Edisi 118

Page 14

Januari 1984 Aku tak tahu lagi pada siapa harus mengadukan nasib ini. Saat ini, Ratih (adikku) pasti sedang kelabakan mencari bukunya yang hilang, tempat yang kugoreskan luka hati sekarang ini. Di kertas lusuh ini kucoba menuangkan kesalku. Cintaku pada Sutan Mudo terpaksa harus kurelakan dengan berat hati. Hidup ini memang kejam. Yang lemah selalu tertindas. Dan aku hanyalah sekeping cerita dari korban buasnya kehidupan. Cerita Siti Nurbaya yang dulu pernah menjadi dongeng sebelum tidurku, kini malah menimpa hidupku. Hanya saja aku bukan Siti Nurbaya korban hutang piutang keluarga. Kulihat kristal bening menggenang di pelupuk mata Sutan Mudo, saat aku terpaksa mengatakan bahwa sebulan lagi pesta pernikahanku dengan Sutan Saidi akan berlangsung. “Ini bukan mauku, Sutan,” kataku meyakinkan. “Tapi kau mau, bukan? Kalau memang kau mencintaiku, mengapa kita tak lari saja? Kita menikah, punya anak, dan hidup bahagia selamanya.” Sutan Mudo mulai menjatuhkan air matanya. “Tidak semudah itu, Sutan, Amak menginginkan menantu urang surau.” Kucoba mendekati Sutan Mudo lantas mengusap air matanya. “Aku juga bisa tinggal di surau, hidup di sana, mengumandangkan adzan pada waktunya! Kalau kau mau, sekarang pun aku bisa pindah ke surau!” suara parau khasnya mulai meninggi. Tiba-tiba Amak datang dengan Angku (kakak lakilaki Amak). Aku kaget bukan kepalang. Sementara Sutan Mudo lari, menghilang entah ke mana, meninggalkanku seorang diri menghadapi Angku yang membawa parang. “Sekarang lihat?!! Lelaki yang kau agung-agungkan itu justru meninggalkanmu hanya karena melihat parang ini. Apa lelaki seperti itu yang kau harapkan? Saat kau dalam kesulitan dia malah lari meninggalkanmu.” Angku berkacak pinggang seraya mengangkat parang yang tadi di tangannya sedikit ke angkasa. Aku hanya diam. Amak pun menyeret tanganku. Dan tanpa perlawanan aku mengikuti langkah amak, seperti kerbau yang telah dicocok hidungnya. Februari 1985 Satu tahun sudah aku hidup dengan Sutan Saidi. Lelaki pilihan orangtuaku. Tapi aku belum memiliki

Suami dari Surga Cerpen: Williya Meta

buah hati, seperti Hindun yang baru tiga bulan menikah dengan Sutan Mudo, tetanggaku. Tapi sangatlah wajar rasanya, karena selama pernikahan kami, Sutan Saidi tak pernah sedikitpun menyentuhku. Pernah sekali dia meminta haknya padaku. Dengan kasar dan berat hati, kubuka satu kancing atas bajuku. Sutan Saidi memegang tanganku, kemudian tersenyum. “Sudahlah, Dik, tidak usah dipaksakan.” Senyumnya mengembang, mencoba menenangkan. “Ini hakmu, ambillah!” Kataku sambil mencoba melanjutkan membuka kancing kedua. “Aku tidak akan meminta hakku sebelum Adik sudah benar benar sudah mencintaiku.” Ujarnya lagi sambil mengambil tanganku dan meletakkannya ke bawah, lantas berjalan meninggalkanku. “Abang yakin?” sedikit malu kubertanya. Dia tersenyum dan dan memejamkan matanya sejenak. “Hakku akan lebih menjadi ibadah jika diterima dari orang yang ikhlas memberinya. Aku akan selalu siap menunggu sampai Adik benar benar siap memberikan hakku seutuhnya” senyumnya sambil melanjutkan langkahnya meninggalkanku. Dan benar saja, sejak itu dia tidak pernah lagi meminta haknya padaku aku sedikit lega karena dia tidak pernah mengungkitnya sedikitpun. Aku bisa menghirup udara bebas bisa menjadi anak yang tak durhaka pada orang tua, dan suami yang tidak

membutuhkan haknya. Aku senang! Maret 1985 Hari ini aku benar-benar diselimuti ketakutan. Dari pengajian yang aku ikuti tadi Kiai berkata bahwa seorang istri tidak boleh menolak untuk memberikan hak suaminya jika dia ‘memintanya’. Bahkan Sabda Rasullullah jelas mengatakan, jika ada seorang istri yang tidak mau melayani suaminya, kemudian suaminya tidur dalam keadaan jengkel maka sang istri akan dilaknat oleh para malaikat sampai esok pagi. Jujur, hatiku sedikit gemetaran mengingat malaikat melaknatku. Tapi tetap saja aku belum siap mencintai suamiku. Lagi pula, toh suamiku tidak pernah memintanya, dan aku pun tidak pernah menolaknya. Jadi aku bisa merasa diriku tidak dilaknat malaikat. Kenapa tidak? April 1985 Kadang aku bingung dengan Sutan Saidi. Bagaimana bisa dia tidak menuntut haknya? Tadi siang Hindun datang ke rumahku dengan air mata menceritakan kepedihannya hidup bersama Sutan Mudo, orang yang dulu kucintai (bahkan sampai sekarang). “Uni, aku sudah tidak tahan lagi hidup dengannya.” Tangis Hindun menyeruak. Disandarkannya kepalanya ke pelukanku. “Sabar. Apa yang dilakukannya padamu hingga babak belur begini?” Tanyaku seraya mengusap-usap rambut Hindun mencoba menenangkannya.

“Dia memukuliku setiap hari, Uni” Hindun menegakkan kepalanya dan memperlihatkan memar yang ada di tubuhnya. “Apa masalahnya?” tanyaku semakin penasaran. “Semua masalah dia sudahi dengan pukulan ke tubuhku, Uni. Tadi malam dia memukuliku, menendangku seperti anjing karena aku tak bisa memenuhi keinginannya. Dia meminta haknya, dengan lembut kutolak karena sedang datang bulan. Dia memaksaku, Uni. Aku berteriak tapi dia tetap melakukannya padaku. Aku sudah tidak tau apa-apa lagi saat dia sudah memukuliku hingga pingsan. Entah apa yang dilakukannya semalam padaku, aku benar-benar tak tahu, Uni.” “Sungguh menjijikan kelakuannya.” gumamku dalam hati. “Saat aku terbangun, dia sudah tidak ada. Sementara pakaian yang aku kenakan sudah berserakan di lantai. Seluruh tubuhku sakit. Aku tak tahan hidup dengannya lagi, Uni. Aku mau pulang ke rumah orang tuaku saja.” Tangisnya kembali memecah sepi. “Sabar, ya, Dik. Jika itu yang terbaik menurutmu, maka lakukanlah. Tapi pikirkan dalu. Apa Adik bisa menghidupi putra tanpa ada bapaknya?’ “Aku justru tidak bisa hidup tenang jika ada bapaknya.” Dengan lantang Hindun berkata padaku. Sungguh malang nasib Hindun. Aku pun turut menangis. Cinta yang selama ini masih kupendam pada

Sutan Mudo seketika sirna, bahkan berganti murka. Tiba tiba saja aku teringat pada suamiku yang lembut, tidak pernah memaksa dan selalu memperlakukanku bak permaisuri. Air mataku mulai membasahi pipi. Seharusnya dari dulu aku sadar betapa aku harus bersyukur mendapat suami sepertinya. Bagaimana bisa dia tidak menuntut haknya padaku? Dia bagaikan malaikat dari surga yang tak membutuhkan nafsu dan tak perlu terpenuhi syahwatnya. Tak pernah dia kasari aku, apalagi melukai perasaanku. Ya Allah, maafkanlah hambaMu ini. Betapa kufurnya aku selama ini? Kucari suamiku, di kamar, di mesjid, di sawah, dan di lading, tapi dia tak kutemukan. Aku mulai cemas, ke mana suamiku. Air mata terus mengalir deras. Aku takut kehilangannya. Saat kembali ke rumah ternyata dia duduk di taman belakang rumah kami sambil menghafal Al-Quran kecil yang ada di genggamnya. Segera kudekati dia dan kucium kakinya. Aku menangis sejadi-jadinya dan memohon maaf darinya. Suamiku yang bingung mengarahkan tubuhku untuk bangkit dari kakinya ke bangku sebelahnya. Kupeluk erat dia, menangis di pangkuannya. Suamiku mencoba menanyakan apa yang terjadi padaku, tapi hanya bulir air mata yang bisa menjawabnya. April 2009 Saat aku membersihkan gudang belakang, kembali kutemukan buku ini. Aku pikir buku ini sudah ikut terjual bersama kertas kertas lainnya ke tukang loak. Aku tersenyum membaca catatan harianku ini, buku yang dulu aku curi dari tas adikku, Ratih. Kuteteskan air mata saat membaca catatan ini, teringat kebodohanku di masa lalu. Kembali kugoreskan tinta hitam di atas kertas ini. Besok aku akan menghadiri acara wisuda anak sulungku. Besoknya lagi menghadiri rapat wali murid acara perpisahan si tengah di SMA-nya sekaligus mengambil tropi MTQ milik si bungsu di kantor Diknas. Sayangnya, semua acara itu kuhadiri seorang diri, tidak seperti biasa yang setiap acara selalu ada almarhum suamiku yang menemani. Setahun yang lalu, suamiku pulang ke kampungnya, ke surga. Meski kesepian aku bahagia dia meninggalkanku dengan tiga peri yang shaleh, berbakti pada orang tuanya, dan berprestasi. Tuhan terimakasih atas rahmatMu.*** Lawang, 09 Januari 2010


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.