Islam dalam diskursus IDEOLOGI, KULTURAL DAN GERAKAN
menetapkan KH. A. Mutamakin telah melanggar syari’ah karena memasang lukisan binatang secara utuh, dan sering menonton wayang dengan lakon Bima Suci/Dewa Ruci. Oleh sebab itu ia harus dihukum. Tetapi hukuman itu terserah pada sultan seba gai penguasa. Sebaliknya, para pemimpin tarekat dan tassawuf bersi kap menentang penguasa. Perbedaan sikap ini menjadi pemicu pemberontakan di beberapa tempat dalam abad tersebut. Dalam pandangan kaum tarekat, penguasa dianggap menyimpang dari kebenaran formal agama, karena itu haruslah dilawan secara terbuka. Sikap ini, sebenarnya sama-sama bersifat politis, bila dibandingkan dengan sikap KH. A. Mutamakkin di atas. Hanya saja, jika yang satu menentang maka yang lain mendukung. Sikap politis inilah yang membuat penguasa waktu itu banyak meng hukum mati dan menyiksa para pemimpin gerakan tarekat. Ceri ta ulama yang mati dibakar atas perintah sultan adalah sesuatu yang memilukan di waktu itu.
eg Di sini, KH. A. Mutamakin memperkenalkan pendekatan yang lain sama sekali. Ia mengutamakan pandangan alternatif terhadap kelaliman penguasa, namun tidak memberikan perla wanan secara terbuka. Dengan demikian, ia lebih mengutamakan sikap memberikan contoh bagaimana seharusnya seorang pe mimpin wajib bertindak dan menampilkan para ulama sebagai kekuatan alternatif kultural di hadapan sang penguasa. Pendekat an inilah yang di kemudian hari dikenal dengan pendekatan kul tural yang memicu perlawanan rakyat, tanpa melawan sang pe nguasa. Sikap ini dikecam dengan keras oleh pendekatan politis yang menunjang penguasa dan yang menentangnya. Pendekatan kultural ini, tidak pernah jelas-jelas menen tang penguasa, tapi ia juga tidak pernah menunjang penguasa. Di masa itu, kaum syari’ah memberikan dukungan kepada pe nguasa sedangkan pihak tarekat bersikap menentang. KH. A. Mutamakin mengembangkan sikap kultural di atas, yakni pilih an alternatif yang bersifat kultural. Di masa Orde Baru, keadaan menjadi terbalik: pihak tarekat justru menjadi penunjang dan mendukung kekuasaan, seperti terjadi pada pemimpin-pemim pin tarekat pada masa itu. Sedangkan kaum syari’at, seperti yang g 40 h