Islam, PENDIDIKAN DAN MASALAH SOSIAL BUDAYA
hadapi “kemajuan Barat”. Seolah-olah Islam akan kalah dari per adaban Barat yang sekuler, jika tidak digunakan kata-kata ber bahasa Arab. Tentu saja rasa kurang percaya diri ini juga dapat dilihat dalam berbagai aspek kehidupan kaum muslimin seka rang di seluruh dunia. Mereka yang tidak pernah mempelajari agama dan ajaran Islam dengan mendalam, langsung kembali ke “akar” Islam, yaitu kitab suci al-Qur’ân dan Hadits Nabi Saw. Dengan demikian, penafsiran mereka atas kedua sumber tertulis agama Islam yang dikenal dengan sebutan dalil naqli, menjadi superficial dan “sangat keras” sekali. Bukankah ini sumber dari terorisme yang kita tolak yang menggunakan nama Islam? Dari “rujukan langsung” pada kedua sumber pertama Is lam itu, juga mengakibatkan sikap sempit yang menolak segala macam penafsiran berdasarkan ilmu-ilmu agama (religious subject). Padahal penafsiran baru itu adalah hasil pengalaman dan pemikiran kaum muslimin dari berbagai kawasan dalam waktu yang sangat panjang. Para “Pemurni Islam” (Islamic puritanism) seperti itu, juga membuat tudingan salah alamat ke arah tradisi Islam yang sudah berkembang di berbagai kawasan se lama berabad-abad. Memang ada ekses buruk dari pengalaman perkembangan pemikiran itu, tetapi jawabnya bukanlah berben tuk puritanisme yang berlebihan, melainkan dalam kesadaran membersihkan Islam dari ekses-ekses yang keliru tersebut. Agama lainpun pernah atau sedang mengalami hal ini, se perti yang dijalani kaum Katholik dewasa ini. Reformasi yang dibawakan oleh berbagai macam kaum Protestan, bagi kaum Katholik dijawab dengan berbagai langkah kontrareformasi se menjak seabad lebih yang lalu. Pengalaman mereka itu yang kemudian berujung pada teologi pembebasan (liberation theo logy), merupakan perkembangan menarik yang harus dikaji oleh kaum muslimin. Ini adalah pelaksanaan dari adagium “per bedaan pendapat dari para pemimpin, adalah rahmat bagi umat (ikhtilâf al-a’immah rahmat al-ummah).” Adagium tersebut bermula dari ketentuan kitab suci al-Qur’ân: “Ku-jadikan kalian Sistem teologi semacam ini disebut juga dengan rumusan berteologi yang mempunyai visi sosial dan kemanusiaan. Adalah Farid Essack, seorang pemikir Islam berkebangsaan Afrika Selatan melalui karyanya, Qur’an, Libera tion, and Pluralism (Oxford: Oneworld Oxford, 1997) ingin menunjukkan bah wa ajaran-ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an adalah ajaran yang membebaskan.
g 246 h