SKMA Edisi Mei-Juni 2015

Page 1

Media

Aesculapius PERANGKO BERLANGGANAN KP JAKARTA PUSAT 10000 NO. 3/PRKB/JKP/DIVRE IV/2014

Surat Kabar

Kedokteran dan Kesehatan Nasional Terbit Sejak 1970

No. 02 06 l XLV XLVIl lMei-Juni Juli-Agustus 2015 2014

Harga Rp3.000,00

ISSN ISSN No. 0216-4966 No. 0216-4966

Kontak Kami

Artikel Bebas

Senggang

Suka Duka

Fakta dan Mitos Suplemen Vitamin E

Strike Prestasi dengan Joran dan Umpan

Melayani Negeri Sepenuh Hati

halaman 4

halaman 8

@MedAesculapius beranisehat.com

halaman 6

Kemesraan Dokter dengan Perusahaan Obat: Ilegalkah? Benarkah budaya gratifikasi telah masuk ke dalam praktisi kedokteran?

K

etika seorang medical representative (medrep) menemui seorang dokter, serentetan informasi mengenai produk obat dikeluarkan. Kemudian, sang dokter akan mengambil keputusan objektif tentang produk tersebut, sembari mengharapkan yang terbaik untuk pasiennya. Namun, fakta yang terjadi di lapangan acapkali tak seindah itu. Medrep memberi iming-iming kepada dokter agar produknya bisa memenuhi tiap lembaran resep sang dokter. Sejumlah komisi pun lalu dijanjikan. Jumlahnya bergandengan dengan kuantitas produk yang diresepkan. Alhasil, obat tersebut menjadi andalan sang dokter, meskipun masih ada obat berkhasiat sama yang ekonomis untuk pasiennya. Fenomena ini merupakan suatu bentuk gratifikasi. Menurut Drs. apt. Purwadi MM, ME, Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, gratifikasi adalah pemberian kepada orang lain dalam bentuk apapun. Pada UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 12B, disebutkan bahwa gratifikasi meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Pemberian ini dapat berindikasi suap atau tidak. Berindikasi suap ketika pemberian tersebut berdampak pada pengambilan keputusan yang berbeda dan berhubungan dengan jabatan seseorang yang menyebabkan seseorang kehilangan kemandiriannya. Bagaikan musuh dalam selimut, praktik gratifikasi sudah merajalela di dunia kedokteran tanpa banyak terumbar, tanpa banyak terdengar. Gratifikasi yang

anyta/MA

dilakukan antara dokter dengan perusahaan farmasi tidak terbatas pada bentuk nominal rekening yang bertambah saja. Misalnya, perusahaan obat mendanai perjalanan dan akomodasi seorang dokter untuk mengisi seminar di luar kota. Setelah mengisi seminar, sang dokter pun “difasilitasi” untuk berekreasi keliling kota. “Sebenarnya memberikan liburan tidak apa-apa, asal tidak ada perjanjian di belakangnya,” ucap Drs.

Rezi Riadhi, dosen Etika Hukum Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. Namun, sekalipun tidak ada perjanjian hitam di atas putih, tidak jarang dokter merasa berhutang budi jika sudah menerima banyak pemberian dari pihak farmasi. Rasa hutang budi tersebut dibayarkan dengan meresepkan lebih banyak obat perusahaan farmasi tersebut dibandingkan obat merek lainnya. Ketidakjelasan pada UU yang berlaku dan ambiguitas gratifikasi itu membuat banyak dokter terjebak dalam kasus gratifikasi. Lebih lagi, pengetahuan yang minim akan gratifikasi dan menurunnya nilai luhur profesi seorang dokter dapat memperbesar kemungkinan untuk terjerat dalam kasus gratifikasi. Menurut Peraturan

bersambung ke halaman 7

Dekadensi Keluhuran Profesi Kedokteran Indonesia

S

“Seorang dokter dalam setiap keputusannya harus mendahulukan kesehatan pasiennya”

edari dulu, masyarakat selalu menganggap dokter sebagai profesi yang luhur –the noble profession. Ketika membicarakan dokter, gambaran yang terlintas di pikiran adalah betapa mulia, rela berkorban, dan bertanggung jawabnya dokter. Dengan penuh kerelaan, masyarakat yang datang berobat ke dokter akan menuruti apapun permintaan sang dokter dan menyetujui tindakannya karena mereka percaya pada sang dokter. Mungkin terkesan mendewakan, tetapi seperti itulah anggapan masyarakat terhadap dokter. Itu dahulu. Kini, bagaimana anggapan masyarakat terhadap dokter? Di tengah era BPJS, maraknya sorotan media terhadap bidang kedokteran dapat bertindak sebagai pisau bermata dua. Apalagi ditambah banyaknya kasus malpraktik dan gratifikasi oleh dokter, citra dokter sebagai the noble profession kian runtuh di mata

masyarakat. “Padahal yang terpenting dari sebuah profesi itu adalah trust,” ujar Prof. dr. Menaldi Rasmin, SpP(K), mantan ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) periode 2009-2014. Tanpa kepercayaan itu, dokter tidak akan dapat bekerja secara optimal. Memang sepatutnya, dokter berjuang untuk membuat dirinya bisa dipercaya. Bagaimana caranya? “Dengan menghormati profesi kita sendiri,” ucap Menaldi. Ketika seorang dokter tahu ilmu yang harus diketahui, kemampuan yang harus dikuasai, dan praktik yang patut kerjakan; dalam arti lain menjadi dokter yang profesional, pasti rasa percaya masyarakat akan menetap. Menjadi seorang dokter yang profesional nyatanya jauh berbeda dengan hanya menjadi seorang dokter. Profesionalitas seorang dokter dapat dilihat dari tiga elemen, yaitu etika, kompetensi klinis, serta kemampuan komunikasi yang dimilikinya. Tidak hanya itu, sikap profesionalisme

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2014 Pasal 1, gratifikasi yang menyalahi aturan adalah gratifikasi yang dianggap suap dimana gratifikasi yang diterima oleh aparatur kementerian kesehatan berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugas penerima. Akan tetapi, sulit untuk menilai terganggunya kemandirian seorang dokter. Oleh karena itu, pemeriksaan diarahkan bukan pada tindakan dokternya, melainkan pada pemberian yang diterimanya. Sayangnya, hal ini cenderung terkesan tidak adil mengingat banyak pemberian yang datang ke dokter secara cuma-cuma. “Kalau tidak ada timbal balik, semestinya tidak dimasukkan dalam kategori gratifikasi”, tutur Prof. dr. Menaldi Rasmin, SpP(K), Mantan Ketua Konsil Kedokteran Indonesia periode 2009–2014. Kemudian timbul pertanyaan, pemberian seperti apa yang sebenarnya boleh diterima oleh dokter? “Misalkan, dokter sedang praktik di daerah pelosok, kemudian pasiennya senang karena sudah diobati dan sembuh. Kemudian, pasiennya memberi si dokter ayam dua ekor. Itu tidak ada kaitan dengan jabatan dokter, tetapi pasiennya sayang dengan dokternya karena sudah menyembuhkan,” papar Purwadi. Pemberian itu tidak dimaksudkan untuk memengaruhi kinerja dan penilaian dokter. Ibaratnya dengan seorang dokter diberi ayam, bukan berarti kemudian pasiennya tersebut disuntik dengan lebih baik. Itulah yang disebut gratifikasi nonsuap.

juga memiliki empat pilar, yaitu akuntabilitas, kemanusiaan, keutamaan, dan altruisme. Dunia kedokteran sendiri paling erat kaitannya dengan nilai altruisme, artinya mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan sendiri. “Seorang dokter dalam setiap keputusannya harus mendahulukan kesehatan pasiennya,” jelas Menaldi. Dengan menghormati keluhuran profesi dokter, niscaya akan sulit bagi seorang dokter untuk tersandung kasus malpraktik ataupun gratifikasi. “Sudah seyogyanya dokter kembali meresapi alasan memilih profesi ini, yaitu untuk menolong orang, bukan menyusahkan,” tutur Menaldi. Inilah saatnya untuk “meredefinisikan” alasan menjadi seorang dokter karena dokter juga merupakan bagian dari masyarakat! jihaan

Pojok MA Pasien belum masuk, resep sudah tersedia. Entah zaman yang semakin canggih atau moral yang semakin ringkih.


22

MEI-JUNI 2015

DARI KAMI Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera bagi kita semua. Dalam edisi kali ini, gratifikasi dalam dunia kedokteran menjadi topik utama pilihan yang kami sajikan kali ini. Seperti apa bentukbentuk gratifikasi yang dimaksud? Apakah semuanya termasuk ke dalam tindakan pidana? Kapan suatu pemberian kepada dokter tidak disebut sebagai gratifikasi? Jawabanjawaban dari pertanyaan tersebut bisa Anda temukan pada halaman utama SKMA edisi ini. Bingung mendeteksi dan menatalaksana abses paru? Tenang, penjelasan seputar abses paru ada di rubrik MA Klinik, mulai dari cara diagnosis hingga terapinya langsung dijelaskan oleh ahli di bidangnya, yaitu dr. Gurmeet Singh, SpPD dari Divisi Respirologi dan Perawatan Kritis Departemen IPD FKUI-RSCM. Pernahkan Anda mendengar spesialisasi farmakologi klinik? Spesialisasi dengan masa pendidikan hanya enam semester ini ternyata memiliki prospek kerja yang begitu luas. Tertarik mencari tahu lebih lanjut? Anda bisa membacanya pada rubrik Info Spesialistik. Memancing ternyata sangat bermanfaat! Di samping meningkatkan daya analisis untuk menentukan mulai dari jenis umpan hingga joran yang dipakai, memancing juga turut menambah jumlah sahabat melalui komunitas besar. Ingin tahu lebih lanjut? Silakan baca langsung pengalaman hobi memancing dr. Ade Firmansyah Sugiharto, SpF di rubrik Senggang. Masih banyak info menarik lainnya lagi yang kami hadirkan bagi Anda, di antaranya infeksi cacing sebagai “anti” sindrom metabolik, prostesis bionik aktif pengganti kaki, dan penggunaan USG untuk deteksi nodul tiroid. Selamat membaca! Wassalamualaikum wr wb,

Patria Wardana Yuswar Pemimpin Redaksi

MA FOKUS

Makna Abu-abu di Balik Kata Gratifikasi

G

ratifikasi. Dipopulerkan oleh institusi KPK, istilah ini kini seolah terpenjara dalam makna negatif. Tidak melulu negatif sebenarnya. Gratifikasi disadur dari bahasa Inggris “gratification”, didefinisikan oleh Kamus Oxford sebagai “pleasure, especially when gained from satisfaction of a desire”. Rasa senang atau terpuaskan ini sebenarnya terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, kesenangan seorang siswa karena berhasil memeroleh peringkat pertama di sekolahnya. Kesenangan ini mendorong individu tersebut untuk mendapatkan kesenangan yang sama di masa depan, contohnya dengan berusaha mendapatkan ranking satu di tahun depannya lagi. Jadi tidak selalu bermakna negatif, bukan? Uniknya, KPK melalui UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 12B mengartikan gratifikasi sebagai “pemberian dalam arti luas, yakni pemberian biaya tambahan (fee), uang, barang, rabat (diskon), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya”. Maka, berubahlah pandangan orang mengenai makna kata ini. Begitu kata gratifikasi disebutkan, pasangan katanya, yaitu tindakan pidana, langsung terbayang. Adakah gratifikasi dalam dunia kedokteran? Sudah bukan rahasia lagi kalau dalam simposium-simposium, pihak perusahaan obat bisa menitipkan kepada dokter untuk mempresentasikan kehebatan obatnya. Tipikalnya, presentasi ilmiah tersebut memukau para penonton dengan menanamkan kesan tiadanya kecacatan pada obat tersebut. Esok harinya, dokter tersebut meresepkan obat tersebut hampir ke semua pasiennya. Untuk “rasa terima kasih”-nya, perusahaan obat kemudian memberikan tiket perjalanan luar negeri lengkap dengan uang jajan. Pertanyaannya, kalau ternyata hampir semua pasien tadi memang membaik dengan pemberian obat tersebut, terlepas dari faktor ekonomi dan lainnya, apakah tindakan tersebut dapat disebut sebagai gratifikasi? Ini misteri yang hanya bisa terkuak jika hukum di negara ini lebih jelas lagi dalam mendefinisikan gratifikasi.

KLINIK

MEDIA AESCULAPIUS

MA KLINIK

Kenali dan Tatalaksana Abses Paru dengan Cepat dan Tepat

A

bses paru merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri dan ditandai dengan terbentuknya suatu rongga yang berisi jaringan mati ataupun cairan. Individu yang berisiko tinggi mengalami abses paru adalah pasien yang sudah mempunyai penyakit infeksi paru sebelumnya seperti pneumonia dan bronkitis akut. Selain itu, faktor usia tua dan kekebalan tubuh yang lemah juga dapat meningkatkan faktor resiko abses paru. Penyebab abses paru dibagi menjadi primer dan sekunder. Abses paru primer disebabkan oleh adanya aspirasi dari flora oral komensal, terutama bakteri anaerob. Abses paru primer dinarda/MA biasanya berhubungan dengan suatu penyakit gigi atau suatu kondisi yang mengarah ke aspirasi bronkus, seperti alkoholisme, anestesi umum, dan disfagia. Sementara itu, abses paru sekunder dapat muncul sebagai komplikasi dari infeksi lokal sebelumnya, misalnya karsinoma bronkogenik atau adanya gangguan sistem imun. Bakteri anaerob merupakan agen penyebab abses paru yang paling sering ditemui. Selain bakteri anaerob, bakteri aerob seperti S. aureus, K. pneumoniae, E. coli, dan S. pneumoniae juga dapat menyebabkan abses paru. Selain bakteri, walaupun jarang, jamur juga bisa menjadi agen patogen abses paru, terutama pada pasien dengan status immunocompromised. Pada penderita AIDS, penyebab terbanyak abses paru adalah bakteri P. Carinii, M. tuberculosis, dan C. neoformans. Diagnosis Gambaran klinis abses paru sangat bervariasi. Pada keadaan akut, abses paru memberikan gambaran klinis menyerupai pneumonia, ditandai dengan peningkatan suhu yang ekstrim, badan terasa kaku, nafsu makan kurang, berat badan turun, dan keringat malam dengan batuk disertai sputum. Adapun sputum ini memiliki karakteristik berbau busuk, berwarna anchovy (putrid abscesses), dan seringkali disertai dengan bercak darah. Pemeriksaan fisik yang yang didapat tergantung pada organisme yang terlibat, luasnya penyakit, derajat keparahan, status kesehatan pasien, dan komorbiditasnya. Apabila abses terlokalisasi, maka akan terdengar crackles pada auskultasi dan bila abses terjadi sekunder akibat pneumonia maka akan didapatkan perkusi yang redup atau pekak disertai pernapasan bronkial. Clubbing finger (jari tabuh) mungkin saja dapat muncul dan bersifat reversibel seiring dengan menghilangnya abses.

MEDIA AESCULAPIUS

dr. Gurmeet Singh, SpPD Divisi Respirologi dan Perawatan Kritis Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, Jakarta

Pada pemeriksaan darah rutin, akan didapatkan peningkatan leukosit berkisar 10.000-30.000/mm3 serta pergeseran ke kiri untuk hitung jenis leukosit. Kultur sputum dan pewarnaan gram dapat membantu dalam menentukan jenis mikroorganisme penyebab serta melihat tingkat sensitivitas patogen terhadap antibiotik. Abses paru memberikan gambaran yang tipikal pada pemeriksaan radiologi, berupa terbentuknya suatu kavitas dengan bentuk yang irreguler dengan air-fluid level di dalamnya. Kavitas yang soliter khas terjadi pada abses paru anaerobik, umumnya dijumpai pada infeksi paru primer. Sementara itu, lesi multipel lebih sering ditemukan pada abses paru sekunder. Diagnosis banding abses paru meliputi tuberkulosis paru, kavitasi neoplasma, empiema lokal, Granulomatosis Wegener, parasit paru, bula yang terinfeksi, dan sarkoidosis. Tatalaksana Abses paru yang disebabkan bakteri aerobik pada umumnya dapat diobati dengan antibiotik beta laktam. Umumnya, para dokter akan memberikan antibiotik selama 4–6 minggu. Pemberian antibiotik ini diberikan hingga didapatkan adanya perbaikan abses paru pada foto toraks atau lesi yang mengecil dan stabil. Pasien dengan abses paru biasanya akan menunjukkan perbaikan setelah mendapatkan terapi antibiotik selama 3–4 hari. Adanya demam yang persisten dalam terapi ini menunjukan bahwa terapi ini telah gagal sehingga pengkajian ulang terhadap pasien perlu dilaksanakan. Abses paru dapat ditangani dengan mudah menggunakan antibiotik. Namun, penyakit ini dapat berpotensi menjadi sepsis atau gagal napas bila tidak terdiagnosis atau tertangani secara cepat dan tepat. Bila drainasenya kurang baik, abses paru cenderung mengalami ruptur ke segmen lainnya dan berisiko menginfeksi rongga pleura yang berujung pada empiema. Sekitar sepertiga dari kasus abses paru akan didapatkan empiema. Prognosis dari pasien abses paru tergantung pada agen patogen, faktor predisposisi, dan kecepatan pemberian terapi antibiotik yang tepat. Prognosis akan memburuk (mortalitas 75%) bila terdapat kavitas yang besar (> 6 cm), necrotizing pneumoniae, faktor usia lanjut, pasien dengan status immunocompromised, obstruksi bronkial, abses yang disebabkan oleh bakteri aerobik, dan abses paru yang belum mendapat pengobatan dalam jangka waktu lama.

Pelindung: Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis M. Met. (Rektor UI), Dr. dr. Ratna Sitompul, SpM(K) (Dekan FKUI) Penasihat: Prof. Dr. Bambang Wibawarta, S.S., M.A. (Direktur Kemahasiswaan UI), dr. Ahmad Fuady, MSc (Koordinator Kemahasiswaan FKUI) Staf Ahli: Seluruh Kepala Bagian FKUI/RSUPNCM, Prof. Dr. Ma’rifin Husein (CHS), dr. Muki Reksoprodjo, dr. Boen Setiawan, dr. Sudarso, dr. E. Oswari, DPH, Prof. Dr. Arjatmo Tjokronegoro, PhD, dr. Hapsara, DPH (Kemenkes RI), dr. Fahmi Alatas, Prof. dr. Marwali Harahap, SpKK, Prof. Dr. Umar Fahmi Achmadi, MPH Pembantu Khusus: Seluruh Alumni Aesculapius dan Media Aesculapius

Pemimpin Umum: Indra Wicaksono. PSDM: Berli Kusuma, Dwitya Wilasarti, Annisaa Yuneva, Ferry Liwang, Laksmi Bestari, Aditya Indra Pratama. Pemimpin Produksi: Zharifah Fauziyyah. Wakil Pemimpin Produksi: Kartika Laksmi, Dhiya Farah Tata Letak dan Cetak: Vanya Utami Tedhy. Ilustrasi dan Fotografi: Aditya Indra Pratama. Website: Selvi Nafisa Shahab, Andrew John WS. Staf Produksi: Hafizh Ahmad Boenjamin, Stephanie Wijaya, Inda Tasha Bastaman, Andreas Michael S, Muhammad Reza Prabowo, Edo Rezaprasga, Meivita Sarah Devianti, Annisaa Yuneva, Arief Dimas Dwiputro, Karin Nadia Utami, Eiko Bulan Matiur, Rosyid Mawardi, Selvi Nafisa Shahab, Andrew John, Aditya Indra, Nobian Andre, Vanya Utami Tedhy, Zharifah Fauziyyah, Dhiya Farah, Kartika Laksmi, Herlien Widjaja, Gabriella Juli Lonardy, Anyta Pinasthika, Robby Hertanto, Dinarda Ulf Nadobudskaya, Fatira Ratri Audita, Dinda Nisapratama. Pemimpin Redaksi: Patria Wardana Yuswar. Wakil Pemimpin Redaksi: Sukma Susilawati. Redaktur Senior: Amajida Fadia Ratnasari, Paulina Livia Tandijono Ade Irma Malyana Artha, Zatuilla Zahra Meutia, Herdanti Rahma Putri, Halida Umi Balkis, Nadim Marchian Tedyanto, Tiara Kemala Sari. Redaktur Desk Headline: Ferry Liwang. Redaktur Desk Klinik: Edwin Wijaya. Redaktur Desk Ilmiah Populer: Andy William. Redaktur Desk Opini & Humaniora: Elva Kumalasari. Redaktur Desk Liputan: Nadia Zahratus Sholihat. Reporter Senior: Arief Kurniawan, Jusica Putri, Nabila Aljufri, Alima Mawar Tasnima, Berli Kusuma, Juniarto Jaya Pangestu. Reporter Senior: Fidinny Hamid, Rusfanisa, Yasmina Zahra Syadza. Reporter: Hiradipta Ardining, Irma Annisa Priyadi, JIhaan Hafirain, Jimmy Oi Santoso, Raditya Dewangga, Rifka Fadhilah, Shierly Novitawati, Tommy Toar Huberto. Pemimpin Direksi: Hardya Gustada. Finansial: Wilton Wylie Iskandar, Diadra Annisa Setio Utami, Damar Upahita, Indra Wicaksono, Fatimah Sania, Fahmi Kurniawan, Nurul Istianah, Faya Nuralda Sitompul, Jevi Septyani Latief, Heriyanti Khiputra, Tania Graciana. Sirkulasi dan Promosi: Catharina Nenobais, Anita Tiffany, Teguh Hopkop, Febrine Rahmalia, Ryan Reinardi Wijaya, Dyah Ayu, Novtasari Suryaning Jati, Rahma Maulidina Sari, Aisyha Aminy Maulidina. Buku: Indah Lestari, Fildzah Hilyati, Elvina J. Yunasan, Apri Haryono Hafid, Fadhli Waznan, Tiroy Junita. Alamat : Media Aesculapius BEM IKM FKUI. Gedung C lantai 4, Rumpun Ilmu Kesehatan, Kampus UI Depok. E-mail: redaksima@yahoo.co.id, Rek. 6691592 BNI Capem UI Depok website: beranisehat.com Alamat Redaksi/Sirkulasi : Media Aesculapius PO BOX 4201, Jakarta 10042, Harga Langganan: Rp 18.000,00 per enam edisi gratis satu edisi (untuk seluruh wilayah Indonesia, ditambah biaya kirim Rp. 5.000,00 untuk luar Jawa), foto kopi bukti pembayaran wesel pos atau foto kopi bukti transfer via BNI dapat dikirim ke alamat sirkulasi. MA menerima kiriman naskah dari pembaca untuk rubrik MA Klinik (khusus untuk dokter dan staf pengajar), Asuhan Keperawatan (khusus untuk perawat dan mahasiswa keperawatan) Sepuki, Suma, Suduk, Kolum, Arbeb, Kesmas, Seremonia, dan Konsultasi (berupa pertanyaan). Kirimkan email permohonan penulisan ke redaksima@yahoo.co.id dan kami akan mengirimkan spesifikasi rubrik yang Anda minati.

Kirimkan kritik dan saran Anda:

redaksima@yahoo.co.id

Website Media Aesculapius

beranisehat.com

Dapatkan info terbaru kami: @SKMAesculapius


KLINIK

MEDIA AESCULAPIUS

MA INFO

D

JULI

MEI-JUNI 2015

3

Atasi Demam Rematik, Cegah Komplikasi Jantungnya Demam rematik bukan sekadar demam. Komplikasinya bisa mengintai jantung Anda.

emam seringkali menjadi patokan diagnosis suatu penyakit. Walaupun umumnya tidaklah berbahaya, ada salah satu demam yang cukup meresahkan, yaitu demam rematik. Berakibat fatal, komplikasinya bisa menyebar ke organ-organ tubuh, seperti jantung, otak, sendi, dan kulit. Demam rematik sendiri merupakan penyakit yang disebabkan oleh reaksi imun terhadap infeksi bakteri Streptococcus betahemolyticus group A. Bakteri ini memicu respons inflamasi akut yang berujung pada proses autoimun. Salah satu komplikasi fatal akibat infeksi bakteri ini adalah penyakit jantung rematik (PJR). Di saat manifestasi lain dari demam rematik telah hilang, PJR bisa terjadi secara persisten. Sekitar 60% pasien dengan demam rematik akan berlanjut menjadi PJR dengan kerusakan katup jantung sebagai ciri utamanya, terutama katup mitral. Kerusakan ini terjadi akibat reaktivitas silang antara epitop bakteri dan sel normal manusia melalui mekanisme mimikri. Rentang umur terbanyak yang terserang demam rematik adalah 5-14 tahun, sedangkan PJR sendiri memiliki puncak prevalensinya di umur 25-40 tahun. PJR lebih banyak terjadi pada perempuan, bahkan hingga mencapai dua kali lipat kejadian dibandingkan laki-laki. Meski demikian, studi yang sudah ada tidak menemukan

hubungan yang adekuat antara jenis kelamin dan demam rematik. Ketika seseorang terinfeksi bakteri Streptococcus beta-hemolyticus group A, tidak semerta-merta muncul tanda klinis dari demam rematik. Butuh masa laten satu sampai lima minggu hingga manifestasi klinis dapat terlihat. Tanda klinis tersebut terangkum dalam kriteria mayor Jones, yaitu karditis (50-60%), poliartritis (6075%), Sydenham’s chorea (2-30%), eritema marginatum, dan nodul subkutan (< 5%). Kriteria Jones juga mencakup kriteria minor dari demam rematik, yaitu pemanjangan interval PR pada EKG, poliartralgia, demam > 38,5 °C, dan LED ≥ 60 mm pada jam pertama atau CRP ≥ 3,0 mg/ dL. Penggunaan antiinflamasi dapat membuat rancu diagnosis karena robby/MA mampu menghilangkan gejala poliartritis migrans. Oleh karena itu, pada populasi dengan insiden sedang hingga tinggi gejala poliartralgia atau monoartritis dapat dimasukkan dalam kriteria mayor. Klinisi menentukan diagnosis pasti demam rematik pada pasien jika menemukan

dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor ditambah dua kriteria minor yang disertai bukti infeksi Streptococcus beta-hemolyticus group A. Diagnosis demam rematik rekurens dapat dipikirkan bila ada dua kriteria mayor, atau satu kriteria mayor ditambah dua minor, atau tiga kriteria minor. Bukti infeksi Streptococcus betahemolyticus grup A bisa didapatkan dari uji plasma ASO dan titer antiDNase. Serum titer ASO biasanya akan mengalami kenaikan dalam 1–2 minggu dan mencapai puncaknya di minggu 6–8 . Anti-DNase sendiri bisa dideteksi 3 bulan setelah infeksi pertama. Tata laksana demam rematik yang utama adalah dosis tunggal benzathine penicillin G (BPG) 900 mg untuk pasien dengan berat badan ≥ 20 kg. Jika pasien memiliki berat badan kurang dari 20 kg,

BPG diberikan dengan dosis 450 mg. Dalam satuan unit, BPG diberikan dengan dosis 1,2 juta IU. Pemberian BPG ini dilakukan dengan injeksi intramuskular. Selain itu, pasien dapat juga mengonsumsi penisilin V oral 250 mg selama 10 hari. Pasien dengan alergi terhadap penisilin dapat diberikan eritromisin 20 mg/ kgBB selama 10 hari. Untuk mengatasi artritis dan demam yang menyerang pasien, parasetamol 60 mg/ kgBB/hari diberikan sebagai lini pertama. Apabila tidak berhasil, pemberian kodein 0.5–1 mg/kgBB dapat dipertimbangkan hingga diagnosis benar-benar ditegakkan sebagai demam rematik. Sydenham’s chorea tidak memerlukan terapi khusus, namun jika manifestasi tersebut sudah sedemikian parah, karbamazepin 7–20 mg/kgBB/hari atau asam valproat 15– 20 mg/kgBB/hari. Karditis pada demam rematik ditatalaksana dengan diuretik pada kondisi derajat ringan sampai sedang, ACE-inhibitor pada kondisi berat, atau digoksin bila pasien mengalami fibrilasi atrium. Penyakit jantung rematik merupakan komplikasi demam rematik yang paling sering ditemui dan membahayakan jiwa. Oleh karena itu, dokter wajib mengenali gejala demam rematik dan memberikan tatalaksana yang tepat. Dengan demikian, penyakit jantung rematik dapat dicegah. irmaannisa

ASUHAN KEPERAWATAN

Jangan Biarkan Gagal Jantung Batasi Aktivitas Gagal jantung kerap kali membatasi aktivitas penderitanya. Namun tak perlu khawatir, dengan latihan teratur pasien dapat kembali beraktivitas.

A

danya sesak napas atau dyspnea pada jantung diminta melakukan latihan fisik pasien gagal jantung menjadi salah dengan program 60.000 jam yang terstruktur satu penghalang untuk beraktivitas. di rumah sakit. Hasilnya, kualitas hidup Tak jarang pasien terpaksa harus beristirahat pasien tersebut membaik. total. Akibatnya, pasien dapat mengalami Latihan fisik bagi masalah psikologis, seperti depresi, pasien gagal jantung yang cemas, dan penurunan fungsi terstruktur dilakukan dalam sosial, karena merasa kualitas tiga fase, yaitu fase rawat, hidupnya buruk. pascarawat, dan rehabilitasi. Menurut American Heart Frekuensi latihan fisik ini Association (AHA), pasien dilakukan tiga sampai dengan gagal jantung lima kali per minggu. disarankan untuk Latihan ini dilakukan melakukan latihan selama sepuluh menit pada fisik ringan. Latihan ini pemula, dinaikkan 20–30 dapat meminimalisasi menit secara bertahap. gejala, meningkatkan Batas level kelelahan toleransi aktivitas, serta yang diperbolehkan menambah kualitas hidup adalah 12–14 poin, diukur dan kepuasan pasien. menggunakan Borg scale. Kemungkinan untuk Pada fase rawat, indikasi dapat kembali beraktivitas pasien yang diperbolehkan normal juga menjadi salah untuk latihan fisik yaitu pasien satu keuntungan adanya yang tidak sedang ada gejala latihan fisik bagi pasien nyeri dada, sesak napas, gagal jantung. ataupun aritmia, denyut Salah satu penelitian jantung istirahat kurang dari yang menjadi dasar 100x/menit, tekanan sistolik diperbolehkannya latihan berkisar 100–160 mmHg, dan fisik bagi pasien gagal tekanan diastolik berkisar jantung ialah penelitian 60–100 mmHg. Latihan Smart dan Marwick pada dapat diawali dengan tahun 2004. Pada penelitian latihan pasif di tempat tidur, lalu gabriella/MA tersebut, pasien gagal dilanjutkan latihan aktif di tempat

PENAWARAN JASA Nur’Ainun Mahasiswa Tingkat II Fakultas Ilmu Keperawatan UI tidur juga. Kemudian, dilanjutkan dengan latihan menghitung denyut nadi sendiri dan latihan di samping tempat tidur. Jika kemampuan pasien meningkat, pasien dapat latihan berjalan di ruang rawat. Setelah latihan selama dua minggu dan tidak ada masalah, pasien sudah dapat menjalankan uji latih jantung untuk persiapan pulang. Pada fase pascarawat, latihan yang dapat dilakukan ialah senam relaksasi, berjalan kaki, dan latihan dengan dumbbell serta treadmill. Latihan dengan dumbbell dan treadmill dilakukan apabila kondisi pasien sudah semakin membaik. Latihan ini dapat dilakukan di rumah atau secara Home-Based Exercise Training (HBET). Keberhasilan HBET bergantung pada motivasi pasien, sehingga dukungan keluarga sangat membantu pada tahap ini. Terakhir, pada fase rehabilitasi, pasien disarankan untuk bergabung dengan klub jantung sehat. Berada di dalam kelompok dengan masalah yang sama dapat memotivasi pasien untuk tetap menjaga pola hidupnya. Pasien juga dapat berbagi tentang penyakitnya dengan pasien lain sehingga dapat meringankan beban psikologisnya. Efektivitas latihan fisik bagi pasien gagal jantung sangat penting. Oleh karena itu, latihan fisik telah menjadi bagian integral dari program penatalaksanaan pasien gagal jantung. Dengan demikian, diharapkan pasien gagal jantung dapat beraktivitas secara normal dan kualitas hidupnya membaik.

Media Aesculapius selalu setia membantu Anda dalam hal jurnalistik dan sastra. Kami menyediakan jasa: 1.

2.

Terjemahan Kami menyediakan jasa terjemahan Indonesia-Inggris/ Inggris-Indonesia untuk jurnal dan textbook. Harga disesuaikan dengan materi dan waktu pengerjaan. Info lebih lanjut, hubungi: Faya Nuralda (087821989049)

Media partner Ingin acara Anda terpublikasi secara luas? Kami menyediakan jasa media partner untuk acara Anda. Info lebih lanjut, hubungi: Rahma Maulidina (081567850057)

3.

Ingin punya KSK IVmu sendiri? Dapatkan KSK IV di toko buku kesayangan Anda! Harga KSK IV (2 jilid): Rp 240.000,00* *harga tergantung masing-masing toko buku

Info lebih lanjut, hubungi: Indah Lestari (081807485400)


42

Ilmiah Populer

MEI-JUNI 2015

ARTIKEL BEBAS

MEDIA AESCULAPIUS

Fakta dan Mitos Suplemen Vitamin E Di antara promosi-promosi produsen suplemen vitamin E, mampukah konsumen menyaring mana yang benar atau salah? ada saja produsen suplemen vitamin E yang menyarankan konsumsi per harinya lebih dari 400 IU. Bahkan konsumen turut menganggap semakin banyak konsumsi vitamin E per hari, maka efeknya akan semakin bagus. Pandangan ini harus diubah karena memperparah penyakit yang sudah ada atau justru menimbulkan penyakit baru. Selain berakibat buruk untuk kesehatan, hal ini tentunya juga merugikan konsumen secara finansial. Efek Vitamin E Beberapa produsen suplemen vitamin E mengiklankan produk mereka dapat mencegah penyakit jantung. Sebenarnya iklan tersebut tidak salah,

fatira/MA

I

klan berbagai jenis suplemen vitamin E di media massa bukanlah pemandangan asing. Berbagai promosi menjanjikan mulai dari awet muda hingga mencegah penyakit jantung. Akan tetapi, dengan berbagai macam pilihan dan janji, pernahkah kita berpikir mengenai keamanan dan efektivitas suplemen vitamin E tersebut? Vitamin E adalah salah satu jenis vitamin larut air yang hanya bisa didapatkan dari sumber nabati. Isomer vitamin E dalam makanan paling banyak ditemukan dalam bentuk γ-tokoferol, namun bentuk yang paling aktif adalah α-tokoferol. Suplemen vitamin E di pasaran sekarang mengandung sekitar 100–1000 IU . Ada suplemen yang berisi α-tokoferol alami dan ada yang sintetis. Suplemen dengan α-tokoferol alami biasanya ditulis d-α-tokoferol pada labelnya, sementara yang sintetis ditulis dlα-tokoferol. Bioavailibilitas dl-α-tokoferol lebih rendah daripada α-tokoferol. Selain itu, dl-α-tokoferol mengandung isomer vitamin E yang tidak dapat digunakan oleh tubuh dan akan diekskresikan. Oleh karena itu, suplemen vitamin E sintetis kurang efektif dibandingkan dl-α-tokoferol. Perlu diketahui bahwa kebutuhan vitamin E minimal pada orang usia di atas 14 tahun adalah 15 mg, setara dengan 22 IU vitamin E alami atau 33 IU vitamin E sintetis per hari. Batas atas yang masih dapat ditoleransi adalah sekitar 1000 IU, tetapi 400 IU vitamin E sudah bisa dianggap sebagai suplemen berdosis tinggi. Dengan membandingkan dosis yang dianjurkan dengan dosis suplemen yang dikonsumsi, seharusnya sudah dapat dijadikan referensi rekomendasi dosis konsumsi suplemen vitamin E per hari. Nyatanya,

namun besar dosis suplemen harus dapat dipertanggungjawabkan. Studi oleh Stampfer et al dan Rimm et al menunjukkan bahwa risiko penyakit jantung paling rendah ditunjukkan oleh orang yang mengonsumsi 100 IU vitamin E per hari. Di sisi lain, hasil studi yang dilakukan oleh kelompok penelitian kardiologi ternama di Italia dan Amerika menunjukkan bahwa pemberian suplemen vitamin E dosis tinggi pada penderita gagal jantung justru meningkatkan mortalitas dibandingkan dengan kelompok yang diberi plasebo. Studi lain oleh The Physicians’ Health Study II menunjukkan hasil yang sama pada subjek orang sehat. Hal tersebut membuktikan bahwa konsumsi suplemen vitamin E harus dalam dosis yang tepat untuk mencapai efek medis yang diinginkan. Salah satu penyebab kanker adalah mutasi DNA akibat oksidasi oleh radikal bebas. Vitamin E merupakan antioksidan kuat sehingga banyak diteliti sebagai antikanker. Efek antikanker ini tentu sangat menggiurkan konsumen. Akan tetapi, beberapa penelitian belum dapat menemukan hubungan yang signifikan antara konsumsi vitamin E dengan insidensi kanker. Bahkan, penelitian oleh Slatore et al menunjukkan peningkatan risiko kanker paru pada perokok. Penelitian berjudul SELECT yang mencari hubungan antara konsumsi vitamin E dan selenium dengan kanker prostat juga tidak menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan. Meskipun demikian, penelitian lain di Finlandia menunjukkan pengaruh

konsumsi vitamin E yang positif terhadap kanker prostat. Perbedaan hasil penelitian ini menunjukkan diperlukannya penelitian yang lebih lanjut sebelum pengaruh vitamin E terhadap kanker dapat disimpulkan. Pengaruh yang paling banyak dirasakan pada konsumsi suplemen vitamin E adalah kesehatan kulit. Ternyata sifat vitamin E sebagai antioksidan banyak manfaatnya untuk masalah kulit. Ketika diadministrasikan secara oral maupun topikal, vitamin E tidak banyak berperan sebagai fotoprotektor karena hanya dapat menyerap UVB. Kerja vitamin E sebagai fotoprotektor akan lebih efektif jika dikombinasikan dengan vitamin C yang juga merupakan antioksidan. Pemberian vitamin E secara topikal bersifat lebih fotoprotektif karena dapat mengurangi peroksidasi lipid, mengurangi kerusakan DNA, dan mengurangi perubahan kimiawi dan struktural kulit akibat sinar UV. Selain itu, vitamin E juga bersifat sebagai antiinflamasi karena menghambat sintesis mediator inflamasi, seperti prostaglandin, sitokin, dan siklooksigenase-2 serta NADPH yang dipicu oleh sinar UV. Untuk dosis suplemen vitamin E, konsumen tidak harus mengikuti saran produsen suplemen dan bisa menyesuaikan dosis suplemen per hari dengan makanan sehari-hari. Terdapat makanan yang kaya vitamin E, misalnya sayuran hijau, kacangkacangan, minyak dari tumbuhan. Memenuhi kebutuhan vitamin E dari makanan saja memang terkadang sulit, terutama bagi yang tidak bisa mengonsumsi contoh makanan di atas. Di sinilah peranan suplemen untuk memenuhi kebutuhan harian tubuh akan vitamin E. shierly

SEGAR

Teka-Teki Silang Mendatar: 1. Yang memengaruhi konduktivitas serabut saraf 2. Makanan utama yang diberikan pada bayi ketika baru lahir (singkatan) 5. Antibodi yang berikatan dengan inti sel (singkatan) 6. Neurotransmiter yang dikeluarkan vagus (singkatan) 8. Tes untuk memprediksi tingkat keparahan penyakit arteri perifer (singkatan) 10. Mata normal 11. Penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi (singkatan) 12. Jenis obat yang diberikan pada pasien dengan rheumatoid arthritis (singkatan) 14. Molekul oksigen yang reaktif (singkatan) 16. Metode untuk menilai kondisi kesehatan bayi yang baru lahir 17. Tulang servikal pertama radityadewangga Menurun: 1. Peningkatan atau penurunan fraksi lipid dalam plasma 3. Produksi hormon pertumbuhan yang berlebih yang terjadi ketika dewasa 4. Selaput yang membungkus paru-paru 6. Kekurangan sel darah merah 7. Kondisi ketika tubuh kehilangan panas dengan cepat 9. Proses pemasangan kateter 10. Infeksi pada endokardium

12. BAB dengan feses lebih encer dan frekuensi lebih sering 13. Nyeri (latin) 15. Proses pembentukan pembuluh darah dari pembuluh darah yang sudah ada 16. Hiperresponsif, obstruksi, dan aliran udara terbatas akibat bronkokonstriksi 18. Sistem yang mengatur tekanan darah dan keseimbangan cairan (singkatan)


MEDIA AESCULAPIUS

IPTEK

Ilmiah Populer

Infeksi Cacing Penyembuh Sindrom Metabolik

S

Mortalitas akibat sindrom metabolik terus meningkat. Berbagai macam upaya telah dikembangkan untuk mengatasi penyakit ini. Mampukah infeksi cacing menyelesaikan masalah ini?

indrom metabolik merupakan kumpulan gangguan metabolik yang meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus. Keabnormalan metabolik yang dapat ditemui adalah hipertensi, dislipidemia, obesitas, dan hiperglikemia. Sindrom ini pertama kali didefinisikan oleh WHO pada tahun 1999. Sejak saat itu, muncul berbagai kriteria diagnosis yang berbeda-beda. Kriteria yang sering dipakai adalah kriteria dari WHO 1999, European Group for the Study of Insulin Resistance (EGIR) 1999, dan National Cholesterol Education Program/Adult Treatment Panel III (NCEP/ATP III) 2001. Diperkirakan sekitar seperempat populasi dunia terserang sindrom metabolik Jumlah ini diperkirakan terus bertambah seiring meningkatnya angka kejadian hipertensi, dislipidemia, obesitas, dan diabetes melitus. Peningkatan prevalensi ini disebabkan oleh dinda/MA penurunan aktivitas fisik dan peningkatan konsumsi makanan berkalori tinggi. Penderita sindrom metabolik memiliki risiko terkena diabetes melitus lima kali lebih tinggi dan penyakit kardiovaskular tiga kali lebih tinggi dibandingkan orang sehat. Tingginya mortalitas dan morbiditas akibat sindrom metabolik membuat banyak peneliti berusaha mencari cara untuk mengatasi sindrom ini.

Sindrom metabolik berhubungan dengan inflamasi Telah diketahui bahwa sindrom metabolik berhubungan dengan adanya respon imun. Penelitian yang dilakukan oleh Van Guilder et al menunjukan bahwa terjadi peningkatan marker inflamasi yang signifikan pada subjek yang mengalami obesitas dengan sindrom metabolik. Inflamasi pada sindrom metabolik diakibatkan oleh peningkatan jumlah jaringan adiposa yang menghasilkan sitokin proinflamasi seperti TNF-Îą, CRP, IL-1, IL-6, dan IL-8. Sitokin proinflamasi dapat menyebabkan resistensi insulin dan peningkatan pembentukan glukosa oleh hati sehingga menimbulkan kondisi hiperglikemia. Kadar asam lemak bebas dalam darah juga meningkat akibat lipolisis yang diinduksi IL-6. Sitokin proinflamasi dapat meningkatkan produksi fibrinogen yang mempermudah terbentuknya plak pada dinding vaskular. Infeksi cacing dan sindrom metabolik Infeksi cacing memiliki hubungan terbalik dengan faktor risiko sindrom metabolik seperti indeks massa tubuh, lingkar pinggang, dan kadar lemak dalam tubuh. Suatu studi di India menunjukan bahwa infeksi filariasis berhubungan dengan rendahnya angka kejadian diabetes melitus. Pada daerah endemik

schistosomiasis di Cina, dilaporkan bahwa infeksi Schistosoma japonicum berhubungan dengan prevalensi sindrom metabolik yang rendah. Di Indonesia juga pernah dilakukan penelitian yang menunjukan bahwa infeksi cacing berhubungan dengan peningkatan sensitivitas insulin. Menurut penelitian yang dilakukan Wiria et al, hubungan antara sindrom metabolik dan infeksi cacing dapat dijelaskan melalui respon antiinflamasi. Cacing akan mengaktifkan Treg untuk memastikan kelangsungan hidupnya. Treg akan menghambat sel Th1 dan Th17 yang bersifat proinflamasi melalui aktivasi IL-10. Infeksi cacing juga merangsang sel Th2 sehingga mengaktivasi makrofag melalui jalur alternatif. Jalur ini juga akan menghasilkan IL-10 yang menghambat proses inflamasi. Selain memengaruhi sistem imun selular, infeksi cacing juga berperan dalam imunitas humoral. Pada infeksi cacing kronik, didapatkan peningkatan kadar IgE yang berafinitas rendah. IgE berafinitas tinggi dengan mudah menempel pada reseptor FcÎľ sehingga menimbulkan degranulasi sel mast dan instabilitas plak. Sementara IgE berafinitas rendah berhubungan dengan kadar lemak dan gula darah yang rendah. Proses antiinflamasi yang dicetuskan infeksi cacing dapat menghambat perkembangan sindrom metabolik. Meskipun demikian, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan bahwa infeksi cacing dapat digunakan untuk menyembuhkan sindrom metabolik, mengingat sindrom ini merupakan penyakit multifaktorial. jimmy

ADVERTORIAL

Prostesis Bionik Aktif, Kaki Imitasi Mutakhir

A

Kini, orang yang mengalami amputasi tak perlu takut untuk kehilangan fungsi bagian tubuhnya yang hilang. Prostesis bionik aktif telah hadir untuk menjawab kebutuhan tersebut.

mputasi kerap menjadi momok menakutkan di kalangan banyak orang. Seiring dengan pergeseran tren penyakit ke arah masalah metabolik, diabetic foot karena diabetes melitus yang tidak teratasi menjadikan angka amputasi sendiri semakin melonjak. Belum lagi jika dijumlahkan dengan kejadian amputasi akibat sebab lainnya, misalnya trauma fisik kecelakaan bermotor, peperangan, dan lain-lain. Alhasil, pasien pascaamputasi cenderung tidak lagi produktif dan depresi. Dalam arti lain, kualitas hidup berkurang. Kemajuan zaman telah mendobrak keterbatasan ini. Kini, prostesis telah dihadirkan melalui teknologi tercanggih untuk mensubstitusikan bagian tubuh yang hilang. Prostesis merupakan alat yang menggantikan bagian tubuh manusia. Alat ini dirancang berbentuk dan berfungsi menyerupai bagian tubuh tersebut. Selain dibuat hampir menyerupai fungsi bagian tubuh tersebut, ada pula beberapa jenis yang bahkan dapat melampaui fungsi normal tubuh. Walaupun tidak secanggih sekarang, sebenarnya berbagai jenis prostesis sudah ada sejak zaman dahulu, khususnya prostesis kaki. Salah satu contohnya adalah prostesis abad pertengahan untuk kaki dan tangan yang terbuat dari besi dan kayu. Namun, alat tersebut memiliki banyak sekali kekurangan dan terus-menerus mengalami pembaruan hingga sekarang. Alat yang paling baru ditemukan adalah prostesis yang sifatnya aktif, dikenal dengan sebutan prostetik bionik aktif. Prostesis bionik aktif untuk kaki terdiri

atas kaki palsu yang di dalamnya tertanam komputer dilengkapi dengan mikroprosesor dan chip komputer. Terdapat pula motor yang berfungsi menggantikan fungsi otot yang hilang. Tenaga prostesis bionik aktif ini diperoleh dari baterai. Ukuran prostesis pada tiap orang berbeda, disesuaikan pada bentuk bagian tubuh orang tersebut. Melalui serangkaian program dan sensor yang ada, prostesis bionik aktif dapat membantu seseorang untuk berjalan dengan presisi optimal. Selain itu, pengguna alat ini dapat melakukan penyesuaian terhadap perubahan kecepatan berjalan serta perubahan selvi/MA ketinggian dataran. Prostesis bionik aktif memungkinkan orang untuk melakukan cengkeraman atau gerakan aktif lain yang tidak mampu dilakukan oleh prostesis biasa. Dengan prostesis ini, aktivitas naik-turun tangga dan berjalan mundur dapat dilakukan layaknya orang normal. Selain itu, pengguna prostesis bionik aktif juga dapat mengangkat beban sampai sekitar dua kilogram. Fitur lainnya yang tidak kalah menarik adalah adanya bluetooth yang dapat menghubungkan kaki prostetik dengan smartphone sehingga dapat dengan mudah mengatur konsistensi langkah

yang lebih efisien jika diperlukan. Saat ini, sebagian besar orang masih memakai prostesis komersil yang sifatnya pasif dan elastis. Secara estetis memang sudah cukup, tetapi secara fungsional prostesis tidak memberikan keuntungan biomekanis. Prostesis pasif pada kaki memerlukan energi yang secara signifikan lebih tinggi daripada energi yang dibutuhkan oleh manusia normal ketika berjalan. Prostesis bionik aktif lebih unggul dalam efisiensi energi. Penelitian yang dilakukan oleh Herr dan Grabowski menemukan bahwa penggunaan prostesis bionik aktif kaki menurunkan energi yang dibutuhkan ketika berjalan sebanyak 8% jika dibandingkan pada prostesis pasif biasa. Prostesis bionik aktif juga lebih unggul 23% daripada prostesis pasif dalam kecepatan berjalan. Bahkan, dalam penelitian yang sama, kecepatannya hampir menyamai kecepatan orang normal, hanya berbeda pada konsumsi energinya saja. Namun, alat ini masih memiliki beberapa kekurangan. Secara estetis alat ini terlihat masih jauh dari bentuk tubuh manusia normal. Harga yang sangat mahal juga menjadi pertimbangan bagi pasien amputasi yang secara ekonomi kurang mampu. Oleh karena itu, perlu penemuan spektakuler lainnya di masa depan untuk menutupi kekurangan tersebut sehingga orang yang terkena amputasi bisa terlihat normal serta memiliki fungsi tubuh yang sama dengan orang normal. radityadewangga

JULI

MEI-JUNI 2015

5

EBM

Efikasi Subunit Vaksin Adjuvan untuk Atasi Herpes Zoster pada Usia Lanjut

H

erpes zoster diakibatkan oleh reaktivasi infeksi laten Varicella Zoster Virus (VZV) yang dorman di ganglia saraf kranial atau ganglia dorsalis. Reaktivasi tersebut terjadi beberapa tahun setelah infeksi primer sehingga sering ditemukan pada populasi di atas 50 tahun. Pada penderita dengan imunitas rendah, herpes zoster dapat menimbulkan komplikasi berat, seperti kebutaan dan paralisis saraf wajah. Vaksinasi merupakan cara utama untuk mencegah infeksi primer VZV. Vaksin yang saat ini digunakan adalah Zostavax, berupa vaksin live-attenuated yang mengandung strain Oka VZV. Vaksin ini menunjukkan efikasi sebesar 51,3%. Namun, efikasi tersebut berkurang seiring dengan bertambahnya umur, yaitu dari 69,8% pada umur 50-59 tahun menjadi 37,6% setelah menginjak umur 70 tahun. Selain itu, vaksin ini dikontraindikasikan untuk seseorang dengan imunosupresi. Demi mengatasi masalah tersebut, dilakukan penelitian terhadap subunit vaksin rekombinan yang berisi VZV glikoprotein E dan adjuvan AS01B atau disebut dengan HZ/zu. Uji klinis fase pertama dan kedua menunjukkan bahwa HZ/zu aman digunakan dan menimbulkan respons imun yang bertahan sampai tiga tahun pada orang lanjut usia. Sebuah studi lanjutan fase ketiga yang berjudul Zoster Efficacy Study in Adults 50 Years of Age or Older (ZOE-50) dilakukan untuk menilai efikasi, imunogenisitas, dan keamanan dari HZ/zu dalam mengurangi risiko penyakit herpes zoster pada orang berumur 50 tahun atau lebih. Studi ini dilaksanakan di 18 negara dan dilakukan terhadap 15.411 partisipan yang dikelompokkan berdasarkan wilayah dan umur. Dengan randomisasi, seluruh partisipan diberikan vaksin atau hanya plasebo dengan rasio 1:1. Vaksin HZ/ su terdiri atas 50 Îźg rekombinan VZV glikoprotein E dan adjuvan AS01B. Vaksin atau plasebo tersebut diberikan secara intramuskular dengan dosis 0,5 ml pada bulan ke-0 dan ke-2. Setelah satu bulan, partisipan dipantau selama minimal 30 bulan melalui kunjungan mingguan maupun bulanan. Setelah 3,2 tahun, didapatkan bahwa herpes zoster ditemukan pada 6 partisipan yang telah divaksin, sedangkan pada kelompok plasebo terdapat 210 partisipan yang terkena herpes zoster. Bila dibandingkan, laju insidensinya adalah 0,3:9,1 per 1000 partisipan setiap tahunnya. Efikasi vaksin HZ/su dalam menekan angka penyakit herpes zoster adalah 97,2% (95% CI, 93,7 hingga 99,0; P < 0,001). Di antara partisipan yang diberikan HZ/su, 81,5%nya mengalami reaksi pada lokasi injeksi dan 66,1%-nya juga terkena reaksi sistemik. Reaksi tersering adalah nyeri dan mialgia. Akan tetapi, reaksi tersebut hanya bersifat sementara dan intensitasnya ringan sampai sedang. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa vaksin HZ/su dapat mengurangi risiko herpes zoster secara signifikan pada orang berumur 50 tahun atau lebih. Efikasinya pun tetap terjaga pada partisipan yang berumur 70 tahun ke atas. irmaannisa


62

OPINI & HUMANIORA

MEI-JUNI 2015

MEDIA AESCULAPIUS

SUKA DUKA

Melayani Negeri Sepenuh Hati Dari nasionalis hingga filosofis, sesosok dokter ini terus menanamkan nilai-nilai positif dan berjuang menyukseskan pendidikan kedokteran.

herlien / MA

L

ulusan terbaik S1 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) tahun 1975 ini adalah epitom dari sosok dokter berjiwa nasionalis. Tidak seperti kebanyakan teman sejawatnya, Budhi menempuh jalur wajib militer dan bergabung dengan TNI AU selama dua tahun terlebih dahulu sebelum mengambil pendidikan spesialis. Usut punya usut, ternyata nasionalisme Budhi tumbuh sejak muda. Siapa sangka, dokter yang kini bergelar profesor ini, dahulu adalah mantan anggota Paskibraka Nasional, mewakili kota kelahirannya, DI Yogyakarta. “Saya sudah bisa bercerita sama anak cucu saya, bahwa saya sudah melaksanakan UUD 45, gitu loh, dalam artian, dalam usaha pembelaan negara,” ujarnya bangga. Sosok yang pernah meraih prestasi Anugerah Satyalancana Wira Karya (TDK RI) ini mulai mendalami bidang spesialis tahun 1982. Sebenarnya, Budhi juga tertarik mendalami bidang neurologi, namun ia memutuskan untuk mengambil spesialisasi jantung dan pembuluh darah. Keputusannya ini terinspirasi oleh Profesor

Ginting, dokter spesialis jantung terkenal di kala itu. Terlebih lagi, saat itu spesialisasi jantung masih terhitung baru dan jumlah dokternya terhitung sedikit. Budhi pun memantapkan pilihannya dengan menempuh pendidikan spesialis jantung di universitas almamaternya. Tak tanggung-tanggung, setelah itu Budhi meneruskan menimba ilmu hingga ke Texas, Amerika, untuk mempelajari kardiologi pascabedah jantung. Anggota Tim Dokter Kepresidenan RI tahun 2005-2009 ini pernah mendapatkan berbagai beasiswa, salah satunya dari Asian Australian Association. Beasiswa-beasiswa yang diperolehnya membantu mengurangi beban biaya dan membuatnya dapat hidup mandiri. Selain itu, Budhi membuktikan kemandiriannya dengan memberikan les kepada remaja sekolah menengah, hingga putra Menteri Dalam Negeri semasa itu. Berkat usaha tersebut, Budhi dapat menghidupi diri sendiri hingga akhir masa pendidikan spesialisnya. Memiliki jiwa berbagi yang besar, guru besar FKUI sejak tahun 2003 ini memang memutuskan untuk mengabdikan dirinya

bagi pendidikan calon dokter masa depan. Hampir separuh hidupnya ia dedikasikan pada dunia pendidikan kedokteran, yakni selama 37 tahun. “Menurut saya, menjadi dosen itu lebih ringan, lebih banyak sukanya daripada militer karena menjadi tentara itu, harus sudah merasakan paling duka, kalau dalam situasi yang paling buruk kan harus siap mati itu,” ceritanya mengenang perjalanan hidupnya. Di samping menjalani profesinya sebagai dokter dan dosen, Budhi juga hobi menyalurkan ide-idenya dalam bentuk tulisan. Sudah beberapa buku diterbitkannya. Salah satu bukunya yang terkenal adalah Candra Jiwa Indonesia. Buku ini terdiri dari delapan volume dan mengulas tentang beragam genre, mulai dari ilmu kardiologi, perjalanan spiritual, hingga kardiologi kuantum. Sosok dokter ramah ini juga pernah menjadi Konsultan Nasional Temporer WHO dalam bahasan Penanggulangan Penyakit Kardiovaskular Terpadu. “Penyakit jantung ini sebetulnya yang paling sulit adalah mengubah perilaku masyarakat” ujarnya. Menurutnya, masyarakat sekarang ini sudah mengabaikan perilaku yang sehat. Salah satu masalah yang dihadapi Indonesia adalah peningkatan prevalensi obesitas. “Jika dulu cara mengukur obesitas adalah dengan mengukur lingkar pinggang, sekarang yang diukur adalah lingkar perut sebab pinggangnya sudah tidak ada karena terlewat gemuk,” candanya. “Ukurlah WC (waist circumference/lingkar pinggang) mu sendiri sebelum mengukur WC orang lain. Barangkali masyarakat sudah banyak kehilangan pinggangnya karena sudah sindrom metabolik,” ujarnya. Terkait hubungan dokter-pasien, Budhi berpesan agar setiap dokter

RESENSI

Coma: Dunia Proyeksi Perdagangan Organ Ketika prosedur operasi sederhana berbuah koma.

internet

Judul Penulis Genre Jumlah hal Penerbit Tahun terbit

S

: Coma : Robin Cook : thriller : 306 halaman : Signet Book : 1977

usan Wheeler tidak pernah mengira bahwa dirinya akan terperangkap dalam jaringan kejahatan jualbeli organ manusia. Berawal dari rotasi

pertamanya sebagai koasisten di stase bedah, Wheeler menyaksikan Nancy Greenly jatuh koma setelah menjalani prosedur dilatasi dan kuret. Kasus serupa berulang pada Sean Berman, pasien pungsi arteri pertama Wheeler yang akan menjalani operasi lutut. Wheeler dan Berman yang menjadi akrab kemudian berjanji untuk bertemu setelah operasi. Sayang, Berman tidak memenuhi janji tersebut lantaran ia jatuh koma dan dipindahkan ke Institut Jefferson. Satu per satu intrik cerita mulai terungkap. Kepala departemen bedah yang selama ini membantu Wheeler ternyata memiliki niat jahat. Bahkan, Mark Belows, dokter bedah yang mulanya tampak menjalin hubungan asmara dengan Wheeler, di akhir cerita memutuskan untuk menentang Wheeler. Wheeler bahkan diburu oleh pembunuh bayaran agar ia membungkam mulut. Terlepas dari rintangan yang menghadang, Wheeler tidak henti berusaha mengungkap misteri di balik pasien koma, meskipun Institut Jefferson yang diduga menjadi tempat pengambilan organ-organ pasien koma untuk dijual di pasar gelap juga menjadi lawannya. Penulis Coma, Robin Cook, adalah seorang oftalmologis sekaligus dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Harvard. Novel Coma ini dilatarbelakangi oleh

keresahan Cook terhadap iklan pada tahun 1968 yang menawarkan penjualan organ manusia. Coma menggambarkan kemungkinan peristiwa yang dapat terjadi sebagai refleksi dari iklan tersebut. Buku ini sangat direkomendasikan untuk pembaca dengan pengetahuan kedokteran, terutama bidang anestesi dan bedah. Pembaca tidak melulu langsung disuguhkan jawaban dari misteri yang ada, tetapi pembaca juga diajak untuk ikut berpikir mengenai “patofisiologi” kejadian hingga berujung pada jawaban. Cara penulis yang menyampaikan cerita dari sudut pandang orang ketiga juga membuat Coma menjadi lebih menarik karena pembaca dapat menyelami pikiran setiap tokoh dalam cerita. Alur cerita juga mengalir dengan jelas karena keterangan waktu dicantumkan pada setiap pergantian tempat. Tidak seperti novel-novel lainnya yang bergenre serupa, Cook hanya sedikit menyelipkan percintaan antartokoh sehingga suasana dan alur cerita tetap terjaga. Namun disayangkan, cerita justru berakhir saat pembaca tengah seru membaca di klimaks cerita. Walaupun tergolong novel lama, Coma tetap merupakan pilihan bacaan yang dapat memenuhi kehausan pembaca, baik akan pengetahuan kedokteran maupun alur cerita yang mendebarkan. shierly

mengutamakan rasa empati. Setiap dokter wajib meningkatkan kesadaran, kepercayaan, dan ketaatan pasien menurut keyakinan pasien itu sendiri. Tujuannya adalah agar tercapai harmoni di dalam jiwa pasien. ”Kita sebagai dokter hanya seranting lebih tinggi dan selangkah lebih depan terhadap pasien, seperti kakak terhadap adiknya, bukan seperti pemimpin,” ujar Budhi yang memang terkenal filosofis. Sudah selayaknya, sebagai kakak yang lebih berpengalaman daripada adiknya, dokter harus dapat membimbing dan mengarahkan pasien agar menumbuhkan health belief pasien itu sendiri. puspalydia Nama Lengkap Prof.DR.Dr. Budhi Setianto Purwowiyoto, SpJP(K), FIHA Pendidikan • 2000: S3 Kedokteran, Fakultas Pascasarjana UI • 1982: Spesialis Jantung, Fakultas Kedokteran UI • 1976: Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran UI Pekerjaan / Jabatan • 2005 – 2009: Anggota Tim Dokter Kepresidenan RI • 2003 - kini: Guru Besar FKUI • 1998: National Consultant WHO (temporary) utk Depkes RI pada Penanggulangan Penyakit Kardiovaskular Terpadu. Penghargaan • 2009: Anugerah Satyalancana Wira Karya (TDK RI) dari Presiden RI, Satyalancana PNS tertinggi. • 1968: Paskibraka Nasional di Istana Negara, Jakarta (Wakil Pemuda/ Pelajar D.I.Yogyakarta, SMAN IV).


MEDIA AESCULAPIUS

Liputan

JULI

MEI-JUNI 2015

7

SEPUTAR KITA

Paradigma Baru Menghadapi Nodul Tiroid “Selaraskan persepsi dokter dan pasien dalam menghadapi kasus nodul tiroid.”

K

alimat tersebut membuka simposium berjudul “The Story of Thyroid Nodule” yang dibawakan oleh dr. Dante Saksono Harbuwono, SpPD-KEMD, PhD pada sesi kedua simposium International Biomedical Students’ Congress (INAMSC) ke-3 pada Rabu, 29 April 2015 lalu di Auditorium Gedung Rumpun Ilmu Kesehatan Universitas Indonesia, Depok. INAMSC ke-3 yang mengangkat tema “Errors of Metabolism and Hormonal Disorders” ini merupakan bagian dari rangkaian acara Liga Medika yang diselenggarakan setiap tahun oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Dalam simposium skala internasional itu, Dante menekankan kepada peserta bahwa perkembangan dan penatalaksanaan isu nodul tiroid penting untuk diketahui dokter umum. Hal ini lantaran nodul tiroid telah menjadi salah satu masalah klinis yang paling sering dikeluhkan oleh pasien. Terkait modalitas untuk mendeteksi nodul tiroid, pengecekan dengan pemeriksaan fisik atau palpasi tiroid memiliki sensitivitas 3-7%, sementara sensitivitas pemeriksaan baku emas dengan USG, berkisar antara 19-67%. “USG, bukan MRI atau CT-Scan, merupakan alat yang paling akurat untuk mendeteksi nodul tiroid,” tegas Dante. Terdapat perbedaan paradigma antara

pemeriksaan ‘gaya lama’ dengan pemeriksaan ‘gaya baru’. Apabila pemeriksaan ‘gaya lama’ lebih ditekankan untuk memastikan apakah tonjolan berupa nodul atau kista, jumlah nodul, dan seberapa besar nodul, pemeriksaan ‘gaya baru’ lebih diarahkan untuk mengetahui tendensi keganasan pada nodul tiroid bermodalkan USG. Dante pun menjelaskan beberapa indikator yang menunjukkan kemungkinan keganasan pada suatu nodul, seperti gejala penyerta yang ditemukan dalam pemeriksaan fisik. Meskipun mayoritas bersifat asimtomatik, tidak semua nodul asimtomatik merupakan bentuk keganasan. Pemeriksaan sederhana dengan palpasi dapat menunjukkan kecenderungan suatu

INFO SPESIALISTIK Spesialisasi Farmakologi Klinik FKUI-RSCM: Ahli Seluk-Beluk Pemilihan Obat Pemilihan suatu obat memerlukan banyak pertimbangan karena obat merupakan aspek vital dalam proses penyembuhan.

S

pesialisasi Farmakologi Klinik FKUIRSCM telah menjadi salah satu sasaran utama para dokter umum sejak tahun 2001. Seiring berjalannya waktu, program studi berakreditasi A ini terus-menerus mengembangkan diri demi mencetak dokter yang ahli menetapkan langkah pengobatan terbaik. “Setiap jadwal penerimaan residen, kami maksimal menerima enam orang,” ungkap Ketua Program Studi (KPS) Farmakologi kartika/MA Klinik, Prof. Dr. dr. Purwantyastuti, MSc, SpFK. Pendaftaran residen baru saat ini diintegrasikan melalui jalur SIMAK UI dengan dua kali jadwal penerimaan setiap tahunnya. Proses seleksi dimulai dengan pengumpulan berkas persyaratan calon residen, seperti transkrip IPK ≥ 2,50, TOEFL ≥ 450, STR/SIP, dan surat izin sekolah dari institusi setempat jika calon sedang dalam masa bekerja. Usia maksimal pendaftar adalah 35 tahun. Jika lebih dari usia tersebut, pendaftar masih diperbolehkan mengikuti proses seleksi, tetapi harus mengikuti program kelas ekstensi. Biaya untuk dua kelas ini pun berbeda, yaitu Rp 5 juta/ semester untuk kelas reguler dan Rp 10 juta/ semester untuk kelas ekstensi. Selain itu, calon residen juga harus menjalani serangkaian tes, mulai dari Tes Potensi Akademik (TPA) dan bahasa Inggris yang diadakan oleh pihak SIMAK UI hingga ujian pengetahuan farmakologi klinik dan wawancara yang dilakukan oleh

pengelola program studi (KPS atau SPS), ketua departemen, dan staf pengajar. Tidak hanya itu, pemahaman calon peserta didik mengenai jurnal farmakologi klinik juga akan diuji. Kepribadian menjadi poin penting dalam pertimbangan penerimaan calon peserta didik. “Farmakologi klinik sering berhubungan dengan industri obat-obatan. Jika calon peserta didik tidak memiliki attitude yang bagus, nantinya akan menjadi orang-orang yang bisa disuap. Ilmu harus diikuti dengan kejujuran. Jadi, menurut kami attitude dan kepribadian penting sekali,” tutur Purwanty. Apabila dinyatakan diterima, para residen farmakologi klinik akan menjalani masa pendidikan selama enam semester. Kuliah besar selama semester pertama. Kemudian, satu tahun pengayaan. Terakhir, rotasi ke tiap departemen selama empat semester. Prospek kerja yang ditawarkan program studi ini begitu luas. Posisi yang membutuhkan seorang SpFK, di antaranya konsultan obat, tim pembuat daftar obat di rumah sakit, Komite Farmasi dan Terapi (KFT) rumah sakit, penentu obat-obatan yang akan dibiayai asuransi, pembuat program-program nasional untuk pengobatan penyakit, dan tim evaluasi obat baru di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Selain itu, praktik mandiri tentu juga dapat menjadi salah satu pilihan bagi SpFK. irmaannisa

nodul bersifat ganas atau tidak. “Mayoritas nodul yang tidak terpalpasi bersifat ganas,” terang Dante. Untuk melengkapi data yang tidak tersedia pada pemeriksaan fisik, USG

menjadi modalitas pilihan utama. Melalui USG, pola ekogenisitas nodul dapat terlihat. Nodul dengan hipoekogenisitas yang nyata menunjukkan peningkatan tendensitas nodul untuk berkembang menjadi ganas jika dibandingkan dengan nodul dengan isoekogenisitas. Selain itu, dengan USG color Doppler, pola vaskularisasi yang melimpah juga dapat dapat digunakan sebagai indikator tendensi keganasan pada nodul tiroid. “Ukuran nodul tidak penting dalam menentukan apakah suatu nodul ganas atau tidak, banyak indikator lain yang perlu dipertimbangkan,” terang Dante. Di akhir sesi, Dante menjelaskan mengenai pilihan tatalaksana nodul tiroid. Tatalaksana dapat berupa operatif atau nonoperatif, misalnya obat-obatan supresif untuk Thyroid-Stimulating Hormone (TSH), Percutaneous Ethanol Injection (PEI) dan Laser Thermal Ablafarah/MA tion (LTA). “Untuk nodul padat, LTA sendiri merupakan metode yang optimal. Dengan LTA, nodul dapat hilang dalam waktu kurang dari 30 menit,” tutup Dante. rifka

Kemesraan Dokter...

sambungan dari halaman 1

Tidak semua kasus gratifikasi dapat dihitamputihkan seperti contoh di atas. Kenyataannya lebih banyak kasus yang berada dalam zona abu-abu. “Semuanya dikembalikan lagi ke hati nurani,” ujar Purwadi saat ditanyai mengenai cara membedakan pemberian yang tergolong gratifikasi atau bukan. “Intinya lapor pada KPK. Kalau kita menerima dan yakin bahwa pemberian tersebut bukan merupakan gratifikasi, pasti ada keberanian untuk melapor, tapi kalau yakin itu gratifikasi, kembalikan saja,” tambahnya. Pengaturan gratifikasi yang diberlakukan oleh pemerintah nampaknya bukanlah penyelesaian yang ideal terhadap kasus gratifikasi kedokteran di Indonesia. Menurut Menaldi, dikeluarkannya aturan gratifikasi pada dokter ini menandakan bahwa telah banyak dokter yang dicurigai terlibat kasus gratifikasi. Hal ini menandakan bahwa sebenarnya ada permasalahan yang mengakar pada sistem kedokteran di Indonesia. Keberadaan jumlah fakultas kedokteran di Indonesia yang telah melewati batas ideal dinilai berkaitan erat dengan masalah gratifikasi. “Banyaknya jumlah fakultas kedokteran berimbas pada meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan oleh mahasiswa kedokteran. Kalau seperti ini, banyak calon dokter yang berorientasi pada uang. Kalau seperti ini, kan berpotensi untuk menjadi seorang ‘gratifikasiwan’,” ujar Menaldi. Peraturan Kementerian Kesehatan mengenai gratifikasi tidaklah cukup untuk menangani masalah gratifikasi di Indonesia. “Tidak cukup dengan itu (Permenkes-red), perlu adanya gerakan moral,” ujar Purwadi. Inisiasi diberlakukannya gerakan ini pun telah dimulai sejak tahun 2010. “Budayakan antikorupsi, dengan itu kita yakin dapat melawan gratifikasi,” jelasnya. dipta, tommy, jihaan

Saya yang bertandatangan di bawah ini, Nama: Pekerjaan: Alamat Lengkap (untuk pengiriman):

FORMULIR BERLANGGANAN

Telepon/HP: Email: memohon untuk dikirimi Surat Kabar Media Aesculapius selama kurun waktu (beri tanda silang): 1. Enam edisi (GRATIS 1 edisi): Rp18.000,00 2. Dua belas edisi (GRATIS 2 edisi): Rp36.000,00 Biaya kirim ke luar pulau Jawa Rp5.000,00 per enam edisi. Cara pembayaran: 1. Wesel pos ke Redaksi MA FKUI 2. Transfer ke rekening Media Aesculapius di BNI Capem UI Depok No. 0006691592 Mohon untuk menyertakan bukti pembayaran baik bukti transfer maupun fotokopi wesel pos dengan formulir berlangganan ke MA.

( ) Nama Lengkap


82

MEI-JUNI 2015

Liputan

MEDIA AESCULAPIUS

SEREMONIA

INAMSC ke-3 (2015): Bersama Berantas Diabetes

dokumentasi panitia

K

etua panitia penyelenggara Indonesia International (bio) Medical Students’ Congress (INAMSC) ke-3, Shelly, berfoto bersama Prof. Dr. Dra. Taniawati Supali, Sp.ParK (kiri), Prof. dr. Maria Yazdanbakhsh (kedua dari kanan), dan Prof. Dr. dr. Sarwono Waspadji, Sp.PD-KEMD (kanan). Dalam acara simposium INAMSC ke-3 yang berlangsung di Ruang Auditorium Rumpun Ilmu Kesehatan Universitas Indonesia, Depok, Prof. dr. Maria Yazdanbakhsh dan Prof. Dr. dr. Sarwono Waspadji, Sp.PD-KEMD membagikan hasil penelitian mereka mengenai diabetes pada Rabu, 29 April 2015. jimmy

Simposium INAMSC ke-3: Mendalami Diabetes Melitus dan Penyakit Tiroid

dokumentasi panitia

R

abu (29/4/2015), dalam simposium bertajuk ‘Diabetes Mellitus and Thyroid Disease’ yang merupakan rangkaian dari Indonesia International (bio)medical Students Congress (INAMSC) ke-3, Prof Maria Yazdanbakhsh selaku pembicara dari Leiden University of Medical Center, Belanda, membawakan hasil penelitian terbarunya mengenai hubungan antara cacing dengan resistensi insulin. Prof. Dr. dr. Sarwono Waspadji, SpPD-KEMD, dr. Dante Saksono, SpPD-KEMD, dan Dr. dr. Aman Bhakti Pulungan, SpA(K) turut hadir sebagai pembicara dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. shierly

SENGGANG

Strike Prestasi dengan Joran dan Umpan Jangan bilang “mancing” hanya bermodal hoki.

A

walnya, dr. Ade Firmansyah Sugiharto, SpF sekadar iseng memancing bermodal alat pancing pinjaman sederhana di empang kosong sebelah kolam lele miliknya di daerah Ciganjur, Jakarta Selatan. “Saya coba ceburin ikan mas di situ. Wah, sampai sore cuma dapat satu ekor,” kenang Ade. Tanpa terasa, sejak saat itu kegiatan memancing menarik minat Ade. Beberapa kali Ade ikut kegiatan memancing bersama para karyawan Departemen Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal FKUI-RSCM hingga akhirnya terbentuk “Nguseup Forensic Fishing Team” pada Juni 2013 lalu. Tidak tanggung-tanggung, Ade pun ditunjuk sebagai ketua tim yang berlogo ikan air tawar dan air asin berwarna emas dengan posisi strike (istilah saat umpan disambar ikanred) tersebut. Menurut Ade, logo ini menggambarkan minat memancing yang tak hanya di air tawar, tetapi juga di air asin. Ide nama Nguseup diambil dari Bahasa Sunda yang artinya memancing. Bersama Nguseup, Ade telah menorehkan banyak prestasi pada sejumlah perlombaan persahabatan yang diselenggarakan komunitas memancing dari rumah sakit di daerah Jakarta dan sekitarnya. Sebut saja, ikan Marlin seberat 45 kg yang berhasil “diangkat” oleh Nguseup dalam perlombaan

di medan air asin. Tidak hanya menjadi peserta, Nguseup juga mengadakan perlombaan memancing. Liga Nguseup, pertama kali digelar pada tahun 2014 lalu, ditujukan sebagai ajang peningkatan keahlian para anggota. “Liga yang baik akan menghasilkan pemancing yang baik,” tukas Ade. Berangkat dari keyakinan tersebut, Liga Nguseup diselenggarakan dengan sistem liga terstandar yang tidak hanya menilai jumlah tangkapan ikan, melainkan juga strategi

yang digunakan. Ade berujar, “Dulu, banyak orang yang berpendapat kalau mancing itu hoki, tetapi dengan sistem liga, juaranya sudah pasti yang jago mancing”. Menurut Ade, berhasil atau tidaknya tangkapan tidak semerta-merta bergantung pada hoki. Banyak komponen yang harus dipertimbangkan, seperti peracikan umpan serta pemilihan benang, joran, reel, nomor kail, hingga jenis pelampung. “Sebagai contoh, umpan tidak bisa hanya satu, apalagi untuk ikan mas. Lalu, umpan yang sama

jika kita pakai di tempat yang berbeda, belum tentu juara,” terangnya. Ada satu pengalaman unik Ade ketika memancing di Sorong, Papua Barat. Kala itu, dia berhasil menangkap ikan alualu menggunakan spoon, sejenis umpan buatan. “Di sana banyak pemancing tradisional yang memakai udang sebagai umpan, tetapi sulit dapat ikan. Mereka sampai heran akan keberhasilan saya. Padahal, umpan yang saya pakai dari logam,” ungkapnya sembari tertawa. Terdapat makna dokumentasi pribadi penting di balik hobi memancing yang ditekuni Ade, yakni memancing bukan hanya rekreasi, tetapi juga sarana untuk mengakrabkan diri dengan karyawan FKUIRSCM. Ketika sudah sama-sama turun ke empang, baginya sudah tidak ada lagi batasan antara atasan dan bawahan. “Jika kita jadi dokter, tanpa kita minta pun karyawan sudah pasti hormat. Tetapi ketika karyawan itu bersedia membicarakan masalah dengan kita, itu lain ceritanya,” ujarnya. rifka


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.