Warta Sosial

Page 20

mengandung adiknya yang berumur tujuh bulan, sedangkan saat itu, Ibu Sri sendiri baru 12 tahun. Ibu Sri mengaku kurang merasakan peran dari ayah. Hal ini karena dirinya ditinggalkan ayahnya ketika masih kecil. Tapi ayah beliau telah mendidik dalam kejujuran, kesempatan untuk belajar, menjalankan agama yang bagus, dan harus sekolah. Setelah sang ayah meninggal, Ibu Sri dan saudarasaudara yang lain ditempa ibunya. Ibunya yang memegang kendali. Pendidikan ibunya begitu kuat. “Anak-anaknya diajarkan untuk hidup mandiri, semua anaknya dididik untuk bekerja dan bisa melakukan segala hal� kenang beliau. Meski tidak gampang menanggung delapan orang anak, tetapi tekad ibunya, untuk mandiri dan begitu besar dalam mendidik anak-anaknya. �Dia bekerja untuk membesarkan anak-anaknya,�lanjut beliau mengenang ibunya. Sepeninggal ayahandanya, otomatis ibundanyalah yang menghidupi dan membesarkan kedelapan anakanaknya. Dia telah bertekad untuk membesarkan anakanaknya dan mewujudkan cita-cita almarhum suaminya untuk memajukan pendidikan bagi anak-anaknya. Sebagai seorang yang telah ditinggal suami, tidaklah mudah. Bukan saja harus memikirkan biaya hidup sehari-hari, tetapi juga memikirkan masa depan dan pendidikan anak-anaknya. Masalah pendidikan inilah yang paling diutamakan. Menurut beliau pendidikan adalah warisan yang tak bisa ditawar-tawar lagi untuk

20

Edisi 45/Januari/2012 44 / Juni / 2011

warta sosial

masa depan anak-anaknya. Beliau sangat menyadari bahwa pendidikan adalah modal utama untuk membangun masa depan anakanak yang lebih baik. Hal itu terutama ditujukan untuk anak laki-lakinya. Karena itu tidak heran kalau ibunya begitu sungguh-sungguh memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Ibunya sangat yakin, jika pendidikan anak-anaknya baik, maka kelak masa depannya akan lebih baik. Pada tahun 1950, keluarga besar Ibu Sri pindah ke Bandung, sebuah kota yang pada akhirnya akan memberi pelajaran panjang dan turut menentukan sejarah dalam kehidupannya kelak. Ibu Sri tampaknya tidak saja ditempa menjadi perempuan mandiri di Bandung melainkan selalu peduli memikirkan orang lain. Benih-benih jiwa sosial dan peduli dengan lingkungannya mulai berkembang dalam dirinya. Seusai menyelesaikan pendidikan di SMP Ursula, dia melanjutkan ke Sekolah Asisten Apoteker (SAA) di Bandung. Dirinya memilih sekolah kejuruan di SAA lantaran ibunya tidak mampu menyekolahkannya ke perguruan tinggi. Karena itulah ibunya menyarankan untuk melanjutkan pendidikan ke kejuruan agar mudah bekerja. Sang Ibu memang lebih memprioritaskan anak laki-lakinya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi. Sedangkan anak-anak perempuan di arahkan ke sekolah kejuruan.

Masa Indah Bersama Pak Dar Setelah menyelesaikan pendidikan SAA, tak lama kemudian ia dilamar oleh seorang laki-laki bernama Soedarsono Darmosoewito. Ketika itu Soedarsono yang bekerja sebagai tentara menjadi ajudan Jenderal A. Haris Nasution atau biasa dipanggil Pak Nas. Ibu Sri menerima lamaran Soedarsono, apalagi ibunya sudah menyetujui hubungannya. Pernikahan tersebut dilangsungkan pada tanggal 18 Januari 1958 di rumah kediamannya di Bandung. Sejak itu resmilah Ibu Sri menjadi istri Soedarsono. Sejak itu pula namanya lebih dikenal sebagai Ny. Sri Soedarsono Darmosoewito. Bahkan kemudian ia lebih akrab dipanggil Ibu Dar. Dari hasil pernikahan tersebut mereka dikaruniai 4 orang anak yaitu tiga laki-laki dan si bungsu perempuan. Keempat anaknya itu yaitu Masmaryanto BA, DR. Ir. Ade Avianto Msc, Ir. Harry Rudiono, dan Drg. Sri Utami dan telah dianugerahi 13 cucu dan 2 cicit. Ibu Sri Soedarsono tiba di Batam tahun 1978, hal tersebut terkait dengan tugas sang suami Mayjen TNI (Purn) Soedarsono Darmosoewito yang mengemban tugas sebagai Ketua Badan Pelaksana (Kabalak) Operasi Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (OPDIPB)


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.