah GB di Unud sebaiknya disebut jumlahnya secara keseluruhan, sesudah itu barulah dibuatkan rinciannya, yang sudah meninggal berapa orang, pensiun berapa orang, dan berapa pula GB yang masih aktif. Dengan cara seperti itu Unud tidak terkesan ‘jalan di tempat’ dalam hal pengembangan jabatan akademik tertingginya yakni guru besar. Selain itu, bagi GB yang sudah meninggal dan pensiun merasa dihargai karena dirinya termasuk/disebut-sebut dalam angka statistik GB di Unud. Romi Sudhita Jl. Srikandi, Gg. Melon 11

Konflik dan Tentara di Arena Kongres PSSI Ricuhnya Kongres PSSI di Riau memperlihatkan solusi terhadap masalah pada tubuh organisasi itu belum bisa diselesaikan hingga saat ini. Padahal, konflik yang melanda telah muncul sejak bertahun-tahun lalu, ketika Nurdin Halid yang menjadi ketua sekarang masuk bui akibat korupsi. Ketidakberhasilan menemukan solusi itu pada satu sisi memperlihatkan kuatnya pertahanan kubu PSSI yang mendapat ‘’legitimasi’’ dari FIFA untuk menjalankan roda orgaanisasi. Pada pihak lain, adanya resistensi kuat dari luar PSSI akibat buruknya kinerja organisasi itu. Sisi ketiga yang sulit untuk bergerak adalah pemerintah. Organisasi induk sepak bola internasional, FIFA, melarang pemerintah campur tangan ke dalam organisasi sepak bola nasional. Apabila itu terjadi, Indonesia akan dikeluarkan dari keanggotaan. Ini berlaku seluruh dunia.

S

epak bola, dan olahraga pada umumnya, adalah kegiatan yang murni di luar aktivitas politik. Amat mungkin, keterlibatan politis ke dalam dunia olahraga menjadi filosofi FIFA untuk melarang campur tangan pemerintah ke dalam sepak bola. Pada titik inilah sesungguhnya yang membuat persoalan itu berkembang begitu lama di Indonesia. Apa yang terjadi pada dunia sepak bola Indonesia adalah terjadinya konflik antara pengelola PSSI dengan pihak luar yang boleh dikatakan sebagai masyarakat. Jadi, pokok masalahnya adalah konflik horizontal antara organisasi PSSI dengan elemen sosial yang berada di luar organisasi tersebut. Dalam iklim budaya pemecahan konflik di Indonesia, sistem paternalistik masih memegang peranan penting. Memang benar hukum akan menjadi pertimbangan utama untuk memecahkan sengketa. Akan tetapi, dalam kasus PSSI ini hukum tidak mampu berjalan karena pembuktian-pembuktian pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang yang memegang kendali PSSI selalu bisa dimentahkan. Paling tidak, mereka memandang bahwa roda organisasi itu dijalankan atas statuta yang disahkan oleh FIFA. Protes yang dilayangkan oleh pihak-pihak di luar PSSI lebih banyak pada perilaku tidak etis yang dilakukan pengurus organisasi tersebut dan ketidakmampuan pengelola organisasi. Pejabat yang terlalu lama memegang posisi, mantan narapidana yang memegang jabatan, suporter yang rusuh serta prestasi yang tidak pernah diraih oleh organisasi, merupakan beberapa alasan normatif yang selalu dilayangkan oleh para oposan PSSI. Alasan ini justru membuat pejabat PSSI mudah mengelak, dan karena alasan itu secara akumulatif memojokkan organisasi membuat para pejabat teras menjadi solid. Soliditas ini justru membuat pejabat-pejabat pusat yang memegang organisasi menjadi mampu saling bergandengan tangan. Sebagian besar pejabat teras PSSI masih mendukung Nurdin Halid. Bahkan, anggota DPR pun terkesan tidak mau ikut campur dalam banyak hal dengan organisasi ini. Dalam konteks itulah konflik tidak pernah mampu diselesaikan antara organisasi PSSI dengan komponen sosial yang ingin menurunkan pejabat-pejabat teras PSSI. Budaya paternalistik yang bias-

Oleh Saras Mahardika anya menjadi solusi konflik di Indonesia, tidak bisa berjalan dalam kasus PSSI. Di Indonesia, baik pada lingkungan sosial, lingkungan politik, lingkungan budaya, bahkan pada lingkungan ekonomi pun, konflik bisa diselesaikan apabila ada penengah. Mereka yang menjadi penengah adalah pihak yang dipandang mempunyai kedudukan lebih tinggi. Posisi tinggi dari penengah ini bisa dilihat dari umur, posisi dalam struktur sosial (entah lurah, kepala sekolah, dan sebagainya), kemampuan finansial, intelektual atau posisi budaya. Karena itulah sengketa ekonomi yang melibatkan uang miliaran rupiah, akan bisa diselesaikan apabila tetua adat turun tangan pada lingkup kebudayaan tertentu. Partai politik akan segera bisa dinormalkan kembali apabila sang ketua umum turun tangan. Lebih Cepat Apa yang terjadi antara tubuh PSSI dengan komponen sosial yang menentangnya, seharusnya akan bisa diselesaikan lebih cepat apabila pemerintah ikut turun tangan. Pemerintah bisa dipandang sebagai ‘’tetua’’, patron yang berkedudukan lebih tinggi sebagai penengah dalam konflik ini. Akan tetapi peran tersebut menjadi hilang karena ada ketentuan dari FIFA yang melarang keterlibatan pemerintah ke dalam arena sepak bola Indonesia. Dengan demikian, suasana seperti yang terjadi sekarang kelihatan masih mengambang dan terus memanas. Campur tangan pemerintah akan mempunyai risiko besar, sebab berpotensi dikeluarkannya PSSI dari

keanggotaan FIFA. Padahal sebuah prestasi yang diakui dalam jagat sepak bola internasional, justru berasal dari event yang diselenggarakan FIFA atau yang berafiliasi dengan organisasi tersebut. Prestasi yang sering menjadi incaran adalah Olimpiade, Pra-Piala Dunia, SEA Games, Asian Games atau Piala AFF. Jika Indonesia dikeluarkan dari keanggotaan FIFA, tidak mungkin sepak bola bisa berkiprah dalam ajang seperti itu. Padahal sepak bola merupakan olahraga paling populer, yang telah menyentuh budaya dan mampu menyatukan perasaan berbangsa apabila mampu meraih prestasi di ajang internasional seperti yang disebutkan tadi. Konflik ini berlarut-larut karena sektor budaya (yaitu melibatkan penengah yang mempunyai peran sebagai patron) tidak memungkinkan memegang peranan pada bidang ini. Dengan pemahaman tersebut, maka bisa dikatakan pengerahan tentara ke dalam arena Kongres PSSI yang berlangsung di Riau harus dipikirkan ulang. Hadirnya pasukan TNI dengan seragamnya di arena kongres bisa ditafsirkan adanya kesengajaan pengerahan pasukan oleh komponen tertentu. Ini terlalu berlebihan dan bisa memancing FIFA bersikap. Dalam kondisi normal, pasukan kepolisian merupakan petugas yang dibolehkan berada di sekitar arena dengan tugas menjaga keamanan. Apabila kondisi kongres memanas, adalah wajar apabila jumlah pasukan keamanan dilipatgandakan. Sekali lagi ini untuk mencegah meluasnya eskalasi konflik. Namun, menggelar pasukan TNI ke

’’

Pejabat yang terlalu lama memegang posisi, mantan narapidana yang memegang jabatan, suporter yang rusuh serta prestasi yang tidak pernah diraih oleh organisasi, merupakan beberapa alasan normatif yang selalu dilayangkan oleh para oposan PSSI.

dalam kongres yang membuat pasukan polisi menarik diri, hal ini sungguh di luar batas. Pasukan tentara diperlukan negara untuk kondisi perang menghadapi negara lain. Konflik dalam tubuh PSSI bukanlah konflik dengan negara lain dan tidak mungkin akan membuat kedaulatan negara runtuh. Fenomena ini bisa saja ditafsirkan oleh FIFA sebagai bentuk campur tangan negara dalam upaya memengaruhi keputusan kongres di Riau tersebut. Masuknya TNI ini justru tidak akan membuat masalahnya selesai, malah bertambah runyam. Pihak-pihak yang mencoba membela kepentingan sepak bola Indonesia dengan mengerahkan tentara bisa mencoreng dirinya sendiri karena akan memunculkan rasa tidak simpatik. Jika tentara memang ingin masuk arena sepak bola, barangkali semangat juangnya yang diperlukan. Semangat juang ini sebagai suporter pertandingan sepak bola. Dulu ketika Tri Sutrisno masih menjadi Ketua Umum PBSI (Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia), banyak yang mencurigai bahwa suporter yang mendukung tim Indonesia saat menghadapi Cina di Piala Thomas dan Uber tahun 1994 adalah pasukan tentara. Ini terlihat dari bentuk cukuran dan bentuk kekekaran tubuhnya. Teriakan dan semangatnya yang tidak pernah henti di Istora Senayan berhasil menyukseskan Indonesia merebut Piala Thomas dan Uber tersebut.

POJOK Dewan rekomendasikan swakelola bedah rumah, jika ditolak, anggaran dicoret. - Yang sudah merasa menang tender mulai ketar-ketir. *** Dugaan pungli prona, Kejari periksa Kepala BPN Bangli. - Rakyat menunggu ending-nya. *** Proyek SLB Tohpati dianggarkan Rp 35 miliar. - Siapa mengawasi ‘’kebocoran’’-nya?

’’

z Perintis : K.Nadha, z Pemimpin Umum: ABG Satria Naradha z Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab: Wirata z Redaktur Pelaksana/Wakil Penanggung Jawab: Alit Purnata zSekretaris Redaksi: Sugiartha z Redaksi: Alit Susrini, Alit Sumertha, Daniel Fajry,Dira Arsana,Mawa, Sri Hartini, Suana, Sueca, Wirya, Yudi Winanto z Anggota Redaksi Denpasar: Giriana Saputra, Oka Rusmini, Umbu Landu Paranggi, Subagiadnya, Subrata, Suentra, Sumatika, Asmara Putra, Diah Dewi, Yudi Karnaedi, Wira Sanjiwani, Pramana Wijaya, Eka Adhiyasa, Dedy Sumartana, Parwata. Bangli: Pujawan, Buleleng: Adnyana, Gianyar: Agung Dharmada, Karangasem: Budana, Klungkung: Bali Putra Ariawan, Negara: IB Surya Dharma. Jakarta: Nikson, Hardianto, Ade Irawan. NTB: Agus Talino, Syamsudin Karim, Izzul Khairi, Raka Akriyani. Surabaya: Bambang Wiliarto. z Kantor Redaksi: Jalan Kepundung 67 A Denpasar 80232. Telepon (0361)225764, Facsimile: 227418, Alamat Surat: P.O.Box:3010 Denpasar 80001. Perwakilan Bali Post Jakarta, Bag.Iklan/ Redaksi: Jl.Palmerah Barat 21F. Telp 021-5357602, Facsimile: 021-5357605 Jakarta Pusat. NTB: Jalam Bangau No. 15 Cakranegara Telp. (0370) 639543, Facsimile: (0370) 628257. Manajer Iklan: Suryanta, Manajer Sirkulasi: Budiarta, Manajer Percetakan: Mahadita, Marketing/ Pengaduan Pelanggan: Kariawan, z Alamat Bagian Iklan: Jl.Kepundung 67A, Denpasar 80232 Telp.: 225764, Facsimile : 227418 Senin s.d. Jumat 08.00-19.00, Sabtu 08.00-13.00, Minggu 08.00-19.00. Tarif Iklan : Iklan Mini: minimal 2 baris maksimal 10 baris, perbaris Rp 35.000,- Iklan Umum: < 100 mmk Rp 40.000 per mmk, >100 mmk Rp 45.000 per mmk. Iklan Keluarga/Duka Cita: Rp 30.000 per mmk. Advertorial Rp 22.000 per mmk. Iklan Warna: 2 warna Rp 55.000, 4 warna Rp 65.000 per mmk. Pembayaran di muka, iklan mendesak untuk dimuat besok dapat diterima sampai pukul 18.00. Alamat Bagian Langganan/Pengaduan Langganan: Jl.Kepundung 67A Denpasar 80232 Tel: 225764, Facsimile: 227418. Harga Langganan: Rp 60.000 sebulan, Pembayaran di muka. Harga eceran Rp 3.000. Terbit 7 kali seminggu. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers: SK Menpen No. 005/SK/Menpen/SIUPP/A.7/1985 Tanggal 24 Oktober 1985, ISSN 0852-6515. Anggota SPS-SGP, Penerbit: PT Bali Post. Rek. BCA KCU Hasanudin Denpasar AC: 040-3070618 a/n PT. Bali Post. Rek. BRI Jl. Gajahmada Denpasar A/C: 00170 1000320 300 an Pt.Bali Post. Sumbangan untuk orang sakit Rek. BPD Capem Kamboja, Denpasar No. 037.02.02.00016-8 A/n Simpati Anda, Dana Punia Pura Rek.BPD Capem Kamboja, Denpasar No. 037.02.02.00017-1 A/n Dana Punia Pura. WARTAWAN BALI POST SELALU MEMBAWA TANDA PENGENAL, DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA/MEMINTA APA PUN DARI NARA SUMBER


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.