Balkon 129

Page 1

Edisi 129, 10 Juni 2010

Utopia Representasi

www.balairungpress.com

KM UGM


ETALASE


Editorial

DITERBITKAN BPPM BALAIRUNG UGM

Penanggungjawab Achmad Choiruddin Koordinator Azhar Irfansyah Tim Kreatif Anggi, Danu, Fitri, Nabilah

B

Editor Afra, Ama, Ape, Ari, Inda, Aulia, Azhar, Dhina, Doni, Edwin, Gading, Nabil, Nella, Nurul Redaksi Abud, Ali, Anki, Ay, Aza, Deny, Diaz, Elizabeth, Gigi, Ham, Pepri, Prima, Vivin Riset Aip, Amanda, Charir Perusahaan Dian, Ratri, Malik, Lady, Sekar Produksi Afnan, Barlian, Daniel, Danu, Daud, Fahri, Gilang, Iwan, Kasogi, Rizal Foto Sampul Afnan ALAMAT REDAKSI, SIRKULASI, IKLAN DAN PROMOSI: Bulaksumur B-21 Yogyakarta 55281, Faximile: (0274) 566171 Website: www.balairungpress.com E-mail: balairung_ugm@yahoo.co.id Kontak: Rina (085643380263) Rekening BCA Yogyakarta 1260498645 a.n. Estu Suryowati

Redaksi menerima tanggapan, kesan, kritik, maupun saran pembaca sekalian yang berkaitan dengan lingkungan UGM melalui email atau sms ke 08123502937, 085648179742 atau juga dapat disampaikan langsung ke Redaksi Balairung di Bulaksumur B-21.

4

Editorial /5 Laporan Utama Utopia Representasi KM UGM /6 Laporan Utama Carut Marut Keluarga Mahasiswa /8 Statistik Politik Kampus, Dilematisme Mahasiswa /10 Sisi Lain Kala BEM KM Kekeringan Dana/12 Balpress Peduli Bumi dalam Nuansa Seni /13 Ramai-ramai kritisi UU No.1/PNPS/1965 /13 Temu Wicara Ulama Iran, Penengah Demokrasi dan Hukum Agama/14 Apresiasi Sindiran Seni untuk Negeri /16 Potret Distorsi Gitar vs Tabuhan Gamelan /18 Sosok Penghidang Mayat Berprofesi Ganda /20 Rehal Simpul Negeri Mafia /22 Eureka Solusi Bencana di Kawasan Parangtritis /24 Siasat Buruh, Antitesis Kapitalisme /26 Pendidikan, antara Retorika dan Realita /27 Opini Kick KIK! /28 Kolom Pakar Independensi dan Representasi dalam Student Government /30 Interupsi (Bukan) Kerumunan /33 Si Iyik /33

ukankah memandang mahasiswa berarti mengintip wajah masa depan? Di pundak mahasiswalah, jatuh bangun negeri ini ditentukan. Tidak berlebihan jika segala aktivitas yang dilakukan mahasiswa di kampus menjadi potret Indonesia suatu saat nanti. Demikian halnya dengan aktivitas politik kampus. Sebagaimana diidealkan, politik kampus diharapkan menjadi contoh yang ideal bagi politik di tingkat nasional. Tentu saja asumsi ini muncul karena politik kampus diisi oleh mahasiswa-mahasiswa yang menyandang status sebagai intelektual muda. Harapannya, politik kampus bisa menjadi lahan bagi aktivitas politik yang sehat, bersih, dan yang paling penting, mengutamakan tanggung jawab ilmiah. Karena itu, pada dasarnya politik kampus memiliki potensi mendobrak kebobrokan politik nasional. Namun, ketika kita menengok kondisi politik kampus di UGM, sepertinya kita harus mengurut dada. Wajah politik kampus bahkan hampir sama buruknya dengan politik nasional. Penuh bopeng di sana-sini. Semua cara dihalalkan untuk mendapatkan kekuasaan. Ada yang melakukan kebohongan, bahkan ada yang melaporkan Dirmawa ke aparat kepolisian karena dianggap mencemarkan nama baik. Mereka yang terlibat dalam politik kampus juga seringkali mengatasnamakan kepentingan mahasiswa UGM. Padahal, sebenarnya hanya memperjuangkan golongannya saja, tidak lebih. Tidak dapat dipungkiri afiliasi terhadap partai politik nasional pun semakin tidak bisa disangkal. Lihat saja, sementara permasalahan di kampus semakin kompleks, isu-isu yang direspon justru kebanyakan merupakan isu nasional. Tidakkah ini menjadi bentuk elitisme tersendiri lembaga kemahasiswaan? Di titik ini, representasi dan independensi pemerintahan mahasiswa mengundang tanda tanya besar. Ironis. Karena itu Balkon kali ini secara khusus mengupas carut-marutnya lembaga kemahasiswaan di UGM. Berbagai masalah coba diungkap. Dari mulai keengganan Rektorat untuk memberikan dana kemahasiswaan kepada Keluarga Mahasiswa (KM), program kerja yang tidak jelas, sampai rendahnya apresiasi mahasiswa terhadap politik kampus.Tidak hanya melakukan reportase, kami juga mengundang pakar untuk memberikan pendapatnya mengenai kondisi politik kampus saat ini. Hal ini dilakukan untuk memahami permasalahan secara obyektif dan komprehensif. Pemahaman yang jernih perlu dilakukan sebagai bentuk refleksi atas persoalan politik kampus di UGM. Catat, refleksi mutlak dilakukan mereka yang aktif berpolitik kampus. Aktivitas berpolitik mahasiswa harus dilakukan dengan nurani. Jika kondisi politik kampus masih seperti saat ini, jangan berharap politik di Indonesia masa mendatang akan membaik. Tidak mungkin. Demikian. Selamat membaca, kami tunggu saran dan kritiknya!

10 Juni 2010

5


Laporan Utama

Afra.bal

Utopia Representasi KM UGM Ketika yang diharapkan tidak bisa menyalurkan

D

i usia kepemimpinan Presiden Mahasiswa UGM yang baru melewati seratus hari, berbagai polemik terkait Keluarga Mahasiswa (KM) UGM bermunculan. Mereka juga beradu argumen dengan pihak Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) terkait alokasi jatah kursi Forum Komunikasi UKM (Forkom-UKM) dalam Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM). Rektorat pun belum mengeluarkan Surat Keputusan (SK) terkait legitimasi KM UGM. KM UGM yang terdiri dari DPM, Dewan Perwakilan Fakultas (DPF), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) merupakan lembaga perwakilan mahasiswa. Disamping adanya pemerintahan di tingkat universitas, fakultas juga memiliki kewenangan untuk mendirikan senat atau badan eksekutif. Selain itu, Forkom-UKM melalui DPM, merupakan bagian dari KM UGM. Menurut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) KM UGM Bab V Pasal 11 ayat 1 dan 3, Forkom-UKM mempunyai jatah 3 kursi di DPM. Ayat ini bertentangan dengan SK Rektor No: 32/J01.P/KM/97 tentang Pedoman Organisasi kemahasiswaan di UGM. Dalam SK tersebut, dinyatakan bahwa UKM dan KM UGM berdiri masingmasing dan tidak saling membawahi. Selain itu, ayat dalam AD/ART KM UGM juga bertentangan dengan visi dan misi UKM yang hanya berkegiatan ekstrakulikuler, bukan politis. Pertentangan

6 4

antarorganisasi mahasiswa ini kemudian menjadi akar konflik yang selama ini menyelimuti interaksi antar penghuni Gelanggang Mahasiswa. “Kami jelas menjaga jarak. Kami juga sudah membuat keputusan bersama bahwa anggota UKM tidak boleh berkegiatan dan ikut serta dalam politik kampus,” papar Ketua Forkom tahun 2009, Brama Danuwinata Ramadhan. Keputusan untuk menjaga jarak sebenarnya bertentangan dengan akar sejarah BEM itu sendiri karena pembentukan BEM berasal dari inisiasi UKM. Merunut dari SK Rektorat No: 32/J01.P/KM/97, Forkom dan KM UGM adalah sejajar. Oleh karena itu, Forkom-UKM tidak mengakui keabsahan pasal 11 tersebut. “Forkom sendiri sudah secara resmi mengundurkan diri dari DPM,” ungkap Sekretaris DPM, Muhammad Irham Fuady. Selain itu, keapatisan Forkom-UKM juga diperkeruh dengan kasus penipuan oleh mantan Ketua DPM KM 2009 Niccolo Attar. Dia mengaku sebagai wakil dari MAPAGAMA UGM dengan surat rekomendasi palsu dari Yuri Ashari, Ketua Partai Boulevard pada saat itu. Partai ini merupakan salah satu peserta dari Pemilihan Raya Mahasiswa 2008 (www.balairungpress.com). Pelanggaran ini terjadi lantaran belum ada sistem pengelolaan organisasi yang jelas. Sampai saat ini pun, belum ada tindakan tegas dari pihak universitas, baik sanksi akademik maupun moral terkait pelanggaran yang dilakukan. Hal ini menimbulkan kekecewaan di

berbagai pihak, terutama yang merasa tidak pernah mengirimkan wakilnya ke DPM. “Setahu saya kedua oknum tersebut masih bersantai menjalani kegiatannya di UGM tanpa rasa bersalah. Padahal, ini merupakan yang paling memalukan bagi instansi UGM dan juga eksekutif mahasiswa,” ungkap Brama. Selain pertentangan yang terjadi antara KM UGM dan UKM, belakangan ini KM juga menuai permasalahan dari rektorat terkait penurunan SK Rektor. Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaa, Drs Haryanto M,Si. menyatakan bahwa terdapat beberapa alasan belum direstuinya BEM KM. Menurutnya, Presiden BEM KM yang memiliki Indeks Prestasi (IP) 1.96 masih dibawah standar. “Saya prihatin kenapa tidak ada persyaratan IP. Walaupun sekarang IP-nya sudah membaik, tapi menurut saya sangat aneh. Bolehkah mencalonkan diri sebagai Presiden RI jika belum lulus,” keluh Haryanto. Bertentangan dengan yang diungkapkan Haryanto, Presiden BEM masa jabat 2008-2009, Qadaruddin Fajri Adi mengatakan bahwa keberadaan Presiden BEM selama ini sah-sah saja. “Karena sudah melalui mekanisme tiga lembaga; yaitu DPF, DPM dan BEM KM,” jelas Qadaruddin. Menurutnya, BEM KM adalah lembaga independen dan tidak dapat dibubarkan. Dalam pemerintahan yang demokratis, pembubaran hanya bisa terjadi jika itu merupakan konsensus dari rakyat, dalam konteks ini adalah mahasiswa UGM. Seperti yang terjadi ketika mahasiswa menolak pembentukan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Dannya.bal Jika dirunut dari sejarahnya, cluster Sosio Humaniora awalnya tidak menyetujui pembentukan BEM KM. “Jika bergabung menjadi BEM, nantinya akan lebih mudah dikontrol oleh rektorat,” ungkap Rahmat Gustomi, Staff Sekolah Pascasarja Ilmu politik UGM. Pihak rektorat bersikeras bahwa tugas mahasiswa adalah di bidang akademik, selaras dengan Tridharma Pendidikan. Pernyataan Rahmat hampir serupa dengan pemikiran Qadaruddin. Menurutnya, jika rektorat terus membatasi ruang gerak melalui akses pendanaan, bisa jadi KM UGM menjadi kaki tangan rektorat. Begitu pula jika mereka ikut campur dalam penyusunan AD/ART. “Saya melihat adanya tendensi dari pihak rektorat untuk mematikan BEM melalui akses pendanaan yang telah dijelaskan di Rencana Kegiatan Anggaran Tahunan (RKAT) Rektorat,” ungkap Qadaruddin. Haryanto menanggapi dingin pernyataan Qadaruddin tersebut. “Mereka semua itu kan anakanak saya, jadi mana mungkin saya setega itu,” jawabnya. Menurutnya, jika organisasi mahasiswa ingin mendapatkan dana dari rektorat, bisa dengan menggandeng salah satu UKM. Seperti DPF yang menggandeng UKM Gama Cendikia ketika mengirimkan delegasi untuk mengikuti debat di Surabaya. Sebelum menjadi KM UGM seperti sekarang, organisasi yang resmi berdiri sejak tahun 2002 ini sempat berganti nama beberapa kali. Sistem yang dipakai pun tidak sama. Ada yang menganut sistem presidium seperti DEMA dan presidensiil seperti

BEM KM. Ketua DPF KM 2010 M. Reza S. Zaki mengatakan bahwa DPF KM sendiri sebelumnya memang belum memiliki kegiatan kongkret dan belum memiliki posisi tawar di universitas. “Mereka belum memahami peran DPF KM secara utuh serta kurang memiliki daya kreasi. Kepengurusan yang lalu saja cuma terdiri dari tiga orang; ketua, sekretaris dewan dan saya sendiri,” tambah Mahasiswa Fakultas Hukum 2008 ini. Pemira tahun 2009, calon independen yang mengajukan diri hanya satu orang, yakni Fakultas Hukum. Ditambah lagi adanya fakultas yang mempunyai sistem berbeda. “Fisipol sendiri memiliki format HMJ, bukan BEM. Sehingga cukup sulit menentukan siapakah yang akan mewakili Fisipol di DPF,” ungkap Sekretaris Dewan DPM Muhammad Irham Fuady. Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan Bagus Pradana, mengatakan bahwa Fisipol tidak mengirimkan wakilnya di DPF karena takut akan timbulnya pertentangan antar Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ). Oleh sebab itu, alih-alih menjadi wakil Fisipol, Bagus menjadi Staf Ahli Bidang Legislasi. Polemik-polemik yang timbul, menandakan adanya kekacauan dan penyimpangan yang dilakukan oleh aktor yang berkaitan. Sistem yang ideal tidaklah harus mengadopsi sistem ketatanegaraan yang berlaku. Melainkan yang dapat menjadi saluran tepat untuk menampung aspirasi mahasiswa. Menurut Abdul Gaffar Karim, dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan, idealnya sebuah pemerintahan yang stabil adalah pemerintahan yang sederhana, karena akan lebih manageable dan dapat mengurangi ruang persaingan politik. BEM meskipun sebagai lembaga eksekutif, adalah sebuah lembaga perwakilan. Situasi sekarang ini terlalu politis, sehingga dapat melahirkan lembaga perwakilan yang kuat atau malah mendominasi. [Pepri, Prima]

Afra.bal

10 Juni 2010

7


Laporan Utama

Carut Marut Keluarga Mahasiswa KM UGM dinilai bermasalah sehingga tidak mendapatkan SK Rektor yang bermuara pada intervensi.

Daniel.bal

S

etelah hiruk-pikuk Pemilihan Raya (Pemira) rampung pada pertengahan Desember lalu, berbagai masalah datang menyelimuti Keluarga Mahasiswa (KM) UGM. Sistem pemerintahan mahasiswa UGM yang terdiri dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), dan Dewan Perwakilan Fakultas (DPF), kini tidak mendapatkan legitimasi dari rektorat. Hal ini disebabkan oleh surat mandat Kongres KM UGM telah dikembalikan kepada rektorat melalui Suryo Kuncoroyakti, Ketua Badan Pekerja Kongres (BP Kongres) periode 2010. Surat mandat itu dikembalikan lantaran kongres ricuh. Menurut Aji Prakoso, Menteri Advokasi Kampus BEM KM UGM, bahwa pimpinan sidang kongres yakni Mac Rizal terlibat adu mulut dengan beberapa peserta kongres. Mac kemudian memanggil Satuan Keamanan dan Ketertiban Kampus (SKKK) untuk membubarkan kongres. Namun, hal itu disangkal oleh Dwinda P. D., Anggota Komisi IV DPM KM UGM yang turut mengikuti jalannya sidang saat itu. Menurutnya, para peserta sidang lah yang membubarkan diri setelah berkompromi dengan SKKK. Keributan tersebut menjadi alasan bagi rektorat untuk meminta kembali surat mandat dari ketua BP Kongres. “Suryo menyerahkan surat tersebut tanpa

8

persetujuan DPM dan DPF terlebih dahulu,” ungkap Ikhsanudin, Ketua Komisi II DPM KM UGM. Ia menambahkan, Suryo mengembalikan surat itu ketika sudah dicopot dari jabatannya sebagai ketua BP Kongres. Lantas keabsahan surat mandat itu pun dipertanyakan oleh M. Reza S. Zaki, Sekretaris BP Kongres yang kini menjabat sebagai Ketua DPF. Menurutnya, surat itu seharusnya ditandatangni ketua dan sekretaris BP Kongres. Namun yang menandatangani justru ketua BP Kongres dan pimpinan sidang yang juga telah dicopot dari jabatannya. Selain itu, terdapat kesalahan lain dalam surat mandat. Antara lain nomor surat yang salah dan isi surat tidak menyertakan perihal pelantikan DPF KM UGM. “Bagaimana mungkin rektor bisa mendisposisi surat mandat yang cacat hukum seperti itu,” kritiknya. Buyarnya kongres juga menyebabkan AD/ART KM UGM tidak sempat dibahas. Implikasinya, hingga kini KM UGM masih menggunakan AD/ART tahun 2007. Ikhsan juga mengungkapkan bahwa Drs. Haryanto, M.Si., Direktur Kemahasiswaan Direktorat Kemahasiswaan (Dirmawa) UGM, menginginkan perubahan tiga aspek dalam AD/ART KM UGM. Perihal tersebut turut dibenarkan oleh Dirmawa yang menyatakan bahwa lembaga

mahasiswa intra kampus harus mengonsultasikan AD/ART dengan rektorat. Menurut Ikhsan, tiga tuntutan Dirmawa terdiri dari penghapusan kata independen dalam AD/ART KM UGM. Independensi di sini bagi rektorat terkait urusan pendanaan. Padahal makna independensi KM bagi Aji merupakan sikap terhadap kebijakan rektorat. Kedua, permasalahan larangan presiden mahasiswa (presma) mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama menjabat. “Saya membolehkan presma KKN, kenapa harus ada larangan seperti itu?” tanya Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng, Ph.D, Rektor UGM, sebagaimana diungkapkan Zaki. Pada kesempatan lain, presma yang terpilih pun menyanggah, “Jika KKN sekarang, akan banyak kewajiban yang saya telantarkan,”. Tuntutan ketiga dari Dirmawa yakni rencana penghapusan partai mahasiswa. Pihak rektorat mengkhawatirkan kecenderungan partai mahasiswa pada salah satu partai politik nasional. Namun rektorat menawarkan sistem lain melalui pencalonan presma independen layaknya UI dan ITB. “Saya setuju mengenai hal tersebut, bandingkan saja kinerja DPF yang independen dengan DPM yang terdiri dari banyak partai” tukas Zaki. Di sisi lain, Aza menolak ketentuan penghapusan sistem partai di UGM. Menurutnya, melalui sistem tersebut KM mampu mencontoh dunia perpolitikan di Indonesia. Jika negara tidak menggunakan sistem partai maka KM pun tidak. “Partai politik itu penting sebagai pembelajaran sebelum terjun ke masyarakat,” tegasnya. Keinginan rektorat agar KM mengubah AD/ART belum juga terlaksana. Kondisi ini disebabkan oleh agenda kongres kedua yang dilaksanakan di Fakultas Hukum hanya membahas pelantikan presma, anggota DPM dan DPF. Kongres itu pun hanya dihadiri belasan peserta. “Padahal, Zaki selaku pimpinan sidang telah mengirim pesan pendek kepada seluruh peserta,” ungkap Dwinda. Kongres kedua juga dianggap tidak sah oleh rektorat. Namun Ikhsan menolak hal itu karena seluruh persyaratan keabsahan kongres berdasarkan AD/ART KM UGM telah terpenuhi. “Kongres kemarin sah karena diakui oleh tiga lembaga KM,” tandasnya. Ia pun menaksir jika kongres itu tidak sah, maka semua partai pasti menolak untuk bergabung dengan DPM. Selain mempermasalahkan keabsahan kongres kedua, rektorat juga menyatakan Presiden BEM KM UGM, Aza El Munadiyan, tidak memenuhi kualifikasi. Isu awal yang digulirkan ialah IP Aza 1,96. Menurut Haryanto, seharusnya Aza sudah drop out. Isu tersebut juga dituliskan di media nasional Kompas edisi Jumat, 29 Januari 2010 “BEM UGM Nekat Lantik Presiden Terpilih”. Pemberitaan tersebut berujung pada pelaporan Aza terhadap Haryanto ke kepolisian dengan tuduhan pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan. Situasi tersebut juga tidak dibenarkan oleh Komisi Pemilihan Raya Mahasiswa (KPRM), UU Pemira memang tidak menyebutkan mengenai ketentuan IP presma. “Mulanya kami berniat mencantumkan persyaratan IP presma dalam UU Pemira, namun

dibatalkan karena ditentang oleh semua kontestan,” ujar Prima Yustisia, Ketua KPRM. Seolah tak mengaku turut serta dalam penentangan tersebut, Aza justru tidak mempermasalahkannya asalkan ada aturan yang jelas sebelum Pemira berlangsung. “Jika dari awal sudah ada persyaratan IP Presma minimal 3,00, tentu partai Bunderan tidak akan mencalonkan saya,” Aza beralasan. Menanggapi permasalahan tersebut, bulan ini program kerja (proker) pertama Komisi I DPM mengagendakan ketentuan IP calon presma sebagai salah satu pembahasan. Mereka berencana mencantumkan syarat IP minimal 3,00 bagi calon presma dari jurusan sosial dan 2,75 dari jurusan eksakta. Fakta ini justru mengundang kritik, “Butuh waktu lima bulan bagi DPM untuk merumuskan proker. Bandingkan dengan kami yang telah melaksanakan beberapa mega proyek”sindir Zaki selaku ketua DPF. Pihak DPM sendiri beralasan, banyaknya partai menghambat tercapainya satu keputusan. “Banyak tarik-menarik dan tawar-menawar kepentingan. Pemilihan Ketua DPM saja membutuhkan waktu tiga minggu,” ungkap Muhammad Irham Fuady. Pria yang menjabat sebagai Sekretaris dewan DPM KM UGM itu juga menambahkan, pembahasan tata tertib yang menjadi rel kinerja DPM baru diselesaikan pada akhir Maret. Sebagaimana diatur dalam Tata Tertib DPM, salah satu tugas lembaga ini adalah legislasi. Minimal ada tiga undang-undang yang dibentuk dalam setahun, diantaranya UU Pemira. Prima mengatakan bahwa DPM periode sebelumnya tidak cekatan dalam merumuskan undang-undang ini. “Saya hanya memiliki waktu satu bulan untuk mempersiapkan Pemira, Badan Pengawas pun baru dibentuk dua minggu sebelum kampanye,” terang Prima. Alhasil, Pemira tahun lalu tidak berjalan mulus. Selain itu, KPRM lalai menggelar pemilihan anggota DPF. “Kami terlalu terpaku pada pemilihan presma dan DPM”, ungkap Prima. Tercatat hanya satu orang yang mendaftar sebagai kontestan calon anggota DPF. Padahal, sebagaimana tertuang dalam AD/ART-nya, DPF memiliki peran sentral sebagai legislatif. Ironisnya, fungsi DPF kini terkesan merebut porsi BEM sebagai eksekutif. Dalam prokernya, DPF mengagendakan diskusi bertema Keadaaan Sosial Politik Indonesia. “Jika tidak melakukan kegiatan tersebut, kami dianggap tidak melakukan apa-apa,” dalih Zaki. Berbagai permasalahan yang mewarnai KM UGM menjadi alasan rektorat untuk tidak menurunkan SK bagi ketiganya. Dampak signifikan dari absennya SK ialah tidak turunnya dana. Padahal proker dan agenda KM harus tetap dijalankan. Hal itu semata-mata bentuk pertanggungjawaban kepada konstituen yang telah memilihnya dalam Pemira. [Ay, Ham]

10 Juni 2010

9


Statistik

Politik Kampus, Dilematisme Mahasiswa Ketidakpedulian mahasiswa terhadap politik kampus telah mencapai titik nadir.

U

GM merupakan miniatur Indonesia. Layaknya sebuah maket, morfologi dengan aslinya tidak lah jauh beda. Dinamika nasional memengaruhi dinamika kampus biru. Bisa juga dikatakan, UGM merupakan turunan Indonesia. Dinamika perpolitikan nasional cenderung sama dengan kondisi perpolitikan UGM. Tingkat partisipasi politik, antusiasme berpolitik, dan political will menunjukan kemiripan. Hasil dari pemilu 2009, golput merupakan pemenang dengan mengantongi hampir 40 persen suara. Golput juga memenangi pemira 2009 di UGM dengan 60,04 persen dari keseluruhan mahasiswa. Gejala ini nampaknya mengindikasikan masyarakat, khususnya mahasiswa, apatis terhadap politik. Banyak faktor yang mendasari indikasi ketidakpedulian mahasiswa terhadap perpolitikan kampus. Satu hal paling santer diperbincangkan adalah persamaan kondisi dengan adanya politik kampus atau tidak. Kebijakan dari BEM-KM UGM dirasa kurang membumi. Tanpa menafikan kebijakan bersifat lokal, kebanyakan yang direspon hanyalah isu nasional. Dari sekitar 27.943 mahasiswa aktif di UGM, hanya 39,6 persen yang menggunakan hak

10

suaranya dalam pemira. Berarti cuma 11.810 mahasiswa yang menggunakan hak pilihnya. Padahal, menurut Arif, sekretaris Komisi Pemilihan Raya Mahasiswa (KPRM) 2009, idealnya pemira diikuti oleh 6o persen suara dari total mahasiswa yang aktif di UGM. Jumlah persentase mahasiswa yang golput di level universitas merupakan integral dari level klaster. Terjadi kemiripan persentase di hampir semua klaster. Persentase angka golput terendah adalah 58,86 persen di klaster Agro (fak. Kehutanan, Pertanian, Teknologi Pertanian, Peternakan, dan Kedokteran Hewan). Sementara persentase tertinggi disabet klaster Fakes (Farmasi dan Kesehatan) dengan 63,63 persen. Posisi kedua, klaster Sains dan Teknologi dengan 63,55 persen. Baru kemudian klaster Sosio-humaniora (Fakultas Psikologi, Isipol, Ilmu Budaya, Filsafat, serta Ekonomika dan Bisnis) dengan 59,18 persen. Berdasarkan data pada pemaparan sebelumnya, partai-partai tampak kehilangan daya untuk �menjual diri�. Mahasiswa-mahasiswa di klaster Sains dan Teknologi misalnya, merasa partai-partai tidak banyak melakukan sosialisasi yang memadai. Program kerja maupun visi misi partai tidak mereka ketahui. Senada dengan itu, mahasiswa klaster

Fakes juga merasa keterpaan informasi akan partai kurang. Tak ubahnya dengan kondisi partai, pada mahasiswa pun terdapat faktor yang tidak mendukung berkembangnya partisipasi politik. Menurut Shinta Dewi, Kadep Jaringan BEM Biologi, kebanyakan mahasiswa biologi merasa perpolitikan kampus tidak memberikan sumbangsih bagi kemajuan jenjang akademis mereka. Padatnya aktivitas akademis membuat tidak terlintasnya gagasan untuk berpartisipasi dalam perpolitikan kampus. Klaster Sains dan Teknologi terbilang unik. Pasalnya, dengan tingkat golput yang demikian tinggi, justru presiden mahasiswa, Aza El Munadyan, berasal dari klaster ini. Pastinya ada korelasi antara dua hal yang sangat berseberangan tersebut. Mahasiswa Sains dan Teknologi, MIPA terutama, memilih Aza karena dua alasan; rasional dan irasional. Memilih berdasarkan pengalaman dan kinerja Azza di BEM fakultas merupakan alasan rasionalnya. Untuk alasan tidak rasional terdapat beberapa faktor utama yang melandasi. Pertama, karena fanatisme subjek keilmuan, fakultas, dan jurusan. Kedua, karena Aza berasal dari partai pemenang tahun lalu. Kontradiksi yang sama dapat digunakan untuk menjelaskan perbedaan tajam perolehan suara partai di tiap klaster. Salah satu partai yang perolehan suaranya berbeda tajam adalah partai

Boulevard. Perolehan suara tertinggi di klaster Sosio-humaniora disandang partai ini dengan 12,08 persen. Jauh mengungguli para pesaing, bahkan Partai Bunderan sekalipun tertinggal dua kali lipat dibawahnya. Di Klaster Fakes, yang terjadi justru sebaliknya. Partai Boulevard berada pada posisi paling bontot, hanya meraup 0,76 persen suara. Sedangkan partai Bunderan jauh mengungguli dengan 20,45 persen suara. Sangatlah mungkin tingkat apatisme mahasiswa terhadap perpolitikan kampus semakin meningkat. Walaupun ada data dari KPRM yang menunjukan kecenderungan mahasiswa yang tidak memilih semakin menurun, data tersebut tidak valid. Maka dari itu penurunan tingkat apatisme mahasiswa tidak bisa diamini. Tingkat partisipasi mahasiswa dalam pemira hanya merupakan gambaran kasar mengenai apatisme mahasiswa. Tingkat kepedulian mahasiswa yang demikian rendah harus segera diatasi melalui berbagai macam cara. Kemungkinan besar kebijakan-kebijakan yang diambil akan lebih membumi, jika partisipasi politik mahasiswa meningkat. Kalau tidak, hanya terdapat dua kemungkinan, tingkat apatisme mahasiswa telah pada taraf akut atau BEM-KM yang tak mampu merespon kemauan mahasiswa.[Aip]

10 Juni 2010

11


Sisi Lain

Kala BEM KM Kekeringan Dana

R

abu (12/5), sekretariat BEM KM ramai oleh sekelompok mahasiswa yang asyik menonton pertandingan Thomas-Cup di televisi. Teriakan terdengar saat atlet dalam layar kaca berhasil melakukan smash terhadap lawan. Keasyikan itu pun terhenti sejenak ketika balkon tiba. Lantas, salah satu diantara mereka yakni Aji Prakoso, Menteri Advokasi BEM KM UGM, keluar untuk menemui balkon. Obrolan pun bergulir ke permasalahan dana dari rektorat yang tak kunjung keluar. Aji menuturkan, hingga saat ini rektorat belum mencairkan dana untuk BEM KM dan ketujuh unit kegiatan mahasiswa (UKM). Pada mulanya rektorat berjanji akan memberikan dana di bulan Mei. Akan tetapi, dana tersebut tidak tersedia hingga saat ini. Pihak BEM KM juga mengaku tak mengetahui alasan dari ketidakpastian aliran dana tersebut. Menurut Aji, situasi tersebut berkaitan dengan anggapan dari rektorat bahwa presiden BEM KM, Aza El-Munadiyan, tidak layak menjadi pemimpin. Hal ini disebabkan oleh Indeks Prestasi (IP) yang dimiliki Aza kurang dari 2,00, padahal IP kumulatif-nya sudah diatas 2,00. “IP Aza anjlok karena dia sakit sehingga tidak bisa mengikuti ujian akhir. Itupun hanya terjadi dalam satu semester saja,” ujar mahasiswa Jurusan Konservasi 2006 tersebut. Ketika dihubungi balkon, Aza berpendapat bahwa tersendatnya dana BEM KM disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, Direktorat Kemahasiswaan (Dirmawa) sakit hati terhadap gerak-gerik BEM KM. Bahkan disinyalir ada keinginan dari Dirmawa untuk mengatur lembaga tersebut. Alasan kedua tentang justifikasi universitas bahwa BEM KM dikuasai salah satu golongan. Di sisi lain Drs. Haryanto M.Si, Direktur Kemahasiswaan, membenarkan hal tersebut. Ia mengatakan bahwa rektorat ingin mengarahkan BEM KM menjadi organisasi yang baik dan benar. “Saat ini persoalan kepengurusan di lembaga mahasiswa masih cenderung seenaknya,” tambah lelaki yang dikenal sebagai Pak Sentot ini. Pihak UKM juga harus mengkonsultasikan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) di lembaganya. Selain itu UKM diharapkan memenuhi Standar Operasional Prosedur (SOP). Kekosongan kas akibat aliran dana dari rektorat terhambat membuat BEM KM harus memutar otak. Demi memperoleh dana, BEM KM mencoba menjalin kerjasama dengan sponsor. Namun upaya ini masih terkendala urusan birokrasi karena beberapa sponsor justru mengharuskan BEM KM mendapat persetujuan dari pihak rektorat. Maka BEM KM membuat alternatif dengan memaksimalkan perputaran uang untuk memperoleh

12

tambahan dana. Sebagai contoh, mereka menjual pin pada saat praregistrasi usai pengumuman UM UGM bagi mahasiswa baru. Tak hanya itu, Aza juga mengatakan bahwa BEM KM memiliki dua sumber dana lain. Pertama, dana dari donatur yang kebanyakan adalah alumni BEM KM. “Terkadang ada yang memberi Rp 100.000,00,” ungkap Aza. Dana kedua berasal dari kontribusi para pengurus harian dan staf BEM KM sendiri. Adanya perbedaan pendapat antara rektorat dan BEM KM membuat masalah ini kian rumit. Sebagai solusi masalah keuangan, Aza pun rela menjual motor demi kelangsungan organisasi. “Insyaallah dana yang dikeluarkan akan mendapat ganti dari Allah SWT,” ucap Aza mantap. [Aza, Deni, Galih]

38 Juta untuk Lahan Parkir Sementara

M

ahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM dikejutkan dengan pembangunan lahan parkir di sebagian area taman Fisipol. Pembangunan tersebut sudah berjalan sejak akhir April. Area taman Fisipol yang semula rindang berubah menjadi gersang karena pemindahan sementara lahan parkir. Sehingga mengganggu kenyaman mahasiswa dalam beraktivitas. Pembangunan lahan parkir Fisipol sementara merupakan keputusan dari hasil rapat dekan beserta jajarannya. Pembangunan tersebut merupakan tahap awal dari rencana renovasi gedung-gedung di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Hal tersebut bertujuan untuk mengalokasikan sebagian lahan parkir lama ke lahan parkir yang baru. Pengalokasian tersebut dikarenakan lahan parkir lama akan dijadikan tempat bahan material-material perenovasian gedung-gedung Fisipol.. Pembangunan lahan parkir tersebut bersifat sementara. Ini merupakan tahapan awal untuk pembangunan gedung enam lantai di fisipol. “Perenovasiam gedung Fisipol akan bertahap dan lahan parkir ini juga hanya digunakan sementara” ujar Bagus Sarmanto, penanggug jawab pembangunan lahan parkir. Rencananya, setelah gedung enam lantai selesai dibangun, lahan parkir tersebut akan digunakan sebagai kawasan taman kembali. Dengan demikian, keefektifan pembangunan lahan parkir masih ditinjau ulang. Mahasiswa akan merasakan dampaknya dalam proses berlangsungnya pembangunan. “Mungkin niat dekan mau memperbagus, tetapi hasilnya nanti malah merugikan,” keluh Azizah, mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional 2007. Dia juga menyayangkan minimnya sosialisasi untuk mahasiswa mengenai adanya pembangunan. Selain itu, pembangunan ini telah menghabiskan banyak biaya. “Sekitar 38 sampai 40 juta rupiah biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan lahan parkir sementara ini,” ungkap Bagus. [Abud, Adib]

Pembagian Formulir KIK Disambut Cemas

S

ejak Selasa (25/05) lalu, formulir Kartu Identitas Kendaraan (KIK) mulai dibagikan ke semua fakultas dan unit kerja UGM. “Ini kebijakan dari gedung pusat, pihak fakultas hanya meneruskan saja,” terang Dr. Suharko, S.Sos.,M.Si., Wakil Dekan Bidang Administrasi Keuangan dan SDM Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL). Senada dengan Suharko, Samsudiono, Petugas Tata Usaha Fakultas Ilmu Budaya (FIB), menjelaskan bahwa fakultas ditugasi membagikan formulir kepada mahasiswa dan pegawainya oleh Direktorat Pengembangan dan Pengelolaan Aset (DPPA). KIK sendiri merupakan kebijakan rektorat untuk menata kendaran yang keluar-masuk wilayah kampus UGM. Selama ini kampus dirasa terlalu padat oleh kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat. Di FISIPOL saja ada lebih dari 1300 kendaraan bermotor. “Padahal ruang kita kan terbatas,” ujar Suharko. Makanya, menurut Suharko, KIK perlu disambut baik sebagai upaya membatasi jumlah kendaraan bermotor di kampus. Selain mengurangi jumlah volume kendaraan, KIK juga dimaksudkan agar keamanan di wilayah UGM semakin terjamin. Namun maksud rektorat memulai pemberlakuan KIK ini dibayangi berbagai kendala. Penyebaran formulir KIK dirasa mendadak dan minim sosialisasi. Imana Hardi misalnya, menganggap sosialisasi dari pihak universitas dan fakultas sangat kurang. “Mendadak sekali, tapi mau bagaimana lagi,” keluh Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan 2007 yang akrab disapa Bill itu. Kebingungan yang sama juga dirasakan oleh Benedicta Laksmi Indriasty, Mahasiswa Program Diploma Jurusan Bahasa Prancis 2008, yang mengaku masih belum mengetahui apa fungsi KIK kelak. Bukan hanya mahasiswa, pegawai pelaksana kebijakan pun merasakan sosialisasi dari gedung pusat kurang optimal. “Belum tahu,” jawab Sutrisman, petugas keamanan parkir FISIPOL, saat ditanya tentang batas akhir pengembalian formulir. Kekhawatiran akan dampak KIK pun muncul. “Saya bukannya tidak setuju, tapi keberatan,” kata Suradi, petugas keamanan parkir FIB. “Sedih juga kalau membayangkan loper koran dan tukang pos harus bayar saat masuk UGM karena tak punya KIK,” tutur laki-laki yang sudah seperempat abad bekerja di UGM itu. [Azhar]

10 Juni 2010


Temu Wicara

Ulama Iran, Penengah Demokrasi dan Hukum Agama

P

asca revolusi Islam tahun 1979, Iran mengubah haluan negaranya menjadi bentuk Theo demokrasi. Sebelumnya, Iran adalah sebuah negara monarki dengan kekuasaan tertinggi di tangan raja. Ketika masa kepemimpinan Raja Syah Pahlevi, otoritarianisme memuncak yang menimbulkan kebencian masyarakat. Dua kelompok paling berpengaruh pada masa itu bahu-membahu menggulingkan kekuasaan Raja Syah Pahlevi yang sewenangwenang. Mereka adalah kaum ulama dan intelektual. Salah seorang tokoh yang menonjol dari kaum ulama Iran pada masa itu adalah Imam Khomeini. Dia adalah tokoh revolusi Iran dan pemimpin agung Iran pertama yang disegani. Setelah revolusi, kekuasaaan tinggi negara ada pada dewan ulama yang memiliki kekuasaan di atas Presiden. Demi mengkaji peranan ulama di Iran lebih jauh, Keluarga Mahasiswa Sosiologi (KMS) UGM mengadakan sebuah diskusi bertajuk “Peran Elite Agama dalam Mendinamisasi Kehidupan Sains dan politik di Iran”. Acara yang diadakan pada tanggal 11 Mei 2010 di ruang seminar Fisipol ini dimulai pada pukul 14.00 WIB. Hadir sebagai pembicara tunggal Dr. Muhammad Supraja, SH, S.Sos, M.Si, dosen Sosiologi. Diskusi juga turut mengundang mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta. Iran yang terkenal dengan sebutan negeri para Mullah menjadi topik utama pembicaraan siang itu. Mullah merupakan sebutan untuk para ulama yang ada di Iran. Istilah negeri para Mullah itu sendiri muncul karena kondisi berbagai lini (Hukum, Ekonomi, Politik, Budaya) amat dipengaruhi oleh kebijakan para ulama. Ulama di Iran tidak hanya berperan dalam lingkup kajian agama. Namun, juga memiliki

14

pengaruh kuat dalam bidang pendidikan, sosial, politik, bahkan pemerintahan. Terdapat empat tingkatan ulama yang dikenal dengan sebutan hawzah. Tingkatan ulama tertinggi disebut Marja’ Taqlid. Mereka yang memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat di Iran. Marja’ ini ahli dalam mekanisme kodifikasi hukum Islam. Imam Khomeini yang disegani termasuk dalam marja’ tersebut. Selanjutnya yaitu Mujtahid, seseorang yang mengenal dan menguasai masalahmasalah yang berkembang pada zamannya. Selain itu, mereka juga cerdas, berwawasan, dan mampu menuntun komunitas besar Islam dan bahkan nonIslam. Berikutnya Mudarris/ Mu’allim (guru) dan Thalabeh/murid. Materi disampaikan beserta gambar-gambar hasil jepretan Supraja ketika menjalani studi Magister di Iran. Foto-foto tersebut banyak memberikan gambaran visual kepada peserta diskusi. Sebagai pembuka, ditampilkan foto Imam Khoemini yang langsung menarik perhatian. Hal ini menimbulkan fantasi peserta sehingga membuat mereka seakan benar-benar berada di Iran. Diskusi berjalan kondusif, peserta mengikuti pembicaraan dengan antusias. Acara siang itu diisi dengan sesi materi oleh pembicara dan dilanjutkan sesi tanya jawab sekitar 1 jam. Diskusi mulai 'hidup' ketika peserta mengajukan berbagai pertanyaan terkait dengan materi. Sesi tanya jawab dibagi menjadi tiga bagian dengan tiga pertanyaan pada tiap sesinya agar dapat menampung semua pertanyaan yang ada Pertanyaan pertama diajukan oleh Andi, mahasiswa jurusan Hubungan Internasional. Dia menanyakan posisi kepala negara dalam konstelasi politik nasional dengan adanya hegemoni kuat dari ulama. Supraja menjelaskan, walaupun posisi pemimpin negara ada di bawah kekuasan tertinggi dewan ulama, tidak berarti kekuasaan presiden sepenuhnya dikekang. “Presiden tetap ada dan berhak menjalankan roda pemerintahan dengan hak prerogatifnya,” ujarnya. Selanjutnya Syaiful dari jurusan Sosiologi menanyakan perihal penyelesaian konflik yang mungkin terjadi dalam masyarakat dengan adanya marja' berbeda. Beragam marja menimbulkan peluang besar terciptanya perbedaan bahkan mungkin pertentangan tafsir terhadap suatu hukum Islam. Menanggapi hal ini, Supraja memiliki jawaban sendiri. “Penafsiran hukum islam biasanya tidak terlalu jauh berbeda. Selain itu, masyarakat juga diberi kebebasan untuk memilih marja masingmasing. Karena itulah peluang terjadinya konflik dapat diminimalisir,” terangnya. Syaiful Annas mahasiswa dari Fakultas Ekonomi, menanyakan perihal perekonomian di Iran dengan adanya pemboikotan oleh negara Barat. “Hingga saat ini perekonomian di Iran berjalan progresif. Hal ini sangat mengagumkan

mengingat Iran telah diembargo secara ekonomi akibat pengembangan reaktor nuklir yang mereka kerjakan,” ujar Supraja. Sebuah pertanyaan menarik muncul di tengah diskusi dari Luly, mahasiswi Sosiologi,. Dia bertanya mengenai peranan perempuan di Iran sebagai negara yang bernafaskan Islam. Muhammad Supraja sempat tersenyum sejenak sebelum menjawab pertanyaan ini. Ternyata, wanita di Iran menempati posisi yang tinggi dan elite. Masyarakatnya memperlakukan kaum hawa itu dengan sangat terhormat. Hal ini tercermin dari fakta-fakta sederhana seperti interior dapur yang mewah pada mayoritas rumah. Dalam pernikahan, nilai seorang perempuan rata-rata tinggi untuk proses lamaran. “Mahar untuk menikahi perempuan Iran sangat mahal” ungkap Supraja. Bahkan ada taksi khusus di negara itu. Warnanya hijau yang menandakan bahwa sopirnya seorang wanita. Tarif taksi ini jauh lebih mahal daripada taksi biasa dengan sopir laki-laki. Tingginya kedudukan wanita di negara itu ternyata tidak membuat kemungkinan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi nol persen. Buktinya, hingga saat ini masih ada wanita yang mengalami kekerasan dalam keluarganya, walaupun dari segi kuantitas tidak sebanyak yang terjadi di Indonesia atau negara lainnya. Menjelang berakhirnya diskusi, Muhammad Supraja sempat menuturkan bahwa tidak dapat dipungkiri pencapaian yang telah diraih Iran hingga saat ini mengagumkan. Indonesia masih tertinggal jauh dalam bidang-bidang tertentu. Contohnya, hingga saat ini setidaknya Iran sudah memiliki 7 merk mobil sendiri. Selain itu, hampir setiap provinsi di Iran memiliki stasiun televisi internasional. Dalam bidang sains, Iran juga telah berhasil mengkloning kambing untuk pertama kalinya. Bahkan belum lama ini Iran juga melakukan peluncuran satelit dan kapal perang produksi dalam negerinya sendiri. Di balik segala kemajuan yang telah diraih, sebuah kebiasaan kurang baik membayangi masyarakat. Hal buruk itu adalah, konsumsi masyarakat Iran terhadap makanan instan masih tinggi. Hal ini disayangkan mengingat Iran merupakan negara maju, namun tingkat konsumsi makanan cepat saji begitu banyak. “Ada anekdot bahwa orang Iran cepat tua,” kelakar Supraja sambil mengakhiri slide presentasinya. Acara berjalan lancar dan materi yang disampaikan cukup padat. Diskusi yang berlangsung selama dua jam itu berjalan singkat. Banyak peserta yang terlihat malas meninggalkan bangkunya ketika acara berakhir. “Apa yang terjadi di Iran merupakan inspirasi untuk membangun Indonesia ke depan,” ujar Supraja mantap ketika menutup diskusi sore itu. [Ali, Anki]

10 Juni 2010

15


Apresiasi

Sindiran Seni untuk Negeri

Ketika seni menanggapi kasus Susno Duadji sampai gas elpiji.

N

uansa hitam dan gelap sangat terasa saat memasuki ruang pameran Bentara Budaya Yogyakarta, Sabtu (15/5). Padahal waktu menunjukkan pukul 09.45 WIB. Hanya ada cahaya lampu spot yang memberi sedikit penerangan di dalam ruangan. Belum terlihat keramaian khas pameran di sana. Hanya ada satu pengunjung dan satu penyambut tamu. Suasana sepi begitu mendominasi pameran tersebut. Saat memasuki ruang pamer, tidak terlihat sekat-

16

sekat yang biasanya membatasi ruang pameran. Hal ini memungkinkan para pengunjung untuk bisa langsung menebarkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Pencahayaan ruang tampak tak merata. Ada beberapa spot yang terkesan terlalu gelap. Hal ini menyebabkan para fotografer harus memainkan light meter kamera agar tidak terlalu gelap ataupun over. Terlihat sekitar 20-an karya yang ditampilkan dalam pameran bertema “Menjawab Tanda Tanya” ini. Bukan hanya menampilkan lukisan, tetapi juga

drawing, patung, dan beberapa karya instalasi lain seperti anyaman alumunium dan sebagainya. Sebuah usaha yang patut dipuji sebagai upaya menyatukan berbagai karya seni dalam satu tema pameran dan semangat yang sama. Ruang display yang dibentuk seolah ingin memperlihatkan kepada pengunjung akan keresahan seniman tentang persoalan yang membebani negara pada saat ini. Terlihat dari sebuah lukisan sosok perwira tinggi kepolisian dengan mulut terkena pancing di salah satu sudut ruang pameran. Lukisan karya Benot tersebut mengingatkan kita pada masalah Susno Duadji. Rapala adalah umpan untuk memancing ikan yang terbuat dari plastik. Ini menyimbolkan kepalsuan di dalam dunia politik. Sosok dengan identitas dan lencana diibaratkan figur seorang jenderal yang terkena pancing kekuasaan dan uang. Itulah kiranya kesan yang ditimbulkan oleh lukisan berjudul “The Big Fish” tersebut. Selain mengkritisi institusi kepolisian, beberapa karya perupa lain, Pande Nyoman Alit Wijaya Suta juga mencoba mengkritik kinerja pemerintahan saat sekarang ini. Dua lukisan, “Anjing Perasa” dan “Sorry Kecuali Aku,” seolah ingin menganalogikan anjing sebagai para wakil rakyat. Pada lukisan “Anjing Perasa,” terlihat seekor anjing kecil dengan bayangan besar. Gambaran itu mengesankan bahwa bayangan anjing besar sebagi perwujudan sebuah angan-angan dan omongan besar dari para politisi. Namun semua hanya janji belaka. Sedangkan pada karya kedua, “Sorry Kecuali Aku,” kesan sindiran tidak kental terasa. Pengunjung bahkan mungkin tidak terlalu mengerti pesan apa yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh perupa. Hanya terlihat seperti sebuah lukisan dengan tulisan “Dilarang Kencing Di Sini Kecuali Anjing.” Walaupun demikian, ada pesan yang ingin dituangkan para seniman muda asal ISI Yogyakarta tersebut melalui karyanya. Si perupa ingin agar para pengunjung merasa lega setelah keluar dari ruang pameran dan menemukan jawaban dari pertanyaan mereka. Masalah lingkungan hidup juga turut diangkat dalam pameran kali ini. Layaknya bermain dengan garis, Afdhal, si perupa, memenuhi bidang kertas dengan gambaran manusia yang bergelayutan, kepala manusia yang dikurung, dan tanaman yang tumbuh di awan-awan. Warna pensil dan kertas yang mendominasi menegaskan suasana sepi dan sunyi dalam setiap karya seniman asal Padang tersebut. Sangat terlihat kesuraman dan kegelisahan si perupa mengenai kerusakan lingkungan hidup yang terjadi akhir-akhir ini. Karya lain yang diangkat dalam pameran kelompok Nostalgia tersebut, sebuah anyaman dari alumunium berbentuk gas elpiji yang digantung ke langit-langit ruangan. Dengan penataan letak layaknya sebuah dapur, Rahman, si perupa, seolah ingin mengangkat masalah elpiji yang sedang marak diperbincangkan. Namun, penataan ruang pamer kurang mendukung penyampaian pesan. Pencahayaan yang minim membuat pengunjung kurang

memperhatikan karya tiga dimensi tersebut. Keadaan ini bertolak belakang dengan karya garapan I Made Widya Diputra. Letaknya yang berada di tengah ruang display, ditambah dengan warna merah yang mendominasi, membuat karya tersebut mampu menarik mata pengunjung sejak pertama kali memasuki ruang pameran. Dengan menggunakan silikon, Lampung, begitu sapaannya, membuat figur tubuh manusia dengan gundukan berwarna merah dengan memakai banyak bra. “Karya tersebut berbicara tentang seseorang yang fetish atau fanatik terhadap sesuatu,” tulisnya di dalam katalog pameran. Kesan seksi dan berani sangat terpancar dari karya tersebut. Sekilas terlihat seperti kepompong merah raksasa yang dipakaikan bra. Namun, figur tubuh manusia sedikit banyak mampu tergambar apabila dicermati lebih dalam. Walaupun agak terkesan memaksa. Karya terakhir yang dipamerkan yaitu sebuah kloset goyang berlapis bulu. Kloset tersebut dibuat lengkap dengan interior sebuah kamar kecil khas orang berduit. Karya Kadek Agus Mediana Adiputra ini tampaknya ingin memvisualisasikan suatu kenyamanan yang eksklusif. Memperlihatkan betapa orang kaya sangat berlebihan dalam membelanjakan uang untuk kemewahan dan kenyamanan semu. Hal itu juga tergambar dari judul yang diangkat oleh perupa yaitu “VVIP,” plesetan dari “Very Very Important Person.” Namun sayangnya karya unik tersebut dinilai kurang interaktif. Hal ini dikarenakan para pengunjung tidak dapat merasakan sendiri sensasi saat menggunakan toilet eksklusif tersebut secara langsung. Seandainya si perupa mampu menghadirkan karya prototype, diharapkan para penikmat pameran bisa terinspirasi untuk memiliki karya itu di rumah mereka masing-masing. Lantai dan plafon ruang pamer yang ditutupi oleh bermeter-meter kain hitam sebenarnya belum cukup untuk mempertontonkan semua persoalan yang terjadi di negara ini. Namun, setidaknya mampu menjadi saksi bisu kegelisahan para seniman muda terhadap persoalan tersebut. Setting display pameran dibentuk layaknya rumah-rumah penduduk di Indonesia. Dapur, WC, kamar tidur, lukisan tokoh, lukisan pemandangan, pakaian dalam, penghias ruang tamu, seolah ingin mengingatkan para pengunjung betapa dekatnya persoalan tersebut dengan kehidupan manusia. Namun, zaman sekarang hanya segelintir orang yang mau mengunjungi pameran-pameran seperti pameran “Sensous Object” ini. Sedikitnya nama pengunjung yang tertulis di dalam buku tamu pameran menggambarkan keadaan tersebut. Pameran seni terkadang hanya dijadikan sebagai salah satu tempat wisata pada akhir minggu. “Kolom kesan dan pesan di buku tamu pada setiap pameran seringkali kosong. Dari sini terlihat bahwa apresiasi terhadap seni sangat minim. Bahkan di Yogya, kota para seniman sekali pun,” ungkap Jati, recepsionist pameran yang juga salah satu anggota dari komunitas seni di Yogyakarta. [Vivin]

10 Juni 2010

17


Potret

S

Tabuhan Gamelan Distorsi Gitar

vs

18

ebulan terakhir, lingkungan UGM ramai oleh pertunjukan panggung. Penampilan band-band indie seperti Efek Rumah Kaca dan The Kucruts menggebrak lewat lagu-lagu yang mereka bawakan. Tidak hanya itu, pagelaran wayang dalam rangka Hari Kebangkitan Nasional menjadi hiburan yang tak kalah menarik. Sayangnya jurang usia tampak lebar dan curam. Pagelaran wayang misalnya, didominasi kalangan tua. Sedang muda-mudi lebih menggemari band-band indie. Foto dan Teks: Afnan.bal

10 Juni 2010

19


Sosok

Penghidang Mayat Berprofesi Ganda

Ketekunan dan ketelitian merupakan kunci keberhasilannya. Murjiono menerapkan dua hal itu secara apik pada profesi ganda yang tengah ia geluti.

D

ua pintu bangunan berwarna pucat itu terbuka lebar, seluruh isinya terlihat jelas dari luar. Melewati ambang pintu, tampak tumpukan kulit berbahan silikon berserakan. Tak luput para tulang yang dijejer rapi dengan alas kain. Begitu pula dengan kerangka manusia yang bergelantungan pada sebatang besi tua. Sementara di sudut ruangan, berdiri replika tubuh kaum Adam dan Hawa. Penggambaran tersebut hanya sebagian kecil dari suasana Bengkel Anatomi di Fakultas Kedokteran (FK) UGM. Selasa (11/5), tampak dua orang lelaki di ruangan bengkel tengah sibuk bergulat dengan tulang di tangannya. Salah satu tersenyum hangat ketika balkon menyapa. Ia adalah Murjiono, pegawai negeri golongan II-B yang bekerja sebagai pelayan laboratorium. Sebagian besar waktunya didedikasikan untuk menyiapkan peralatan praktikum bagi mahasiswa FK. Di

20

samping itu, ia telah membuktikan bahwa tak perlu gelar dokter untuk membuat replika kerangka manusia. Berawal dari Coba-coba Sulitnya mencari kerja pada tahun 1988 mendorong Murjiono untuk melamar pekerjaan di laboratorium FK. Hingga kini, ia telah menekuni pekerjaannya selama lebih dari 22 tahun sebagai pelayan laboratorium. Tugasnya ialah menyediakan alat dan bahan praktikum mahasiswa FK. Kesempatan lain datang usai ia bergulat dengan pekerjaannya selama dua belas tahun. Pada tahun 2000, ia memperoleh tawaran dari Dr. dr. Djoko Prakosa untuk membuat replika kerangka manusia. Mulanya lelaki asli Sleman ini merasa ragu untuk menyanggupi tawaran tersebut. Namun ia tetap mencobanya. “Saat itu, saya sekadar coba-coba,” ungkapnya. Enam bulan pertama, ia belajar membuat cetakan replika walau berbekal pengetahuan seadanya. Replika pertamanya berbentuk kerangka sederhana.

Setelah berhasil, ia mencoba membuat tiruan lengan yang berinfus. Saat proses inilah kendala mulai hadir. Bagi Murjiono, pembuatan tiruan lengan berinfus tak semudah membuat replika kerangka badan. “Saya sering mengalami kegagalan dalam pembuatan tiruan ini,” tuturnya. Ia pun mencoba berbagai cara. “Saat itu, saya juga menggunakan ukuran lengan teman sebagai contoh,” kenangnya. Akhirnya ia pun mampu membuat tiruan lengan berinfus yang digunakan dalam praktikum penyuntikan cairan ke aliran darah manusia. Seiring berjalannya waktu, kemampuan Murjiono pun meningkat. Lengan jahit yang biasa digunakan pada praktik menjahit luka pun berhasil dibuatnya. Lelaki yang lahir 43 tahun silam itu kini diberi kepercayaan untuk menjalankan usaha Bengkel Anatomi di FK UGM. Kepercayaan yang diperoleh, tak lantas membuat Murjiono berpuas diri. Ia tetap menciptakan inovasiinovasi. Bahkan melalui arahan sederhana Dr. dr. Djoko Prakosa, ia sanggup membuat replika alat kelamin pria, sirkumsisi, yang digunakan dalam praktikum sunat. Pekerjaan Beresiko Namun, pekerjaan yang tengah ditekuni Murjiono bukan tanpa resiko. Sebagai pelayan laboratorium FK, ia sering berhubungan dengan mayat yang diawetkan— kadaver. Bahan utama dari pengawet mayat adalah formalin yang berpengaruh buruk bagi tubuh manusia. Bagi Murjiono, interaksi dengan formalin sudah dianggapnya seperti ritme menggosok gigi. “Hampir terjadi setiap hari,” ujarnya. Frekuensi praktikum yang dilakukan mahasiswa FK juga mempengaruhi kadar formalin di lingkungan Bengkel Anatomi. “Saat ada praktikum, bau formalin tercium hingga kawasan Bengkel,” tambah laki-laki berkumis itu. Situasi ini terjadi karena letak Bengkel Anatomi berhadapan dengan laboratorium FK. Tingginya frekuensi formalin yang dihirup Murjiono dapat berpengaruh pada gangguan pernafasan. Bahkan, mampu menyebabkan penyakit kanker. Murjiono jelas mengetahui resiko dari pekerjaan ini. Karena itu, ia membiasakan diri mengenakan masker, sarung tangan, dan baju tahan air ketika memindahkan kadaver. Tindakan preventif ini berfungsi untuk meminimalisir pengaruh formalin untuk menjangkau tubuh. “Namun, dampaknya tetap terasa dalam tubuh,” keluhnya. Ia juga meresahkan bahwa fasilitas keselamatan kerja di FK kurang memadai. Murjiono sudah dua kali memberikan permohonan untuk penyediaan sepatu karet, tetapi tak ada tanggapan. Baginya, sepatu tersebut bermanfaat cukup signifikan. Tanpa sepatu itu, kakinya yang terkadang lecet akan terasa perih bila tak sengaja terkena tumpahan formalin. Guna meminimalisir dampak formalin, Murjiono pun diberi jatah susu. Fungsinya untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Kini, jatah tersebut berkurang. Jika awalnya ia bisa minum jatah susu dari bagian anatomi

setiap hari, semenjak tahun lalu jatah tersebut diganti dengan jatah dari fakultas yakni seminggu dua kali. “Mungkin bagian anatomi ingin mengurangi anggaran pengeluaran,” ungkap Murjiono. Namun, berkurangnya anggaran tak lantas membuat permintaannya terhadap sepatu karet dipenuhi. Ancaman kesehatan juga datang dari pekerjaannya di Bengkel Anatomi. Dalam pembuatan kerangka dan maneken, Murjiono juga menggunakan zat kimia pemercepat proses pengerasan bahan dasar rangka yakni resin. Efek bahan ini pun buruk bagi tubuh. Padahal intensitasnya di bengkel cukup lama. Lebih dari dua belas jam digelutinya untuk membuat tiruan anggota tubuh manusia. Akan tetapi, resiko tersebut tidak mengurangi kecintaan dan loyalitasnya di Bengkel Anatomi. Fleksibel Meskipun pekerjaan Murjiono penuh resiko, pendapatan yang diterima justru tak sesuai. Sebagai pelayan laboratorium, ia hanya memperoleh gaji 2,1 juta per bulan. Sebagai pengelola Bengkel Anatomi, pendapatan yang diterimanya pun tak pasti. “Ya mau gimana lagi, sekarang susah mencari pekerjaan,” ungkap bapak tiga anak ini. Padahal, atas jasanya lah Bengkel Anatomi memiliki pelanggan dari luar Jawa dan mulai dikenal hampir di seluruh wilayah Indonesia. Bengkel yang dikelola juga kerap dibanjiri pesanan replika. Harga yang dipasarkan pun bervariasi, mulai dari Rp 2.500,00 hingga Rp 6.000.000,00. Bahkan satu replika juga mampu menghasilkan keuntungan hampir seratus persen dari harga asli. Tiruan tangan berinfus, misalnya. Biaya produksi yang dihabiskan sekitar Rp 600.000,00 dan bisa dijual seharga Rp 1.200.000,00. Meskipun keuntungan yang diperoleh besar, Murjiono mengaku tak mengetahui sistem keuangan Bengkel Anatomi. Semua laporan administrasi diatur oleh Dr. dr. Djoko Prakosa, selaku pemilik. “Saya pribadi merasa enggan kalau menanyakan masalah ini ke beliau,” ujar anak kedua dari enam bersaudara ini. Ia merasa Dr. dr. Djoko Prakosa telah berjasa besar. Segala kesempatan yang diperolehnya dianggap lebih dari cukup. Namun, kegelisahan Murjiono akan nasib karyawan di bagian anatomi FK kembali menghantui. Ia meresahkan tak adanya sistem rotasi karyawan di bagian anatomi FK dapat berakibat buruk pada karyawan. Berbeda dengan bagian lain yang memiliki sistem rotasi. “Jika mulanya menjadi karyawan di bagian laboratorium, bisa pindah menjadi karyawan administrasi,” tuturnya. Keberadaannya di UGM juga tak banyak dikenal orang. Mahasiswa-mahasiswa kedokteran sekadar lalu lalang untuk meminjam replika tulang. Padahal, atas jasa pria ini nama Bengkel Anatomi cukup terkenal di arena penjualan replika. Asanya untuk dikenal pun tak begitu besar. Ia tak mengharapkan apresiasi yang istimewa dari mahasiswa. Cukuplah dengan memanggil dan mengingat nama akrabnya saja: Murjiono. [Abud, Gigi]

10 Juni 2010

21


Rehal

M

Simpul Negeri Mafia Judul Penulis Penerbit Edisi Tebal

22

:Negara Mafia :Dr. H. Laode Ida :Galang Press :I, April 2010 :277 halaman

Praktek korupsi telah bercokol lama di tubuh birokrasi Indonesia. Ini diperparah dengan maraknya jual beli kasus. Maka tidak salah, jika Indonesia diidentikkan sebagai negara mafia.

akelar Kasus (markus) adalah istilah yang sedang tren belakangan ini. Sebutan ‘markus’ seolah mewakili gambaran jaringan mafia yang telah tumbuh lama di negara Indonesia. Istilah ini populer lantaran kasus Century hingga Gayus Tambunan. Mafia pada awalnya merujuk pada sebuah organisasi rahasia yang terorganisir, rapi dan mapan. Biasanya, mereka bermain dalam wilayah-wilayah kriminal, seperti jual beli narkoba, senjata ilegal ataupun narkoba. Telah banyak dikenal organisasi mafia seperti Yakuza dari Jepang, Triad dari Cina, dan Costa Nostra asal Sicilia (hlm.18-19). Namun, saat ini kata mafia mengalami pergeseran makna. Mafia tidak lagi bermain dalam tindakantindakan ilegal di luar pemerintahan melainkan telah merambah pada ranah elit pembuat kebijakan pemerintahan. Mafia seperti ini beraksi dengan memanfaatkan celah-celah produk hukum di balik instrument kebijakan negara. Kini, para pemegang kebijakan negara adalah mafioso itu sendiri. Laode Ida sendiri merupakan seseorang yang sangat concern terhadap isu Mafioso ini. selain menerbitkan buku “Negara Mafia”, beliau juga merupakan salah seorang penggagas kaukus DPD Antikorupsi. Gerakan tersebut merupakan sebuah seruan moral antikorupsi di kalangan DPD. Praktek korupsi yang banyak terjadi di Indonesia dan terangkum jelas di buku “Negara Mafia” ini memang cukup meresahkan banyak pihak. Tidak bisa dipungkiri, pihak yang paling dirugikan adalah rakyat Indonesia. Inilah yang sengaja ingin dibedah oleh Laode Oda, Wakil Ketua DPD. Melalui “Negara Mafia”, Laode Ida berusaha memaparkan kemerosotan moral pejabat negara. Buku ini sekaligus merupakan respon kritis Laode Ida dalam menanggapi isu-isu penting yang muncul dan menjadi perhatian masyarakat luas. Menurut hasil penelitian lembaga non pemerintah internasional (NGO), Indonesia bertengger pada peringkat keenam negara terkorup di dunia. Laode Ida pun tak segan menyebut Indonesia sebagai mafia dominated state. Istilah ini dipinjam dari pernyataan Susan Ackerman (hlm. 21), yaitu sebuah kondisi untuk menggambarkan negara yang tak berdaya karena berada di bawah kendali jaringan mafia. Bukan rahasia lagi bahwa praktek korupsi telah merajalela di negara ini. Bahkan, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yodhoyono, menjadikan pemberantasan korupsi sebagai prioritas utama dalam kampanye program 100 hari pertama pemerintahannya. Ini mengindikasikan bahwa korupsi merupakan penyakit kronis yang harus segera diberantas. Sebagai simbol kebesaran negara, Istana pun lengah menjadi salah satu sasaran mafioso. Banyak debitur nakal yang bebas berlalu lalang di lingkungan Istana dan berupaya untuk menemui Presiden SBY. Mereka membawa kepentingan tertentu guna bisa dikabulkan. Tapi tidak semuanya berhasil. Kini sejumlah kalangan mengendus tindak korupsi dalam kabinet yang dibentuk oleh Presiden. Ini ironis sekali ketika kabinet tersebut sekaligus digadang sebagai

kabinet antikorupsi. Lahan subur jaringan mafia juga merebak di kalangan aparatur negara. Patut diketahui, praktek tidak terpuji tersebut didukung oleh sistem dan budaya birokrasi pemerintahan yang bobrok. Anehnya, budaya kebobrokan tersebut telah terpelihara lama di dalam birokrasi Indonesia. Banyak sekali aktor-aktor yang terlibat dalam praktek tercela ini. Mulai dari aktor kelas teri hingga kelas kakap. Hal itu sudah terbukti dengan banyaknya tersangka korupsi dari berbagai instansi negara. Sebut saja jaksa Urip Tri Gunawan yang terlibat dalam kasus penyuapan dengan Artalita Suryani. Tidak hanya melibatkan orang dalam atau elit pemerintahan, praktek tersebut juga dimainkan oleh sejumlah orang luar dengan jaringan yang cukup solid dan mapan. Pengambilan kebijakan tampaknya tidak lepas dari kepentingan ekonomi. Penyelenggaraan ujian nasional (UN), salah satunya, dianggap sebagai pengadaan proyek belaka. Apalagi tahun ini digelar UN ulangan. Tentu ini membutuhkan dana yang lebih besar. Pengadaan soal ditenderkan, belakangan justru para pengusaha percetakan ini diindikasi yang membocorkan soal. Negara menderita kerugian besar secara moral dan material. Istimewanya, Laode Ida juga berusaha membongkar perilaku korupsi wakil rakyat di Senayan, sementara Laode Ida sendiri menjadi bagian dari lembaga legislatif ini. Laode Ida menyebut koruptor di parlemen sebagai ‘Mafia Senayan’. Perilaku korupsi ini dimulai dari proses perekrutan tahap yang paling rendah, yaitu partai politik. Hampir semua wakil rakyat yang ingin mencalonkan harus tawar-menawar dengan pengurus partai politik agar bersedia mencalonkan dirinya. Proses melobi inilah yang menjadi tahap paling menentukan dan tentu tidak lepas dari gemilau uang. Selanjutnya, uang selalu dilibatkan dalam berbagai proses politik. Buku ini tidak hanya memaparkan fakta tentang tindakan korupsi dan jaringan mafia yang terorganisir, tetapi juga berusaha untuk membedah ruang di balik tindakan korupsi itu sendiri. Laode Ida berupaya untuk menganalisis sistem atau instrument kebijakan pemerintah yang dirasa melanggengkan praktek tersebut. Sejumlah kasus yang terpapar dalam buku ini memang telah banyak termuat di media massa. Tapi tak sekadar menggumulkan memori, Laode Ida juga menawarkan berbagai rekomendasi. Sekalipun tindak korupsi telah banyak diterjemahkan ke banyak teks dan diskusi, tetapi upaya menguraikannya tidak pernah berhenti. Satu simpul terurai, ribuan simpul lain kian mengikat kuat. “Negara Mafia” ada untuk turut memperkaya perspektif dalam memahami wacana korupsi di Indonesia. Dalam tataran yang paling sederhana, buku ini merupakan sebuah potret kegelisahan seorang warga negara terhadap keterpurukan bangsanya sendiri. [Amanda]

10 Juni 2010

23


Eureka

Solusi Bencana di Kawasan Parangtritis Parangtritis merupakan daerah rawan bencana. PSBA UGM berinisitaif menawarkan solusi melalui penelitian. Ini dilakukan untuk membangkitkan kepedulian dan kesadaran masyarakat guna kembali selamatkan alam. Sebab, manusia butuh alam, alam butuh manusia.

B

eberapa tahun terakhir, bencana di Indonesia cukup sering dibahas di media masa. Hal ini sering dikaitkan dengan global warming yang turut menyebabkan cuaca tidak menentu. Terkadang panas dan terkadang hujan yang tak sesuai musim, seperti yang terjadi sekarang ini. Tak lain, ini merupakan ulah manusia sendiri. Berangkat dari hal tersebut, ilmuan serta lembaga melakukan penelitian terkait dengan bencana yang sering terjadi disebabkan kondisi wilayah daerah yang rentan. Mereka berinisiatif untuk mengungkap, menganalisis, hingga mencari solusi konkrit agar masyarakat tidak gagap ketika bencana terjadi. Harapannya, masyarakat bisa mengantisipasi bencana, baik gempa maupun tsunami. Salah satu lembaga yang turut mengadakan penelitian mengenai bencana adalah Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM. Salah satu lokasi yang dikaji adalah Parangtritis, Bantul, Yogyakarta. Penelitian tersebut berjudul Penaksiran Multirisiko Bencana Di Wilayah Kepesisiran Parangtritis. Lokasi ini dipilih karena beberapa faktor, yaitu sebagai obyek wisata dan kawasan pendidikan. Wilayah Parangtritis banyak dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk kegiatan wisata maupun pertanian. Namun demikian, sebagai wilayah pesisir pantai, Parangtritis cukup rentan terhadap ancaman bencana, baik dari daratan maupun lautan. Melihat kekhawatiran ini, tim PSBA yang diketuai oleh Dr. Sunarto, M.S., melakukan analisis mendalam dengan tujuan agar masyarakat sekitar lebih peka atau dapat mengenali gejala-gejala bencana yang akan muncul. Penelitian yang dilakukan sepanjang tahun 2009 ini mempunyai dua konsep perumusan masalah, yakni konsep multirisiko dan kesiapsiagaan masyarakat untuk menghadapi bencana yang kemungkinan besar akan terjadi sewaktu-waktu. Dalam upaya menjawab masalah yang diteliti, tim

24

PSBA menggunakan metode penelitian yang terdiri dari tiga langkah, yaitu mekanisme dan rancangan, indikator keberhasilan aktivitas, dan keberlanjutan. Langkah pertama adalah mekanisme dan rancangan yang memiliki dua tahapan. Tahap pertama yang dilakukan peneliti ialah mencari landasan teori dengan cara melihat seberapa tingkat resiko bencana, kemudian dapat diuraikan sebagai fungsi dari bahaya (hazard), kerawanan (vulnerability), dan kemampuan kombinasi untuk mengatasi data (coping capacity). Kombinasi yang dilakukan dengan berbagai macam risiko bencana sehingga dihasilkan beberapa tipe bahaya (multihazards). Penaksiran-penaksiran dari berbagai risiko bencana tersebut yang dikenal dengan penaksiran multirisiko. Selanjutnya, peneliti membaginya menjadi tiga langkah yang terdiri dari tahap persiapan, pelaksanaan, dan penyelesaian. Pada tahap persiapan, dilakukan telaah literatur pendukung juga inventarisasi sumberdaya berdasarkan bahan, peralatan, dan sumberdaya manusia. Selanjutnya, tahapan pelaksanaan, dalam tahap ini peneliti sudah mulai membuat peta mulitirisiko bencana sekaligus mensosialisasikannya kepada masyarakat. Selain sosialisasi, masyarakat sekitar lokasi diajak untuk turut serta dalam Focused Group Discussion (FGD), yang bertujuan agar masyarakat dapat memahami fenomena multirisiko bencana tersebut. Tahapan terakhir, yaitu tahap penyelesaian, peneliti melakukan perbaikan peta multirisiko bencana sebagai hasil penelitian dan memantapkan sistem koordinasi pengurangan multirisiko bencana. Langkah kedua penelitian ini yaitu mengukur keberhasilan aktivitas melalui beberapa indikator. Terdapat beberapa indikator kinerja sebagai pedoman penilaian aktivitasnya, antara lain adalah ketersediaan peta multibahaya, multirawan, dan multirisiko; pemahaman masyarakat terhadap multirisiko bencana; system koordinasi pengurangan

multirisiko; dan publikasi ilmiah skala internasional. Adapun Langkah akhir dalam metode penelitian ini adalah keberlanjutan. PSBA mengusulkan untuk bisa melanjutkan kegiatan karena peluangnya sangat besar terhadap kelanjutan jalinan kerjasama dalam penelitian, baik dengan mitra lokal maupun mitra internasional. Kelanjutan kerjasama ini akan memudahkan pembiayaan dan pemanfaatan sumberdaya. Melalui langkah-langkah penelitian tersebut, peneliti telah merumuskan konsep multirisiko. Konsep ini disebut juga dengan konsep holistic, yang diperlukan untuk menganalisis interaksi yang kompleks sehingga akan lebih mudah untuk mencari cara dan pemecahannya. Proses analisis ini disebut dengan penaksiran risiko, yang terdiri dari analisis, evaluasi, serta pengelolaan risiko. Mengingat wilayah ini memiliki potensi bencana yang besar, maka perlu dilakukan ketiga penaksiran risiko secara terpadu. Penafsiran risiko yang dilakukan oleh peneliti, yaitu ditemukannya tiga peta: multibahaya, multirawan, dan multirisiko yang rendah, sedang dan tinggi. Dari ketiga peta tersebut, peneliti menarik hasil penaksiran risiko bahwa wilayah selatan yang paling dekat dengan pantai mempunyai tingkat potensi bahaya paling tinggi, seperti rawan akan terjadi abrasi, tsunami, serta konflik sosial. Kemudian, wilayah utara yang menjauh dari pantai mempunyai tingkat bahaya lebih rendah. Usaha mencari solusi bencana yang dilakukan PSBA tidak hanya berhenti pada hasil penaksiran. Selanjutnya, hasil penaksiran yang diperoleh dipadukan dengan kearifan lokal yang sudah dimiliki oleh masyarakat sekitar sebagai modal untuk siaga dalam menghadapi bencana. Hal ini menjadikan masyarakat di sekitar Parangtritis memiliki kepedulian terhadap fenomena bencana. Selain konsep multirisiko untuk membantu menganalisis bencana dan penanggulangan, ada juga kesiapsiagaan masyarakat dan meningkatkan

kapasitasnya. Guna untuk membantu analisis dan turut partisipasi dalam upaya penanggulangan risiko bencana. Program ini sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas dan mengurangi kerentanan dalam menghadapi ancaman bencana yang disebut juga Capacity Building. Penguatan kapasitas di level masyarakat ini sangat diperlukan dalam melaksanakan penanggulangan bencana karena sangat mempengaruhi program yang sudah direncanakan. Hal ini dimaksudkan untuk memunculkan partispasi masyarakat. Partisipasi dari masyarakat akan menimbulkan sikap politik dan memberikan keberpihakan masyarakat pada kearifan lokal dan pengetahuan tradisional, masyarakat juga harus dapat memahami multirisiko bencana termasuk sistem koordinasi penanggulangannya. Penelitian bencana di Parangtristis oleh PSBA akan membuat masyarakat lebih mengerti dan waspada terhadap ancaman bencana. Terlebih dengan diadakan FGD, masyarakat diharapkan mengetahui maksud dan tujuan penelitian tersebut. PSBA juga memberikan solusi kepada masyarakat terkait tentang bahaya bencana. Dengan demikian, masyarakat akan siap siaga terhadap ancaman bencana. [Charir]

10 Juni 2010

25


Siasat

Buruh, Antitesis Kapitalisme

Pendidikan, antara Retorika dan Realita M. Uwais Sidhi Weiss Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Bayu Mardinta Kurniawan Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan 2005 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

M

emahami gerakan buruh di Indonesia sebenarnya cukup sulit. Keberadaan buruh pun masih sering diperdebatkan. Banyak orang melihat buruh dengan perspektifnya masing-masing. Ada yang mengidentikkan buruh sebagai pekerja kasar, ada yang mengganggapnya pekerja pabrik, ada pula yang mengidentifikasinya dari pemahaman Marx. Berbeda dengan negara barat, gerakan buruh di Indonesia cenderung implan atau tidak berbasis pada tradisi yang kuat. Tidak banyak orang menelaahnya dari perspektif ini. Biasanya gerakan buruh dilihat dari pola gerakannya, atau sistem di Indonesia yang masih amburadul. Namun, kali ini gerakan buruh akan coba digali dari sudut pandang yang berbeda. Merunut pemikiran Marx, buruh merupakan entitas kelas sosial yang telah ada sejak lahirnya kapitalisme. Pekerja yang tidak memiliki modal dalam bentuk materi, dimanfaatkan tenaga dan waktunya sebagai alat produksi. Beberapa tokoh yang pro dengan Fahri.bal Marx melihat buruh dijerat sistem kapitalisme yang tidak manusiawi. Implikasinya, muncul tindakan resisten agar terbebas dari sistem yang menindas. Realitas lingkungan di sekitar Marx melahirkan konsepsi buruh dan cita-cita diktator proletariat. Paham ini kemudian digunakan beberapa negara terutama di benua Amerika dan Eropa karena sifat ideologinya yang universal dan melahirkan banyak gerakan buruh. Beberapa tokoh dunia, seperti Lenin atau Stalin, Mao Tzedong, Hitler, Tan Malaka, sampai Soekarno menggunakan pemahaman Marx sebatas pisau analisis, namun tidak sepenuhnya. Inilah yang menyebabkan pemikiran Marx tidak murni digunakan sebagai tujuan oleh tokoh-tokoh tersebut. Melihat sejarah Indonesia, gerakan buruh bukan terlahir dari spirit perlawanan kelas sosial. Pada masa kolonial, spirit gerakan buruh lebih fokus pada anti kolonialisme dan imperialisme.

26

Tidak berbeda di tahun 1965 di mana buruh menarik perhatian semua partai politik. Waktu itu Soekarno dengan gagasan Marhaennya mengangkat masyarakat kecil termasuk buruh, menjadi soko guru revolusi Indonesia. Berbeda dengan era sebelumnya, di masa orde baru organisasi buruh dirampingkan. Pembangunan di segala sektor termasuk industri dan jasa, ternyata menguatkan masyarakat pada posisi kelas sosial masing-masing. Tumbuhnya industrialisasi menimbulkan implikasi pada masyarakat bawah, termasuk buruh. Dari sinilah, gerakan buruh mulai dikenal. Sepuluh tahun terakhir banyak upaya membuat gerakan buruh agar menjadi besar di Indonesia. Pintu reformasi menciptakan gerbang demokrasi sehingga memungkinkan gerakan buruh berkembang pesat. Sayangnya, keinginan untuk membuat gerakan buruh di Indonesia, tidak pernah dibarengi dengan semangat nasionalisme. Buruh di Indonesia memiliki karakter yang berbeda-beda di setiap wilayah dan kondisi kerjanya. Keduanya akan merepresentasi ciri dan watak buruh. Benturan antara keinginan buruh untuk bekerja dengan radikalisasi yang dibawa oleh aktivis buruh, biasanya menghadirkan permasalahan tersendiri. Idealitas aktivis kadang susah diko mpromikan dengan realitas yang dihadapi buruh. Tak ayal, solusi yang dihadirkan seringkali dipaksakan. Tak dapat dipungkiri, gerakan buruh hadir sebagai antitesis kapitalisme. Namun, kapitalisme sendiri bagi bangsa Indonesia masih cukup abstrak. Gerakan buruh perlu direfleksikan kembali agar tidak membawa pesan buruk pada tatanan masyarakat. Walaupun gerakan buruh bersifat global, mencari formula atas eksistensi yang telah ada sekarang akan menjadi solusi terbaik.

“Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”

H

ampir semua orang yang pernah mengenyam pendidikan pasti memahami maknanya atau paling tidak pernah mendengarnya. Kalimat tersebut adalah sebuah falsafah dari pahlawan pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara. Falsafah ini berbicara tentang apa dan bagaimana proses pendidikan itu berlangsung. Di depan, kita menjadi contoh, di tengah, kita turut serta, dan di belakang kita memberi dorongan. Melihat realitas pendidikan di Indonesia, muncul gurauan yang berakar dari falsafah tersebut. Mungkin kita pernah membaca atau mendengar seseorang menyindir kalimat itu dan menggantinya dengan “ing ngarsa mumpung kuasa, ing madya agawe rekasa, tut wuri nyilakani.” Kalimat tersebut bermakna, tatkala berkuasa menggunakan aji mumpung, sebagai kelas menengah selalu menyulitkan orang, dan jika menjadi rakyat gemar mencelakai. Bisa dikatakan makna gurauan tersebut mencerminkan kompleksitas pendidikan Indonesia. Rumitnya Fahri.bal pendidikan Indonesia dapat ditelusuri ketika kita mengenyam bangku SD. Murid dan guru seolah terikat dalam sebuah sistem yang konstan. Guru berdiri di depan menerangkan materi, murid duduk dengan tenang mendengarkan. Beranjak ke SMP dan SMA, masih saja siswa berkutat dengan metode yang sama. Perbedaannya dengan pendidikan ketika SD hanyalah tingkat keberanian siswa dalam menentang sistem yang lebih besar. Perubahan baru terlihat di dunia perguruan tinggi. Ada kelonggaran dan kebebasan yang diasumsikan bahwa kedewasaan mahasiswa sudah mulai diperhitungkan dalam proses pendidikan. Keberanian dan kebebasan yang mereka punya tidak diikuti kontrol yang cukup. Akibatnya, kebebasan mahasiswa dapat menjadi benalu dalam proses pendidikan itu sendiri.

Dapat disimpulkan, alur pendidikan Indonesia sejak SD hingga universitas mengisyaratkan ketidakjelasan sistem pendidikan di Indonesia. Sebenarnya Indonesia memiliki sumber daya manusia yang berkualitas, cerdas, dan potensial dalam jumlah yang besar. Jika dimanfaatkan dengan baik, tentunya akan berpengaruh bagi kemajuan bangsa. Di sisi lain, pengiriman sumber daya manusia yang berkualitas sangat bertolak belakang dengan realita yang terjadi di Indonesia. Banyak sekali kasus-kasus korupsi di Indonesia, baik yang dilakukan oleh rakyat, maupun pejabat. Penjahatpenjahat kerah putih, dalam birokrasi seperti suap dan korupsi, melakukan berbagai kejahatan. Ini mengakibatkan munculnya banyak penjahat kerah biru, seperti perampok dan pembunuh karena merasa dirugikan oleh penjahat kerah putih. Hal itu tak bisa lepas dari peran pendidikan. Orang-orang yang gila harta dan kekuasaan merupakan dalang utama dalam bobroknya sistem pendidikan di Indonesia. Inilah yang membuat orang miskin tidak dapat mengenyam pendidikan. Merenungkan dan menerapkan falsafah yang disampaikan Ki Hadjar Dewantara, memungkinkan memperbaiki kondisi pendidikan di Indonesia. Dalam falsafah tersebut terkandung sebuah semangat untuk saling mendukung, peduli, dan menghargai setiap komponen pendidikan maupun bangsa dan negara yang ada secara menyeluruh. Menjalani realita memang tak semudah beretorika, tapi paling tidak ada sesuatu yang bisa dijadikan pegangan dan harapan demi kemajuan pendidikan, perbaikan, dan perkembangan bangsa ini. Ingin rasanya segera melihat kondisi bangsa Indonesia dalam semangat “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” bukan “ing ngarsa mumpung kuasa, ing madya agawe rekasa, tut wuri nyilakani”.

10 Juni 2010

27


Advetorial

Opini

Kick KIK! Oleh: Ahmad Musthofa Haroen Kepala Riset BPPM BALAIRUNG UGM

S

sst... Citra kampus boleh saja kerakyatan, tapi cara kerja harus neo-liberal. Biarpun keliahatan ndesa, yang penting bisa jualan.

Elok nian, petinggi-petinggi kampus ini mulai fasih melihat peluang bisnis. Satu persatu,apa saja bisa diperjualbelikan. Kita memasuki zaman saat banyak orang mengimani uang, tidak hanya sebagai alat, tapi juga alasan dan sekaligus tujuan. Jadi, kalau anda masih melihat kampus sebagai tempat suci dengan gairah meluap terhadap ilmu pengetahuan, tempat dimana harapan bangsa bisa dialamatkan, tempat mahasiswa belajar menemukan luhurnya pengabdian, jelas anda sudah ketinggalan jaman. Barangkali, lantaran di kampus ini sudah mulai banyak yang “peka jaman”, jangankan melawan, pada komersialisasi pendidikan, banyak orang tidak keberatan. Maka, kali ini, saya sangsi apakah segenap civitas masih peduli pada urusan seremeh KIK alias Kartu Identitas Kendaraan. Kesangsian ini tambah berlipat. Tengoklah, para pengampu kebijakan kampus tahu betul tips dan trik mengendalikan keadaan. Kalau lah ada kebijakan yang dirasa menimbulkan kontroversi, lakukanlah saat liburan. Kalau tidak, lakukanlah saat orang tengah sibuk ujian. Sejak “portal gate”, banyak yang mempersoalkan kebijakan lalu lintas di UGM minim sosialisasi. Jangan salah, sosialisasi yang minim boleh jadi memang strategi. Ditambah lagi para pengampu kebijakan tahu betul falsafah jawa yang kemudian difeodalkan: alon-alon asal kelakon. Pelan namun

28

pasti, semua yang berharga di UGM ini mesti jadi barang atau jasa yang dirupiahkan. Kalau yang disasar ketertiban dan keamanan, Kartu Mahasiswa saja sudah cukup. Di dompet sudah ada begitu banyak kartu. Dari KTP, SIM, STNK, dan ATM. Dari KIM, kartu GMC, kartu Perpus universitas, hingga kartu perpus fakultas. Namun, karena parkir diincar sebagai komoditas, usulan efisiensi administratif jelas tak menarik. Nah, sebentar lagi, kertas karcis di jalan Sosio Humaniora mungkin tak akan dihambur-hamburkan lagi. Banyak yang memrotes karcis-karcis itu sia-sia dan mubazir belaka. Maklum, dalam sepuluh hari saja dihabiskan lima juta rupiah untuk mencetak karcis. Tapi, mungkin tak banyak yang mengira karcis-karcis itu sengaja dimubazirkan untuk menghitung jumlah kendaraan yang lalu-lalu lalang. Perhitungan itu penting buat analisis keuntungan parkir berbayar. Pak Sriono, anggota SKKK, mengeluh, “saya dididik sebagai petugas sekuriti, bukan tukang parkir.” Barangkali Pak Sriono tambah getir jika tak lama lagi gajinya akan diambilkan dari pendapatan parkir. Seorang alumni yang mantan aktivis lalu berkomentar, “jadi sekarang satpam-satpam itu harus cari uang sendiri tho?” Memang, bohong jika kita tak butuh uang. Tapi, jika semua hubungan dan perilaku dibisniskan, tidakkah kemanusiaan kita sedang direndahkan? Maka, KIK jadi salah satu kisah dari bunga rampai berjudul, PT UGM: dari Perguruan Tinggi sampai Perseroan Terbatas. h Û .

h Û 5

B21: Posko TLATAH BOCAH

S

emenjak 2007 Rumah Pelangi Muntilan menggelar hajat budaya anak TLATAH BOCAH (Bhs. Indonesia: area ramah anak) setiap tahun untuk mengkampanyekan hak anak dalam bentuk festival selama 1 bulan. Kegiatan ini didukung 22 kelompok seni (wayang bocah, ketoprak, jathilan, reog, kuda lumping, kobro siswo, warok, jalantur, pada karya, dll.) dari lereng Merapi, Sumbing, dan Perbukitan Menoreh yang berasal dari 4 Kabupaten: Magelang, Boyolali, Salatiga, dan Kulonprogo. TLATAH BOCAH ke-4 yang berlangsung tahun ini digelar di lereng Merapi, Dusun Gowok Pos, Sengi, Sumber, dan Patosan pada tgl 12 Juni - 11 Juli bertemakan: "pentingnya dongeng/cerita sebagai acuan sejarah dan petuah leluhur" dan bertajukkan "TUTUR TINULAR: Tuturing Ati Tinular ing Pakarti" (Bercerita Sepenuh Hati Memaknai Pekerti). Rangkaian agenda berupa: wayang kulit, workshop dongeng, workshop sablon, sarasehan, pasar rakyat, pemutaran film, turnamen sepakbola kuda lumping, dan gelar seni tradisi. Teman-teman kecil dari Padang Pariaman (Sumatra Barat) juga berencana hadir memeriahkannya. Penggalangan sumber daya untuk kesuksesan festival dilakukan dengan gerakan solidaritas pengumpulan barang/pakaian layak pakai, buku cerita dll. melalui 35 posko di berbagai kota. Tersedia pula tanda mata berupa kaos, tas, dan pin khas TLATAH BOCAH untuk partisipan.

Mari wujudkan area ramah anak dengan berpartisipasi sesuai sumber daya yang dimiliki. Donasi Anda dapat disalurkan melalui Redaksi Balkon di Bulaksumur B-21 (Udin 0856 – 322 8585) atau lihat posko lain di www.TlatahBocah.org

Sekretariat TLATAH BOCAH: Rumah Pelangi - Dusun Patosan – Desa Sedayu – Kecamatan Muntilan 56412 twitter: @tlatahbocah facebook: Tlatah Bocah blog: www.TlatahBocah.org Telpon : 0857 – 4342 0558 Kontak : Gunawan Julianto Sekretariat TLATAH BOCAH:

10 Juni 2010

29


Kolom Pakar

Independensi dan Representasi dalam Student Government

Abdul Gaffar Karim (Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM)

L

embaga kemahasiswaan di kampus adalah lembaga yang penting dan kontributif dalam proses pematangan berpikir dan bertindak seorang mahasiswa. Banyak keterampilan sosial, politik serta orientasi ideologis dalam perkembangan potensi dan kemampuan diri justru berkembang di lembaga-lembaga kemahasiswaan, ketimbang di ruang kuliah. Karenanya, lembaga kemahasiswaan menyediakan bagi kita sebuah media untuk memprediksi arah dan bentuk dinamika politik di lingkup kenegaraan baik lokal maupun nasional. Sekaligus, dinamika student government di kampus adalah cerminan dari realitas politik yang ada di luar sana. Jika politik kenegaraan adalah sebuah makrokosmos, maka student government adalah sebuah mikro-kosmos. Kedua kosmos ini memiliki perilaku yang senada. Keduanya juga dapat diamati dengan pertanyaan yang sama: seperti apakah proses representasi yang berjalan di sana? Adakah independensi lembaga-lembaga tersebut? Dengan cara yang sama, pertanyaan itu dapat kita layangkan

30

pada kondisi student government di UGM. Tak banyak studi yang secara khusus membahas tentang student government atau student governance. Salah satu buku terkini tentang peran gerakan mahasiswa dalam formulasi kebijakan diedit oleh Miller dan Nadler dengan judul Student Governance and Institutional Policy: Formation and Implementation (2006). Dalam kata pengantar untuk buku ini, Laosebikan-Buggs menulis secara ringkas tentang gambaran umum student government di kampus. Laosebikan-Buggs menulis bahwa student government associations mula-mula muncul di Amerika di awal tahun 1900an, dibentuk oleh otoritas kampus untuk menata kehidupan mahasiswa. Tujuan essensial pendirian lembaga intra kampus, dengan demikian, memang kontrol universitas terhadap mahasiswa. Student Government memiliki orientasi yang cukup beragam: orientasi pada politik semata-mata, orientasi pada pemenuhan kebutuhan pragmatis mahasiswa, atau orientasi ekonomi. Dalam orientasi pertama, isu yang menonjol biasanya adalah

persaingan yang sangat ideologis untuk mengisi posisi-posisi penting di struktur kemahasiswaan. Di sini lembaga kemahasiswaan menjadi ajang persaingan dan pematangan politik yang cukup penting. Dalam orientasi pemenuhan kebutuhan mahasiwa, lembaga-lembaga ini lebih banyak mencurahkan energinya untuk memenuhi hajat-hidup sehari-hari mahasiwa, seperti sarana tempat tinggal dan makan di kampus, sarana olahraga, parkir, dan lain-lain. Orientasi ini kadang berimpit dengan orientasi bisnis. Terlepas dari orientasi apapun yang dimiliki oleh student government, terdapat sejumlah fungsi pokok yang harus dijalankan oleh lembaga kemahasiswaan tersebut. Laosebikan-Buggs menyebutkan 3 (tiga) fungsi pokok student government yang satu sama lain sangat terkait, yakni advocacy, representation, and voice. Sebagai sebuah lembaga yang anggotanya dipilih, student government pada intinya adalah sebuah lembaga representasi. Karenanya, lembaga ini harus mampu memainkan peran advokasi bagi para mahasiswa, maupun bagi kelompok-kelompok mahasiswa yang ada di kampus. Lembaga ini memiliki tugas utama untuk memformulasikan dan menyuarakan opini dan kepentingan mahasiswa secara tepat dan realistis. Lembaga mahasiswa, dengan demikian, harus menjadi manifestasi dari harapan dan kepentingan riil para mahasiswa di kampus. Sayangnya, demikian tulis LaosebikanBuggs (2006:3), In reality, the role of advocacy is almost completely absent in most student government bodies. Advocacy is limited to the issues of concern to the officers and the body, with little regard to the average student. Student organizations [are] representing their own interest‌ Untuk konteks student government di Indonesia khsususnya di UGM, terbuktikah kekhawatiran Laosebikan-Buggs di atas? Tentu saja kita perlu melakukan pengamatan lebih dalam. Namun beberapa fakta berikut bisa kita diskusikan. Kita bisa mulai dengan menggaris-bawahi kenyataan bahwa di masa pemerintahan otoriter, gerakan mahasiswa tak ayal menjadi salah satu target korporatisme politik yang dijalankan oleh negara. Pembatasan ruang-ruang ekspresi dan gerakan adalah salah satu metode penting yang dilakukan negara masa Orde Baru. Kebijakan NKKBKK di masa lalu adalah manifestasi paling jelas dari pola penanganan yang korporatis itu. Di sini, mahasiswa dan gerakan mahasiswa diletakkan dalam kontrol negara yang sangat ketat. Ujung tombak kontrol negara itu, sayangnya tak lain dan tak bukan adalah pimpinan universitas sendiri. Kontrol negara ini dijalankan dengan banyak cara, termasuk dalam intervensi terhadap proses representasi dalam student government, hingga secara remuneratif

dengan kendali dan ketergantungan anggaran. Pasca Orde Baru, kendali ideologis oleh pimpinan universitas memang telah sirna, namun ketergantungan anggaran dari student governemnt terhadap pimpinan universitas masih cukup tinggi. Hal ini jelas sangat menghambat kemandirian lembaga kemahasiwaan, dibandingkan jika lembaga ini mandiri secara finansial. Di Amerika dan negaranegara maju lain seperti Australia, gerakan mahasiswa sudah dikelola secara sangat profesional untuk mewakili mahasiswa dan upaya pemenuhan kebutuhan sehari-harinya itu. Bahkan pengurus lembaga kemahasiswaan tak jarang digaji cukup besar agar bisa memusatkan perhatian pada tugas keseharian itu. Dari mana dana untuk menggaji itu diperoleh? Tentu saja dari keuntungan bisnis yang mereka kelola, yang di dalamnya termasuk asrama mahasiswa, kantin, sarana olahraga, bahkan konseling mahasiswa. Keanggotaan dalam lembaga mahasiswa ini bersifat sukarela, dan mensyaratkan pembayaran iuran keanggotaan. Sebagai mahasiswa di Curtin University, saya harus membayar AU$100 setiap tahun jika ingin menjadi anggota di Student Guild. Dengan menjadi anggota Student Guild, saya memperoleh sejumlah hak termasuk untuk mendapat diskon saat berbelanja di unishop misalnya. Iuran tahunan yang cukup besar ini memberi pemasukan yang tidak kecil bagi student government di sana. Pemasukan secara rutin dari iuran keanggotaan dan, terlebih lagi, dari keuntungan pengelolaan bisnis, ini telah secara signifikan menciptakan kemandirian student government terhadap otoritas kampus. Tapi kalaupun kemandirian finansial itu bisa dicapai, student government di Indonesia (UGM khususnya), punya agenda lain yang juga mendesak: kemandirian dari 'invasi' ideologis eksternal. Saat ini, sulit untuk menyangkal bahwa student government punya kecenderungan representasi peta ideologis eksternal. Lembaga ini lebih cenderung menjadi arena bagi kekuatan luar untuk masuk dan menemukan lahan di dalam. Ia bukan sebaliknya: wadah organik yang melahirkan kekuatan yang home grown untuk pada gilirannya menyumbang pada peta politik eksternal. Yang menjadi dasar pergulatan dan kontestasi dalam student government kita adalah ideologi eksternal, bukan daily needs para mahasiswa secara internal. Di tengah politik yang (diharapkan) kian pragmatis dan daily, orientasi ideologis lembaga kemahasiswaan yang eksesif adalah sebuah ketertinggalan (bandingkan dengan politisi kita yang mulai menangkap isu-isu riil dan kongkrit sepertiVenna Melinda dan rumah senamnya). Dengan orientasi yang masih cenderung ideologis dan eksternal ini, saya khawatir bahwa student government kita kian lama kian akan berhadapan dengan pertanyaan tentang representasi, seperti ditandaskan oleh Laosebikan-Buggs di atas. Sanggupkah kita menjawabnya? Wallahu a'lam.

10 Juni 2010

31


eraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 entang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri ebagai Badan Hukum. Peraturan tersebut (Bukan) Kerumunan engamanatkan otonomi kebijakan perguruan inggi. Universitas pun harus mandiri alam mencari sumber pendanaan. ampaknya, orientasi universitas sekadar encari profit sehingga ditakutkan akan engesampingkan pengelolaan sistem aminan mutu.Padahal, dengan penerapan istem jaminan mutu, setiap kebijakan imungkinkan untuk dianalisis dan ievaluasi secara tepat. Untuk UGM, sesuai urat Keputusan Rektor UGM Nomor 23/P/SK/Set.R/2001, sistem jaminan mutu ersebut dikelola Kantor Jaminan Mutu KJM). Institusi itu mengurusi semua hal erkait peningkatan mutu universitas. danya KJM merupakan strategi universitas ntuk menunjukkan bahwa mutu pendidikan asih menjadi prioritas, baik bagi ahasiswa maupun calon mahasiswa. Heri ahyu Supartini, mahasiswa Jurusan dministrasi Negara Fisipol, secara asuistik memberikan sedikit telaahan elalui skripsi yang berjudul Implementasi Kebijakan Sistem Jaminan utu UGM (Studi Kasus di Program Studi eknologi Pangan dan Hasil Pertanian [PSPHP] Fakultas Teknologi Pertanian dan

P

eradaban dimulai ketika orang-orang yang berkumpul di satu tempat membuktikan kalau mereka bukan sekedar berkerumun. Barangkali inilah perbedaan manusia dan hewan. Manusia selalu berupaya mengelola hubungan diri dengan lingkungannya, hewan tidak. Makanya sekumpulan hewan tak pernah melampaui kerumunan sebagai bentuk kehidupan sosialnya: kawanan dubuk mengerumuni bangkai, kawanan babi mengerumuni kubangan lumpur, dan seterusnya. Namun manusia juga tak selalu berhasil melampaui kerumunan. Masyarakat kerap kali gagal mengelola diri sendiri lalu terperosok menjadi kerumunan. Ada dua ciri-ciri yang menandai keterperosokan itu: ketakteraturan dan kesementaraan. Dua variabel ini saling sebab-menyebabkan. Karena tak hendak dipertahankan keberadaannya dalam waktu lama, maka keinginan untuk membangun keteraturan pun tak ada. Atau justru karena ketakteraturannya, maka kerumunan tidak mungkin bertahan lama. Menurut Herbert Blumer, kerumunan terbagi menjadi empat jenis. Pertama, kerumunan tidak tetap, keberadaannya amat singkat dan terorganisasi secara longgar. Sifatnya spontan, misalnya orang-orang yang kebetulan melihat gedung terbakar secara bersamaan. Kedua kerumunan konvensional, terjadi secara terencana dan berperilaku lebih teratur, misalnya penonton pertandingan sepak bola. Ketiga kerumunan bertindak, keterlibatannya didasari pada permusuhan, misalnya massa yang melakukan perusakan. Keempat kerumunan ekspresif, yang muncul untuk melampiaskan emosi dan ketegangan, misalnya para penonton konser dangdut. Setiap jenis kerumunan sangat rentan akan kekerasan. Karena dalam

32

Interupsi

kerumunan, kekerasan cenderung diperbolehkan dan mudah menjalar. Dalam kerumunan, banyak orang memadat dalam satu ruang namun gagal untuk saling bertemu. Prilaku mengerumun ini juga dapat ditemukan di sekitar kita. Sadar atau tidak, kita, Mahasiswa UGM dapat saja dikategorikan sebagai kerumunan. Mahasiswa dari berbagai daerah memadat di kampus ini, namun apakah dalam pemadatan tersebut para mahasiswa saling bertemu? Apakah dalam pemadatan tersebut keragaman individu tidak tercekik oleh homogenitas kerumunan? Jika ternyata para mahasiswa gagal saling bertemu dan keragaman individu tercekik oleh homogenitas kerumunan, maka kita mungkin hanyalah kerumunan konvensional. Kerumunan yang cenderung lebih teratur. Maka mahasiswa hanyalah pengerumun belaka karena tak mampu mengorganisir diri dan dianggap sebagai entitas yang sifatnya sementara. Lalu muncul sistem pemerintahan mahasiswa untuk melampaui bentuk kerumunan. Dengan KM sebagai lokomotifnya, segenap mahasiswa diajak menjadi subjek dalam pembentukan kebijakan. Lakon politik pun harus dimainkan. Sialnya, para politisi kampus ini gemar sekali mereproduksi retorika pengatasnamaan rakyatnya secara dangkal dan mubazir. Wajar jika kebanyakan rakyat mahasiswa justru menganggap politik sebagai lalat beracun yang harus dijauhi. Karena kegagalan fungsi representasinya inilah KM justru menjadi kerumunan baru. Kerumunan dalam kerumunan. Tentu saja kita harus terus mencoba melampaui kerumunan. Kita harus membuktikan bahwa mahasiswa bukan sekedar berkerumun di kampus.

Penginterupsi

Sudut + Kongres KM ricuh. - Wah, bukan cuma bonek yang bisa rusuh. + Partai penting sebagai pembelajaran sebelum terjun ke masyarakat (Azza tentang partai kampus di UGM). - Sekaligus pembelajaran ngibuli konstituen.

10 Juni 2010

33


Pusat Layanan

TIKET

Pesawat dan Kereta Api

Kompleks Bulaksumur A11 Yogyakarta

Alamat: 55281 Telp: 0274 - 555 182 Fax: 0274 - 555 183 Website: www.gamawisata.com

Ruko UGM No.1 Jl. Agro - Selokan Mataram Yogyakarta 55281 Telp: 0274 - 553 934 Fax: 0274 - 588 701

Lobby UC Hotel Jl. Pancasila No.1 Bulaksumur Yogyakarta 55281 Telp: 0274 - 555 189 Fax: 0274 - 555 178

song ? o k i n i n ce ikla a p s a p kena n ... a l k i g n Bingung a belum d n !! A , n a o k l a Soalny an di b l k i g n a pas CP: 08572726105 Segera


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.